“Ribuan prajurit mungkin bisa menghancurkan istana dari luar, tetapi seorang prajurit yang menyusup dengan cerdik bisa membunuh raja yang berlindung didalam istana.”
Kata-kata Jayendra itu masih terngiang di benak Raksha. Karena itu juga, Raksha memutuskan untuk kembali ke desanya setelah tujuh hari dilatih Jayendra. Sekilas dia melihat para penduduk desa terdiam kaget melihat kedatangannya, tetapi mereka memilih membisu, khawatir prajurit Kanezka akan menyiksanya nanti.
“Hei, bocah!”
Raksha berhenti saat salah satu prajurit Kanezka menyeru memanggilnya. Derap langkah kaki zirah berdatangan menghampirinya. Dia perlahan bungkuk untuk menaruh hormat dengan wajah tertunduk kepada mereka. Tidak disangka, orang yang memanggilnya itu adalah, Suja Bhagawanta, sang komandan pasukan Kanezka yang membunuh keluarganya sebelumnya.
“Kukira kau sudah mati, bocah.” seru Suja remeh seraya menyepak wajah Raksha kasar.
Raksha terpelanting, tetapi kini dia bisa menahan rasa nyeri itu berkat Kanuragan Ozora dalam dirinya. Dia pura-pura meringis agar prajurit Kanezka tidak curiga.
Sang komandan tiba-tiba menginjak lengan kiri Raksha hingga dia mengaduh pelan. “Perban apa ini, bocah?!”
“T-tanganku terluka, tuan. Tidak ada obat jadi hanya bisa kuperban. Luka ini sudah bernanah....” jawab Raksha setenang mungkin agar musuhnya itu percaya dengan ceritanya.
Suja buru-buru melepas injakannya dengan ekspresi jijik. “Bocah sinting! Jangan dekat-dekat denganku!”
Raksha kembali membungkuk dan menundukkan kepalanya. Namun Suja langsung menjambaknya kasar sehingga tatapannya tertuju langsung padanya.
“Bukannya kabur kau malah kembali kesini, bocah. Apa kau sudah bosan hidup?!”
“S-saya tidak tahu harus kemana, tuan. Saya takut diburu hewan buas dan siluman kalau pergi tanpa arah...”
Suja tertawa mengejek bersamaan dengan pasukannya. “Kau lebih takut diserang hewan buas daripada kami?! Dasar bocah sinting! Kau dan penduduk desa ini sama dungunya! Hahahahaha!”
Raksha memilih diam membisu sambil menahan gejolak amarahnya.
“Mana mayat keluargamu?!”
Raksha tahu ini pertanyaan menjebak.
“Saya meninggalkan mereka, tuan.”
Suja menatap Raksha agak lama tanpa kata-kata. Setelah itu, dia melirik ke salah satu prajuritnya. “Apa kata-katanya bisa dipercaya?” tanyanya.
“Ya, tuan. Kami melihat ada mayat yang tengah dikerubungi gagak pagi tadi, kemungkinan itu dari mayat keluarganya.” jawab sang prajurit.
Suja mengangguk puas.
“Bagus! Kalau kau berani mengubur mereka maka akan kukubur kau hidup-hidup sekarang juga! Biarkan mayat mereka dibiarkan sampai dimakan gagak! Biar nusantara tahu kalau pengkhianat tebusannya adalah mati mengenaskan!”
Raksha hampir mengumpat saat Suja meremehkan keluarganya. Namun sekali lagi, dia menelan semua amarahnya untuk rencana yang jauh lebih besar di masa depan.
Sebelum Raksha kembali ke desanya, dia sudah mempersiapkan kemungkinan kalau prajurit Kanezka akan mempertanyakan mayat keluarganya. Raksha menggunakan mayat prajurit yang dia bunuh menjadi sasaran gagak menggantikan mayat keluarganya. Dia bahkan sempat menanggalkan zirah prajurit itu agar tidak mencurigakan.
Di tengah lamunannya, tiba-tiba Suja menampar pipi kanan Raksha.
“Kalau kau ingin hidup disini, kerja! Jangan harap kau bisa mendapatkan keringanan karena kalian pengkhianat adalah benalu nusantara! Kalian harusnya bersyukur atas kebaikanku selama ini!”
Suja pergi seraya meludahi Raksha.
Raksha membisu sampai akhirnya Suja dan rombongannya pergi meninggalkannya. Setelah dirasa sepi, dia kembali menghampiri rekannya sesama penduduk desa yang sebaya, namanya Ari, untuk membantunya kerja.
Ari dan ratusan pemuda di desa ini diperkerjakan oleh pasukan Kanezka untuk memasok makanan seperti beras hasil panen, buah-buahan, dan daging sapi ternak dari desa. Seluruh hasil pertanian dan peternakan desa harus diserahkan seluruhnya kepada pasukan Kanezka yang markasnya tepat di kediaman tetua desa di ujung utara.
Penduduk desa hanya mendapat sebagian dari yang para pemuda ini bawa ketika mereka kembali ke desa. Sebagian kecil ini amat sedikit, bahkan bisa dikatakan kurang untuk seluruh penduduk desa. Awalnya para penduduk desa protes, tetapi mereka yang protes hanya tinggal nama. Selain mati disiksa prajurit Kanezka, sebagian penduduk desa juga harus mati kelaparan karena tidak adanya makanan dan minuman.
“Raksha, kau kembali?” tanya Ari kebingungan.
“Ya, begitulah.” jawab Raksha singkat.
“Raksha, aku turut berduka atas apa yang terjadi pada keluargamu. Maaf aku tidak bisa apa-apa. Kami semua ketakutan. Kami tidak bisa melawan.” Ari meminta maaf dengan nada bergetar.
“Sudahlah. Semua sudah terjadi.” Raksha membantu Ari memasukkan buah-buah hasil panen ke gerobak kayu yang akan dibawa ke markas prajurit Kanezka nanti.
“Hei, Raksha, apa kau berpikir kalau pasukan Kanezka akhir-akhir ini semakin sadis? Sepertinya mereka tidak sabar dengan apa yang mereka cari.”
“Mencari siapa memang? Bukannya mereka hanya ingin menghukum kita yang dicap pengkhianat oleh Raja Winadyata?” tanya Raksha balik.
“Tidak. Mereka sebenarnya sedang mencari seorang pendekar Dunia Arwah tangguh yang berpengaruh besar di Nusantara. Entah siapa. Mungkin dari keluarga Mavendra.”
“Mavendra? Ada keluarga Mavendra yang bersembunyi di desa ini?”
“Ssssttt....” Ari buru-buru menutup bibir Raksha dengan telunjuknya. “Itu yang kudengar dari orang-orang desa. Jangan sampai terdengar oleh prajurit Kanezka, nanti mereka malah menuduh kita yang tidak-tidak!” tegurnya.
Raksha mengangguk paham. “Pantas saja mereka begitu bengis. Mungkin mereka melakukan itu pada orang-orang desa agar orang dari keluarga Mavendra itu keluar dari persembunyiannya.”
“....sayangnya sampai sekarang itu tidak berhasil.”
“Kau berharap mereka menemukannya?”
“Tentu saja, Raksha!” sentak Ari tiba-tiba seraya menarik rompi Raksha. “Kalau mereka menemukannya, maka urusan mereka di desa ini sudah selesai, bukan?! Mereka tidak akan lagi memaksa kita kerja paksa memecahkan batu seperti orang dungu! Mereka juga tidak akan mencuri hasil panen kita! Kita ini korban, Raksha! Kau bahkan kehilangan keluargamu karena kebiadaban mereka! Aku tidak peduli lagi mau itu Mavendra atau Winadyata, selama aku bisa kembali ke kehidupanku yang damai, itu sudah cukup! Akan kutinggalkan semua ilmu Pendekar Dunia Arwah demi itu!” tubuh Ari bergetar usai meluapkan kekesalannya. Air matanya berurai. Raut wajah pucatnya menampikkan ekspresi lelah, marah dan sedih bersamaan.
Raksha tahu kalau jawaban Ari ini mewakili pikiran para penduduk desa yang masih bertahan hidup sampai sekarang. Dia sendiri pernah berpikiran seperti itu sebelum akhirnya tragedi berdarah menimpa keluarganya dan dia diberi kesempatan oleh Jayendra untuk membalas kebiadaban para Prajurit Kanezka. Dia tidak mungkin melibatkan Ari ataupun penduduk desa lainnya dalam rencananya.
“Kau benar, Ari.” jawab Raksha setelah jeda panjang. “Bagaimana kalau kau istirahat saja? Biar aku yang membawa ini ke markas Kanezka.” lanjutnya.
Ari perlahan melepas Raksha. Walau malu untuk mengakuinya, kecemasan dan ketakutan yang menghantui pikirannya akhir-akhir ini membuat dia cepat lelah. Setelah berulang kali ditawarkan Raksha, akhirnya dia menerima tawaran Raksha.
Setelah gerobaknya penuh, Raksha lanjut membawanya ke markas utama pasukan Kanezka. Sepanjang perjalanannya, dia melihat pemuda-pemuda desa lainnya yang baru saja kembali dari markas dengan gerobak kosong atau gerobak yang hanya berisi sedikit buah dan beras, yang berarti hanya itu jatah untuk penduduk desa hari ini. Wajah para pemuda itu pucat dengan memar di tiap wajah dan badan. Kemungkinan besar mereka disiksa terlebih dahulu sebelum keluar.
Raksha tiba persis didepan pintu gerbang yang dijaga oleh prajurit Kanezka. Dia baru sadar kalau dia hanya sendirian tanpa ada orang lain dari desa yang menemani.
Sebenarnya, ini sesuai dengan ekspetasi Raksha. Rencananya dimulai dari sini.
Gerbang pintu terbuka lebar dari dalam. Raksha mengedarkan pandangannya sekitar, melihat puluhan prajurit Kanezka di berbagai sisi tengah sibuk dengan aktivitasnya. Ada yang sedang berlatih bersama, ada yang sedang membereskan zirah mereka, dan sebagian besar lainnya hilir mudik di halaman.Markas pasukan Kanezka yang ada di desa Raksha ini adalah kediaman tetua desa yang dibuatkan benteng kayu sementara. Semenjak tetua desa dibunuh beserta keluarganya, rumah tetua desa yang relatif paling besar dibandingkan rumah penduduk desa lainnya dijadikan markas sementara oleh Kanezka.Di halaman tetua desa yang luasnya hampir 300 kaki, banyak tenda darurat yang dibuat oleh prajurit Kanezka untuk menyimpan perlengkapan mereka. Tenda khusus untuk tempat makanan ada di pojok timur, dekat dengan posisi dapur.Sekilas Raksha melihat, para prajurit Kanezka disini hilir mudik tampak sibuk, seolah-olah mereka sedang dikejar sesuatu. Apa sang komandan telah memberikan perintah baru pada mereka? Baru sa
“Guru adalah salah satu anggota keluarga kerajaan Mavendra?” Raksha bertanya lagi untuk memastikan. Jayendra hanya mengangguk singkat untuk menjawabnya.“Maaf, guru, saya bukan bermaksud lancang, tapi yang saya dengar dari kebanyakan orang, keluarga Mavendra sudah-”“Tewas semua? Itu setengah benar. Sebagian dari kami masih hidup dan kabur dari cengkeraman Kanezka. Mereka ingin memastikan kematian setiap dari kami.”“Kalau begitu guru harus kabur! Nyawa guru terancam!”“....lalu membiarkan orang-orang didesamu mati sia-sia?”Raksha membisu. Dia tidak bisa mengiyakan pertanyaan itu karena dia tidak mau desanya hancur.“Aku tidak memiliki pilihan lain.” Jayendra membuka sebagian jubahnya, memperlihatkan luka sayatan hebat sepanjang punggung dan perutnya. Tidak ada darah yang timbul dari luka itu, tetapi sebagian warna kulit di sekitar lukanya itu berwarna hitam. “Di perang terakhir melawan Kanezka, aku terkena racun mematikan yang membuatku gerakanku terbatas. Aku masih butuh waktu untu
Siluman adalah arwah hewan buas atau hewan mistik yang ada di nusantara. Jayendra menjelaskan, bagi para Pendekar Dunia Arwah, mengendalikan siluman adalah sesuatu yang berisiko, tetapi sangat membantu ketika dibutuhkan.Biasanya para Pendekar Dunia Arwah yang masih amatir bergerak secara berkelompok, kurang lebih terdiri dari lima sampai sepuluh orang, untuk mengendalikan satu siluman yang tangguh. Namun sekarang tantangannya adalah Raksha hanya seorang dan taruhannya adalah nyawa Raksha sendiri.“Saya sudah berjanji pada guru dan saya tidak mau menarik balik kata-kata saya lagi, guru.” tegas Raksha walau dia masih sedikit cemas dalam hatinya.“Ada garis yang tipis yang membedakan apakah orang itu pemberani atau nekat, Raksha. Kau bisa saja mati konyol.”“Kalau aku tidak bisa mengendalikan siluman, maka semua rencanaku untuk membalas Kanezka akan sia-sia, guru. Tolong berikan saya kepercayaan. Saya akan lakukan apa yang saya bisa untuk melindungi guru.”Jayendra tertegun sejenak mend
Semilir angin berhembus menerpa pelan rumput panjang di sekitar Raksha. Tempat dia berada sekarang lebih sunyi daripada sebelumnya. Sekitar 15 kaki didepannya, terdapat siluman harimau yang tubuhnya dua kali lebih besar dari siluman harimau lainnya. Raksha tahu kalau siluman harimau didepannya itu adalah pimpinan siluman harimau yang memburunya.“Jadi ini yang kau incar, bocah? Duel denganku?” tantang siluman harimau itu dengan nada berat.“....tidak ada artinya kalau aku tidak berhasil meyakinkanmu.” Raksha memasang kuda-kuda. Aura ungu dari Kanuragan Ozora yang tengah menyelimuti lengan kirinya memancar terang seiring dengan kian membaranya kanuragan yang ada di dalam tubuhnya.“Kupikir kau hanyalah bocah nekat yang mempertaruhkan nyawamu dengan nafsu belaka. Tetapi aku salah. Kau memikirkan semua ini dengan matang.”Sang siluman harimau itu berdiri dengan dua kakinya. Api arwah berwarna hitam menyelimuti seluruh tubuhnya sehingga bentuknya yang semula menyerupai harimau kini beruba
Raksha merasakan lagi dinginnya semilir angin malam yang menerpa tubuhnya. Adrenalin yang membuncah di tubuhnya sejak duelnya dengan Asoka membuat dia sempat lupa kalau malam ini begitu dingin. Tangan kirinya yang tengah mencengkeram kuat kepala Asoka perlahan dia longgarkan karena dia tidak lagi merasakan hawa membunuh dari musuhnya itu.Sesaat setelah Raksha melepas cengkeramannya, Asoka tumbang. Gemersik rerumputan yang terdengar karena terbuai angin malam kala itu menyadarkan Raksha bahwa siluman harimau lainnya yang berhasil dia tipu sebelumnya baru saja tiba di lokasinya. Mereka semua tidak percaya kalau pimpinan mereka tengah tersungkur tidak berdaya di hadapan seorang pemuda yang telah mereka remehkan sebelumnya.“Kukira Mavendra sudah tamat.” Asoka menatap lemah Raksha. “...ternyata mereka masih belum menyerah melawan kezaliman Kerajaan Kanezka. Kau telah memilih jalan yang penuh darah.” lanjutnya.“Aku telah kehilangan semuanya. Kau boleh bilang ini adalah jalan penuh darah,
“AAHHHH!!!”Para penduduk desa menjerit ketika cetakan besi panas itu menempel keras di tiap punggung mereka dengan keji oleh prajurit Kanezka. Simbol bintang yang terpatri dari luka bakar akibat cetakan besi panas itu terpampang jelas di tiap penduduk desa, termasuk Raksha. Bau luka bakar bercampur darah kering menaungi sehingga menambah rasa mual pada siapapun yang ada disana.“Malam bulan purnama nanti adalah kesempatan terakhir kalian, pengkhianat nusantara! Panggil Mavendra kesini atau kalian akan menjadi santapan para siluman!”Seruan terakhir sang komandan hanya dibalas ringisan tiap penduduk desa yang masih menahan sakit dan perih. Tidak ada satupun dari mereka berani menjawab seruan Suja.Kesal karena merasa tidak dianggap, Suja tiba-tiba menjambak salah satu anak perempuan yang ada didekatnya. Perempuan itu menjerit takut sambil memanggil kedua orang tuanya, tetapi tidak ada penduduk desa yang berani menolongnya.“Ayah! Ibu! Tolong!” seru perempuan itu ketakutan.“Tu-tuan, m
“Hei, bangun bocah!”Prajurit Kanezka baru saja masuk dengan perasaan berang ke tenda dimana Raksha berada. Kekesalannya kian memuncak karena melihat Raksha masih duduk dengan kondisi lengan dan kakinya diikat rantai perak sambil menundukkan kepalanya tanpa menanggapinya.“Semuanya sedang mempersiapkan diri untuk memburu Mavendra, aku malah ditugaskan untuk mengurus bocah sinting ini! Ah malang betul nasibku!”Sang prajurit meracau sambil menghampiri Raksha dengan perasaan keki. Dia langsung menjambak kepala Raksha kasar. Namun dia malah keheranan karena tatapan Raksha begitu tajam dan menusuk, seolah dia bersiap untuk bertarung dengannya. “Apa-apaan tampangmu itu, bocah?! Kau menantang-“Tangan sang prajurit yang hendak menampar Raksha tiba-tiba tertahan oleh seseorang dibelakangnya. Tubuhnya mendadak merinding karena dia bisa merasakan hawa membunuh yang kuat. Sekilas dia melihat ke belakang, mulutnya menganga kaget saat sadar kalau prajurit arwah Raksha adalah orang yang menahan
Raksha bisa merasakan tanah yang dia pijak kian bergetar akan derap langkah zirah besi prajurit Kanezka yang datang beramai-ramai. Jarak mereka masih sekitar 500 kaki darinya, tetapi gemerlap api obor yang berbondong-bondong layaknya kumpulan kunang-kunang yang berbaris rapi dari rombongan mereka menandakan bahwa seluruh prajurit Kanezka datang.“Hancurkan Sakra!”“Hancur! Hancur! Hancur! Hancur!”“Bunuh Mavendra!”“Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh!”“Bantai para pengkhianat Nusantara! Bantai para Titisan Ashura!”“Bantai! Bantai! Bantai Bantai!”Seruan pasukan Kanezka yang garang itu kian terdengar jelas seiring dengan jarak mereka yang kian memendek memasuki komplek desa yang gelap dan sunyi.Raksha tahu kalau pasukan siluman harimau sudah bersembunyi di tiap rumah di komplek desa, tetapi masih ada yang membuat hatinya tidak tenang. Dia memperhatikan dengan cermat rombongan pasukan itu dari kejauhan.“Kira-kira ada berapa kekuatan, Asoka?” tanya Raksha.“Seratus lima puluh….tidak, sekitar
“Ah, ini tidak adil!”Sena menendang kursi yang ada di ruang jeruji depannya. Emosinya yang masih meletup-letup memaksa dia untuk duduk di salah satu ranjang jeruji sambil memijat-mijat dahinya yang mendadak terasa pusing. Niatannya untuk segera istirahat di Padepokan Kanuragan Wiratama pupus sudah karena keluarga Mahadri memaksa Raksha dan Sena masuk ke dalam penjara karena masih diduga mencuri pusaka suci milik Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara.“Padahal baru saja kita bebas dari penjara Keluarga Jagadita, sekarang Keluarga Mahadri malah memenjarakan kita lagi?! Ada apa dengan kebebalan mereka?! Mereka bahkan bilang kalau kita bisa bebas kalau kita bisa mengembalikan pusaka suci Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara?! Apa mereka itu dungu?! Sudah kubilang berkali-kali kalau kita berdua ini bukan pencuri!” Sena masih meluapkan amarahnya sambil mengepal kedua tinjunya keras. Cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sempat memancar terang untuk membentuk tombak perak yang akan dia guna
“Ah, akhirnya kita sampai, Raksha!”Sena buru-buru beranjak sambil menatap pelabuhan Kota Udayana yang semakin dekat dari perahunya. Dari terpaan angin kencang dan air yang tidak berombak, dia tahu kalau perahu yang tengah dia tumpangi itu akan membawa dirinya dan Raksha beberapa menit lagi.Raksha yang melihat ke arah yang sama awalnya menghela napas lega karena dia pun ingin istirahat sejenak. Namun kecurigaan tiba-tiba datang menyelimuti pikirannya ketika dia melihat seorang pria jangkung bertubuh gemuk yang mengenakan seragam katun berwarna ungu dengan rompi dan ikat pinggang berwarna kuning tengah duduk di ujung pelabuhan Udayana. Pria itu adalah Panji Mahadri, salah satu pendekar Dewi Pertiwi yang dulu pernah hampir membunuhnya karena kebenciannya terhadap pendekar Kanuragan Wiratama.Raksha semakin waspada ketika melihat ada dua pria paruh baya yang mengenakan pakaian seragam katun ungu yang sama seperti Panji tengah berdiri tegak di sebelah Panji. Kedua pria paruh baya itu ber
“Kami harus menghajar anda, Yang Mulia?”Asoka dan Gardapati masih kebingungan dengan perintah Raksha. Mereka berdua bahkan kaget ketika melihat Raksha memanggil Suja dari balik bayangannya.“Suja, kau pukul perutku. Asoka kau cabik punggungku. Gardapati kau gigit pundakku.” Perintah Raksha sembari menunjuk ke arah perut, punggung, dan pundaknya.“Apa Yang Mulia yakin dengan ini?” tanya Suja sama bingungnya.“Aku hanya ingin memastikan Sena percaya dengan ceritaku tadi. Cepat lakukan sebelum terlambat!” tegas Raksha sambil menyeru.Asoka dan Gardapati pun berhenti ragu. Asoka yang pertama kali melesat ke punggung Raksha lalu mencakar sebagian punggung Raksha dengan tinju cakarnya yang sengaja dia tidak buat terlalu mematikan agar tuannya bisa menahannya.Raksha bisa merasakan guratan yang tajam di sepanjang pinggangnya hingga darahnya sempat menyembur perlahan, tetapi dia masih bisa menahannya karena dia tahu Asoka menahan diri. Sepersekian detik setelah itu, Gardapati datang menerjan
“Semuanya! Ikuti aku!”Usai Sena menyimpan tongkat emasnya di balik punggungnya, dia pun langsung mengangkut Wanda yang masih tidak sadarkan diri. Seruannya yang keras membuat perhatian puluhan pendekar dewa angin yang masih kewalahan untuk kembali bangkit untuk melarikan diri. Ardiman yang ikut dibantu bangkit oleh para pendekar dewa angin pun kini sadar akan kehadiran Sena yang baru saja menolongnya untuk menjauh. Dia melihat Rakshasa sedang mengalihkan perhatiannya untuk melawan Raksha.“Suradarma….kau…membantu…kami…?” ujar Ardiman di tengah tubuhnya yang sekarat dan tertatih-tatih.“Sekarang bukan saatnya untuk mencurigaiku dan Raksha, Tuan Ardiman! Kita harus segera melarikan diri!” seru Sena balik.Ardiman tidak bisa membantahnya. Kondisinya dan seluruh pasukannya sudah sekarat dan kalau Rakshasa kembali menyerangnya maka kematian adalah kepastian yang akan menimpa mereka semua. Dia pun akhirnya memilih untuk menghilangkan kecurigaan terhadap Sena dan Raksha, lalu memilih memuta
“Raksha, biar aku yang urus ini.”Raksha berhenti melangkah sejenak ketika Sena memintanya sembari mengacungkan tongkat emasnya ke arah pintu goa yang ada di depannya itu. Hanya dengan satu hantaman, puing-puing batu yang menutup pintu goa itu hancur seketika oleh serangan Sena. Kini Sena dan Raksha bisa melihat sosok Rakshasas yang mengaung layaknya harimau raksasa yang hendak menerkam mangsanya, yakni Ardiman, Wanda, dan puluhan Pendekar Dewa Angin lainnya.“Astaga…baru pertama kali kulihat monster sebesar ini…” Sena mengencangkan pegangan tongkat emasnya sambil bersiaga penuh.“Monster itu masih mengincar Adriman. Kita punya kesempatan untuk menyerangnya dari belakang.” ujar Raksha sambil membuat telapak tangan kanannya memancarkan cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sehingga membentuk pisau keris. Telapak tangan kirinya yang sudah menggenggam erat pisau kujang emas membuat dia semakin sigap dengan kemampuan silatnya.Namun Raksha tahu kalau Rakshasas bukanlah siluman biasa yang mud
“Wanda…bersiaplah. Akan kita serang mereka lagi sekaligus dengan jurus angin sakti!”Seruan keras Ardiman membuat Wanda langsung bersiaga sembari memasang kuda-kuda tegak. Dia melihat pusaka syal hijau pamannya kini memancarkan cahaya hijau sehingga angin tornado berputar kencang mengitari tubuh mereka dan pasukannya.Tepat setelah Ardiman mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lima pengawal arwah elit yang sebelumnya menyerangnya, dia kini ikut mengarahkan telapak tangan kanannya. Angin kencang yang kini terkumpul di pusaka syal hijau Ardiman menguat, bersamaan dengan puluhan pendekar dewa angin yang baru saja menyembuhkan lukanya lalu ikut berkonsentrasi sehingga angin tornado Ardiman berputar semakin kencang.“Lima prajurit arwah itu tidak menyerang, paman! Ini kesempatan kita!” seru Wanda semangat.“Ya, kita-“Ardiman tiba-tiba berhenti menyeru ketika tanah yang dia, Wanda, dan puluhan prajuritnya pijak berguncang keras, sampai-sampai mereka hampir kehilangan keseimbangan dan
“Pendekar Kanuragan Wiratama harusnya mampus!”Wanda berulang kali menyerukan hal itu dengan keki. Walau Birawa, Pendekar Kanuragan Wiratama yang dia dan keluarganya buru untuk keamanan Nusantara kini sudah mati, dia masih tidak terima kalau yang mengalahkan Birawa ternyata adalah Raksha dan Sena, dua Pendekar Kanuragan Wiratama yang kini paling hebat diantara pendekar kanuragan lainnya.Tidak hanya Keluarga Jaganita, Wanda ingat kalau keluarga lainnya dari Nismara, Mahadri, Pancaka, dan Bhagawanta pun belum menyerah untuk mengerdilkan Pendekar Kanuragan Wiratama sebelum mereka bergabung untuk ikut dalam kompetisi Turnamen Sembilan Bintang Langit.“…sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk memenjarakan mereka di Udayana, nak.”Ardiman tiba-tiba menanggapi Wanda, yang merupakan keponakannya.“Ya, paman! Mereka masih membawa bahaya di Udayana nanti, apalagi saat mereka mengikuti Turnamen Sembilan Bintang Langit!” seru Wanda.“Aku mengerti, nak. Banyak keluarga militer Kanezka yang mulai
“Jangan lambat kalian!”Sena dan Raksha lagi-lagi disentak oleh pendekar dewa angin yang ada di belakang mereka untuk melangkah lebih cepat. Mereka berdua tengah dalam perjalanan ke ujung utara hutan, dimana disana banyak bangunan rumah yang dibuat oleh pendekar dewa angin sebagai tempat mereka beristirahat dan berlatih di Pulau Babar.Raksha mengedarkan pandangannya sekilas. Dia melihat ada dua puluh lebih bangunan rumah yang jaraknya antar tumah sekitar 50 kaki tersebar di ujung hutan ini. Tidak banyak pohon yang tersebar di ujung hutan ini sehingga Raksha bisa merasakan kalau pendekar dewa angin yang ada disini lebih bebas untuk beraktivitas di tempat ini.Raksha yang awalnya mengira dia dan Sena akan dibawa ke salah satu rumah tersebut ternyata salah. Para pendekar dewa angin menyuruh mereka masuk ke salah satu goa yang ada sekitar 60 kaki di arah selatan tempat perumahan tersebut. Ketika Raksha melihat goa yang sempit itu dan jeruji di pintu goanya, dia baru sadar kalau para pen
“Yang Mulia, ternyata benar, pasukan Kanezka tengah mendatangi goa ini dengan persenjataan lengkap.”Bisikan Sakuntala yang terdengar hanya di dalam hati Raksha kala itu sempat membuat Raksha berhenti mengubur mayat terakhir di Goa. Dia melirik Sena sekelabat, setelah dia memastikan kalau Sena masih sibuk mengubur, dia kembali fokus ke Sakuntala.“Berapa kekuatan?” tanya Raksha berbisik.“Tidak banyak, Yang Mulia. Sekitar 30 kekuatan. Mereka semua mengenakan seragam pendekar silat Udayana berwarna hijau.” jawab Sakuntala.“….berarti mereka dari Padepokan Kanuragan Wayu. Kenapa mereka ada di pulau ini?”“Saya tidak tahu pasti, Yang Mulia. Tetapi saya bisa merasakan hawa membunuh dari mereka. Harap berhati-hati, Yang Mulia Raksha.”Raksha diam sejenak lalu berpikir. Dia tahu kalau Padepokan Dewa Angin dan Padepokan Dewa Air seringkali berkoalisi dan bertukar ilmu ajian sakti sehingga dia tidak heran melihat Wanda Jagadita dan Taksa Nismara bisa menguasai jurus pengendalian air dan angin