“Serangan jarak jauh….hanya itu pilihanku…”
Saguna bergumam sembari meredakan rasa tegang yang melanda hatinya. Dia tahu Sena dan Raksha harus tetap konsentrasi dan kalau dia melakukan serangan dekat, tidak ada yang melindungi mereka.
Saguna terperanjat kaget ketika dia melihat ketiga prajurit itu tiba-tiba menghentikan langkahnya sekitar 20 kaki darinya. Instingnya menajam ketika dia sadar ada kilatan petir dan aura merah Kanuragan Yudha yang menyelimuti bilah golok hitam mereka masing-masing. Mereka semua hendak melontarkan medan energi penghancur ke arahnya, Raksha, dan Sena.
Buru-buru Saguna menghirup napas panjang melalui mulut dan hidungnya. Cahaya jingga Kanuragan Agni yang semula memancar di tubuhnya kini terkonsentrasi di perutnya. Dia memfokuskan diri lebih kuat sehingga aliran napas dan kanuragan Agni di perutnya itu semakin kuat, lalu dia hembuskan semua itu dari mulutnya hingga menjadi semburan api yang dahsyat bagai ombak
Sesak.Rasanya ada batu besar yang menimpa dada Raksha sehingga napasnya terengah-engah. Raksha memaksakan diri bangun walau rasanya membuka matanya pun begitu berat dan menyakitkan. Semua sendi otot-ototnya terasa perih ketika dia mencoba bergerak. Kanuragan Ozora yang ada di dalam tubuhnya pun tidak bisa membantunya. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang asing dalam tubuhnya yang mengganggu aliran kanuragan Ozora itu.“Uegh…!”Raksha memuntahkan darah karena terlalu memaksakan diri. Wajahnya yang pucat dan tubuhnya yang merinding dingin membuat dia kesulitan konsentrasi. Setelah menunggu beberapa saat untuk mengatur napasnya, dia bisa melihat sekelilingnya.Raksha kala itu berada di ruangan yang luas, entah dimana, tetapi dia tidak melihat tembok yang menjadi pembatas di ruangan itu. Lantai batu yang dia pijak dan yang dia lihat sejauh mata memandang berwarna putih. Satu-satunya sumber cahaya yang ada di ruangan itu adalah bara api ungu yang melayang di langit-langit ruangan misterius
“Kenapa harus berseteru, Nona Isvara? Bukankah sudah saya bilang kalau saya akan melindungi anda?”Pertanyaan Raksha tidak membuat Isvara menghentikan hawa membunuhnya yang menyeruak dari aura Kanuragan Ozora di tubuhnya. Dari tatapannya yang menajam, Raksha tahu kalau Isvara sudah siap untuk bertarung.“Konflik Pendekar Dunia Arwah dengan Kerajaan Kanezka tidaklah sesederhana yang kau bayangkan, Raksha. Hanya dengan membuatku bertahan hidup bukan berarti kau telah selangkah lebih maju dari Kanezka yang zalim.” tepis Isvara tenang.Raksha duduk bersimpuh, berharap hal itu bisa melunakkan hati Isvara. “S-saya tahu kalau sekedar menyelamatkan anda belum tentu bisa membuat Kanezka takluk, tetapi bukan berarti saya harus meninggalkan anda, nona! Saya telah berjanji pada Guru Jayendra untuk menyelamatkan Mavendra dan Pendekar Dunia Arwah! Ini adalah bentuk amanah yang harus saya lakukan apapun taruhannya, nona!” lanjutnya memohon.“….memohon atas kehidupan Pendekar Dunia Arwah bukanlah jal
“Bersiaplah, Raksha!” Raksha mengepal kedua tinjunya. Hawa membunuh Isvara yang membeludak rasanya membuat udara terasa tipis dan dada sesak. Namun dia sudah meneguhkan hati untuk tidak mundur. Sontak aura ungu Kanuragan Ozora di tubuh Isvara menyeruak hebat. Dalam satu kedipan mata, dia melesat sambil melayangkan tinjunya ke arah Raksha. Suja dan Asoka sudah antisipasi tinju cepat Isvara. Namun baru saja mereka hendak membentengi tuannya, sosok bayangan besar menaungi mereka. Sekilas mereka mengerling, pedang hitam Diendra yang dipenuhi kilatan petir merah Kanuragan Yudha menghantam mereka berdua bersamaan sehingga keduanya terpental jauh. Gardapati yang sadar akan kedatangan Diendra dengan cepat menerkam leher musuhnya itu sehingga Diendra tertunduk sambil menahan perih akan taring siluman srigala yang kian menusuk. Diendra memberontak sehingga dia menjauhi dari Raksha. Raksha segera menangkis tinju kuat Isvara yang hampir mematahkan hidungnya. Instingnya langsung menyeru ketika
“Bangkitlah, Yaksha! Biar kutunjukkan kekuatan sejati Yaksha di tangan dingin Rajendra!”Aura merah kehitaman Kanuragan Yudha yang menyelimuti tubuh Raksha kini menyeruak lalu membeludak. Kedua matanya yang semula terpejam kembali terbelalak. Warna merah yang kini timbul di matanya menunjukkan kalau Aryasatya telah mengendalikan jiwa Raksha sepenuhnya. Kedua tanduk tumbuh di kepalanya, begitu juga dengan giginya yang meruncing. Raksha bangun dengan tatapan membunuh yang luar biasa besar tertuju pada Isvara.“Mavendra….” Raksha mengatakan itu seperti anjing liar karena tubuhnya kini dikuasai Aryasatya.“Aryasatya Rajendra, kau sudah kalah oleh Raksha. Kenapa kau masih mengganggunya?” balas Isvara santai.“…berisik! Aku tidak kalah! Aku tidak pernah kalah! Rajendra tidak pernah kalah! Kalian Mavendra hanyalah kumpulan pendekar naif yang membuat nasib Pendekar Dunia Arwah menderita di Nusantara!”“Kalau kau memang peduli dengan nasib Pendekar Dunia Arwah, seharusnya kau percayakan kekuat
“Aahhh….!”Raksha membuka matanya dengan napas yang tersengal. Matanya yang tengah melotot itu menampakkan dirinya dalam dunianya yang gelap di sekitarnya.Lambat laun, kegelapan yang semula menaungi perlahan meredup, menampilkan ruang tahta yang angker dan tidak terawat. Raksha kala itu melihat karpet merah digelar hingga ujung ruang tahta, dimana disana terlihat seseorang tengah duduk di kursi tahta tersebut. Orang itu adalah Aryasatya.Aryasatya tengah duduk angkuh sembari menatap tajam Raksha. DI sebelahnya, terdapat anjing hitam bermata merah yang ukurannya hampir melebihi tiga kali manusia dewasa tengah di rantai. Anjing itu menggonggong keras seraya menunjukkan taringnya yang tajam ke arah Raksha. Kalau rantai itu tidak menahannya, anjing liar itu mungkin sudah berlari lalu menerjang Raksha.“Kau memilih membangkang ternyata, Raksha Mavendra….” Aryasatya memulai pembicaraan dengan nada dingin. Tangan kirinya yang berwarna hitam legam itu mengetuk-ngetuk kursi tahtanya karena se
“Gahhh….!”Raksha bangun sambil memegangi pundak kirinya. Lubang luka yang sebelumnya ada itu kini kembali tertutup. Sebagian garis hitam yang terpatri di sepanjang pundak dan lengan kiri Raksha masih terlihat, tetapi tidak setebal dan sebanyak sebelumnya.Tidak ada rasa sakit atau rasa perih yang Raksha rasakan. Dia hanya kaget karena mimpinya yang bertemu dengan Aryasatya itu begitu nyata di benaknya.“Ternyata kau berhasil menguasainya, Raksha.”Kata-kata Isvara membangunkan kesadaran Raksha. Adik kandung gurunya itu tengah menatapinya dingin. Diendra sang ksatria berpedang hitam berdiri siaga di sebelah Isvara, begitu juga dengan sepuluh pendekar Yaksha yang berada di belakang Isvara.“Apa yang anda lakukan terhadap saya, Nona Isvara…?” tanya Raksha masih memasang kesiagaannya. Suja, Asoka, dan Gardapati yang menghela napas lega akan kebangkitan tuannya pun langsung memasang posisi di dekat Raksha.“Aku hanya menunjukkan jalan. Syukurlah kalau kau menapakinya dengan benar.” Raks
“SENA!”Raksha memperkencang larinya sambil menyeru panik. Namun dia tidak menyangka kalau Isvara jauh lebih cepat darinya.Isvara mengerling, menatap Raksha yang berlari kepayahan di belakangnya, tetapi dia tahu kalau musuhnya itu tidak mungkin mengunggulinya. Sepersekian detik ketika Isvara mengepal tinju kirinya, kilatan petir merah menyalak liar.“Kau kalah, Raksha! Kematian kekasihmu itu adalah bukti kalau kau masih lemah!” Isvara menyeru sembari mengarahkan tinju kirinya ke arah Sena dan Saguna yang masih merintih perih menahan efek gas beracun yang tengah merongrong tubuh mereka. Hanya dalam satu kedipan mata, kilatan petir merah Isvara melesat cepat meghancurkan lantai permukaan di sekitarnya untuk melahap habis Sena dan Saguna.Isvara menatap tajam kedua korbannya, memastikan mereka tewas habis oleh petir merahnya. Namun sontak gempa datang membuat lantai permukaan yang dia pijak terguncang. Dia tidak sadar kalau itu adalah Sakuntala, Sang Siluman Kelabang Raksasa, yang merup
“Nona Isvara…tidak…”Raksha merintih sambil menahan tangisnya. Air matanya tidak terbendung lagi sehingga tumpah menetesi wajah pucat Isvara.Isvara bisa merasakan hangatnya air mata Raksha walau tubuhnya semakin dingin. Napasnya yang lambat laun kian memendek dan darah yang terus menerus keluar dari perut dan dadanya semakin mempercepat ajalnya.“Kenapa…? Kau adalah pemenangnya, Raksha. Jangan sampai….aku basah kuyup begini….karena air matamu….” ujar Isvara lemah.“Sa-saya tidak tahu kalau saya harus turut senang atas kemenangan ini atau tidak, nona….kehilangan guru saya adalah kesedihan yang nyata. Apalagi saya gagal melindungi keluarga guru….”“Dasar bodoh….” Isvara mengangkat telapak tangan kanannya yang sakitnya bukan main lalu menempelkannya itu di wajah Raksha hanya untuk mengusap air mata di pipi Raksha. Namun darah Isvara malah berlumuran memenuhi pipi Raksha sekarang.“Bagi Mavendra….nyawa ini tidaklah penting… Kita sebagai pendekar Dunia Arwah….akan tetap hidup di dua alam
“Ah, ini tidak adil!”Sena menendang kursi yang ada di ruang jeruji depannya. Emosinya yang masih meletup-letup memaksa dia untuk duduk di salah satu ranjang jeruji sambil memijat-mijat dahinya yang mendadak terasa pusing. Niatannya untuk segera istirahat di Padepokan Kanuragan Wiratama pupus sudah karena keluarga Mahadri memaksa Raksha dan Sena masuk ke dalam penjara karena masih diduga mencuri pusaka suci milik Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara.“Padahal baru saja kita bebas dari penjara Keluarga Jagadita, sekarang Keluarga Mahadri malah memenjarakan kita lagi?! Ada apa dengan kebebalan mereka?! Mereka bahkan bilang kalau kita bisa bebas kalau kita bisa mengembalikan pusaka suci Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara?! Apa mereka itu dungu?! Sudah kubilang berkali-kali kalau kita berdua ini bukan pencuri!” Sena masih meluapkan amarahnya sambil mengepal kedua tinjunya keras. Cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sempat memancar terang untuk membentuk tombak perak yang akan dia guna
“Ah, akhirnya kita sampai, Raksha!”Sena buru-buru beranjak sambil menatap pelabuhan Kota Udayana yang semakin dekat dari perahunya. Dari terpaan angin kencang dan air yang tidak berombak, dia tahu kalau perahu yang tengah dia tumpangi itu akan membawa dirinya dan Raksha beberapa menit lagi.Raksha yang melihat ke arah yang sama awalnya menghela napas lega karena dia pun ingin istirahat sejenak. Namun kecurigaan tiba-tiba datang menyelimuti pikirannya ketika dia melihat seorang pria jangkung bertubuh gemuk yang mengenakan seragam katun berwarna ungu dengan rompi dan ikat pinggang berwarna kuning tengah duduk di ujung pelabuhan Udayana. Pria itu adalah Panji Mahadri, salah satu pendekar Dewi Pertiwi yang dulu pernah hampir membunuhnya karena kebenciannya terhadap pendekar Kanuragan Wiratama.Raksha semakin waspada ketika melihat ada dua pria paruh baya yang mengenakan pakaian seragam katun ungu yang sama seperti Panji tengah berdiri tegak di sebelah Panji. Kedua pria paruh baya itu ber
“Kami harus menghajar anda, Yang Mulia?”Asoka dan Gardapati masih kebingungan dengan perintah Raksha. Mereka berdua bahkan kaget ketika melihat Raksha memanggil Suja dari balik bayangannya.“Suja, kau pukul perutku. Asoka kau cabik punggungku. Gardapati kau gigit pundakku.” Perintah Raksha sembari menunjuk ke arah perut, punggung, dan pundaknya.“Apa Yang Mulia yakin dengan ini?” tanya Suja sama bingungnya.“Aku hanya ingin memastikan Sena percaya dengan ceritaku tadi. Cepat lakukan sebelum terlambat!” tegas Raksha sambil menyeru.Asoka dan Gardapati pun berhenti ragu. Asoka yang pertama kali melesat ke punggung Raksha lalu mencakar sebagian punggung Raksha dengan tinju cakarnya yang sengaja dia tidak buat terlalu mematikan agar tuannya bisa menahannya.Raksha bisa merasakan guratan yang tajam di sepanjang pinggangnya hingga darahnya sempat menyembur perlahan, tetapi dia masih bisa menahannya karena dia tahu Asoka menahan diri. Sepersekian detik setelah itu, Gardapati datang menerjan
“Semuanya! Ikuti aku!”Usai Sena menyimpan tongkat emasnya di balik punggungnya, dia pun langsung mengangkut Wanda yang masih tidak sadarkan diri. Seruannya yang keras membuat perhatian puluhan pendekar dewa angin yang masih kewalahan untuk kembali bangkit untuk melarikan diri. Ardiman yang ikut dibantu bangkit oleh para pendekar dewa angin pun kini sadar akan kehadiran Sena yang baru saja menolongnya untuk menjauh. Dia melihat Rakshasa sedang mengalihkan perhatiannya untuk melawan Raksha.“Suradarma….kau…membantu…kami…?” ujar Ardiman di tengah tubuhnya yang sekarat dan tertatih-tatih.“Sekarang bukan saatnya untuk mencurigaiku dan Raksha, Tuan Ardiman! Kita harus segera melarikan diri!” seru Sena balik.Ardiman tidak bisa membantahnya. Kondisinya dan seluruh pasukannya sudah sekarat dan kalau Rakshasa kembali menyerangnya maka kematian adalah kepastian yang akan menimpa mereka semua. Dia pun akhirnya memilih untuk menghilangkan kecurigaan terhadap Sena dan Raksha, lalu memilih memuta
“Raksha, biar aku yang urus ini.”Raksha berhenti melangkah sejenak ketika Sena memintanya sembari mengacungkan tongkat emasnya ke arah pintu goa yang ada di depannya itu. Hanya dengan satu hantaman, puing-puing batu yang menutup pintu goa itu hancur seketika oleh serangan Sena. Kini Sena dan Raksha bisa melihat sosok Rakshasas yang mengaung layaknya harimau raksasa yang hendak menerkam mangsanya, yakni Ardiman, Wanda, dan puluhan Pendekar Dewa Angin lainnya.“Astaga…baru pertama kali kulihat monster sebesar ini…” Sena mengencangkan pegangan tongkat emasnya sambil bersiaga penuh.“Monster itu masih mengincar Adriman. Kita punya kesempatan untuk menyerangnya dari belakang.” ujar Raksha sambil membuat telapak tangan kanannya memancarkan cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sehingga membentuk pisau keris. Telapak tangan kirinya yang sudah menggenggam erat pisau kujang emas membuat dia semakin sigap dengan kemampuan silatnya.Namun Raksha tahu kalau Rakshasas bukanlah siluman biasa yang mud
“Wanda…bersiaplah. Akan kita serang mereka lagi sekaligus dengan jurus angin sakti!”Seruan keras Ardiman membuat Wanda langsung bersiaga sembari memasang kuda-kuda tegak. Dia melihat pusaka syal hijau pamannya kini memancarkan cahaya hijau sehingga angin tornado berputar kencang mengitari tubuh mereka dan pasukannya.Tepat setelah Ardiman mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lima pengawal arwah elit yang sebelumnya menyerangnya, dia kini ikut mengarahkan telapak tangan kanannya. Angin kencang yang kini terkumpul di pusaka syal hijau Ardiman menguat, bersamaan dengan puluhan pendekar dewa angin yang baru saja menyembuhkan lukanya lalu ikut berkonsentrasi sehingga angin tornado Ardiman berputar semakin kencang.“Lima prajurit arwah itu tidak menyerang, paman! Ini kesempatan kita!” seru Wanda semangat.“Ya, kita-“Ardiman tiba-tiba berhenti menyeru ketika tanah yang dia, Wanda, dan puluhan prajuritnya pijak berguncang keras, sampai-sampai mereka hampir kehilangan keseimbangan dan
“Pendekar Kanuragan Wiratama harusnya mampus!”Wanda berulang kali menyerukan hal itu dengan keki. Walau Birawa, Pendekar Kanuragan Wiratama yang dia dan keluarganya buru untuk keamanan Nusantara kini sudah mati, dia masih tidak terima kalau yang mengalahkan Birawa ternyata adalah Raksha dan Sena, dua Pendekar Kanuragan Wiratama yang kini paling hebat diantara pendekar kanuragan lainnya.Tidak hanya Keluarga Jaganita, Wanda ingat kalau keluarga lainnya dari Nismara, Mahadri, Pancaka, dan Bhagawanta pun belum menyerah untuk mengerdilkan Pendekar Kanuragan Wiratama sebelum mereka bergabung untuk ikut dalam kompetisi Turnamen Sembilan Bintang Langit.“…sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk memenjarakan mereka di Udayana, nak.”Ardiman tiba-tiba menanggapi Wanda, yang merupakan keponakannya.“Ya, paman! Mereka masih membawa bahaya di Udayana nanti, apalagi saat mereka mengikuti Turnamen Sembilan Bintang Langit!” seru Wanda.“Aku mengerti, nak. Banyak keluarga militer Kanezka yang mulai
“Jangan lambat kalian!”Sena dan Raksha lagi-lagi disentak oleh pendekar dewa angin yang ada di belakang mereka untuk melangkah lebih cepat. Mereka berdua tengah dalam perjalanan ke ujung utara hutan, dimana disana banyak bangunan rumah yang dibuat oleh pendekar dewa angin sebagai tempat mereka beristirahat dan berlatih di Pulau Babar.Raksha mengedarkan pandangannya sekilas. Dia melihat ada dua puluh lebih bangunan rumah yang jaraknya antar tumah sekitar 50 kaki tersebar di ujung hutan ini. Tidak banyak pohon yang tersebar di ujung hutan ini sehingga Raksha bisa merasakan kalau pendekar dewa angin yang ada disini lebih bebas untuk beraktivitas di tempat ini.Raksha yang awalnya mengira dia dan Sena akan dibawa ke salah satu rumah tersebut ternyata salah. Para pendekar dewa angin menyuruh mereka masuk ke salah satu goa yang ada sekitar 60 kaki di arah selatan tempat perumahan tersebut. Ketika Raksha melihat goa yang sempit itu dan jeruji di pintu goanya, dia baru sadar kalau para pen
“Yang Mulia, ternyata benar, pasukan Kanezka tengah mendatangi goa ini dengan persenjataan lengkap.”Bisikan Sakuntala yang terdengar hanya di dalam hati Raksha kala itu sempat membuat Raksha berhenti mengubur mayat terakhir di Goa. Dia melirik Sena sekelabat, setelah dia memastikan kalau Sena masih sibuk mengubur, dia kembali fokus ke Sakuntala.“Berapa kekuatan?” tanya Raksha berbisik.“Tidak banyak, Yang Mulia. Sekitar 30 kekuatan. Mereka semua mengenakan seragam pendekar silat Udayana berwarna hijau.” jawab Sakuntala.“….berarti mereka dari Padepokan Kanuragan Wayu. Kenapa mereka ada di pulau ini?”“Saya tidak tahu pasti, Yang Mulia. Tetapi saya bisa merasakan hawa membunuh dari mereka. Harap berhati-hati, Yang Mulia Raksha.”Raksha diam sejenak lalu berpikir. Dia tahu kalau Padepokan Dewa Angin dan Padepokan Dewa Air seringkali berkoalisi dan bertukar ilmu ajian sakti sehingga dia tidak heran melihat Wanda Jagadita dan Taksa Nismara bisa menguasai jurus pengendalian air dan angin