“Selamat, Sena! Kau berhasil mendapatkan pusaka sucimu yang pertama!”
Nandina memeluk Sena sembari menepuk-nepuk pundak Sena. Senyumnya tersungging lebar karena ikut bangga dengan pencapaian muridnya itu. Tongkat baja yang merupakan pusaka suci muridnya itu disimpan terikat di belakang punggung muridnya.
Sena yang masih tampak kikuk dan senang bersamaan itu buru-buru menunduk hormat ketika Nandina melepas pelukannya. “Sa-saya berhasil mendapatkan ini karena ajaran guru…”
“Oh, jangan merendah, Sena. Pendekar Dewa Matahari pada umumnya butuh waktu bertahun-tahun untuk memperoleh pusaka sucinya. Tapi kau berbeda! Aku tahu semenjak aku pertama kali melihatmu kau adalah pendekar yang disayang dan dilindungi oleh para dewa!” Nandina masih bersemangat memuji Sena.
Nandina menatapi tongkat baja Sena lebih cermat. Dia baru sadar kalau pusaka suci itu adalah warisan dari Pendekar Dewa Matahari legendaris yang sudah meningg
Padang rumput di tengah malam kala itu hanya dipenuhi dengan kesunyian dan terang bulan purnama. Tidak ada siapapun disana kecuali Raksha yang tengah bertapa. Aura ungu Kanuragan Ozora di sepanjang lengan kirinya tengah membara, menandakan kalau Raksha sedang berkonsentrasi penuh menguatkan Kanuragan Ozora dalam tubuhnya.Beberapa saat berlalu, Raksha pun membuka matanya. Dia mengangkat lengan kanannya tinggi ke arah langit malam.“Bangkitlah, prajurit arwah.”Seruan pelan tetapi membahana itu langsung menimbulkan ratusan kobaran api ungu yang mewujudkan ratusan prajurit arwah, siluman harimau, dan siluman srigala yang tunduk pada dirinya. Prajurit arwah elit Asoka, Suja, Gardapati, dan Sakuntala berbaris rapi sekitar 20 kaki di hadapan Raksha lalu tunduk patuh kepada tuannya.Raksha bisa merasakan Kanuragan Ozora yang menggebu dalam tubuhnya. Dia paham kekuatannya bertambah karena malam ini adalah malam bulan purnama yang merupakan malam dima
“Hmm…”Sena belum berhenti mengernyitkan dahinya ketika melihat ratusan Pendekar Pedang Cahaya dan Pendekar Tubuh Baja tengah berbaris rapat di lapangan padepokan Udayana. Di belakang mereka ada puluhan Pendekar Dewa Api, Pendekar Dewi Bumi, Pendekar Dewa Angin, dan Pendekar Dewa Air yang ikut berbaris juga. Mereka semua sedang menghadap ke panggung, dimana Gesang, Baswara, Wanda, Taksa, Panji, Anjali, dan Saguna tengah berbaris rapi. Sena dengar kalau pasukan utama dari Kerajaan Kanezka yang akan memimpin misi di Goa Zanitha adalah Gesang, ayahanda dari Baswara dan juga kepala keluarga Pancaka.“Kita tidak terlambat?” celetuk Raksha melihat Gesang sudah berkoar-koar menyemangati pasukannya.“Entahlah, aku sudah tidak heran kalau mereka memulai bahkan sebelum kita tiba disini. Padahal mereka tidak memberitahu kalau kita harus datang pagi.” balas Sena pesimis. Dia tahu kalau Pendekar Dewa Matahari sedang diremehkan lagi
“Apa maksudmu kalau tidak boleh ada Pendekar Dewa Api yang boleh ikut selain aku, Tuan Gesang?!”Seruan Saguna terdengar keras tepat di hadapan Gesang dan pasukannya. Dia masih tidak terima kalau pasukannya ternyata tidak diperkenankan ikut dalam misi ke Goa Zanitha.Baswara yang melihat Saguna menyentak ayahnya seperti itu mendadak murka tidak terima. Namun Gesang menahan anaknya untuk tidak gegabah. Dia tahu ada rencana yang lebih besar dari sekedar seruan Saguna yang remeh ini.“Pikirlah dengan kepala dingin, Saguna. Goa Zanitha ini berbeda dengan Kota Madharsa yang sudah kita kuasai. Goa ini kecil dan kita tidak perlu banyak prajurit untuk mengepungnya.” Gesang menenangkan sembari menunjuk ke ratusan prajuritnya yang kini mengepung area luar Goa Zanitha. Pasukannya hanya terdiri dari Pendekar Pedang Cahaya dan Pendekar Tubuh Baja yang terpilih.Raksha memandang sekitar, setelah dia hitung cepat, memang benar kalau jumlah prajur
“Beri jalan, dungu! Satu saja kesalahan kalian maka nyawa kita yang jadi harganya!”Di luar Goa Zanitha, Gesang menyentak keras tiap prajuritnya untuk memberikan jalan pada seorang prajurit yang seluruh tubuhnya diselimuti mantel panjang bertudung. Prajurit itu berjalan agak merunduk dengan langkah yang kaku. Sang prajurit sedang mengangkut kendi besar, ukurannya melebihi dua kali tubuhnya, yang dia ikat kencang di punggungnya. Di kendi itu terdapat satu sumbu kecil yang apabila dinyalakan maka akan meledakkan isi dalam kendi itu.Para pendekar pedang suci dan tubuh baja yang tahu betapa berbahayanya isi dalam guci itu pun langsung memberikan jalan dan mundur lebih jauh untuk memastikan keselamatan mereka masing-masing. Mereka tahu kalau sang prajurit yang membawa kendi itu adalah boneka suci Atma pemberian keluarga bangsawan elit Narapati.“Ck…membunuh dengan racun…benar-benar tidak jantan…” celetuk Anjali dari kejau
“DARAH DIBALAS DARAH. MATA DIBALAS MATA. KATAKANLAH, PETUALANG. APA KAU SIAP MENGORBANKAN SEMUANYA DALAM RITUAL SUCI INI?”Suara wanita yang berat menggaung tiba-tiba di tengah Goa kala itu langsung membuat Raksha, Sena, dan Saguna bersiaga. Mereka saling memunggungi sambil mengedarkan pandangannya, bersiaga untuk mengantisipasi serangan yang datang.“Apa itu suara Nona Isvara?” tanya Sena penasaran seraya menarik tongkat bajanya. Cahaya biru kehijauan Kanuragan Wiratama yang memancar terang dari telapak tangan kanannya kini menyelimuti tongkat bajanya sehingga berubah wujud menjadi tongkat emas.“Aku tidak tahu pasti. Tapi dari hawa membunuh yang mencekik ini, siapapun orangnya, dia adalah musuh!” tegas Saguna seraya merapatkan kedua tinjunya. Cahaya merah Kanuragan Agni di tubuhnya memancar terang hingga membentuk kobaran api yang menyelimuti tubuhnya.‘Ini suara Nona Isvara Mavendra….’ ujar Raksha
“Nona Isvara…jangan khawatir. Aku bukan musuh.”Raksha berbisik, berharap pesan penting itu tersampaikan ke Isvara. Dia tahu kalau Isvara bisa mendengar apapun melalui prajurit arwah elitnya itu.“…ini berbeda. Kau bukan Jayendra. Ternyata berita tentang kematian kakakku itu benar adanya.” suara Isvara terdengar sendu dan pelan.“Nona Isvara, tolong berikan aku kesempatan. Aku adalah Raksha, murid Jayendra. Aku bersumpah dengan kekuatanku sebagai Pendekar Dunia Arwah akan melindungi semua Mavendra!”“Kau berkomplot dengan Kanezka? Pantas saja Diendra kebingungan ketika melawanmu.”“Ini hanya penyamaranku, Nona Isvara! Aku memiliki rencanaku sendiri untuk menghancurkan Kanezka dari dalam! Kumohon, percayalah padaku!”“Kau tidak tahu apa yang kau hadapi, Raksha. Kanezka di luar sana sudah bersiap untuk menghancurkanmu dan semua yang ada di Goa Zanitha.”
“Serangan jarak jauh….hanya itu pilihanku…”Saguna bergumam sembari meredakan rasa tegang yang melanda hatinya. Dia tahu Sena dan Raksha harus tetap konsentrasi dan kalau dia melakukan serangan dekat, tidak ada yang melindungi mereka.Saguna terperanjat kaget ketika dia melihat ketiga prajurit itu tiba-tiba menghentikan langkahnya sekitar 20 kaki darinya. Instingnya menajam ketika dia sadar ada kilatan petir dan aura merah Kanuragan Yudha yang menyelimuti bilah golok hitam mereka masing-masing. Mereka semua hendak melontarkan medan energi penghancur ke arahnya, Raksha, dan Sena.Buru-buru Saguna menghirup napas panjang melalui mulut dan hidungnya. Cahaya jingga Kanuragan Agni yang semula memancar di tubuhnya kini terkonsentrasi di perutnya. Dia memfokuskan diri lebih kuat sehingga aliran napas dan kanuragan Agni di perutnya itu semakin kuat, lalu dia hembuskan semua itu dari mulutnya hingga menjadi semburan api yang dahsyat bagai ombak
Sesak.Rasanya ada batu besar yang menimpa dada Raksha sehingga napasnya terengah-engah. Raksha memaksakan diri bangun walau rasanya membuka matanya pun begitu berat dan menyakitkan. Semua sendi otot-ototnya terasa perih ketika dia mencoba bergerak. Kanuragan Ozora yang ada di dalam tubuhnya pun tidak bisa membantunya. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang asing dalam tubuhnya yang mengganggu aliran kanuragan Ozora itu.“Uegh…!”Raksha memuntahkan darah karena terlalu memaksakan diri. Wajahnya yang pucat dan tubuhnya yang merinding dingin membuat dia kesulitan konsentrasi. Setelah menunggu beberapa saat untuk mengatur napasnya, dia bisa melihat sekelilingnya.Raksha kala itu berada di ruangan yang luas, entah dimana, tetapi dia tidak melihat tembok yang menjadi pembatas di ruangan itu. Lantai batu yang dia pijak dan yang dia lihat sejauh mata memandang berwarna putih. Satu-satunya sumber cahaya yang ada di ruangan itu adalah bara api ungu yang melayang di langit-langit ruangan misterius
“Ah, ini tidak adil!”Sena menendang kursi yang ada di ruang jeruji depannya. Emosinya yang masih meletup-letup memaksa dia untuk duduk di salah satu ranjang jeruji sambil memijat-mijat dahinya yang mendadak terasa pusing. Niatannya untuk segera istirahat di Padepokan Kanuragan Wiratama pupus sudah karena keluarga Mahadri memaksa Raksha dan Sena masuk ke dalam penjara karena masih diduga mencuri pusaka suci milik Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara.“Padahal baru saja kita bebas dari penjara Keluarga Jagadita, sekarang Keluarga Mahadri malah memenjarakan kita lagi?! Ada apa dengan kebebalan mereka?! Mereka bahkan bilang kalau kita bisa bebas kalau kita bisa mengembalikan pusaka suci Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara?! Apa mereka itu dungu?! Sudah kubilang berkali-kali kalau kita berdua ini bukan pencuri!” Sena masih meluapkan amarahnya sambil mengepal kedua tinjunya keras. Cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sempat memancar terang untuk membentuk tombak perak yang akan dia guna
“Ah, akhirnya kita sampai, Raksha!”Sena buru-buru beranjak sambil menatap pelabuhan Kota Udayana yang semakin dekat dari perahunya. Dari terpaan angin kencang dan air yang tidak berombak, dia tahu kalau perahu yang tengah dia tumpangi itu akan membawa dirinya dan Raksha beberapa menit lagi.Raksha yang melihat ke arah yang sama awalnya menghela napas lega karena dia pun ingin istirahat sejenak. Namun kecurigaan tiba-tiba datang menyelimuti pikirannya ketika dia melihat seorang pria jangkung bertubuh gemuk yang mengenakan seragam katun berwarna ungu dengan rompi dan ikat pinggang berwarna kuning tengah duduk di ujung pelabuhan Udayana. Pria itu adalah Panji Mahadri, salah satu pendekar Dewi Pertiwi yang dulu pernah hampir membunuhnya karena kebenciannya terhadap pendekar Kanuragan Wiratama.Raksha semakin waspada ketika melihat ada dua pria paruh baya yang mengenakan pakaian seragam katun ungu yang sama seperti Panji tengah berdiri tegak di sebelah Panji. Kedua pria paruh baya itu ber
“Kami harus menghajar anda, Yang Mulia?”Asoka dan Gardapati masih kebingungan dengan perintah Raksha. Mereka berdua bahkan kaget ketika melihat Raksha memanggil Suja dari balik bayangannya.“Suja, kau pukul perutku. Asoka kau cabik punggungku. Gardapati kau gigit pundakku.” Perintah Raksha sembari menunjuk ke arah perut, punggung, dan pundaknya.“Apa Yang Mulia yakin dengan ini?” tanya Suja sama bingungnya.“Aku hanya ingin memastikan Sena percaya dengan ceritaku tadi. Cepat lakukan sebelum terlambat!” tegas Raksha sambil menyeru.Asoka dan Gardapati pun berhenti ragu. Asoka yang pertama kali melesat ke punggung Raksha lalu mencakar sebagian punggung Raksha dengan tinju cakarnya yang sengaja dia tidak buat terlalu mematikan agar tuannya bisa menahannya.Raksha bisa merasakan guratan yang tajam di sepanjang pinggangnya hingga darahnya sempat menyembur perlahan, tetapi dia masih bisa menahannya karena dia tahu Asoka menahan diri. Sepersekian detik setelah itu, Gardapati datang menerjan
“Semuanya! Ikuti aku!”Usai Sena menyimpan tongkat emasnya di balik punggungnya, dia pun langsung mengangkut Wanda yang masih tidak sadarkan diri. Seruannya yang keras membuat perhatian puluhan pendekar dewa angin yang masih kewalahan untuk kembali bangkit untuk melarikan diri. Ardiman yang ikut dibantu bangkit oleh para pendekar dewa angin pun kini sadar akan kehadiran Sena yang baru saja menolongnya untuk menjauh. Dia melihat Rakshasa sedang mengalihkan perhatiannya untuk melawan Raksha.“Suradarma….kau…membantu…kami…?” ujar Ardiman di tengah tubuhnya yang sekarat dan tertatih-tatih.“Sekarang bukan saatnya untuk mencurigaiku dan Raksha, Tuan Ardiman! Kita harus segera melarikan diri!” seru Sena balik.Ardiman tidak bisa membantahnya. Kondisinya dan seluruh pasukannya sudah sekarat dan kalau Rakshasa kembali menyerangnya maka kematian adalah kepastian yang akan menimpa mereka semua. Dia pun akhirnya memilih untuk menghilangkan kecurigaan terhadap Sena dan Raksha, lalu memilih memuta
“Raksha, biar aku yang urus ini.”Raksha berhenti melangkah sejenak ketika Sena memintanya sembari mengacungkan tongkat emasnya ke arah pintu goa yang ada di depannya itu. Hanya dengan satu hantaman, puing-puing batu yang menutup pintu goa itu hancur seketika oleh serangan Sena. Kini Sena dan Raksha bisa melihat sosok Rakshasas yang mengaung layaknya harimau raksasa yang hendak menerkam mangsanya, yakni Ardiman, Wanda, dan puluhan Pendekar Dewa Angin lainnya.“Astaga…baru pertama kali kulihat monster sebesar ini…” Sena mengencangkan pegangan tongkat emasnya sambil bersiaga penuh.“Monster itu masih mengincar Adriman. Kita punya kesempatan untuk menyerangnya dari belakang.” ujar Raksha sambil membuat telapak tangan kanannya memancarkan cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sehingga membentuk pisau keris. Telapak tangan kirinya yang sudah menggenggam erat pisau kujang emas membuat dia semakin sigap dengan kemampuan silatnya.Namun Raksha tahu kalau Rakshasas bukanlah siluman biasa yang mud
“Wanda…bersiaplah. Akan kita serang mereka lagi sekaligus dengan jurus angin sakti!”Seruan keras Ardiman membuat Wanda langsung bersiaga sembari memasang kuda-kuda tegak. Dia melihat pusaka syal hijau pamannya kini memancarkan cahaya hijau sehingga angin tornado berputar kencang mengitari tubuh mereka dan pasukannya.Tepat setelah Ardiman mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lima pengawal arwah elit yang sebelumnya menyerangnya, dia kini ikut mengarahkan telapak tangan kanannya. Angin kencang yang kini terkumpul di pusaka syal hijau Ardiman menguat, bersamaan dengan puluhan pendekar dewa angin yang baru saja menyembuhkan lukanya lalu ikut berkonsentrasi sehingga angin tornado Ardiman berputar semakin kencang.“Lima prajurit arwah itu tidak menyerang, paman! Ini kesempatan kita!” seru Wanda semangat.“Ya, kita-“Ardiman tiba-tiba berhenti menyeru ketika tanah yang dia, Wanda, dan puluhan prajuritnya pijak berguncang keras, sampai-sampai mereka hampir kehilangan keseimbangan dan
“Pendekar Kanuragan Wiratama harusnya mampus!”Wanda berulang kali menyerukan hal itu dengan keki. Walau Birawa, Pendekar Kanuragan Wiratama yang dia dan keluarganya buru untuk keamanan Nusantara kini sudah mati, dia masih tidak terima kalau yang mengalahkan Birawa ternyata adalah Raksha dan Sena, dua Pendekar Kanuragan Wiratama yang kini paling hebat diantara pendekar kanuragan lainnya.Tidak hanya Keluarga Jaganita, Wanda ingat kalau keluarga lainnya dari Nismara, Mahadri, Pancaka, dan Bhagawanta pun belum menyerah untuk mengerdilkan Pendekar Kanuragan Wiratama sebelum mereka bergabung untuk ikut dalam kompetisi Turnamen Sembilan Bintang Langit.“…sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk memenjarakan mereka di Udayana, nak.”Ardiman tiba-tiba menanggapi Wanda, yang merupakan keponakannya.“Ya, paman! Mereka masih membawa bahaya di Udayana nanti, apalagi saat mereka mengikuti Turnamen Sembilan Bintang Langit!” seru Wanda.“Aku mengerti, nak. Banyak keluarga militer Kanezka yang mulai
“Jangan lambat kalian!”Sena dan Raksha lagi-lagi disentak oleh pendekar dewa angin yang ada di belakang mereka untuk melangkah lebih cepat. Mereka berdua tengah dalam perjalanan ke ujung utara hutan, dimana disana banyak bangunan rumah yang dibuat oleh pendekar dewa angin sebagai tempat mereka beristirahat dan berlatih di Pulau Babar.Raksha mengedarkan pandangannya sekilas. Dia melihat ada dua puluh lebih bangunan rumah yang jaraknya antar tumah sekitar 50 kaki tersebar di ujung hutan ini. Tidak banyak pohon yang tersebar di ujung hutan ini sehingga Raksha bisa merasakan kalau pendekar dewa angin yang ada disini lebih bebas untuk beraktivitas di tempat ini.Raksha yang awalnya mengira dia dan Sena akan dibawa ke salah satu rumah tersebut ternyata salah. Para pendekar dewa angin menyuruh mereka masuk ke salah satu goa yang ada sekitar 60 kaki di arah selatan tempat perumahan tersebut. Ketika Raksha melihat goa yang sempit itu dan jeruji di pintu goanya, dia baru sadar kalau para pen
“Yang Mulia, ternyata benar, pasukan Kanezka tengah mendatangi goa ini dengan persenjataan lengkap.”Bisikan Sakuntala yang terdengar hanya di dalam hati Raksha kala itu sempat membuat Raksha berhenti mengubur mayat terakhir di Goa. Dia melirik Sena sekelabat, setelah dia memastikan kalau Sena masih sibuk mengubur, dia kembali fokus ke Sakuntala.“Berapa kekuatan?” tanya Raksha berbisik.“Tidak banyak, Yang Mulia. Sekitar 30 kekuatan. Mereka semua mengenakan seragam pendekar silat Udayana berwarna hijau.” jawab Sakuntala.“….berarti mereka dari Padepokan Kanuragan Wayu. Kenapa mereka ada di pulau ini?”“Saya tidak tahu pasti, Yang Mulia. Tetapi saya bisa merasakan hawa membunuh dari mereka. Harap berhati-hati, Yang Mulia Raksha.”Raksha diam sejenak lalu berpikir. Dia tahu kalau Padepokan Dewa Angin dan Padepokan Dewa Air seringkali berkoalisi dan bertukar ilmu ajian sakti sehingga dia tidak heran melihat Wanda Jagadita dan Taksa Nismara bisa menguasai jurus pengendalian air dan angin