“Eva,” sapa Harry setelah melihat wanita berambut pirang yang baru saja menyapanya. Dia segera menghampiri wanita itu dengan senyum yang dipaksakan. “Aku tak menyangka jika perusahaan event organizer yang dimaksud oleh Tuan Brown adalah milikmu.” Nada suara Harry terkesan seperti sindiran. Dia melihat ke arah pria muda yang berdiri di samping Eva sekarang. “Ya. Aku lupa bilang pada asistenmu. Silakan duduk.” Tuan Brown menyambut kedatangan Harry dengan ramah. Sementara itu, melihat keberadaan Eva, Laura hanya bisa membuang napasnya yang terasa berat, dan segera duduk di samping Harry. Dia ingat dengan jelas siapa wanita ini. “Bukankah kau Laura?” Eva pura-pura terkejut, dan langsung menyapa Laura dengan hangat. “Ternyata kau bekerja pada Harry, ya.” Harry tersenyum dengan ekspresi wajah yang tak suka, ketika mendengar ucapan Eva. “Bisa kita bahas tentang pekerjaan saja?” “Iya, tentu, Tuan Thompson," sahut Tuan Brown dengan senyum yang merekah. Tuan Brown tampak beru
Tawa Harry menyembur begitu dia mendengar permintaan Tuan Brown. Melihat bagaimana Harry yang tiba-tiba saja tertawa, Tuan Brown mengikuti pria itu. Meski tak tahu mengapa tiba-tiba Harry tertawa, dia tetap mengikutinya. Harry mengusap air mata yang keluar dari sudut matanya. Perutnya terasa kaku, tetapi setelah itu suara tawanya yang beberapa saat lalu begitu keras kini lenyap seketika. Melihat Harry menghentikan tawanya, dan menatap Tuan Brown dengan tajam, pria itu pun akhirnya ikut terdiam. Harry menatap Tuan Brown dengan sinis, seraya berpangku tangan. “Apa kau berpikir dia wanita yang seperti itu?” “Eh, itu ... maksudku, hal seperti itu bukan hal yang tabu lagi. Sudah jadi rahasia umum bagi kalangan seperti kita, Tuan Thompson," jawab Tuan Brown dengan rasa percaya diri yang tinggi. Harry tersenyum sinis, lalu berdecak kesal. “Tuan Brown, kuperingatkan untuk yang pertama dan terakhir kalinya, jangan pernah memikirkan hal kotor tentang sekretarisku.” Mendengar jawaban Har
“Harry—” “Ayo, kita pulang!” Harry langsung menarik tangan Laura begitu wanita itu muncul di hadapannya. “Kita pulang sekarang? Tapi, tasku masih di dalam.” Harry berbalik, kemudian dia menatap Ethan yang sedang mengekor di belakangnya. “Kau dengar, Ethan? Ambil tasnya sekarang.” “Baik, Tuan.”Setelah itu, Harry melanjutkan langkah kalinya. Dia memegang tangan Laura dengan kuat, membawa wanita itu untuk segera keluar dari dalam restoran. Dia tak mau jika lelaki hidung belang yang ada di dalam tadi, melihat Laura kembali. Sementara itu, seraya berjalan, Laura menatap tangan dan tubuh Harry yang sedang menariknya secara bergantian. Dia tak berani membuka mulut, saat menyadari jika situasi sekarang tidak baik. Apalagi saat melihat wajah Harry yang merah padam, saat menghampirinya tadi. Pria itu tampak sangat marah. “Masuk!” perintah Harry setelah membuka pintu di kursi di depan. Dia menatap Laura dengan garang, seolah tak ingin wanita itu banyak bertanya. Setelah Laura masuk,
Laura menatap mobil hitam milik Harry yang melesat meninggalkannya seorang diri di tepi jalan. Wanita itu menghela napas panjang, mencoba untuk membuang semua rasa kesalnya. “Dasar pria gila!” teriak Laura pada akhirnya. Dia sudah berusaha untuk tidak marah, tetapi nyatanya tidak bisa. “Bisa-bisanya dia meninggalkan aku di sini sendiri? Tanpa ponsel dan juga tas. Awas saja kau, ya!” Napas Laura terengah-engah setelah dia selesai mengeluarkan semua umpatan dan makian pada Harry. Pria itu benar-benar tak punya hati. Memangnya Laura melakukan kesalahan apa hingga harus diturunkan di pinggir jalan seperti sekarang? Jika harus marah, seharusnya dialah yang marah pada Harry karena hampir membuatnya celaka tadi.Kenapa yang terjadi justru sebaliknya? Laura menyadari jika sejak pulang dari restoran tadi, sikap Harry berubah drastis. Pria itu menjadi tak karuan, dan terlihat sangat marah pada dirinya. “Sekarang aku harus bagaimana coba?” Laura tampak kebingungan, sembari menendang jala
“Semangat!” Ethan mengepalkan kedua tangannya, dan tersenyum lembut, begitu Laura hendak memasuki ruangan Harry.Melihat itu, bibir Laura terangkat—tersenyum miring. “Sialan! Ini gara-gara kau juga.”“Sorry.” Ethan langsung pergi begitu saja, meninggalkan Laura seorang diri untuk masuk ke dalam kandang singa sekarang juga. Terdengar hembusan napas panjang saat Laura memegang gagang pintu ruangan Harry. Dia sudah bicara keterlaluan tadi, dan sekarang mungkin pria yang ada di dalam sana akan lebih marah.Namun, berdiam diri juga tak akan membuat Laura tenang. Dia lebih baik dimarahi di dalam sana, daripada di luar sini, dan menjadi perhatian banyak orang. Jadi, Laura memberanikan diri untuk masuk perlahan begitu membuka pintu, matanya menelisik ke setiap sudut ruangan besar itu, tetapi sayangnya dia tak menemukan keberadaan Harry sama sekali.Alisnya kanannya terangkat. “Ke mana dia?”Laura segera masuk, dan menutup pintu secara perlahan. Wanita itu mendekati meja kerja Harry. Komput
Laura pikir Harry akan melakukan sesuatu yang menakutkan kepadanya. Sepanjang perjalanan tadi, wanita itu tak henti-hentinya merasa gugup dan juga takut, seraya merapal banyak doa kepada Tuhan untuk keselamatan dirinya. Harry menjadi lebih pendiam di perjalanan tadi, hingga membuat asumsi buruk dalam kepala Laura terus bermunculan. Namun, siapa sangka pria itu justru melakukan hal yang sebaliknya. “Kita mau apa ke sini?” “Melihat gaun pernikahanmu,” jawab Harry santai, yang langsung membuat Laura melotot. “Jangan melotot seperti itu? Aku sudah bilang kan sebelumnya, gaun pernikahanmu sudah hampir selesai. Sekarang desainernya meminta kita datang untuk melihat hasilnya.” “Bukan. Bukan seperti itu. Kenapa kau tidak bilang dari tadi kalau kita mau kesini. Aku hampir mati ketakutan tadi.” Harry menggeleng pelan, dengan senyum yang coba disembunyikan, dan langsung turun dari dalam mobil. “Kau ingin turun sekarang apa nanti?” Mendengar pertanyaan Harry, Laura bergegas turun. Dia tak
“Kau hanya belum beruntung saja.” Laura menjawab dengan senyum tipis. Jackson tertawa kecil untuk mencairkan suasana, begitu mendengar jawaban yang dilontarkan Laura. Pria itu bahkan sampai mengusap air mata yang muncul di sudut matanya. “Sudahlah. Jangan bahas tentang aku lagi. Sekarang beritahu siapa calon suamimu? Kau belum ada memberitahukannya padaku, kan?” “Itu—“ Laura menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal. “Kau akan tau sendiri nanti. Makanya kau harus datang, dan aku akan memperkenalkanmu secara langsung dengan dia.” Jackson mencebikkan bibirnya. “Dasar! Oke, lah. Aku ingin lihat seperti apa pria yang bisa memberimu apa yang selama ini tidak kau dapatkan.” “Dia ... tampan.” Laura berkata dengan gugup. Dalam hatinya dia mengutuk diri sendiri karena telah memuji Harry yang menyebalkan itu. “Lebih tampan dari aku?” tanya Jackson sembari memasukkan sesuap cake red velvet ke dalam mulutnya. Matanya sesekali melihat ke arah Laura yang tampak salah tingkah. “Aku tid
“Bicaramu ngawur!” tampik Laura. Dia langsung duduk di sofa, dan meletakkan tasnya dengan kasar. “Kami tak akan berkencan. Pikiranmu terlalu jauh, dia sudah seperti saudara laki-lakiku sendiri.”“Tak ada pertemanan yang seperti itu antara pria dan wanita. Kau mau taruhan?”Laura menatap Harry dengan raut tak suka. “Kau ini sebenarnya kenapa, sih? Aku tak mau taruhan apa pun. Bukankah di dalam kontrak kita juga sudah tertera, baik kau dan aku jangan mencampuri urusan masing-masing.”“Ya, itu benar. Aku hanya ingin mengingatkan saja, jangan pernah ceroboh, Laura!” Suara Harry penuh penekanan, seolah pria itu benar-benar tak ingin namanya ternoda. Laura berdiri dan memberanikan diri menatap Harry. Matanya menyiratkan banyak rasa bingung, dan benci yang menjadi satu. Harry selalu mengaturnya, meragukannya, seolah Laura adalah orang paling ceroboh. “Tenang saja, Tuan Harry Thompson yang terhormat. Aku orang yang menepati janjiku. Lagi pula, aku juga tak akan melepaskan bayaran mahal yan
“Apa masih sakit?” “Ah, i-itu tidak lagi,” jawab Laura sedikit gagap. Wanita itu kembali tersentak begitu merasakan jarinya yang kembali basah karena Harry yang kembali menghisap darahnya. Lutut Laura lemas seketika. Rasanya dia hampir terjatuh. Bukan karena darah yang keluar, tetapi karena tindakan Harry yang lagi-lagi tidak terduga. Padahal sebelumnya pria itu yang memperingatkan Laura untuk tidak bertindak sesuka hati, dan menyebabkan kesalahpahaman antara mereka. Namun, sekarang kenapa justru Harry yang selalu membuat jantungnya berdegup tidak karuan? “Kalau seperti ini, bisa-bisa aku kena serangan jantung," gumam Laura. “Apa?” tanya Harry yang tidak sengaja mendengar gumaman Laura. Pria itu langsung mendongak, menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut istrinya. “Ah, bukan apa-apa." Laura segera menarik tangannya. "Sudah selesai, kan? Aku harus memoto
“Kalian sudah pulang?” Laura menggigit bibirnya sendiri dengan perasaan khawatir. Sementara itu, Harry segera berjalan masuk menghampiri ibunya, dan berusaha membuang semua perasaan gugupnya. “Kapan Mama sampai?” “Belum lama. Kira-kira lima belas menit yang lalu. Kalian dari mana?” Harry merangkul bahu ibunya. Dengan mengajak berbicara, pria itu juga membawa wanita paruh baya itu keluar dari dalam kamar tanpa disadari. “Aku ke kafe Dominic. Setelah itu, kami ke taman wisata mengajak Leo bermain.” “Ah, Leo. Mama jadi ingin bertemu lagi dengan anak itu.” “Kapan-kapan aku akan membawanya pulang,” ujar Harry. Pria itu menoleh ke belakang—menatap Laura dengan kode yang hanya bisa dimengerti oleh keduanya. “Kita turun ke bawah, oke?” “Ya, lagi pula Mama tadi berpikir jika kalian masih tidur di dalam sana.” Harry menggeleng
Melihat bagaimana cara Harry menatapnya, Laura terpaksa tertawa terbahak-bahak agar pria itu lupa dengan apa yang Anna katakan tadi. “Kau seperti tidak tau wanita saja,” ujar Laura sembari menepuk bahu suaminya. “Semua orang pasti akan bicara seperti itu pada pasangan yang baru menikah, kan?” Harry menjauhkan tubuhnya lalu mengangguk pelan. “Kau benar juga.” “Iya. Abaikan saja omong kosong Anna tadi.” Laura masih tertawa seraya menutup mulutnya. Harry hanya menganggukkan kepalanya. Pria itu segera menginjak pedal gas, dan meninggalkan area parkir kafe milik Anna. Sementara itu, Laura menghela napas lega melihat Harry kembali terdiam—dan tidak bertanya apa pun lagi. Dia benar-benar tidak ingin pria itu marah padanya dan menjadi salah paham. *** “Aku lelah sekali.” “Kau ingin makan malam di luar?” Harry menoleh, dia menatap Laura yang sedang menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi mobil. Mereka menghabiskan banyak waktu bermain dengan Leo di taman hiburan tadi. Sampai
"Kau pernah sekolah memasak?” tanya Laura seraya melihat gerakan tangan Anna yang gesit. Dia benar-benar kagum dengan kelihaian yang Anna miliki. “Aku hanya kursus sebentar. Selebihnya, aku bisa karena aku memang suka memasak.” “Wah, mungkin itu yang dinamakan bakat alami.” Anna tertawa pelan mendengar ucapan Laura. “Kau bisa datang ke sini kalau mau belajar juga.” “Sungguh?” “Iya. Anggap saja supaya kita bisa kenal lebih dekat. Kemarin itu kita belum sempat berkenalan lebih jauh lagi.” Anna menghela napas dengan panjang. “Leo benar-benar rewel kemarin, maka dari itu kami langsung pulang.” “Tidak masalah. Kalau begitu kapan-kapan aku akan datang ke sini.” “Kalau aku tidak ada, kau bisa langsung menemui para karyawan di sini. Aku sudah memberitahu mereka.” Laura mengangguk, sangat antusias. Sesaat, dia lupa dengan apa yang terjadi sebelum datang ke tempat ini.
“Ini gila, Harry.” Laura sudah tak punya wajah lagi di hadapan suaminya. Bagaimana bisa ayahnya meminta tolong, sembari memberikan ancaman seperti itu? “Ayo, kita pergi saja dari sini,” ujar Laura lagi. Dia menarik tangan Harry, tetapi pria itu sama sekali tidak bergerak. Harry bergeming. Pria itu tetap berdiri dengan wajah tenang, yang justru bisa membuat semua orang yang ada di sana bergetar ketakutan. Melihat bagaimana cara Harry menatapnya, Tuan Green segera berdiri. Pria paruh baya itu membersihkan tangannya dengan senyum kaku. “Maafkan kami, Nak. Aku—“ “Apa yang akan kudapatkan jika aku bisa menolong kalian?” tanya Harry memotong ucapan ayah mertuanya. Pertanyaan yang dilontarkan Harry langsung membuat perhatian keluarga Green, dan Laura beralih padanya. “Ka-kau serius, Nak? Kau sungguh-sungguh akan membantu kami?” “Harry, jangan berbuat gila!” Harry menoleh ke arah Laura. Pria itu berdiri dengan sikap santai—memasukkan kedua tangannya di dalam saku celana, yang e
Laura dan Harry kompak berbalik. Tatapan mata berwarna biru itu berhenti setelah dia melihat siapa yang ada di hadapannya sekarang. Semua anggota keluarga Green ada di depannya. Ayah, ibu, dan Caroline yang sedang tersenyum ke arah mereka berdua. Melihat itu, Laura berdiri mematung dengan perasaan tak menentu. Sebelumnya, Laura sudah memperkirakan hal seperti ini akan terjadi, tetapi dia tidak menduga jika waktunya akan secepat ini. "Laura, dia suamimu?" tanya Tuan Green sembari melihat ke arah Harry yang berdiri di samping putri bungsunya itu. "Halo, Nak. Akhirnya kita bertemu juga," sapa Tuan Green tanpa menunggu jawaban dari Laura. *** “Kami tidak tahu kapan kalian menikah.” Tuan Green mulai membuka percakapan di antara mereka. Setelah bertemu di depan kantor polisi tadi, Harry memutuskan untuk mengajak semua anggota keluarga istrinya ke restoran. Meskipun L
“Aku hanya ingin memberinya pelajaran,” jawab Laura dengan mengalihkan tatapan matanya. Dia tidak ingin Harry tahu apa alasannya datang ke sana, dan yang terjadi di dalam keluarganya. Itu sangat memalukan. “Keluargamu ada masalah?” “Aku tidak tau.” Laura menjawab dengan cepat. Wajahnya sedikit panik. “Mereka bukan urusanku lagi. Lagi pula untuk apa aku masih menganggap mereka keluarga? Ayahku sendiri yang memutuskan hubungan itu.” “Itu benar. Jadi, kau menemui laki-laki itu bukan karena kakakmu, kan?” Laura terdiam, dan menatap Harry dengan sedikit bingung. Dari mana Harry bisa tahu jika dia menemui Sam karena Caroline? Laura langsung bangkit dengan cepat, dan terduduk. Dia menyandarkan tubuhnya ke belakang, dengan mata yang menatap langit-langit kamar mereka. Seharusnya, Laura memang tidak memedulikan Caroline lagi. Namun, ketika dia tahu bahwa
Harry mendekat begitu mendengar ucapan Laura dengan perasaan yang tidak bisa dia artikan. Kemudian, dia menyentuh pipi Laura yang terasa sangat panas. Tidak hanya itu, keringat wanita itu juga bercucuran. Wajah Harry tampak sangat panik. Seharusnya demam Laura sudah turun karena dia baru saja meminum obat, tetapi kenapa suhu tubuh wanita itu justru semakin tinggi?Ketika Harry hendak pergi untuk mengambil ponselnya, lagi-lagi Laura menarik tangannya dengan erat. “Mama, temani aku malam ini,” ucap Laura lirih. Mendengar permintaan Laura, mau tak mau Harry akhirnya memilih untuk duduk. Pria itu terdiam dengan sorot mata yang penuh arti. Laura menggenggam tangannya dengan kuat, seolah dia tidak mau kehilangan lagi. Harry tidak pernah tahu seperti apa hidup yang dialami wanita ini. Seperti apa hubungannya dengan semua anggota keluarganya. Namun, satu h
Laura membuang wajah. Wanita itu tampak gugup seketika. “A-aku hanya terbiasa hidup dalam kekerasan.” “Mantan kekasihmu sering melakukan hal seperti ini?” “Ti-tidak. Ini yang pertama kali. Dulu dia tidak seperti ini.” “Dari dulu dia memang seperti itu. Kau hanya baru tahu sekarang.” Harry membuang kapas yang dia gunakan untuk membersihkan luka Laura. Kemudian, dia mengambil salep dan mulai mengoleskannya dengan pelan. “Kau boleh mengeluh kalau ini terasa sakit.” Laura menggeleng kuat. “Ini tidak sakit sama sekali.” Ya, Laura benar. Dia tidak berbohong. Semua luka-luka yang dia rasakan sekarang belum ada apa-apanya dibandingkan luka-luka yang biasa dia dapatkan dari ayahnya. Harry terdiam. Pria itu memilih untuk tidak menanyakan sesuatu lagi. Dia hanya sesekali melihat kening Laura yang tampak berkerut, menahan sakit. “Sudah selesai.”