Laura tak berhenti terperangah begitu dia keluar dari mobil sport warna merah milik Harry. Rumah pria itu tampak mewah dan juga luas. Sungguh, keluarga Green belum ada apa-apanya dibandingkan dengan keluarga Thompson. Harry mengambil tangan Laura—meminta wanita itu untuk menggandeng tangannya, begitu mereka memasuki halaman belakang rumah keluarga Thompson yang sudah disulap menjadi tempat pesta yang mewah. “Harry, kau tidak bilang padaku jika ini adalah sebuah pesta. Aku pikir hanya makan malam biasa saja.” “Itu tidak penting.” Begitu dua pasang kaki itu melangkah, pandangan semua orang tertuju pada mereka berdua. Tatapan semua orang tampak bertanya-tanya begitu melihat wanita yang sedang menggandeng tangan Harry. Tak hanya itu, perhatian orang-orang langsung tertuju pada Laura yang tampak begitu cantik dan memukau. Laura mengenakan gaun satin dengan potongan A-line berwarna merah anggur, yang membalut tubuh rampingnya dengan sempurna, sekaligus menciptakan siluet ya
Suasana berubah ketika Harry mencium bibirnya tanpa persetujuan sama sekali. Isi kepala Laura terus menolak—dia berusaha memberontak, tetapi pria itu justru semakin dalam menjelajahi mulutnya. Namun, di sisi lain Laura juga tak bisa membohongi jika hatinya merasa senang. Pria itu menyentuh titik terdalam dalam dirinya, hingga membuat Laura seakan melayang. Ini aneh. Waktu bersama Sam dulu, Laura tak pernah merasakan hal seperti ini. Dia tak pernah merasakan, bagaimana perutnya terasa menegang, dan seluruh tubuhnya meremang dalam satu waktu, pada pelukan seorang pria yang baru saja dia kenal. “Ini salah, Harry.” Laura menatap pria itu dengan marah saat ciuman mereka berakhir. "Kita tak seharusnya seperti ini." Mendengar ungkapan kemarahan Laura, Harry hanya menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi.Tak hanya sampai di situ, seolah tak peduli dengan kemarahan Laura, Harry bukannya melepaskan begitu saja. Pria itu justru kembali menyentuh tengkuk kepala Laura dengan kedu
Setelah sampai di depan gedung apartemen yang sesuai dengan alamat yang diberikan Laura, Harry menghentikan mobilnya. Pria itu tak langsung membuka kunci, melainkan diam beberapa saat. Setelah perdebatan panjang mereka tadi, Laura memilih diam tak bersuara. Harry tahu jika wanita itu sangat kesal sekarang. "Ethan akan menjemputmu pagi hari, dan ambil libur satu hari untuk besok."Laura menghela napas panjang, dan meminta Harry untuk membuka kunci pintu mobilnya. Wanita itu segera keluar, tetapi sebelum itu dia kembali melihat Harry yang masih duduk dengan tenang, seolah tak melakukan kesalahan apa pun. Padahal perkataan Harry tadi sangat menyakitkan hatinya. Pria itu tak tahu apa pun tentang hidup Laura, tetapi bisa-bisanya mengomentari Laura dengan seenak hati dan berpikir jika Laura memang sering tinggal dengan seorang pria. "Kalau kau butuh uang, beritahu saja aku. Akan kuberikan berapa pun yang kau mau sebagai kompensasi atas waktumu.""Dengar, Harry." Laura menghela napas
Laura memerhatikan setiap sudut apartemen yang menjadi tempat tinggalnya beberapa hari terakhir. Suasananya tampak sunyi dan senyap. Setelah perbincangan malam tadi bersama Jackson, pria itu langsung pergi meninggalkannya dengan alasan ingin beristirahat. Padahal, Laura jelas tahu jika Jackson hanya tak ingin memperpanjang perbincangan mereka. Laura juga tak sepenuhnya menyalahkan sikap temannya yang terkesan abai itu. Dia paham apa yang Jackson pikirkan. Pria itu pasti sangat terkejut dengan kabar pernikahannya yang tiba-tiba. Apalagi Laura sedikit berbohong dengan mengatakan jika pernikahannya akan berlangsung minggu depan. Sebenernya, dia hanya mengatakan omong kosong belaka karena tak mau membuat Jackson menghentikan niatnya. Ya, Laura yakin jika pria tahu waktu pernikahannya masih lama, Jackson pasti melakukan sesuatu agar pernikahannya tak pernah terjadi. Apalagi jika tahu semua ini hanyalah sebatas kontrak saja. Pria itu tak pernah mau melihat Laura kesusahan. Sekal
Pagi harinya, Laura merasa jika tubuhnya menjadi segar sekali. Kemarin dia menghabiskan banyak waktu untuk bersantai karena libur. Dia berendam air dingin hingga puas, dan memanggil terapis untuk melakukan spa.Kapan lagi Laura bisa bersantai seperti itu? Bahkan saat dia masih tinggal bersama dengan Keluarga Green, dia tak pernah memanjakan dirinya sendiri seperti ini. Sekarang, wanita itu melangkah dengan gembira saat tiba di lobi kantor. Pikirannya sudah fresh lagi, dan Laura juga sudah bersiap untuk menghadapi semua tingkah laku Harry hari ini. Namun, saat baru memasuki lobi kantor, Laura mengalihkan tatapannya pada setiap orang yang berpapasan dengannya di lantai satu. Awalnya, dia ingin mengabaikannya saja, tetapi lama-lama Laura merasa tak tahan karena dirinya merasa diperhatikan sejak tadi. Baru beberapa hari lalu, dia menjadi topik hangat karena foto-fotonya yang tersebar dengan Harry. Sekarang, apa lagi yang membuat perhatian semua orang tertarik padanya? “Ethan!
“Undangan pernikahan?” Ulang Laura kembali dengan tatapan tak percaya. “Ya. Apa suaraku masih kurang jelas?” Sekarang, Laura yang mentertawakan Harry. Wanita itu tampak memegangi perutnya karena hampir saja kram. Namun, setelah itu dia kembali menatap Harry dengan tajam, seolah benar-benar ingin memakan pria itu hidup-hidup. Bisa-bisanya pria itu tetap terlihat santai saat sudah membuat kegaduhan seperti sekarang. “Kau gila!” “Aku gila?” “Ya. Bisa-bisanya kau menyebarkan undangan tanpa sepengetahuan aku.” Harry mengendikkan bahunya, acuh tak acuh. "Aku tak butuh persetujuan dari siapa pun." Mendengar alasan Harry, Laura hanya bisa menghembuskan napasnya dengan kasar. Tak ada gunanya juga mendebat pria yang arogan itu. Laura tampak memijat kepalanya yang mendadak pening, hingga tiba-tiba saja wanita itu kembali melebarkan matanya ketika teringat sesuatu. “Tunggu dulu. Pernikahannya masih akan dilangsungkan bulan depan, kenapa tiba-tiba menyebarkan undangan sekarang.” “Si
"Melakukan apa?” Harry mencondongkan tubuh, dengan kedua tangannya yang menghimpit Laura, di tepian meja. Wanita itu meringis—ketakutan. Dia memang menantang pria itu tadi, tetapi sungguh Laura tak menyangka jika Harry akan melakukan hal yang serupa pada dirinya. “Jawab aku, Laura. Memangnya aku mau melakukan apa?” tanya Harry lagi dengan suara pelan, nyaris tak terdengar. Namun, entah mengapa suara pria itu terdengar cukup mengerikan, hingga membuat Laura merinding. Maka dari itu, Laura hanya mampu menggeleng pelan. Dia seperti berada di hadapan raksasa yang akan menelannya sekarang juga. Laura sama sekali tak bisa berkutik. Apalagi saat melihat dada Harry yang bidang, yang membuat jantungnya berdetak tak karuan. “Aku pasti tak bisa bernapas jika dipeluk oleh pria ini,” batin Laura dengan meringis ngeri. Tidak! Tidak! Kenapa Laura bisa punya pemikiran seperti itu? Pikiran kotor macam apa yang terlintas dalam benaknya sekarang? Tak ingin berpikir terlalu jauh, Laura
Laura lagi-lagi mendengkus tak suka, seraya melirik ke arah Harry yang duduk di sampingnya di dalam mobil. Pria itu terlihat tenang sekali, seolah tak terjadi apa pun, setelah membuat Laura berteriak di dalam ruangannya tadi. “Kenapa melihatku terus? Kau benar-benar ingin—“ “Tutup mulutmu! Kau tidak lihat ada Ethan di sini.” Laura menunjuk Ethan yang sedang menyetir dengan ekor matanya. "Aku tak mau dia jadi salah paham saat mendengar ucapanmu itu, Tuan Thompson yang terhormat." Laura tampak geram dengan Harry sekarang. Akan tetapi, pria itu sepertinya tak mengerti dengan kekesalan yang tergambar jelas di wajah Laura sekarang. “Kau bisa mendengar percakapan kami, Ethan?” tanya Harry dengan santai, yang duduk di kursi penumpang juga. “Tidak, Tuan.” Ethan segera mengambil ear phone, dan menyumpal telinganya dengan benda kecil tersebut. Meski, tak ada suara apa pun, dia tetap bertindak seperti itu untuk menyakinkan Laura dan juga Harry jika dia akan menutup mata dan telin
"Kau memecatku?" tanya Laura dengan ekspresi tak percaya. "Memangnya aku melakukan kesalahan apa?” Harry mengendikkan bahunya. “Kau kan sudah mendapatkan bayaran mahal dariku. Jadi, jangan serakah!” “Bukan seperti itu ... kontrak kerja kita tidak seperti itu. Aku tidak bisa mengundurkan diri sebelum masa akhir kontrak, kau juga tidak bisa memecatku seenaknya!” sanggah Laura yang masih tidak terima dengan keputusan Harry yang tiba-tiba. Pria itu memecatnya tanpa pemberitahuan. Laura bukan serakah, dia hanya ingin bekerja keras dan mengumpulkan banyak uang, sebelum nanti berpisah dengan Harry. Setidaknya, Laura harus punya persiapan sebelum berstatus janda nanti. “Aku tidak memecatmu seenaknya. Aku punya alasan untuk itu, Laura." “Apa alasanmu? Beritahu aku sekarang!" Harry langsung menjentikkan jarinya di depan Laura yang masih terlihat bingung. “Kau tidak membaca se
"Aktingmu tadi sangat luar biasa, Harry." Harry melihat Laura yang sedang bertepuk tangan dengan wajah riang. Lalu, setelah itu Laura segera menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, yang mana semakin membuat Harry kebingungan. "Maksudmu?" "Kau membelaku di depan ibu mertuaku. Harus kuakui kau cocok jika menjadi aktor," sindir Laura dengan melipat kedua tangan di depan dada. Sungguh, dia nyaris terbawa perasaan karena perlakuan Harry tadi. Harry bersikap sangat baik, seolah dia benar-benar mempercayai dan mencintai Laura di depan ibunya. "Bayaranku akan sangat mahal. Mereka tidak akan mampu membayarnya." "Dasar narsis!" "Sekarang apa yang akan kau lakukan?" "Tidur. Apalagi? Aku masih libur, kan?" Laura meletakkan ponselnya, dan langsung menatap Harry yang juga sedang melihat ke arahnya. Pria itu hanya meng
Kata-kata yang terlontar dari mulut Harry tadi benar-benar membuat hati Laura sakit. Tidak! Bukan karena Harry yang berkata tidak akan menyukainya. Lagi pula, dia memang tidak pernah berharap akan hubungan mereka ini. Walaupun malam tadi, terlintas keinginan dalam benaknya untuk bisa memiliki Harry, tetapi setelah sadar Laura segera membuang jauh-jauh semua pemikirannya itu. Hanya saja, perkataan Harry tadi terlalu kejam. Dia berkata seolah-olah Laura adalah wanita menjijikan, yang tak pantas untuk dicintai siapa pun. "Ya, aku sadar dengan posisiku dan juga siapa diriku," ujar Laura dengan suara pelan, setelah beberapa saat terdiam. Wanita itu hanya bisa membuang napasnya dengan kasar. Berharap dengan itu, dia juga bisa membuang semua rasa sesak di dalam hati yang tiba-tiba hadir. Melihat raut wajah Laura yang berubah, Harry pun terdiam. Tenggorokannya terasa seperti tercekat, saat dia hendak menjawab ucapan dari wanita di hadapannya ini. "Kau turun duluan saja.
“Segera bersiap-siap, orang tuaku, dan teman-temanku menunggu di bawah. Kita akan sarapan bersama.” Laura hanya mendengus mendengar perintah Harry. Dia menatap pria yang sudah rapi dengan pakaian santainya, dengan tatapan tidak suka. “Kau turun saja lebih dulu. Aku akan menyusul.” Tangan Harry yang sedang memakai jam tangan berhenti. Pria itu menoleh, dan melihat wajah Laura yang masam. “Kita turun bersama!” ujar Harry dengan tegas. “Kenapa wajahmu seperti itu? Kau mau semua orang tahu jika pernikahan kita ini hanya kontrak saja?” “Aku tidak akan seceroboh itu, Tuan Harry Thompson! Akan kupastikan semua orang percaya jika kita saling mencintai.” Laura langsung menyunggingkan senyumnya, walau terpaksa. Dia masih kesal dengan sikap Harry saat baru bangun tidur tadi. “Memang seharusnya begitu. Aku membayarmu dengan mahal, sudah sepatutnya kau melayani aku,” sindir Harry yang la
Mendengar ancaman dari Harry, Laura terpaksa diam. Wanita akhirnya hanya bisa pasrah berada dalam pelukan pria besar yang ada di bawahnya. Setelah saling diam, tanpa suara sama sekali, Harry menurunkan tubuh Laura ke sisinya. Pria itu berbaring miring, dan memeluk Laura yang lagi-lagi dibuat terlonjak dengan tingkah Harry. Sungguh, Laura tak bisa menahan debaran di dalam dadanya, ketika tangan besar Harry melingkar di atas perutnya yang ramping. “Pejamkan matamu!” bisik Harry tiba-tiba, yang langsung membuat Laura memejamkan matanya dengan cepat. “Gadis pintar. Selamat malam!”Laura bergeming. Wanita itu hanya bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri yang berdebar dengan kuat. Tubuhnya terasa kaku karena ini pertama kalinya dia berada sedekat ini dengan seorang pria. Setelah mendengar suara napas Harry yang teratur, Laura memberanikan diri untuk membuka matanya. Dia memiringkan wajahnya, hingga tatapan matanya bisa bertemu langsung dengan wajah Harry yang tampak damai.
"Harry, kenapa kau diam saja?" cecar Austin lagi. "Bagaimana dengan pertanyaan Dominic? Kau memaksa sekretaris-mu untuk menjadi istrimu?"“Brengsek!” Harry memaki Austin. Pria itu mengusap wajahnya karena tiba-tiba saja merasa gugup. "Aku bukan pria seperti itu. Kami menikah karena memang sudah waktunya," sanggah Harry, tampak menyakinkan kedua temannya. Austin masih tampak belum puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan oleh temannya itu. "Jadi, kalian benar-benar saling mencintai, kan? Ini bukan pernikahan "palsu", kan, Harry?" Begitu juga dengan Dominic. Bedanya pria itu hanya diam dan mengamati gerak-gerik Harry yang jelas terlihat gelisah. "Kurasa kau mulai mabuk, Austin? Pertanyaanmu tak masuk akal!" Harry kembali mengambil botol wine dan menuangkannya ke dalam gelas. Dia tak mau jika Austin terus-menerus membahas tentang dirinya dan juga Laura. Maka dari itu, Harry berusaha untuk mengalihkan perhatiannya sendiri, d
“Kepastian tentang kapan kontrak pernikahan kita akan berakhir?” Deg! Harry tertegun. Pria itu diam dengan tatapan yang penuh arti. Sebelum ini, mereka memang tidak pernah membahas tentang kapan akhir kontrak mereka. Bahkan, Harry tak pernah memikirkan tentang hal itu dari kemarin. “Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu?” Laura berjalan menghampiri Harry yang berdiri mematung. “Aku hanya butuh kepastian. Aku tidak mau terus hidup dalam kepura-puraan seperti ini.” Harry memandang mata biru milik Laura yang menyiratkan banyak arti. Wanita itu berubah menjadi sedikit pendiam dari pagi tadi, apa ini alasannya? Dengan membuang wajahnya, Harry berkata dengan suara yang dingin. “Kalau begitu ingat baik-baik, kontrak pernikahan kita akan berakhir jika masing-masing dari kita sudah menemukan orang yang kita cintai.” Laura menga
Resepsi pernikahan Harry dan Laura berlangsung dengan mewah. Banyak tamu undangan yang hadir dari kalangan kelas atas, rekan bisnis Harry dan Tuan Thompson juga. Harry dan Laura terus menebar senyum kepada setiap orang yang memberi selamat pada mereka. Wajah Nyonya dan Tuan Thompson juga tampak gembira, meski awalnya Nyonya Thompson terus menolak Laura, sekarang mau tak mau dia harus menerima wanita itu sebagai menantunya. Senyum Harry mengembang, dan wajahnya tampak senang begitu melihat kedua sahabatnya datang. “Selamat, Bro. Akhirnya kau menyusul kami juga.” Austin memeluk Harry dengan perasaan haru. Begitu juga dengan Dominic. Pria tampan itu datang dan memberikan selamat kepada Harry dan juga istrinya. “Aku pikir kau sudah mati rasa.” “Sialan!” Harry memukul dada Dominic dengan tawa pelan. “Aku masih normal, kan? Kalian saja yang tidak sabar.” “Uncle Harry.” Leo dan Felix memanggil Harry secara bersamaan. Kedua anak laki-laki yang sama-sama memakai tuxedo
Satu hari bersama Harry sama seperti satu pekan rasanya. Laura tak henti-hentinya dibuat bertanya-tanya dengan sikap Harry yang berubah-ubah. Pria itu kadang bersikap manis, tetapi dia lebih sering bersikap menjengkelkan. Seperti pada malam tadi, Harry tiba-tiba saja menerobos masuk ke dalam kamar Laura. Entah apa yang pria itu pikirkan, dia langsung tertidur begitu saja, tanpa peduli ketika Laura berusaha mengusirnya. Kini, Laura tampak menghela napas panjang di depan cermin. Bayangan hari kemarin yang dia habiskan terasa begitu panjang. Hingga tak terasa, hari ini pun tiba. Laura menatap dirinya sendiri di depan cermin. Wajahnya sudah dipoles dengan make up yang membuat wajahnya tampak segar. Gaun putih pengantin yang dicoba beberapa hari lalu, entah kenapa sekarang tampak berbeda di matanya. Gaun itu tampak begitu pas, dan membuat Laura tampak sangat indah. “Anda sangat cantik, Nona.” Lamunan Laura buyar. Dia menatap ke arah penata rambut yang juga sedang ters