Pagi di Velmont City selalu tampak penuh dengan energi yang membara, bahkan saat matahari belum sepenuhnya terbit. Udara pagi yang dingin sedikit menyegarkan, tetapi Ayla merasa tubuhnya lebih terbebani daripada biasanya. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seperti ada bayang-bayang yang mengikutinya. Bayang-bayang yang bukan berasal dari masa lalunya, tetapi dari dunia yang semakin ia masuki—dunia yang penuh dengan kebohongan dan rahasia.Pagi itu, ia duduk di meja kerjanya di Reynard Holdings, perusahaan yang ia bangun sendiri setelah ia bekerja sama dengan Dimitri. Pekerjaannya mulai mengalir lebih lancar, tetapi ia tahu bahwa semua ini hanyalah bagian dari permainan yang lebih besar. Tak jarang, pikirannya melayang kembali kepada Dimitri dan percakapan mereka sebelumnya. Dimitri... Ada yang berbeda darinya, sesuatu yang membuat Ayla merasa seolah dirinya berada di dalam permainan catur yang diatur oleh tangan yang lebih kuat daripada dirinya.Clara, sahabatnya yang
Malam itu, setelah meninggalkan Club Noir, langkah Ayla terasa semakin berat. Udara malam yang dingin semakin menusuk kulitnya, tetapi hatinya jauh lebih beku daripada cuaca yang menerpa tubuhnya. Ia memikirkan percakapan dengan Dimitri yang semakin membingungkan, meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Bayang-bayang masa lalu yang datang mengganggu semakin menguatkan tekadnya untuk melanjutkan perjuangan ini, tetapi juga memperdalam keraguan tentang siapa yang sebenarnya bisa ia percayai.Ayla mengunci pintu mobilnya dengan suara berderit, sebelum melangkah menuju gedung Reynard Holdings, perusahaan yang ia bangun dengan susah payah. Gedung itu kini menjadi simbol dari kebangkitannya, namun setiap kali ia menginjakkan kaki di sana, ada perasaan yang mengusik—sebuah perasaan tidak nyaman yang terus bertumbuh.Di dalam ruang kerjanya yang luas dan minim dekorasi, Ayla duduk di kursinya, menatap layar komputer dengan tatapan kosong. Pikiran-pikirannya melayang ke arah yan
Elysian Tower menjulang tinggi di atas kota Velmont, berkilau dengan cahaya emas yang memantulkan keanggunan dan kekuasaannya. Ayla berdiri di depan pintu utama gedung itu, merasakan ketegangan yang semakin mencekam di dalam dirinya. Malam ini, setiap detik yang berlalu terasa semakin berat. Ia tahu, apapun yang akan terjadi, ini adalah titik balik. Ada sesuatu yang harus ia ketahui, sesuatu yang akan menentukan langkahnya selanjutnya.Dimitri menunggu di dalam. Di balik pintu kaca besar yang terletak di lantai teratas gedung ini, terlihat sosoknya berdiri dengan postur tegap dan ekspresi serius. Tidak ada senyuman yang menghiasi wajahnya, hanya aura dingin yang terasa dari kejauhan. Ayla menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum melangkah masuk.Begitu pintu lift terbuka, Dimitri menatapnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hanya tatapan tajam yang penuh arti. Ayla menyadari bahwa di dalam mata itu ada sebuah perasaan yang tidak bisa ia tafsirkan. Tapi untuk sa
Kehadiran Leon di hadapan mereka mengubah segalanya. Segala ketegangan yang sebelumnya hanya berputar dalam benak Ayla dan Dimitri kini berubah menjadi kenyataan yang tak bisa dihindari. Di ruang kerja yang mewah itu, di mana cahaya lampu temaram menciptakan bayangan panjang di dinding, semuanya terasa begitu nyata dan semakin terjalin dalam permainan yang lebih besar.Ayla tidak tahu apa yang harus ia rasakan saat melihat Leon berdiri di sana, dengan mata penuh amarah dan ekspresi penuh kebencian. Wajah yang dulu pernah ia cintai kini terlihat seperti sosok asing yang tak lagi ia kenali. "Kamu?" Ayla mengulang kata-kata itu, suara bergetar, sedikit terkejut namun lebih banyak perasaan kecewa yang merasuki dirinya. "Apa yang kamu lakukan di sini?"Leon melangkah masuk, tidak peduli dengan kehadiran Dimitri yang berdiri hanya beberapa langkah di belakang Ayla. “Aku datang untuk mengakhiri ini, Ayla,” katanya dengan suara yang datar, tapi penuh dengan kekuatan. “Kamu sudah terjebak dala
Ayla berdiri di tepi jendela, memandangi kota Velmont yang gemerlap, namun dalam hatinya hanya ada kesepian yang mengisi setiap sudut pikirannya. Pikirannya melayang ke pertemuan tadi. Leon, dengan segala kebenciannya, mencoba menariknya kembali ke dunia yang sudah ia tinggalkan. Dunia di mana ia hanya dianggap sebagai perempuan biasa, tak lebih dari sekadar hiasan di sisi seorang lelaki kaya. Namun, di sisi lain, Dimitri hadir dengan janji perlindungan, meskipun dengan harga yang tak bisa ia bayangkan.Ayla menghela napas panjang. Setiap keputusan yang ia buat kini seolah mengundang lebih banyak masalah ke dalam hidupnya. Dan Leon—Leon yang pernah ia cintai—kembali datang dengan segala kenangan yang memaksa Ayla untuk menghadapi perasaan yang telah ia kubur jauh-jauh. Namun kenyataannya, dunia tidak memberi Ayla kesempatan untuk berlarut-larut dalam kebingungannya. Ada hal yang lebih besar yang harus ia hadapi.Dimitri memasuki ruangan tanpa mengetuk. Tatapan dinginnya tidak berubah,
Malam itu, langit di Velmont City tampak gelap, seolah-olah mengingatkan pada rahasia yang tersembunyi dalam kehidupan kota ini. Ayla berdiri di balkon apartemen Dimitri, menatap lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan. Angin malam berhembus lembut, tetapi hati Ayla dipenuhi dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Keputusan yang ia buat tadi—untuk bergabung dalam dunia Dimitri—bukanlah sesuatu yang datang dengan mudah. Tetapi setiap detik dalam pertemuan itu, sesuatu di dalam dirinya berubah. Sesuatu yang membuatnya merasa lebih hidup, lebih berani, meski dunia yang akan ia masuki penuh dengan bahaya.Dimitri muncul di belakangnya, langkahnya tanpa suara, begitu khas. Dia berdiri di samping Ayla, tubuhnya menyatu dengan bayang-bayang malam yang kelam. “Malam ini, kita akan bertemu dengan seseorang yang bisa membantu kita,” katanya dengan nada yang tidak bisa dibaca. “Aku ingin kamu mengenalnya.”Ayla menoleh, mencari tanda-tanda ekspresi dalam wajah Dimitri yang sulit dibaca. “Si
Keheningan yang menyelubungi ruang kerja Dimitri terasa semakin pekat. Ayla duduk di kursi kulit hitam, jari-jarinya menyentuh meja kayu yang halus, matanya mengikuti pergerakan tangan Dimitri yang sibuk menyusun berkas. Suara detak jam dinding yang terpasang di sudut ruangan semakin keras, seolah mengingatkan pada waktu yang terus berjalan, dan bahwa keputusan besar sedang diambil.Dimitri berbalik, menghadap Ayla dengan ekspresi yang lebih serius dari biasanya. “Rencana kita sudah berjalan, Ayla. Tapi aku harus jujur padamu—ini tidak akan mudah.”Ayla menatapnya, mencoba menyaring kata-katanya. Dunia yang Dimitri ajak ia masuki kini terasa semakin berat, penuh dengan jebakan dan potensi kehancuran. Namun di sisi lain, ada daya tarik yang tak bisa ia pungkiri, dorongan untuk lebih maju, lebih kuat. “Aku tahu,” jawabnya pelan, matanya menatap lurus pada Dimitri. “Tapi aku sudah siap.”Dimitri menarik napas dalam-dalam. “Kau akan diuji lebih dari yang kau bayangkan. Ini bukan hanya ten
Pagi menjelang, namun ketegangan yang menyelimuti ruang VIP itu masih terasa nyata. Ayla duduk di kursi empuk, memandang ke luar jendela besar yang memberikan pandangan jelas ke Velmont City yang sibuk. Kota ini, dengan segala kemewahannya, seolah tidak pernah tidur. Namun bagi Ayla, dunia di luar sana tidak lebih dari bayang-bayang. Dunia nyata, yang penuh dengan pengkhianatan dan ambisi, ada di sini, dalam kamar ini, bersama Dimitri dan Ivy.Ivy baru saja meninggalkan ruangan dengan janji akan memberikan informasi yang sangat mereka butuhkan. Namun, ada perasaan tidak nyaman yang menghantui Ayla—sebuah firasat bahwa ada lebih banyak yang tersembunyi di balik kata-kata Ivy. Setiap detik berlalu, Ayla merasa semakin terperangkap dalam permainan yang lebih besar dari yang bisa ia bayangkan.Dimitri duduk di kursi yang berseberangan dengan Ayla, menatap layar ponselnya. Wajahnya tampak tenang, namun Ayla tahu betul bahwa dibalik ketenangan itu ada perhitungan yang tajam. Ia tahu, Dimitr
Sore itu langit Velmont City seakan tahu apa yang terjadi. Matahari mulai tenggelam, tetapi cahayanya masih menyentuh jendela kaca Reynard Holdings. Ayla berdiri di ruang kantornya, memandangi siluet kota yang pernah membuatnya merasa kecil dan tak berarti. Tapi kali ini berbeda—kali ini, kota itu berdiri di bawah kakinya.Pintu diketuk pelan.Victor menyembul dengan ekspresi serius. “Dimitri mengirim pesan. Ada sesuatu yang harus kau lihat.”Ayla mengangguk. Dalam balutan blazer hitam dan rok pensil senada, dia berjalan keluar, langkahnya tegap. Sekretaris-sekretaris yang biasanya menunduk kini menatapnya dengan hormat. Bahkan eksekutif level atas tahu: wanita itu bukan sekadar pemilik perusahaan. Dia simbol dari kemenangan yang dibangun dengan luka, tekad, dan strategi.Di lobi bawah, sebuah mobil hitam menunggu. Victor membuka pintu untuknya.“Dimitri tidak bilang apa-apa?” tanya Ayla sambil masuk.“Hanya bilang kau akan mengerti setelah tiba di sana.”Ayla menatap keluar jendela.
Ayla menatap langit pagi dari jendela rumah mungil mereka di Ravenhurst. Udara masih segar, embun menempel di daun, dan suara burung menggema dari kejauhan. Di dalam perutnya, kehidupan kecil tengah tumbuh—mengubah segalanya. Ia tidak lagi sekadar seorang wanita yang ingin membalas dunia, tapi seorang ibu yang ingin menciptakan dunia yang lebih baik.Dimitri muncul dari dapur, mengenakan apron berwarna krem, membawa dua cangkir teh hangat. Pandangannya jatuh pada Ayla yang sedang mengusap perutnya dengan lembut."Kau bangun lebih pagi dari biasanya," ujarnya sambil duduk di sampingnya.Ayla tersenyum. “Aku tidak bisa tidur. Mimpi tentang masa lalu... tapi kali ini, aku tidak merasa takut lagi.”Dimitri mengangguk pelan. Tangannya menyentuh tangan Ayla. Tak ada kata yang bisa menggambarkan bagaimana perasaan mereka sekarang. Tenang. Stabil. Seperti langit yang baru saja berhenti hujan.Beberapa hari kemudian, Ayla kembali ke pusat rehabilitasi. Di ruang konseling, seorang gadis berusia
Langit Ravenhurst menggantung kelabu saat pesawat yang ditumpangi Ayla mendarat di bandara kecil kota itu. Jauh dari hiruk-pikuk Velmont, dari bayang-bayang masa lalu dan dendam yang telah ia kubur. Tak ada penyambutan mewah, tak ada keramaian. Hanya suara roda pesawat yang menyentuh landasan dan napas panjang yang Ayla embuskan dari dadanya.Ia melangkah keluar dengan hanya satu koper kecil dan sebuah tas di bahunya. Seperti awal yang baru. Seperti hidup yang ia bentuk dengan tangannya sendiri.Di luar terminal, seorang wanita berambut perak dengan kacamata bundar sudah menunggu. Senyumnya hangat, matanya penuh kebijaksanaan."Ayla Reynard?" sapanya pelan.Ayla mengangguk. "Dr. Mira Levin?"“Selamat datang di Ravenhurst. Aku dengar kau ingin belajar kembali tentang manusia. Tentang luka. Tentang penyembuhan,” ucap Mira sambil meraih koper Ayla.Ayla tersenyum kecil. "Lebih dari itu. Aku ingin tahu apakah hati yang dipenuhi dendam masih bisa
Kilatan cahaya dari lampu kota menyinari kaca jendela ruang kerja Dimitri saat Ayla berdiri menatap malam, tubuhnya tegak namun napasnya berat. Di belakangnya, Dimitri masih duduk di kursi, berdiam dengan tatapan kosong ke layar komputer yang menyala redup.“Kau yakin ingin melakukan ini sendiri?” tanya Dimitri akhirnya, suaranya serak karena terlalu lama menahan kata-kata yang mengendap di dada.Ayla menoleh perlahan, matanya tajam namun penuh ketenangan. “Ini jalanku. Dendam ini milikku sejak awal, Dimitri. Aku harus menyelesaikannya.”Dimitri berdiri, mendekat, lalu menggenggam tangannya. “Kalau ada satu hal dalam hidupku yang ingin kuubah, itu adalah hari ketika aku pertama kali membiarkanmu berjalan sendirian.”Ayla menarik napas panjang, lalu membalas genggamannya. “Kau tidak pernah benar-benar membiarkanku sendiri. Tapi aku juga harus belajar melepaskan—terutama rasa takutku sendiri.”Mereka saling menatap dalam diam. Tidak ada janji. Tidak
Ayla berdiri membeku. Suara Ivy barusan seakan membelah udara malam yang dingin. Ruangan itu mendadak terlalu sunyi, terlalu sempit, terlalu penuh kenangan yang tidak diundang."Apa maksudmu?" tanya Ayla perlahan, suaranya nyaris tak terdengar.Ivy menyilangkan kaki, menyender santai di kursi, seolah pernyataannya tadi hanyalah pembuka percakapan biasa. "Aku yang menyuruh Leon untuk meninggalkanmu. Dengan cara yang membuatmu membencinya seumur hidupmu."Ayla mengepalkan tangan. "Kau sedang bermain-main.""Sayangnya, aku tidak sedang bercanda." Ivy mencondongkan tubuh ke depan, suaranya melembut namun menusuk. "Leon... dia mencintaimu. Sangat. Bahkan terlalu dalam untuk pria sekelas dia. Tapi cinta seperti itu bisa jadi kelemahan."Ayla tertawa getir. "Kelemahan bagi siapa? Untukmu?"Ivy tak langsung menjawab. Dia membuka dompet kecil, mengeluarkan sebuah foto tua. Ia meletakkannya di meja di antara mereka. Perlahan, Ayla menunduk dan menatap
Darah mengalir di sudut bibir Alexander saat dua orang anak buah Dimitri memaksanya berlutut di tengah ruang kantornya sendiri. Namun sorot matanya belum pudar. Tatapan itu masih menyimpan kebanggaan seorang pria yang merasa dirinya tak bisa dijatuhkan.Dimitri berdiri di depannya, mengenakan setelan hitam khasnya, kancing jas dibuka separuh dan dasi sedikit longgar. Wajahnya dingin, tetapi rahangnya mengeras—tanda bahwa amarah sedang ditekan kuat-kuat di balik ketenangan yang dibuat-buat."Berapa lama kau menanamkan pengaruhmu di dalam perusahaanku?" tanya Dimitri datar, nyaris tanpa nada.Alexander menyeringai meski darah masih menetes dari sudut bibirnya. "Cukup lama untuk tahu titik lemahmu. Dan ternyata benar—perempuan ini."Matanya melirik ke arah Ayla, yang berdiri beberapa langkah di samping Dimitri. Ekspresinya tidak lagi meremehkan, tapi menilai.Ayla menatapnya balik tanpa gentar. Ia tidak perlu menyembunyikan siapa dirinya sekarang. Sem
Ayla berjalan menyusuri koridor mansion Alexander dengan langkah mantap. Setiap detail di tempat ini telah ia hafalkan, dari posisi kamera pengawas hingga cara para penjaga bergerak. Ia harus berhati-hati—kesalahan sekecil apa pun bisa berarti kematian.Alexander memimpin di depan, membawa Ayla ke ruang pribadinya. Begitu mereka masuk, ia menutup pintu dan menoleh dengan senyum puas."Aku tahu kau akan membuat keputusan yang benar," katanya, menuangkan anggur merah ke dalam dua gelas kristal.Ayla menerima gelasnya, tapi hanya memutarnya di tangannya. "Aku hanya memilih pihak yang lebih kuat."Alexander tertawa kecil. "Bijaksana."Ia berjalan ke mejanya, menekan tombol di bawah laci. Sebuah layar muncul dari dinding, memperlihatkan data transaksi dan rencana rahasia untuk menghancurkan Dimitri.Ayla menelan ludahnya. Ini adalah informasi berharga yang Dimitri butuhkan, tapi bagaimana ia bisa mendapatkannya tanpa menimbulkan kecurigaan?
Dimitri berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya di The Elysian Tower. Rahangnya mengeras, matanya dipenuhi kemarahan yang nyaris tak terbendung. Ayla duduk di sofa, mengamati ekspresi pria itu."Ini berarti seseorang di dalam sistemku telah bekerja untuk Alexander," gumam Dimitri, suaranya lebih seperti geraman.Ayla menyandarkan punggungnya, menyilangkan kaki dengan tenang. "Kita hanya perlu mencari tahu siapa dia sebelum semuanya terlambat."Victor, yang berdiri di dekat pintu, menyela, "Aku bisa mulai menyelidiki dari dalam. Aku punya daftar orang-orang yang paling mungkin berkhianat."Dimitri mengangguk, tetapi ekspresinya tetap gelap. "Kita tidak bisa gegabah. Jika kita menuduh orang yang salah, Alexander akan tahu bahwa kita mencurigainya."Ayla menatap Victor. "Ada cara lain. Biarkan aku yang memancing pengkhianat itu keluar."Dimitri langsung menoleh padanya, matanya berkilat tajam. "Tidak."Ayla mengangkat alis. "Dimitri, ak
Ayla tersenyum tipis, menyembunyikan keterkejutannya di balik ekspresi percaya diri. Alexander Vasiliev memang licik, tetapi ia sudah menduganya sejak awal.“Meninggalkan Dimitri?” ulang Ayla, nadanya ringan namun penuh tantangan. “Dan sebagai gantinya, aku akan memiliki seluruh kota ini di kakiku?”Alexander tersenyum, menyusuri wajah Ayla dengan tatapan yang tajam dan penuh perhitungan. “Kau cerdas, Ayla. Kau tahu bagaimana dunia ini bekerja. Dimitri mungkin kuat, tetapi dia memiliki terlalu banyak musuh. Terlalu banyak beban. Bersamaku, kau tidak akan perlu bersembunyi dalam bayang-bayangnya.”Ayla menahan napasnya sejenak, memikirkan bagaimana cara terbaik untuk memainkan kartu ini. Ia bisa melihat bagaimana Alexander mencoba memecah belahnya dan Dimitri, mencoba menanamkan benih keraguan.Tapi Ayla bukan wanita bodoh.Ia mengangkat gelas anggur di tangannya, mengaduk-aduk cairan merah di dalamnya sebelum menatap Alexander dengan sorot mata pen