Suasana berubah ketika Harry mencium bibirnya tanpa persetujuan sama sekali. Isi kepala Laura terus menolak—dia berusaha memberontak, tetapi pria itu justru semakin dalam menjelajahi mulutnya. Namun, di sisi lain Laura juga tak bisa membohongi jika hatinya merasa senang. Pria itu menyentuh titik terdalam dalam dirinya, hingga membuat Laura seakan melayang. Ini aneh. Waktu bersama Sam dulu, Laura tak pernah merasakan hal seperti ini. Dia tak pernah merasakan, bagaimana perutnya terasa menegang, dan seluruh tubuhnya meremang dalam satu waktu, pada pelukan seorang pria yang baru saja dia kenal. “Ini salah, Harry.” Laura menatap pria itu dengan marah saat ciuman mereka berakhir. "Kita tak seharusnya seperti ini." Mendengar ungkapan kemarahan Laura, Harry hanya menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi.Tak hanya sampai di situ, seolah tak peduli dengan kemarahan Laura, Harry bukannya melepaskan begitu saja. Pria itu justru kembali menyentuh tengkuk kepala Laura dengan kedu
Setelah sampai di depan gedung apartemen yang sesuai dengan alamat yang diberikan Laura, Harry menghentikan mobilnya. Pria itu tak langsung membuka kunci, melainkan diam beberapa saat. Setelah perdebatan panjang mereka tadi, Laura memilih diam tak bersuara. Harry tahu jika wanita itu sangat kesal sekarang. "Ethan akan menjemputmu pagi hari, dan ambil libur satu hari untuk besok."Laura menghela napas panjang, dan meminta Harry untuk membuka kunci pintu mobilnya. Wanita itu segera keluar, tetapi sebelum itu dia kembali melihat Harry yang masih duduk dengan tenang, seolah tak melakukan kesalahan apa pun. Padahal perkataan Harry tadi sangat menyakitkan hatinya. Pria itu tak tahu apa pun tentang hidup Laura, tetapi bisa-bisanya mengomentari Laura dengan seenak hati dan berpikir jika Laura memang sering tinggal dengan seorang pria. "Kalau kau butuh uang, beritahu saja aku. Akan kuberikan berapa pun yang kau mau sebagai kompensasi atas waktumu.""Dengar, Harry." Laura menghela napas
Laura memerhatikan setiap sudut apartemen yang menjadi tempat tinggalnya beberapa hari terakhir. Suasananya tampak sunyi dan senyap. Setelah perbincangan malam tadi bersama Jackson, pria itu langsung pergi meninggalkannya dengan alasan ingin beristirahat. Padahal, Laura jelas tahu jika Jackson hanya tak ingin memperpanjang perbincangan mereka. Laura juga tak sepenuhnya menyalahkan sikap temannya yang terkesan abai itu. Dia paham apa yang Jackson pikirkan. Pria itu pasti sangat terkejut dengan kabar pernikahannya yang tiba-tiba. Apalagi Laura sedikit berbohong dengan mengatakan jika pernikahannya akan berlangsung minggu depan. Sebenernya, dia hanya mengatakan omong kosong belaka karena tak mau membuat Jackson menghentikan niatnya. Ya, Laura yakin jika pria tahu waktu pernikahannya masih lama, Jackson pasti melakukan sesuatu agar pernikahannya tak pernah terjadi. Apalagi jika tahu semua ini hanyalah sebatas kontrak saja. Pria itu tak pernah mau melihat Laura kesusahan. Sekal
Pagi harinya, Laura merasa jika tubuhnya menjadi segar sekali. Kemarin dia menghabiskan banyak waktu untuk bersantai karena libur. Dia berendam air dingin hingga puas, dan memanggil terapis untuk melakukan spa.Kapan lagi Laura bisa bersantai seperti itu? Bahkan saat dia masih tinggal bersama dengan Keluarga Green, dia tak pernah memanjakan dirinya sendiri seperti ini. Sekarang, wanita itu melangkah dengan gembira saat tiba di lobi kantor. Pikirannya sudah fresh lagi, dan Laura juga sudah bersiap untuk menghadapi semua tingkah laku Harry hari ini. Namun, saat baru memasuki lobi kantor, Laura mengalihkan tatapannya pada setiap orang yang berpapasan dengannya di lantai satu. Awalnya, dia ingin mengabaikannya saja, tetapi lama-lama Laura merasa tak tahan karena dirinya merasa diperhatikan sejak tadi. Baru beberapa hari lalu, dia menjadi topik hangat karena foto-fotonya yang tersebar dengan Harry. Sekarang, apa lagi yang membuat perhatian semua orang tertarik padanya? “Ethan!
“Undangan pernikahan?” Ulang Laura kembali dengan tatapan tak percaya. “Ya. Apa suaraku masih kurang jelas?” Sekarang, Laura yang mentertawakan Harry. Wanita itu tampak memegangi perutnya karena hampir saja kram. Namun, setelah itu dia kembali menatap Harry dengan tajam, seolah benar-benar ingin memakan pria itu hidup-hidup. Bisa-bisanya pria itu tetap terlihat santai saat sudah membuat kegaduhan seperti sekarang. “Kau gila!” “Aku gila?” “Ya. Bisa-bisanya kau menyebarkan undangan tanpa sepengetahuan aku.” Harry mengendikkan bahunya, acuh tak acuh. "Aku tak butuh persetujuan dari siapa pun." Mendengar alasan Harry, Laura hanya bisa menghembuskan napasnya dengan kasar. Tak ada gunanya juga mendebat pria yang arogan itu. Laura tampak memijat kepalanya yang mendadak pening, hingga tiba-tiba saja wanita itu kembali melebarkan matanya ketika teringat sesuatu. “Tunggu dulu. Pernikahannya masih akan dilangsungkan bulan depan, kenapa tiba-tiba menyebarkan undangan sekarang.” “Si
"Melakukan apa?” Harry mencondongkan tubuh, dengan kedua tangannya yang menghimpit Laura, di tepian meja. Wanita itu meringis—ketakutan. Dia memang menantang pria itu tadi, tetapi sungguh Laura tak menyangka jika Harry akan melakukan hal yang serupa pada dirinya. “Jawab aku, Laura. Memangnya aku mau melakukan apa?” tanya Harry lagi dengan suara pelan, nyaris tak terdengar. Namun, entah mengapa suara pria itu terdengar cukup mengerikan, hingga membuat Laura merinding. Maka dari itu, Laura hanya mampu menggeleng pelan. Dia seperti berada di hadapan raksasa yang akan menelannya sekarang juga. Laura sama sekali tak bisa berkutik. Apalagi saat melihat dada Harry yang bidang, yang membuat jantungnya berdetak tak karuan. “Aku pasti tak bisa bernapas jika dipeluk oleh pria ini,” batin Laura dengan meringis ngeri. Tidak! Tidak! Kenapa Laura bisa punya pemikiran seperti itu? Pikiran kotor macam apa yang terlintas dalam benaknya sekarang? Tak ingin berpikir terlalu jauh, Laura
Laura lagi-lagi mendengkus tak suka, seraya melirik ke arah Harry yang duduk di sampingnya di dalam mobil. Pria itu terlihat tenang sekali, seolah tak terjadi apa pun, setelah membuat Laura berteriak di dalam ruangannya tadi. “Kenapa melihatku terus? Kau benar-benar ingin—“ “Tutup mulutmu! Kau tidak lihat ada Ethan di sini.” Laura menunjuk Ethan yang sedang menyetir dengan ekor matanya. "Aku tak mau dia jadi salah paham saat mendengar ucapanmu itu, Tuan Thompson yang terhormat." Laura tampak geram dengan Harry sekarang. Akan tetapi, pria itu sepertinya tak mengerti dengan kekesalan yang tergambar jelas di wajah Laura sekarang. “Kau bisa mendengar percakapan kami, Ethan?” tanya Harry dengan santai, yang duduk di kursi penumpang juga. “Tidak, Tuan.” Ethan segera mengambil ear phone, dan menyumpal telinganya dengan benda kecil tersebut. Meski, tak ada suara apa pun, dia tetap bertindak seperti itu untuk menyakinkan Laura dan juga Harry jika dia akan menutup mata dan telin
“Eva,” sapa Harry setelah melihat wanita berambut pirang yang baru saja menyapanya. Dia segera menghampiri wanita itu dengan senyum yang dipaksakan. “Aku tak menyangka jika perusahaan event organizer yang dimaksud oleh Tuan Brown adalah milikmu.” Nada suara Harry terkesan seperti sindiran. Dia melihat ke arah pria muda yang berdiri di samping Eva sekarang. “Ya. Aku lupa bilang pada asistenmu. Silakan duduk.” Tuan Brown menyambut kedatangan Harry dengan ramah. Sementara itu, melihat keberadaan Eva, Laura hanya bisa membuang napasnya yang terasa berat, dan segera duduk di samping Harry. Dia ingat dengan jelas siapa wanita ini. “Bukankah kau Laura?” Eva pura-pura terkejut, dan langsung menyapa Laura dengan hangat. “Ternyata kau bekerja pada Harry, ya.” Harry tersenyum dengan ekspresi wajah yang tak suka, ketika mendengar ucapan Eva. “Bisa kita bahas tentang pekerjaan saja?” “Iya, tentu, Tuan Thompson," sahut Tuan Brown dengan senyum yang merekah. Tuan Brown tampak beru
“Apa masih sakit?” “Ah, i-itu tidak lagi,” jawab Laura sedikit gagap. Wanita itu kembali tersentak begitu merasakan jarinya yang kembali basah karena Harry yang kembali menghisap darahnya. Lutut Laura lemas seketika. Rasanya dia hampir terjatuh. Bukan karena darah yang keluar, tetapi karena tindakan Harry yang lagi-lagi tidak terduga. Padahal sebelumnya pria itu yang memperingatkan Laura untuk tidak bertindak sesuka hati, dan menyebabkan kesalahpahaman antara mereka. Namun, sekarang kenapa justru Harry yang selalu membuat jantungnya berdegup tidak karuan? “Kalau seperti ini, bisa-bisa aku kena serangan jantung," gumam Laura. “Apa?” tanya Harry yang tidak sengaja mendengar gumaman Laura. Pria itu langsung mendongak, menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut istrinya. “Ah, bukan apa-apa." Laura segera menarik tangannya. "Sudah selesai, kan? Aku harus memoto
“Kalian sudah pulang?” Laura menggigit bibirnya sendiri dengan perasaan khawatir. Sementara itu, Harry segera berjalan masuk menghampiri ibunya, dan berusaha membuang semua perasaan gugupnya. “Kapan Mama sampai?” “Belum lama. Kira-kira lima belas menit yang lalu. Kalian dari mana?” Harry merangkul bahu ibunya. Dengan mengajak berbicara, pria itu juga membawa wanita paruh baya itu keluar dari dalam kamar tanpa disadari. “Aku ke kafe Dominic. Setelah itu, kami ke taman wisata mengajak Leo bermain.” “Ah, Leo. Mama jadi ingin bertemu lagi dengan anak itu.” “Kapan-kapan aku akan membawanya pulang,” ujar Harry. Pria itu menoleh ke belakang—menatap Laura dengan kode yang hanya bisa dimengerti oleh keduanya. “Kita turun ke bawah, oke?” “Ya, lagi pula Mama tadi berpikir jika kalian masih tidur di dalam sana.” Harry menggeleng
Melihat bagaimana cara Harry menatapnya, Laura terpaksa tertawa terbahak-bahak agar pria itu lupa dengan apa yang Anna katakan tadi. “Kau seperti tidak tau wanita saja,” ujar Laura sembari menepuk bahu suaminya. “Semua orang pasti akan bicara seperti itu pada pasangan yang baru menikah, kan?” Harry menjauhkan tubuhnya lalu mengangguk pelan. “Kau benar juga.” “Iya. Abaikan saja omong kosong Anna tadi.” Laura masih tertawa seraya menutup mulutnya. Harry hanya menganggukkan kepalanya. Pria itu segera menginjak pedal gas, dan meninggalkan area parkir kafe milik Anna. Sementara itu, Laura menghela napas lega melihat Harry kembali terdiam—dan tidak bertanya apa pun lagi. Dia benar-benar tidak ingin pria itu marah padanya dan menjadi salah paham. *** “Aku lelah sekali.” “Kau ingin makan malam di luar?” Harry menoleh, dia menatap Laura yang sedang menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi mobil. Mereka menghabiskan banyak waktu bermain dengan Leo di taman hiburan tadi. Sampai
"Kau pernah sekolah memasak?” tanya Laura seraya melihat gerakan tangan Anna yang gesit. Dia benar-benar kagum dengan kelihaian yang Anna miliki. “Aku hanya kursus sebentar. Selebihnya, aku bisa karena aku memang suka memasak.” “Wah, mungkin itu yang dinamakan bakat alami.” Anna tertawa pelan mendengar ucapan Laura. “Kau bisa datang ke sini kalau mau belajar juga.” “Sungguh?” “Iya. Anggap saja supaya kita bisa kenal lebih dekat. Kemarin itu kita belum sempat berkenalan lebih jauh lagi.” Anna menghela napas dengan panjang. “Leo benar-benar rewel kemarin, maka dari itu kami langsung pulang.” “Tidak masalah. Kalau begitu kapan-kapan aku akan datang ke sini.” “Kalau aku tidak ada, kau bisa langsung menemui para karyawan di sini. Aku sudah memberitahu mereka.” Laura mengangguk, sangat antusias. Sesaat, dia lupa dengan apa yang terjadi sebelum datang ke tempat ini.
“Ini gila, Harry.” Laura sudah tak punya wajah lagi di hadapan suaminya. Bagaimana bisa ayahnya meminta tolong, sembari memberikan ancaman seperti itu? “Ayo, kita pergi saja dari sini,” ujar Laura lagi. Dia menarik tangan Harry, tetapi pria itu sama sekali tidak bergerak. Harry bergeming. Pria itu tetap berdiri dengan wajah tenang, yang justru bisa membuat semua orang yang ada di sana bergetar ketakutan. Melihat bagaimana cara Harry menatapnya, Tuan Green segera berdiri. Pria paruh baya itu membersihkan tangannya dengan senyum kaku. “Maafkan kami, Nak. Aku—“ “Apa yang akan kudapatkan jika aku bisa menolong kalian?” tanya Harry memotong ucapan ayah mertuanya. Pertanyaan yang dilontarkan Harry langsung membuat perhatian keluarga Green, dan Laura beralih padanya. “Ka-kau serius, Nak? Kau sungguh-sungguh akan membantu kami?” “Harry, jangan berbuat gila!” Harry menoleh ke arah Laura. Pria itu berdiri dengan sikap santai—memasukkan kedua tangannya di dalam saku celana, yang e
Laura dan Harry kompak berbalik. Tatapan mata berwarna biru itu berhenti setelah dia melihat siapa yang ada di hadapannya sekarang. Semua anggota keluarga Green ada di depannya. Ayah, ibu, dan Caroline yang sedang tersenyum ke arah mereka berdua. Melihat itu, Laura berdiri mematung dengan perasaan tak menentu. Sebelumnya, Laura sudah memperkirakan hal seperti ini akan terjadi, tetapi dia tidak menduga jika waktunya akan secepat ini. "Laura, dia suamimu?" tanya Tuan Green sembari melihat ke arah Harry yang berdiri di samping putri bungsunya itu. "Halo, Nak. Akhirnya kita bertemu juga," sapa Tuan Green tanpa menunggu jawaban dari Laura. *** “Kami tidak tahu kapan kalian menikah.” Tuan Green mulai membuka percakapan di antara mereka. Setelah bertemu di depan kantor polisi tadi, Harry memutuskan untuk mengajak semua anggota keluarga istrinya ke restoran. Meskipun L
“Aku hanya ingin memberinya pelajaran,” jawab Laura dengan mengalihkan tatapan matanya. Dia tidak ingin Harry tahu apa alasannya datang ke sana, dan yang terjadi di dalam keluarganya. Itu sangat memalukan. “Keluargamu ada masalah?” “Aku tidak tau.” Laura menjawab dengan cepat. Wajahnya sedikit panik. “Mereka bukan urusanku lagi. Lagi pula untuk apa aku masih menganggap mereka keluarga? Ayahku sendiri yang memutuskan hubungan itu.” “Itu benar. Jadi, kau menemui laki-laki itu bukan karena kakakmu, kan?” Laura terdiam, dan menatap Harry dengan sedikit bingung. Dari mana Harry bisa tahu jika dia menemui Sam karena Caroline? Laura langsung bangkit dengan cepat, dan terduduk. Dia menyandarkan tubuhnya ke belakang, dengan mata yang menatap langit-langit kamar mereka. Seharusnya, Laura memang tidak memedulikan Caroline lagi. Namun, ketika dia tahu bahwa
Harry mendekat begitu mendengar ucapan Laura dengan perasaan yang tidak bisa dia artikan. Kemudian, dia menyentuh pipi Laura yang terasa sangat panas. Tidak hanya itu, keringat wanita itu juga bercucuran. Wajah Harry tampak sangat panik. Seharusnya demam Laura sudah turun karena dia baru saja meminum obat, tetapi kenapa suhu tubuh wanita itu justru semakin tinggi?Ketika Harry hendak pergi untuk mengambil ponselnya, lagi-lagi Laura menarik tangannya dengan erat. “Mama, temani aku malam ini,” ucap Laura lirih. Mendengar permintaan Laura, mau tak mau Harry akhirnya memilih untuk duduk. Pria itu terdiam dengan sorot mata yang penuh arti. Laura menggenggam tangannya dengan kuat, seolah dia tidak mau kehilangan lagi. Harry tidak pernah tahu seperti apa hidup yang dialami wanita ini. Seperti apa hubungannya dengan semua anggota keluarganya. Namun, satu h
Laura membuang wajah. Wanita itu tampak gugup seketika. “A-aku hanya terbiasa hidup dalam kekerasan.” “Mantan kekasihmu sering melakukan hal seperti ini?” “Ti-tidak. Ini yang pertama kali. Dulu dia tidak seperti ini.” “Dari dulu dia memang seperti itu. Kau hanya baru tahu sekarang.” Harry membuang kapas yang dia gunakan untuk membersihkan luka Laura. Kemudian, dia mengambil salep dan mulai mengoleskannya dengan pelan. “Kau boleh mengeluh kalau ini terasa sakit.” Laura menggeleng kuat. “Ini tidak sakit sama sekali.” Ya, Laura benar. Dia tidak berbohong. Semua luka-luka yang dia rasakan sekarang belum ada apa-apanya dibandingkan luka-luka yang biasa dia dapatkan dari ayahnya. Harry terdiam. Pria itu memilih untuk tidak menanyakan sesuatu lagi. Dia hanya sesekali melihat kening Laura yang tampak berkerut, menahan sakit. “Sudah selesai.”