Langkah prajurit Kanezka yang menghampiri kala itu terasa mendetum di dada Raksha. Baru saja Raksha berdiri, si prajurit langsung menampar pipinya keras hingga Raksha terpelanting.
“Ah! Aku ingat kau! Kau bocah yang tadi siang! Kau masih hidup ternyata?!” seru prajurit itu berang. Dia melirik makam keluarga Raksha. ”Kau sampai mengubur keluargamu?! Dasar bocah kurang kerjaan! Buat apa repot-repot?! Desa ini akan habis dibakar! Orang-orang akan tahu kalau pengkhianat hukumannya mati!” lanjutnya kasar.
Dulu mungkin Raksha pasti akan ketakutan setiap ada prajurit Kanezka memojokannya. Namun sekarang semuanya berubah. Semua ketakutan itu kini telah berganti menjadi amarah.
Tamparan prajurit itu tidak terlalu ketara seperti sebelumnya sehingga Raksha cukup kuat untuk bangkit dan menatap balik prajurit itu. Namun si prajurit masih memandang remeh Raksha yang dia pikir adalah seorang pemuda yang lemah dan tidak berdaya.
Si prajurit memfokuskan dirinya sehingga lengan kanannya memancarkan cahaya perak Kanuragan Kshatriyans yang membentuk tombak suci. “Biar kubereskan pekerjaan Komandan Suja yang tersisa. Jujur saja aku tidak menyangka bocah macam kau bisa bertahan. Harusnya kau lari saja dasar bocah tidak tahu diri.”
Raksha merasakan tubuhnya merinding. Tombak sang prajurit melesat cepat, merobek angin malam yang menerpa, tepat ke arah lehernya. Dia reflek bergerak ke seberang sehingga ujung tombak itu hanya menembus pundak kanannya.
“Aaahh....!” Raksha mengerang nyeri.
“Apa?” si prajurit terdiam heran. Padahal serangannya sudah cepat dan sasarannya sudah tepat, tetapi ternyata serangannya malah meleset sedikit.
Apa bocah ini bisa membaca serangannya? Bocah macam apa yang bisa membaca serangan dari Pendekar Pedang Cahaya? Kesal dengan kegagalannya, si prajurit menarik tombak itu untuk menghabisi bocah sial itu. Namun dia malah makin bingung saat sadar kalau tombaknya itu tidak bisa dia tarik.
Raksha menggenggam erat pucuk tombak yang tengah menghujam bahunya itu dengan tangan kirinya amat erat. Aura ungu kehitaman yang menyelimuti telapak tangan kirinya kian memekat seiring dengan kebencian yang menyemburat dalam hatinya.
“A-apa-apaan bocah ini! Aura ungu hitam?! Itu Aura Kanuragan Ozora! Ternyata kau-”
Mulut sang prajurit menganga lebar, tidak percaya ketika dia melihat dengan mata dan kepalanya sendiri kalau Raksha baru saja menghancurkan ujung tombaknya dengan hanya dengan cengkeramannya semata.
Raksha menarik paksa bilah tajam tombak itu hingga darah memburat dari pundak kanannya. Keperihan yang luar biasa hebat melanda sepersekian detik setelah itu, seolah hampir membuat tubuhnya ambruk dalam seketika.
Namun Raksha menggertakan giginya keras untuk menjaga kesadarannya dan menguatkan kuda-kudanya. Setelah dirasa mantap, dia lalu lanjut melempar bilah tombak hingga mendarat persis di mata kiri sang prajurit.
“AAAHHHHH!!!”
Sang prajurit terjembab jatuh sambil menutupi wajahnya yang bersimbah darah. Dia berguling-guling panik karena darah terus menyembur dari mata kirinya. Beberapa detik setelah itu, seseorang datang menimpa tubuhnya dan mencengkeram wajahnya kasar hingga dia berhenti. Sang prajurit diam terpaku saat sadar kalau seseorang yang mencengkeramnya ternyata adalah Raksha yang menatapinya buas dengan hawa membunuh yang kuat.
Mendadak kepala sang prajurit terasa berat, seolah tengah dihimpit batu besar. Aura ungu kehitaman yang menggerumbul di telapak tangan kiri Raksha perlahan merasuki tubuh sang prajurit yang tengah meronta.
“NNGGHH!! MMMGGGHH!!”
Sang prajurit meronta sekuat yang dia bisa untuk melepaskan diri dari cengkeraman Raksha, tetapi semakin dia berusaha, semakin cepat tubuhnya kian lemas dengan sendirinya. Semua energinya untuk memberontak habis beriringan dengan rasa haus yang amat terasa di kerongkongannya.
Sang prajurit tahu dia kehilangan harapannya ketika tubuhnya kian kurus. Darah, otot, dan daging yang ada di tubuhnya dihisap oleh kekuatan aneh Raksha. Bahkan untuk menangis memohon ampun pada Raksha, bocah yang baru saja dia remehkan beberapa menit lalu, sudah tidak bisa dia lakukan karena semua cairan tubuhnya menguap.
Raksha melepas cengkeramannya ketika sang prajurit berhenti memberontak beberapa menit yang lalu. Napasnya masih berderu dan jantungnya berdegup kencang. Dia sendiri masih tidak percaya kalau sosok prajurit Kanezka yang membuat dia takut beberapa bulan terakhir ini kini telah dia buat menjadi seonggok mayat yang kurus dan kering.
Ada perasaan antusias bercampur takut di dalam diri Raksha saat melihat prajurit itu tewas dengan kekuatannya. Dia belum mengerti penuh dengan aura ungu kehitaman yang ada di telapak tangan kirinya itu, tetapi dia tahu kalau sang prajurit tewas mengenaskan karenanya.
“Itu adalah jurus Perenggut Jiwa, Raksha. Salah satu jurus mematikan Pendekar Dunia Arwah.”
Jayendra tiba-tiba menghampiri dari belakang Raksha seraya menjawab kebingungan Raksha.
“Tuan Jayendra! A-anda darimana saja! Prajurit Kanezk-”
“Tenang.” potong Jayendra menenangkan. “Jangan buat gaduh. Akan merepotkan bagi kita kalau prajurit Kanezka yang lain datang kesini.” lanjutnya.
Raksha mengangguk perlahan tanpa kata-kata.
“Tuan Jayendra, kenapa anda baru hadir sekarang? Saya hampir saja dibunuh...” ujar Raksha agak protes.
“Kalau aku membantumu tadi, kau tidak akan berani melawan prajurit Kanezka.” balas Jayendra santai.
“T-tapi tadi saya-”
“Cukup, Raksha. Jujurlah pada dirimu sendiri. Pertarungan itu adalah pertarungan yang kau inginkan, bukan? Kalau kau memang takut, kau harusnya sudah kabur dan membiarkan prajurit itu mengacaukan makam keluargamu.”
Raksha tertegun karena tidak bisa menepis tuduhan Jayendra. Semua amarah yang dia luapkan di pertarungan itu, walau dia masih ketakutan setengah mati saat melakukannya, pada akhirnya dia berhasil memenangkan pertarungan pertamanya.
“Kau punya potensi yang besar, Raksha.” Jayendra menghampiri Raksha lalu menarik tangan kirinya yang masih memancarkan aura ungu kehitaman yang terasa menekan.
“....tugasmu sekarang adalah mengasahnya dan mengendalikannya.” lanjut Jayendra seraya mengambil perban panjang dari balik jubahnya lalu melilitnya hingga menutupi lengan hingga telapak tangan kiri Raksha. Tepat setelah itu aura ungu kehitaman yang semula menyelimuti tangan kiri Raksha berangsur redup lalu hilang. “Kalau kau ingin menggunakannya lagi, kau cukup membuka perban itu. Gunakan dengan bijak. Pendekar Kanezka bukan musuh yang bisa kau remehkan.” tegurnya.
“Tuan Jayendra, apakah ini berasal dari makanan dan minuman yang anda berikan?” duga Raksha.
Jayendra tertawa lepas. “Ternyata pikiranmu tajam, Raksha.” pujinya sambil menepuk-nepuk pundak Raksha lalu menggenggamnya erat. “Tubuhmu, tulangmu, dan jiwamu kini kuat berkat Kanuragan Ozora yang kusalurkan di makanan dan minumanmu sebelumnya. Kau pasti sudah merasakannya kalau tubuhmu terasa ringan dan perkasa.”
Jayendra menunjuk lubang luka yang ada di pundak kanan Raksha karena serangan prajurit Kanezka sebelumnya. Walau terlihat samar, luka lubang itu dengan cepat pulih berkat kesaktian regenerasi tubuh Raksha sampai-sampai pendarahannya pun berhenti. Raksha masih menganga tanpa kata-kata melihat keajaiban yang memulihkan lukanya itu.
“Kanuragan Ozora bukanlah sembarang kanuragan di kalangan Pendekar Dunia Arwah, tuan. Sulit rasanya untuk mempercayai itu.” Raksha masih tidak percaya.
Jayendra terkekeh sekilas. “Kau benar, Raksha. Kanuragan Ozora telah memilihmu. Mulai sekarang kau harus berlatih keras untuk membiasakan tubuhmu sehingga kau bisa mengembangkannya lebih baik.”
“Semua kesaktian ini hanya dari makanan dan minuman?”
Jayendra menyentil dahi Raksha sampai-sampai Raksha kaget dibuatnya. “Jangan menganggap kalau aku ini orang baik, Raksha. Kanuragan Ozora sangatlah pemilih. Makanan dan minuman itu bisa menjadi racun yang mematikan bagi orang biasa. Kau bisa saja mati saat aku berikan itu.”
“A-apa?”
“....tapi ternyata kau bertahan hidup. Taruhanku berhasil, Raksha. Kau ternyata orang yang kucari. Entah apa yang mendorongmu sampai-sampai Kanuragan Ozora memutuskan untuk memilihmu.”
Raksha bingung apakah dia harus berterima kasih atau mengumpat pada Jayendra sekarang. Namun terlepas dari itu, setidaknya dia mendapatkan harapan dan juga arah baru dari kehidupannya yang sudah hancur. Dia mengepal tangan kirinya erat karena semangat tarungnya yang membuncah.
Raksha perlahan berlutut dan menunduk hormat kepada Jayendra. “Guru Jayendra, saya mohon, jadikanlah aku muridmu.”
Jayendra tersenyum sinis. “Raksha, apa kau sadar dengan yang kau minta? Apa kau tidak curiga padaku? Bukankah aku sudah bilang kalau aku ini bukan membantumu, tetapi meracunimu?”
“Ya, Guru Jayendra.. Tetapi saya tetap percaya pada insting saya kalau guru yang pada akhirnya akan membantu saya.”
Jayendra tertawa terbahak. “Dasar bocah nekat. Kau berani menantang maut ternyata. Katakan kepadaku, Raksha. Apa alasanmu untuk menempuh jalanmu yang kau tahu akan berdarah-darah ini nantinya? Bukankah kau sudah tahu kalau Pendekar Dunia Arwah akan diburu habis-habisan di nusantara oleh si zalim Kanezka?”
Raksha memejamkan matanya sekilas, mengenang semua kekejaman dan kezaliman yang menimpa anggota keluarganya, termasuk teman-temannya dan rekan keluarga lainnya yang ada di desa ini sehingga mereka harus mati sia-sia di tangan pasukan Kanezka. Setelah hatinya mantap, dia kembali menatap gurunya.
“Saya ingin membalas dendam atas ketidakadilan yang menimpa para Pendekar Dunia Arwah dan orang-orang yang tidak bersalah di nusantara, guru. Kalaupun taruhannya nyawa, maka saya siap untuk mempertaruhkannya.” tegas Raksha.
“Jawaban yang bagus, Raksha.” Jayendra menepuk pundan kiri Raksha perlahan. “...tapi ingat, pertarungan ini akan menjadi neraka bagimu. Banyak orang memilih mati daripada harus menjalani ini.”
Raksha tahu kalau jalannya akan penuh darah setelah ini. Dia sudah bisa memprediksi kengerian jalannya tepat setelah dia membunuh prajurit Kanezka untuk pertama kalinya. Apapun taruhannya, dia harus siap.
“Ya, Guru Jayendra. Saya siap.”
“Bagus, muridku. Bersiaplah. Pasukan Kanezka di desamu adalah sasaran kita berikutnya.”
“Hahhh…..Hahh….”Raksha berlari berulang kali membuka mulutnya lebar untuk mengambil napas sebanyak mungkin. Dadanya sudah kembang kempis, jantungnya berdegup cepat, tubuhnya bercucuran keringat deras, bahkan kepalanya pun semakin pusing. Namun dia berusaha sekuat mungkin untuk terus menapakkan kakinya yang sudah pegal itu untuk terus berlari memutari bukit sekitar 10.000 kaki dari desanya.Raksha berlari semenjak tengah siang hingga langit kian jingga. Kedua pergelangan tangan dan kakinya diikat rantai besi dari gurunya. Rantai itu adalah rantai khusus yang membuat kekuatannya tertahan sehingga dia tidak bisa melepaskan seluruh tenaga dalamnya. Gurunya bilang rantai ini biasa dipakai Prajurit Kerajaan Kanezka untuk melemahkan Pendekar Dunia Arwah.“Berlarilah sekuat yang kau bisa, Raksha. Putari bukit ini.”“Berapa putaran, guru?”“Sebanyak yang kau bisa….sampai kau sadar kalau berlatih menjadi pendekar Dunia Arwah tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.”Sekilas, Raksha menging
“Ribuan prajurit mungkin bisa menghancurkan istana dari luar, tetapi seorang prajurit yang menyusup dengan cerdik bisa membunuh raja yang berlindung didalam istana.”Kata-kata Jayendra itu masih terngiang di benak Raksha. Karena itu juga, Raksha memutuskan untuk kembali ke desanya setelah tujuh hari dilatih Jayendra. Sekilas dia melihat para penduduk desa terdiam kaget melihat kedatangannya, tetapi mereka memilih membisu, khawatir prajurit Kanezka akan menyiksanya nanti.“Hei, bocah!”Raksha berhenti saat salah satu prajurit Kanezka menyeru memanggilnya. Derap langkah kaki zirah berdatangan menghampirinya. Dia perlahan bungkuk untuk menaruh hormat dengan wajah tertunduk kepada mereka. Tidak disangka, orang yang memanggilnya itu adalah, Suja Bhagawanta, sang komandan pasukan Kanezka yang membunuh keluarganya sebelumnya.“Kukira kau sudah mati, bocah.” seru Suja remeh seraya menyepak wajah Raksha kasar.Raksha terpelanting, tetapi kini dia bisa menahan rasa nyeri itu berkat Kanuragan O
Gerbang pintu terbuka lebar dari dalam. Raksha mengedarkan pandangannya sekitar, melihat puluhan prajurit Kanezka di berbagai sisi tengah sibuk dengan aktivitasnya. Ada yang sedang berlatih bersama, ada yang sedang membereskan zirah mereka, dan sebagian besar lainnya hilir mudik di halaman.Markas pasukan Kanezka yang ada di desa Raksha ini adalah kediaman tetua desa yang dibuatkan benteng kayu sementara. Semenjak tetua desa dibunuh beserta keluarganya, rumah tetua desa yang relatif paling besar dibandingkan rumah penduduk desa lainnya dijadikan markas sementara oleh Kanezka.Di halaman tetua desa yang luasnya hampir 300 kaki, banyak tenda darurat yang dibuat oleh prajurit Kanezka untuk menyimpan perlengkapan mereka. Tenda khusus untuk tempat makanan ada di pojok timur, dekat dengan posisi dapur.Sekilas Raksha melihat, para prajurit Kanezka disini hilir mudik tampak sibuk, seolah-olah mereka sedang dikejar sesuatu. Apa sang komandan telah memberikan perintah baru pada mereka? Baru sa
“Guru adalah salah satu anggota keluarga kerajaan Mavendra?” Raksha bertanya lagi untuk memastikan. Jayendra hanya mengangguk singkat untuk menjawabnya.“Maaf, guru, saya bukan bermaksud lancang, tapi yang saya dengar dari kebanyakan orang, keluarga Mavendra sudah-”“Tewas semua? Itu setengah benar. Sebagian dari kami masih hidup dan kabur dari cengkeraman Kanezka. Mereka ingin memastikan kematian setiap dari kami.”“Kalau begitu guru harus kabur! Nyawa guru terancam!”“....lalu membiarkan orang-orang didesamu mati sia-sia?”Raksha membisu. Dia tidak bisa mengiyakan pertanyaan itu karena dia tidak mau desanya hancur.“Aku tidak memiliki pilihan lain.” Jayendra membuka sebagian jubahnya, memperlihatkan luka sayatan hebat sepanjang punggung dan perutnya. Tidak ada darah yang timbul dari luka itu, tetapi sebagian warna kulit di sekitar lukanya itu berwarna hitam. “Di perang terakhir melawan Kanezka, aku terkena racun mematikan yang membuatku gerakanku terbatas. Aku masih butuh waktu untu
Siluman adalah arwah hewan buas atau hewan mistik yang ada di nusantara. Jayendra menjelaskan, bagi para Pendekar Dunia Arwah, mengendalikan siluman adalah sesuatu yang berisiko, tetapi sangat membantu ketika dibutuhkan.Biasanya para Pendekar Dunia Arwah yang masih amatir bergerak secara berkelompok, kurang lebih terdiri dari lima sampai sepuluh orang, untuk mengendalikan satu siluman yang tangguh. Namun sekarang tantangannya adalah Raksha hanya seorang dan taruhannya adalah nyawa Raksha sendiri.“Saya sudah berjanji pada guru dan saya tidak mau menarik balik kata-kata saya lagi, guru.” tegas Raksha walau dia masih sedikit cemas dalam hatinya.“Ada garis yang tipis yang membedakan apakah orang itu pemberani atau nekat, Raksha. Kau bisa saja mati konyol.”“Kalau aku tidak bisa mengendalikan siluman, maka semua rencanaku untuk membalas Kanezka akan sia-sia, guru. Tolong berikan saya kepercayaan. Saya akan lakukan apa yang saya bisa untuk melindungi guru.”Jayendra tertegun sejenak mend
Semilir angin berhembus menerpa pelan rumput panjang di sekitar Raksha. Tempat dia berada sekarang lebih sunyi daripada sebelumnya. Sekitar 15 kaki didepannya, terdapat siluman harimau yang tubuhnya dua kali lebih besar dari siluman harimau lainnya. Raksha tahu kalau siluman harimau didepannya itu adalah pimpinan siluman harimau yang memburunya.“Jadi ini yang kau incar, bocah? Duel denganku?” tantang siluman harimau itu dengan nada berat.“....tidak ada artinya kalau aku tidak berhasil meyakinkanmu.” Raksha memasang kuda-kuda. Aura ungu dari Kanuragan Ozora yang tengah menyelimuti lengan kirinya memancar terang seiring dengan kian membaranya kanuragan yang ada di dalam tubuhnya.“Kupikir kau hanyalah bocah nekat yang mempertaruhkan nyawamu dengan nafsu belaka. Tetapi aku salah. Kau memikirkan semua ini dengan matang.”Sang siluman harimau itu berdiri dengan dua kakinya. Api arwah berwarna hitam menyelimuti seluruh tubuhnya sehingga bentuknya yang semula menyerupai harimau kini beruba
Raksha merasakan lagi dinginnya semilir angin malam yang menerpa tubuhnya. Adrenalin yang membuncah di tubuhnya sejak duelnya dengan Asoka membuat dia sempat lupa kalau malam ini begitu dingin. Tangan kirinya yang tengah mencengkeram kuat kepala Asoka perlahan dia longgarkan karena dia tidak lagi merasakan hawa membunuh dari musuhnya itu.Sesaat setelah Raksha melepas cengkeramannya, Asoka tumbang. Gemersik rerumputan yang terdengar karena terbuai angin malam kala itu menyadarkan Raksha bahwa siluman harimau lainnya yang berhasil dia tipu sebelumnya baru saja tiba di lokasinya. Mereka semua tidak percaya kalau pimpinan mereka tengah tersungkur tidak berdaya di hadapan seorang pemuda yang telah mereka remehkan sebelumnya.“Kukira Mavendra sudah tamat.” Asoka menatap lemah Raksha. “...ternyata mereka masih belum menyerah melawan kezaliman Kerajaan Kanezka. Kau telah memilih jalan yang penuh darah.” lanjutnya.“Aku telah kehilangan semuanya. Kau boleh bilang ini adalah jalan penuh darah,
“AAHHHH!!!”Para penduduk desa menjerit ketika cetakan besi panas itu menempel keras di tiap punggung mereka dengan keji oleh prajurit Kanezka. Simbol bintang yang terpatri dari luka bakar akibat cetakan besi panas itu terpampang jelas di tiap penduduk desa, termasuk Raksha. Bau luka bakar bercampur darah kering menaungi sehingga menambah rasa mual pada siapapun yang ada disana.“Malam bulan purnama nanti adalah kesempatan terakhir kalian, pengkhianat nusantara! Panggil Mavendra kesini atau kalian akan menjadi santapan para siluman!”Seruan terakhir sang komandan hanya dibalas ringisan tiap penduduk desa yang masih menahan sakit dan perih. Tidak ada satupun dari mereka berani menjawab seruan Suja.Kesal karena merasa tidak dianggap, Suja tiba-tiba menjambak salah satu anak perempuan yang ada didekatnya. Perempuan itu menjerit takut sambil memanggil kedua orang tuanya, tetapi tidak ada penduduk desa yang berani menolongnya.“Ayah! Ibu! Tolong!” seru perempuan itu ketakutan.“Tu-tuan, m
“Ah, ini tidak adil!”Sena menendang kursi yang ada di ruang jeruji depannya. Emosinya yang masih meletup-letup memaksa dia untuk duduk di salah satu ranjang jeruji sambil memijat-mijat dahinya yang mendadak terasa pusing. Niatannya untuk segera istirahat di Padepokan Kanuragan Wiratama pupus sudah karena keluarga Mahadri memaksa Raksha dan Sena masuk ke dalam penjara karena masih diduga mencuri pusaka suci milik Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara.“Padahal baru saja kita bebas dari penjara Keluarga Jagadita, sekarang Keluarga Mahadri malah memenjarakan kita lagi?! Ada apa dengan kebebalan mereka?! Mereka bahkan bilang kalau kita bisa bebas kalau kita bisa mengembalikan pusaka suci Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara?! Apa mereka itu dungu?! Sudah kubilang berkali-kali kalau kita berdua ini bukan pencuri!” Sena masih meluapkan amarahnya sambil mengepal kedua tinjunya keras. Cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sempat memancar terang untuk membentuk tombak perak yang akan dia guna
“Ah, akhirnya kita sampai, Raksha!”Sena buru-buru beranjak sambil menatap pelabuhan Kota Udayana yang semakin dekat dari perahunya. Dari terpaan angin kencang dan air yang tidak berombak, dia tahu kalau perahu yang tengah dia tumpangi itu akan membawa dirinya dan Raksha beberapa menit lagi.Raksha yang melihat ke arah yang sama awalnya menghela napas lega karena dia pun ingin istirahat sejenak. Namun kecurigaan tiba-tiba datang menyelimuti pikirannya ketika dia melihat seorang pria jangkung bertubuh gemuk yang mengenakan seragam katun berwarna ungu dengan rompi dan ikat pinggang berwarna kuning tengah duduk di ujung pelabuhan Udayana. Pria itu adalah Panji Mahadri, salah satu pendekar Dewi Pertiwi yang dulu pernah hampir membunuhnya karena kebenciannya terhadap pendekar Kanuragan Wiratama.Raksha semakin waspada ketika melihat ada dua pria paruh baya yang mengenakan pakaian seragam katun ungu yang sama seperti Panji tengah berdiri tegak di sebelah Panji. Kedua pria paruh baya itu ber
“Kami harus menghajar anda, Yang Mulia?”Asoka dan Gardapati masih kebingungan dengan perintah Raksha. Mereka berdua bahkan kaget ketika melihat Raksha memanggil Suja dari balik bayangannya.“Suja, kau pukul perutku. Asoka kau cabik punggungku. Gardapati kau gigit pundakku.” Perintah Raksha sembari menunjuk ke arah perut, punggung, dan pundaknya.“Apa Yang Mulia yakin dengan ini?” tanya Suja sama bingungnya.“Aku hanya ingin memastikan Sena percaya dengan ceritaku tadi. Cepat lakukan sebelum terlambat!” tegas Raksha sambil menyeru.Asoka dan Gardapati pun berhenti ragu. Asoka yang pertama kali melesat ke punggung Raksha lalu mencakar sebagian punggung Raksha dengan tinju cakarnya yang sengaja dia tidak buat terlalu mematikan agar tuannya bisa menahannya.Raksha bisa merasakan guratan yang tajam di sepanjang pinggangnya hingga darahnya sempat menyembur perlahan, tetapi dia masih bisa menahannya karena dia tahu Asoka menahan diri. Sepersekian detik setelah itu, Gardapati datang menerjan
“Semuanya! Ikuti aku!”Usai Sena menyimpan tongkat emasnya di balik punggungnya, dia pun langsung mengangkut Wanda yang masih tidak sadarkan diri. Seruannya yang keras membuat perhatian puluhan pendekar dewa angin yang masih kewalahan untuk kembali bangkit untuk melarikan diri. Ardiman yang ikut dibantu bangkit oleh para pendekar dewa angin pun kini sadar akan kehadiran Sena yang baru saja menolongnya untuk menjauh. Dia melihat Rakshasa sedang mengalihkan perhatiannya untuk melawan Raksha.“Suradarma….kau…membantu…kami…?” ujar Ardiman di tengah tubuhnya yang sekarat dan tertatih-tatih.“Sekarang bukan saatnya untuk mencurigaiku dan Raksha, Tuan Ardiman! Kita harus segera melarikan diri!” seru Sena balik.Ardiman tidak bisa membantahnya. Kondisinya dan seluruh pasukannya sudah sekarat dan kalau Rakshasa kembali menyerangnya maka kematian adalah kepastian yang akan menimpa mereka semua. Dia pun akhirnya memilih untuk menghilangkan kecurigaan terhadap Sena dan Raksha, lalu memilih memuta
“Raksha, biar aku yang urus ini.”Raksha berhenti melangkah sejenak ketika Sena memintanya sembari mengacungkan tongkat emasnya ke arah pintu goa yang ada di depannya itu. Hanya dengan satu hantaman, puing-puing batu yang menutup pintu goa itu hancur seketika oleh serangan Sena. Kini Sena dan Raksha bisa melihat sosok Rakshasas yang mengaung layaknya harimau raksasa yang hendak menerkam mangsanya, yakni Ardiman, Wanda, dan puluhan Pendekar Dewa Angin lainnya.“Astaga…baru pertama kali kulihat monster sebesar ini…” Sena mengencangkan pegangan tongkat emasnya sambil bersiaga penuh.“Monster itu masih mengincar Adriman. Kita punya kesempatan untuk menyerangnya dari belakang.” ujar Raksha sambil membuat telapak tangan kanannya memancarkan cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sehingga membentuk pisau keris. Telapak tangan kirinya yang sudah menggenggam erat pisau kujang emas membuat dia semakin sigap dengan kemampuan silatnya.Namun Raksha tahu kalau Rakshasas bukanlah siluman biasa yang mud
“Wanda…bersiaplah. Akan kita serang mereka lagi sekaligus dengan jurus angin sakti!”Seruan keras Ardiman membuat Wanda langsung bersiaga sembari memasang kuda-kuda tegak. Dia melihat pusaka syal hijau pamannya kini memancarkan cahaya hijau sehingga angin tornado berputar kencang mengitari tubuh mereka dan pasukannya.Tepat setelah Ardiman mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lima pengawal arwah elit yang sebelumnya menyerangnya, dia kini ikut mengarahkan telapak tangan kanannya. Angin kencang yang kini terkumpul di pusaka syal hijau Ardiman menguat, bersamaan dengan puluhan pendekar dewa angin yang baru saja menyembuhkan lukanya lalu ikut berkonsentrasi sehingga angin tornado Ardiman berputar semakin kencang.“Lima prajurit arwah itu tidak menyerang, paman! Ini kesempatan kita!” seru Wanda semangat.“Ya, kita-“Ardiman tiba-tiba berhenti menyeru ketika tanah yang dia, Wanda, dan puluhan prajuritnya pijak berguncang keras, sampai-sampai mereka hampir kehilangan keseimbangan dan
“Pendekar Kanuragan Wiratama harusnya mampus!”Wanda berulang kali menyerukan hal itu dengan keki. Walau Birawa, Pendekar Kanuragan Wiratama yang dia dan keluarganya buru untuk keamanan Nusantara kini sudah mati, dia masih tidak terima kalau yang mengalahkan Birawa ternyata adalah Raksha dan Sena, dua Pendekar Kanuragan Wiratama yang kini paling hebat diantara pendekar kanuragan lainnya.Tidak hanya Keluarga Jaganita, Wanda ingat kalau keluarga lainnya dari Nismara, Mahadri, Pancaka, dan Bhagawanta pun belum menyerah untuk mengerdilkan Pendekar Kanuragan Wiratama sebelum mereka bergabung untuk ikut dalam kompetisi Turnamen Sembilan Bintang Langit.“…sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk memenjarakan mereka di Udayana, nak.”Ardiman tiba-tiba menanggapi Wanda, yang merupakan keponakannya.“Ya, paman! Mereka masih membawa bahaya di Udayana nanti, apalagi saat mereka mengikuti Turnamen Sembilan Bintang Langit!” seru Wanda.“Aku mengerti, nak. Banyak keluarga militer Kanezka yang mulai
“Jangan lambat kalian!”Sena dan Raksha lagi-lagi disentak oleh pendekar dewa angin yang ada di belakang mereka untuk melangkah lebih cepat. Mereka berdua tengah dalam perjalanan ke ujung utara hutan, dimana disana banyak bangunan rumah yang dibuat oleh pendekar dewa angin sebagai tempat mereka beristirahat dan berlatih di Pulau Babar.Raksha mengedarkan pandangannya sekilas. Dia melihat ada dua puluh lebih bangunan rumah yang jaraknya antar tumah sekitar 50 kaki tersebar di ujung hutan ini. Tidak banyak pohon yang tersebar di ujung hutan ini sehingga Raksha bisa merasakan kalau pendekar dewa angin yang ada disini lebih bebas untuk beraktivitas di tempat ini.Raksha yang awalnya mengira dia dan Sena akan dibawa ke salah satu rumah tersebut ternyata salah. Para pendekar dewa angin menyuruh mereka masuk ke salah satu goa yang ada sekitar 60 kaki di arah selatan tempat perumahan tersebut. Ketika Raksha melihat goa yang sempit itu dan jeruji di pintu goanya, dia baru sadar kalau para pen
“Yang Mulia, ternyata benar, pasukan Kanezka tengah mendatangi goa ini dengan persenjataan lengkap.”Bisikan Sakuntala yang terdengar hanya di dalam hati Raksha kala itu sempat membuat Raksha berhenti mengubur mayat terakhir di Goa. Dia melirik Sena sekelabat, setelah dia memastikan kalau Sena masih sibuk mengubur, dia kembali fokus ke Sakuntala.“Berapa kekuatan?” tanya Raksha berbisik.“Tidak banyak, Yang Mulia. Sekitar 30 kekuatan. Mereka semua mengenakan seragam pendekar silat Udayana berwarna hijau.” jawab Sakuntala.“….berarti mereka dari Padepokan Kanuragan Wayu. Kenapa mereka ada di pulau ini?”“Saya tidak tahu pasti, Yang Mulia. Tetapi saya bisa merasakan hawa membunuh dari mereka. Harap berhati-hati, Yang Mulia Raksha.”Raksha diam sejenak lalu berpikir. Dia tahu kalau Padepokan Dewa Angin dan Padepokan Dewa Air seringkali berkoalisi dan bertukar ilmu ajian sakti sehingga dia tidak heran melihat Wanda Jagadita dan Taksa Nismara bisa menguasai jurus pengendalian air dan angin