Setelah melaksanakan kewajiban, Dinar mengeringkan rambutnya, tirai jendela kaca ditarik ke samping, dia ingin melihat laut dan ombaknya pagi ini, jam sudah menunjukkan angka 5.30 Dinar yang jalan masih agak pincang, segera mengikat rambutnya dan keluar kamar. Dirham masih duduk di sofa dan fokus pada ponsel di tangannya.
Setelah mendapat pertanyaan dari istrinya tadi pagi, dia lebih banyak diam, bukan marah tapi dia banyak berfikir.
Terakhir dia menjalankan kewajiban pada Tuhannya adalah setahun lalu, ketika dia kehilangan adiknya, dia merasa Tuhannya telah meninggalkannya, dia merasa Tuhan tidak adil padanya. Itu alasannya. Tapi setelah mendengar pertanyaan istrinya dia berpikir lagi, meskipun dia sudah meninggalkan Tuhannya tapi dia masih disayangi, lihatlah sekarang dia akan menjadi seorang ayah, dia akan memiliki anak yang akan lahir dari seorang gadis yang sekarang menjadi istrinya. Bukankah itu luar biasa.
Di d
Dinar melotot ketika bibir merah Dirham sudah mendarat di bibirnya. Lumatan panjang tersebut membuat keduanya seperti kehabisan oksigen untuk bernapas. Dinar melepaskan bibirnya ketika dia merasa butuh udara. Dirham menahan tubuh Dinar dan mengunci di atas tubuhnya, menikmati manisnya bibir sang istri yang seperti morfin buatnya. “Am, nanti ada yang datang.” “Papa ada meeting dengan Mr. Ken, paling tidak dalam dua jam lagi mereka pulang.” “Tadi katanya sakit.” “Tadi cuma bohongan, habis kamu sibuk banget nyusun bajunya. Kan aku kesel jadinya.” “Ish, Aku belum selesaikan yang itu.” “Itu bisa menunggu, kalau yang ini tidak bisa menunggu, aku ingin selesaikan yang ini dulu.” Dirham berbisik pelan suaranya berat, tangan Dinar dituntun di bonjolan bawah tubuhnya yang sudah berdiri tegak. Dinar meremang. “Nggak kasihan ma dia?” Dinar menggelengkan kepala. Dirham
“Wah, sudah seperti pengantin baru saja papa lihat kalian.” Dirham berdeham, Dinar diam tidak berani bersuara, dia tahu ibu mertuanya tidak menyukainya. “Om, tante. Maaf, saya minta tolong Am biar cepat selesainya, soalnya sudah masuk waktu makan siang.” Dinar mengambil sayur yang sudah selesai dipotong oleh suaminya. Dia mau membuat bakwan goreng. Sayur dan ikan semua sudah dimasak, nunggu nasi masak saja. “Sejak kapan mau masak di dapur ini? Kalau mama minta tolong aja repotnya minta ampun.” “Nggak lah, biasa aja Ma, Am bantu Dinar di dapur biar cepetan dikit, takut nggak keburu.” “Alasan saja kamu.” Nora masuk kedalam kamarnya, Adam keluar dari dapur dan duduk di sofa ruang keluarga. Dinar yang menyadari kedua mertuanya sudah tidak berada di dapur segera mulai menggoreng bakwan dengan api sedang, sambil itu dia menata lauk dan sayur untuk di hidang kan di meja makan. Dirham mengambil piring dan gelas bersi
Nora meninggalkan dapur dengan banyak tanda tanya di kepalanya, macam-macam prasangka di hatinya mulai menguasai pikiran. Ingin rasanya dia bertanya langsung kepada putranya, tapi Dirham pasti akan mengelak. Bagaimanapun ia tetap harus bertanya dan mencari tahu kebenaran. Rasa penasaran di hatinya semakin menjadi-jadi. “Masih di sini Pa, Am mana?” Matanya meliar mencari keberadaan Dirham. “Am di kamarnya, mau istirahat katanya. Ada apa Mama cari Am?” Nora duduk di samping suaminya. Wajahnya serius. “Mama makin yakin kalau gadis itu hamil, Pa, tapi tadi kutanya waktu di dapur, ada kekasih tidak? dia jawab tidak Ada. Pa, kalau gadis itu adik Al, nggak mungkin dia ragu-ragu saat menjawab asalnya dari mana, adik kandung apa tiri, terus perutnya itu seperti hamil dalam 4 atau 5 bulan gitu, kalau dia adik Aldiano, berarti mungkin itu anaknya Am, mereka tinggal bareng di sini, Pa. Kumpul kebo.” “Ma, jangan menudu
Dirham melepas pelukan dan melihat ponselnya, jam 4 pagi. Dinar terlihat masih tidur pulas meringkuk dalam dekapannya seperti bayi, diciumnya pipi halus itu lama. Tidurnya tadi malam sangat nyenyak dengan memeluk istrinya, membelai anaknya. Sekarang badannya terasa lebih segar karena cukup tidur. Kening istrinya dikecup, dia harus kembali ke kamarnya sebelum hari makin terang. “Aku kembali ke kamarku dulu.” Tanpa menunggu jawaban dari istrinya Dirham mengayun langkah dan keluar dari kamar itu dalam diam, pintu ditutup sangat hati-hati, kuatir ada yang memergokinya. Dia bak pencuri di rumahnya sendiri. Dirham menggaruk kepala yang tidak gatal, lucu dengan hidupnya. Dinar sedang membuat air kopi dan teh, sandwich yang baru selesai dibuat dan sesisir buah pisang juga dihidangkan untuk sarapan. Kemarin dia meminta Sada untuk membelikannya barang-barang dapur yang sudah habis. Sebentar lagi Mak Marni akan datang untuk mem
Adam terduduk di lantai, matanya berkaca-kaca, setelah menghajar putranya habis-habisan ada rasa sesal dalam hatinya, Nora mendekati Dirham yang lemah dalam dekapan Dinar. “Ampuni Am, Pa.” lirih tangisan Dirham di telinga semua orang. Adam tidak menyahut sama sekali, dia menunduk menatap lantai. “Bawa dia masuk ke dalam kamar dan obati lukanya.” Nora menyuruh Dinar, dia perlu menenangkan suaminya. Dinar menarik tubuh suaminya untuk berdiri dan memapahnya masuk ke dalam kamarnya. Sepeninggal Dirham dan Dinar, Nora mendekati suaminya. “Ayo duduk di atas, Pa.” Adam tidak mengangkat wajahnya sama sekali. “Papa merasa gagal sebagai orang tua Ma, Papa gagal.” tubuh Adam bergetar menahan tangis, hati tuanya terluka karena perbuatan putra sulungnya. Nora merangkum dan mengangkat wajah Adam dengan dua tangannya. Ditatap dengan sayang wajah tampan meskipun sudah berumur itu, dicium keningnya lama.
Ketukan pintu terdengar dari luar, Dinar keluar dari pelukan suaminya dan bergegas membuka pintu, Nora berdiri di sana. “Anak saya bagaimana?” “Di-dia baik Tante, lukanya sudah saya obati dan tempel pakai plester.” “Oke, thank you.” Nora masuk ke dalam kamar dengan langkah elegannya, menghampiri putranya yang masih tiduran di atas tempat tidur. Sementara Dinar mengikuti dari belakang dan berhenti agak jauh dari tempat tidur suaminya. “Am baik-baik saja, Ma.” Dirham memandang mamanya. “Baguslah, Papa sangat marah sama kamu, jangan bicara dulu sama Papa. Tunggu sampai emosinya reda.” “Iya, Am tidak menyangka ternyata akan terbongkar secepat ini.” “Mama mau bicara empat mata sama kamu.” “Di, istirahat saja di kamarmu.” Dirham berkata pada istrinya. “Aku mau masak buat makan siang, kamu mau dimasakin apa?” “Apa saja boleh, asal jangan batu sama kayu, itu memang aku tidak akan mak
Mengandung konten 21+, yang di bawah umur mundur teratur ya, happy reading😘😘 Dinar masih berdiri kaku di depan Nora, dia menunduk menyembunyikan butiran bening yang mulai jatuh di kedua pipinya. “Hei, kenapa ini?”Nora mengangkat wajah gadis di depannya, dia tersenyum ramah.“Maaf, bukan maksud Mama membuat kamu sedih. Ayo duduk sebentar.” Nora menarik lengan Dinar untuk duduk bersama di kursi meja makan.“Kamu menantu Mama, mana ada menantu yang memanggil ibu mertuanya dengan panggilan tante.”“Maksudnya?” Dinar masih tidak percaya dengan apa yang didengar.“Panggil Mama, jangan Tante lagi.” Seperti ada batu besar yang diangkat dari dadanya, Dinar lega mendengar perkataan Nora.“Kamu akan menjadi ibu dari cucuku, cucu pertama yang keluarga Assegaff idamkan. Jangan berpikir macam-macam, kami akan berusaha menerimamu sebagai ibu dari cucuku.” Nora tersenyum. ‘Ibu dari cucuku? Kenapa bukan istri
Mengandung konten 21+, silahkan skip bagi yang tidak berkenan. Dinar bergegas menuju kamar suaminya. Mendengar suara Dirham tadi membuat dia khawatir. Setelah sampai di dalam kamar dia melihat Dirham masih berbaring di atas tempat tidurnya.“Kunci pintunya.”“Kenapa? apa yang sakit?”“Tidak perlu tanya kenapa Di, kunci saja pintunya, aku tidak mau ada yang mengganggu momen kita.” Dinar lalu berbalik dan mengunci pintu kamar. Dia mendekati suaminya. Mata Dirham tajam menatap sang istri.“Kenapa? Apa lagi yang sakit?”“Dekat aku sini, berbaring di sebelahku, baru kau tahu.”Dinar makin mendekat. Dirham tersenyum merasa jeratnya mengena. Dia bergeser ke tengah tempat tidur memberi tempat untuk istrinya.Dinar pun mengikuti arahan suaminya dengan wajah heran. Tangan Dirham memeluk tubuh istrinya, dengan cepat kakinya menindih kaki Dinar. Menguncinya. Dia menyembamkan wajah di leher istrinya. Dinar terbeliak