“Harry—” “Ayo, kita pulang!” Harry langsung menarik tangan Laura begitu wanita itu muncul di hadapannya. “Kita pulang sekarang? Tapi, tasku masih di dalam.” Harry berbalik, kemudian dia menatap Ethan yang sedang mengekor di belakangnya. “Kau dengar, Ethan? Ambil tasnya sekarang.” “Baik, Tuan.”Setelah itu, Harry melanjutkan langkah kalinya. Dia memegang tangan Laura dengan kuat, membawa wanita itu untuk segera keluar dari dalam restoran. Dia tak mau jika lelaki hidung belang yang ada di dalam tadi, melihat Laura kembali. Sementara itu, seraya berjalan, Laura menatap tangan dan tubuh Harry yang sedang menariknya secara bergantian. Dia tak berani membuka mulut, saat menyadari jika situasi sekarang tidak baik. Apalagi saat melihat wajah Harry yang merah padam, saat menghampirinya tadi. Pria itu tampak sangat marah. “Masuk!” perintah Harry setelah membuka pintu di kursi di depan. Dia menatap Laura dengan garang, seolah tak ingin wanita itu banyak bertanya. Setelah Laura masuk,
Laura menatap mobil hitam milik Harry yang melesat meninggalkannya seorang diri di tepi jalan. Wanita itu menghela napas panjang, mencoba untuk membuang semua rasa kesalnya. “Dasar pria gila!” teriak Laura pada akhirnya. Dia sudah berusaha untuk tidak marah, tetapi nyatanya tidak bisa. “Bisa-bisanya dia meninggalkan aku di sini sendiri? Tanpa ponsel dan juga tas. Awas saja kau, ya!” Napas Laura terengah-engah setelah dia selesai mengeluarkan semua umpatan dan makian pada Harry. Pria itu benar-benar tak punya hati. Memangnya Laura melakukan kesalahan apa hingga harus diturunkan di pinggir jalan seperti sekarang? Jika harus marah, seharusnya dialah yang marah pada Harry karena hampir membuatnya celaka tadi.Kenapa yang terjadi justru sebaliknya? Laura menyadari jika sejak pulang dari restoran tadi, sikap Harry berubah drastis. Pria itu menjadi tak karuan, dan terlihat sangat marah pada dirinya. “Sekarang aku harus bagaimana coba?” Laura tampak kebingungan, sembari menendang jala
“Semangat!” Ethan mengepalkan kedua tangannya, dan tersenyum lembut, begitu Laura hendak memasuki ruangan Harry.Melihat itu, bibir Laura terangkat—tersenyum miring. “Sialan! Ini gara-gara kau juga.”“Sorry.” Ethan langsung pergi begitu saja, meninggalkan Laura seorang diri untuk masuk ke dalam kandang singa sekarang juga. Terdengar hembusan napas panjang saat Laura memegang gagang pintu ruangan Harry. Dia sudah bicara keterlaluan tadi, dan sekarang mungkin pria yang ada di dalam sana akan lebih marah.Namun, berdiam diri juga tak akan membuat Laura tenang. Dia lebih baik dimarahi di dalam sana, daripada di luar sini, dan menjadi perhatian banyak orang. Jadi, Laura memberanikan diri untuk masuk perlahan begitu membuka pintu, matanya menelisik ke setiap sudut ruangan besar itu, tetapi sayangnya dia tak menemukan keberadaan Harry sama sekali.Alisnya kanannya terangkat. “Ke mana dia?”Laura segera masuk, dan menutup pintu secara perlahan. Wanita itu mendekati meja kerja Harry. Komput
Laura pikir Harry akan melakukan sesuatu yang menakutkan kepadanya. Sepanjang perjalanan tadi, wanita itu tak henti-hentinya merasa gugup dan juga takut, seraya merapal banyak doa kepada Tuhan untuk keselamatan dirinya. Harry menjadi lebih pendiam di perjalanan tadi, hingga membuat asumsi buruk dalam kepala Laura terus bermunculan. Namun, siapa sangka pria itu justru melakukan hal yang sebaliknya. “Kita mau apa ke sini?” “Melihat gaun pernikahanmu,” jawab Harry santai, yang langsung membuat Laura melotot. “Jangan melotot seperti itu? Aku sudah bilang kan sebelumnya, gaun pernikahanmu sudah hampir selesai. Sekarang desainernya meminta kita datang untuk melihat hasilnya.” “Bukan. Bukan seperti itu. Kenapa kau tidak bilang dari tadi kalau kita mau kesini. Aku hampir mati ketakutan tadi.” Harry menggeleng pelan, dengan senyum yang coba disembunyikan, dan langsung turun dari dalam mobil. “Kau ingin turun sekarang apa nanti?” Mendengar pertanyaan Harry, Laura bergegas turun. Dia tak
“Kau hanya belum beruntung saja.” Laura menjawab dengan senyum tipis. Jackson tertawa kecil untuk mencairkan suasana, begitu mendengar jawaban yang dilontarkan Laura. Pria itu bahkan sampai mengusap air mata yang muncul di sudut matanya. “Sudahlah. Jangan bahas tentang aku lagi. Sekarang beritahu siapa calon suamimu? Kau belum ada memberitahukannya padaku, kan?” “Itu—“ Laura menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal. “Kau akan tau sendiri nanti. Makanya kau harus datang, dan aku akan memperkenalkanmu secara langsung dengan dia.” Jackson mencebikkan bibirnya. “Dasar! Oke, lah. Aku ingin lihat seperti apa pria yang bisa memberimu apa yang selama ini tidak kau dapatkan.” “Dia ... tampan.” Laura berkata dengan gugup. Dalam hatinya dia mengutuk diri sendiri karena telah memuji Harry yang menyebalkan itu. “Lebih tampan dari aku?” tanya Jackson sembari memasukkan sesuap cake red velvet ke dalam mulutnya. Matanya sesekali melihat ke arah Laura yang tampak salah tingkah. “Aku tid
“Bicaramu ngawur!” tampik Laura. Dia langsung duduk di sofa, dan meletakkan tasnya dengan kasar. “Kami tak akan berkencan. Pikiranmu terlalu jauh, dia sudah seperti saudara laki-lakiku sendiri.”“Tak ada pertemanan yang seperti itu antara pria dan wanita. Kau mau taruhan?”Laura menatap Harry dengan raut tak suka. “Kau ini sebenarnya kenapa, sih? Aku tak mau taruhan apa pun. Bukankah di dalam kontrak kita juga sudah tertera, baik kau dan aku jangan mencampuri urusan masing-masing.”“Ya, itu benar. Aku hanya ingin mengingatkan saja, jangan pernah ceroboh, Laura!” Suara Harry penuh penekanan, seolah pria itu benar-benar tak ingin namanya ternoda. Laura berdiri dan memberanikan diri menatap Harry. Matanya menyiratkan banyak rasa bingung, dan benci yang menjadi satu. Harry selalu mengaturnya, meragukannya, seolah Laura adalah orang paling ceroboh. “Tenang saja, Tuan Harry Thompson yang terhormat. Aku orang yang menepati janjiku. Lagi pula, aku juga tak akan melepaskan bayaran mahal yan
Satu hari bersama Harry sama seperti satu pekan rasanya. Laura tak henti-hentinya dibuat bertanya-tanya dengan sikap Harry yang berubah-ubah. Pria itu kadang bersikap manis, tetapi dia lebih sering bersikap menjengkelkan. Seperti pada malam tadi, Harry tiba-tiba saja menerobos masuk ke dalam kamar Laura. Entah apa yang pria itu pikirkan, dia langsung tertidur begitu saja, tanpa peduli ketika Laura berusaha mengusirnya. Kini, Laura tampak menghela napas panjang di depan cermin. Bayangan hari kemarin yang dia habiskan terasa begitu panjang. Hingga tak terasa, hari ini pun tiba. Laura menatap dirinya sendiri di depan cermin. Wajahnya sudah dipoles dengan make up yang membuat wajahnya tampak segar. Gaun putih pengantin yang dicoba beberapa hari lalu, entah kenapa sekarang tampak berbeda di matanya. Gaun itu tampak begitu pas, dan membuat Laura tampak sangat indah. “Anda sangat cantik, Nona.” Lamunan Laura buyar. Dia menatap ke arah penata rambut yang juga sedang ters
Resepsi pernikahan Harry dan Laura berlangsung dengan mewah. Banyak tamu undangan yang hadir dari kalangan kelas atas, rekan bisnis Harry dan Tuan Thompson juga. Harry dan Laura terus menebar senyum kepada setiap orang yang memberi selamat pada mereka. Wajah Nyonya dan Tuan Thompson juga tampak gembira, meski awalnya Nyonya Thompson terus menolak Laura, sekarang mau tak mau dia harus menerima wanita itu sebagai menantunya. Senyum Harry mengembang, dan wajahnya tampak senang begitu melihat kedua sahabatnya datang. “Selamat, Bro. Akhirnya kau menyusul kami juga.” Austin memeluk Harry dengan perasaan haru. Begitu juga dengan Dominic. Pria tampan itu datang dan memberikan selamat kepada Harry dan juga istrinya. “Aku pikir kau sudah mati rasa.” “Sialan!” Harry memukul dada Dominic dengan tawa pelan. “Aku masih normal, kan? Kalian saja yang tidak sabar.” “Uncle Harry.” Leo dan Felix memanggil Harry secara bersamaan. Kedua anak laki-laki yang sama-sama memakai tuxedo
"Kau memecatku?" tanya Laura dengan ekspresi tak percaya. "Memangnya aku melakukan kesalahan apa?” Harry mengendikkan bahunya. “Kau kan sudah mendapatkan bayaran mahal dariku. Jadi, jangan serakah!” “Bukan seperti itu ... kontrak kerja kita tidak seperti itu. Aku tidak bisa mengundurkan diri sebelum masa akhir kontrak, kau juga tidak bisa memecatku seenaknya!” sanggah Laura yang masih tidak terima dengan keputusan Harry yang tiba-tiba. Pria itu memecatnya tanpa pemberitahuan. Laura bukan serakah, dia hanya ingin bekerja keras dan mengumpulkan banyak uang, sebelum nanti berpisah dengan Harry. Setidaknya, Laura harus punya persiapan sebelum berstatus janda nanti. “Aku tidak memecatmu seenaknya. Aku punya alasan untuk itu, Laura." “Apa alasanmu? Beritahu aku sekarang!" Harry langsung menjentikkan jarinya di depan Laura yang masih terlihat bingung. “Kau tidak membaca se
"Aktingmu tadi sangat luar biasa, Harry." Harry melihat Laura yang sedang bertepuk tangan dengan wajah riang. Lalu, setelah itu Laura segera menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, yang mana semakin membuat Harry kebingungan. "Maksudmu?" "Kau membelaku di depan ibu mertuaku. Harus kuakui kau cocok jika menjadi aktor," sindir Laura dengan melipat kedua tangan di depan dada. Sungguh, dia nyaris terbawa perasaan karena perlakuan Harry tadi. Harry bersikap sangat baik, seolah dia benar-benar mempercayai dan mencintai Laura di depan ibunya. "Bayaranku akan sangat mahal. Mereka tidak akan mampu membayarnya." "Dasar narsis!" "Sekarang apa yang akan kau lakukan?" "Tidur. Apalagi? Aku masih libur, kan?" Laura meletakkan ponselnya, dan langsung menatap Harry yang juga sedang melihat ke arahnya. Pria itu hanya meng
Kata-kata yang terlontar dari mulut Harry tadi benar-benar membuat hati Laura sakit. Tidak! Bukan karena Harry yang berkata tidak akan menyukainya. Lagi pula, dia memang tidak pernah berharap akan hubungan mereka ini. Walaupun malam tadi, terlintas keinginan dalam benaknya untuk bisa memiliki Harry, tetapi setelah sadar Laura segera membuang jauh-jauh semua pemikirannya itu. Hanya saja, perkataan Harry tadi terlalu kejam. Dia berkata seolah-olah Laura adalah wanita menjijikan, yang tak pantas untuk dicintai siapa pun. "Ya, aku sadar dengan posisiku dan juga siapa diriku," ujar Laura dengan suara pelan, setelah beberapa saat terdiam. Wanita itu hanya bisa membuang napasnya dengan kasar. Berharap dengan itu, dia juga bisa membuang semua rasa sesak di dalam hati yang tiba-tiba hadir. Melihat raut wajah Laura yang berubah, Harry pun terdiam. Tenggorokannya terasa seperti tercekat, saat dia hendak menjawab ucapan dari wanita di hadapannya ini. "Kau turun duluan saja.
“Segera bersiap-siap, orang tuaku, dan teman-temanku menunggu di bawah. Kita akan sarapan bersama.” Laura hanya mendengus mendengar perintah Harry. Dia menatap pria yang sudah rapi dengan pakaian santainya, dengan tatapan tidak suka. “Kau turun saja lebih dulu. Aku akan menyusul.” Tangan Harry yang sedang memakai jam tangan berhenti. Pria itu menoleh, dan melihat wajah Laura yang masam. “Kita turun bersama!” ujar Harry dengan tegas. “Kenapa wajahmu seperti itu? Kau mau semua orang tahu jika pernikahan kita ini hanya kontrak saja?” “Aku tidak akan seceroboh itu, Tuan Harry Thompson! Akan kupastikan semua orang percaya jika kita saling mencintai.” Laura langsung menyunggingkan senyumnya, walau terpaksa. Dia masih kesal dengan sikap Harry saat baru bangun tidur tadi. “Memang seharusnya begitu. Aku membayarmu dengan mahal, sudah sepatutnya kau melayani aku,” sindir Harry yang la
Mendengar ancaman dari Harry, Laura terpaksa diam. Wanita akhirnya hanya bisa pasrah berada dalam pelukan pria besar yang ada di bawahnya. Setelah saling diam, tanpa suara sama sekali, Harry menurunkan tubuh Laura ke sisinya. Pria itu berbaring miring, dan memeluk Laura yang lagi-lagi dibuat terlonjak dengan tingkah Harry. Sungguh, Laura tak bisa menahan debaran di dalam dadanya, ketika tangan besar Harry melingkar di atas perutnya yang ramping. “Pejamkan matamu!” bisik Harry tiba-tiba, yang langsung membuat Laura memejamkan matanya dengan cepat. “Gadis pintar. Selamat malam!”Laura bergeming. Wanita itu hanya bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri yang berdebar dengan kuat. Tubuhnya terasa kaku karena ini pertama kalinya dia berada sedekat ini dengan seorang pria. Setelah mendengar suara napas Harry yang teratur, Laura memberanikan diri untuk membuka matanya. Dia memiringkan wajahnya, hingga tatapan matanya bisa bertemu langsung dengan wajah Harry yang tampak damai.
"Harry, kenapa kau diam saja?" cecar Austin lagi. "Bagaimana dengan pertanyaan Dominic? Kau memaksa sekretaris-mu untuk menjadi istrimu?"“Brengsek!” Harry memaki Austin. Pria itu mengusap wajahnya karena tiba-tiba saja merasa gugup. "Aku bukan pria seperti itu. Kami menikah karena memang sudah waktunya," sanggah Harry, tampak menyakinkan kedua temannya. Austin masih tampak belum puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan oleh temannya itu. "Jadi, kalian benar-benar saling mencintai, kan? Ini bukan pernikahan "palsu", kan, Harry?" Begitu juga dengan Dominic. Bedanya pria itu hanya diam dan mengamati gerak-gerik Harry yang jelas terlihat gelisah. "Kurasa kau mulai mabuk, Austin? Pertanyaanmu tak masuk akal!" Harry kembali mengambil botol wine dan menuangkannya ke dalam gelas. Dia tak mau jika Austin terus-menerus membahas tentang dirinya dan juga Laura. Maka dari itu, Harry berusaha untuk mengalihkan perhatiannya sendiri, d
“Kepastian tentang kapan kontrak pernikahan kita akan berakhir?” Deg! Harry tertegun. Pria itu diam dengan tatapan yang penuh arti. Sebelum ini, mereka memang tidak pernah membahas tentang kapan akhir kontrak mereka. Bahkan, Harry tak pernah memikirkan tentang hal itu dari kemarin. “Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu?” Laura berjalan menghampiri Harry yang berdiri mematung. “Aku hanya butuh kepastian. Aku tidak mau terus hidup dalam kepura-puraan seperti ini.” Harry memandang mata biru milik Laura yang menyiratkan banyak arti. Wanita itu berubah menjadi sedikit pendiam dari pagi tadi, apa ini alasannya? Dengan membuang wajahnya, Harry berkata dengan suara yang dingin. “Kalau begitu ingat baik-baik, kontrak pernikahan kita akan berakhir jika masing-masing dari kita sudah menemukan orang yang kita cintai.” Laura menga
Resepsi pernikahan Harry dan Laura berlangsung dengan mewah. Banyak tamu undangan yang hadir dari kalangan kelas atas, rekan bisnis Harry dan Tuan Thompson juga. Harry dan Laura terus menebar senyum kepada setiap orang yang memberi selamat pada mereka. Wajah Nyonya dan Tuan Thompson juga tampak gembira, meski awalnya Nyonya Thompson terus menolak Laura, sekarang mau tak mau dia harus menerima wanita itu sebagai menantunya. Senyum Harry mengembang, dan wajahnya tampak senang begitu melihat kedua sahabatnya datang. “Selamat, Bro. Akhirnya kau menyusul kami juga.” Austin memeluk Harry dengan perasaan haru. Begitu juga dengan Dominic. Pria tampan itu datang dan memberikan selamat kepada Harry dan juga istrinya. “Aku pikir kau sudah mati rasa.” “Sialan!” Harry memukul dada Dominic dengan tawa pelan. “Aku masih normal, kan? Kalian saja yang tidak sabar.” “Uncle Harry.” Leo dan Felix memanggil Harry secara bersamaan. Kedua anak laki-laki yang sama-sama memakai tuxedo
Satu hari bersama Harry sama seperti satu pekan rasanya. Laura tak henti-hentinya dibuat bertanya-tanya dengan sikap Harry yang berubah-ubah. Pria itu kadang bersikap manis, tetapi dia lebih sering bersikap menjengkelkan. Seperti pada malam tadi, Harry tiba-tiba saja menerobos masuk ke dalam kamar Laura. Entah apa yang pria itu pikirkan, dia langsung tertidur begitu saja, tanpa peduli ketika Laura berusaha mengusirnya. Kini, Laura tampak menghela napas panjang di depan cermin. Bayangan hari kemarin yang dia habiskan terasa begitu panjang. Hingga tak terasa, hari ini pun tiba. Laura menatap dirinya sendiri di depan cermin. Wajahnya sudah dipoles dengan make up yang membuat wajahnya tampak segar. Gaun putih pengantin yang dicoba beberapa hari lalu, entah kenapa sekarang tampak berbeda di matanya. Gaun itu tampak begitu pas, dan membuat Laura tampak sangat indah. “Anda sangat cantik, Nona.” Lamunan Laura buyar. Dia menatap ke arah penata rambut yang juga sedang ters