--Dua puluh lima tahun kemudian--"Aku membenci Daddy!" pekik seorang gadis cantik berusia 25 tahun. Namanya Alana Mahendra, putri dari pasangan Haiden Mahendra dan Azalea Ariva Mahendra. Yah, dia anak kedua dari pasangan romantis ini. Hidup Alana penuh dengan keglamoran. Dia sering disebut sebagai tuan putri dari Mahendra yang agung. Kenapa Mahendra yang agung? Karena dia milik Haiden Mahendra. Banyak sepupunya yang iri padanya. Tentu! Alana princess terkasih dari Haiden Mahendra, dan adik tercinta dari Ebrahim mahendra. Atas rasa iri tersebut juga banyak yang menyebut Alana putri yang tak diharapkan. Daddynya tak menginginkannya, dan kelahirannya juga karena permintaan Ebrahim yang ingin punya adik. Akan tetapi Alana masa bodo dan tak peduli. Dia yang merasakan cinta daddy-nya padanya. Orang-orang tak akan bisa mempengaruhinya. Hanya saja, Alana sering bertengkar dengan daddynya. Karena daddynya menentang mimpi Alana. Haiden Mahendra adalah tembok paling tinggi yang menghalangi
Besoknya Alana dijemput oleh kakaknya dan mereka pergi ke perusahaan Healthy'food. Sedangkan managernya datang sendiri ke sana, dalam artian mereka tak berangkat bersama dan janjian jumpa di depan gedung perusahaan. Oh iya, karena kakaknya telah menikah, kakaknya tak lagi tinggal dengan mereka. Tapi kakaknya masih sering datang ke rumah, untuk berkunjung tentunya. "Tia, ayo," panggil Alana pada managernya, perempuan cantik yang dua tahun lebih tua darinya. Tetapi Tia menolak dipanggil kakak oleh Alana, oleh sebab itu Alana memangil hanya dengan nama. Tia berlari kecil ke arahnya lalu berjalan bersama, mereka berjalan di belakang Ebrahim. "Bukannya kamu bilang tidak mau berurusan dengan keluarga Azam?" bisik Tia pada Alana. "Ini kehendak Kak Ebra, aku takut menolak. Apalagi kamu habis bertengkar," balas Alana. Mereka akhirnya sampai di sebuah ruangan, tetapi Alana dan Tia kompak bersembunyi di balik tubuh besar Ebrahim. "Apa kabar, Ebra?" sapa seorang pria dengan nada ramah.
"Kau masih berhubungan dengan model rendahan itu?" tanya Samuel pada Ethan, di mana saat ini keduanya berada di ruang rapat. Mereka baru saja selesai rapat, tetapi keduanya belum meninggalkan ruang rapat. Ethan sibuk memeriksa dokumen yang menjadi bahan rapat, sedangkan Samuel memang menunggu Ethan. Samuel adalah CEO di perusahaan ini dan Ethan adalah wakil CEO–atau disebut sebagai COO. Dalam proyek peluncuran produk baru dan marketing, Ethan mengambil peran dan mengambil tanggung jawab. Sebelumnya, dia tidak dipercaya oleh kakak dan daddynya karena pernah mengalami yang namanya sebuah kegagalan, tetapi Ethan pantang menyerah–tak mengenal kata putus asa. Dia bekerja keras untuk membuktikan diri. "Bukan urusanmu," jawab Ethan acuh tak acuh, seketika menutup dokumen lalu membereskannya. Dia berniat keluar dari ruangan ini, menghindari Samuel karena tak suka jika Samuel menyinggung perihal hubungannya dengan Luisa. "Dengar! Perempuan itu tak baik untukmu. Dia mendekatimu karena dia s
"A-aku di mana?" pekik Alana panik. Matanya melotot, wajah tegang dan gugup. Dia tahu ini sebuah kamar, tetapi di mana? Dan bagaimana bisa dia ada di tempat ini. Bukankah tadi dia di ruangan Ethan? Mengingat Ethan dan pekerjaan, Alana reflek bangkit dari ranjang. Namun, dia tak beranjak–otomatis menoleh pada kakinya yang telanjang. Hei! Di mana heelsnya? Alana menoleh ke sana kemari untuk mencari heels tersebut, ternyata ada di ujung depan ranjang. Alana langsung mengambil dan menekannya. Setelah itu, dia segera merapikan pakaian dan tatanan rambut. Alana keluar dari kamar tersebut, gugup dan canggung karena dia langsung bersitatap dengan Ethan. Sialnya, hanya ada Ethan di ruangan ini. "Si-siang, Kak," sapa Alana, mencoba tetap ramah meskipun dia tak suka Ethan karena terlalu kaku dan datar. "Malam," jawab Ethan. Tiba-tiba berdiri dan segera mendekat ke arah Alana. "Hah?! Malam?" Alana bagai anak hilang, menoleh ke sana kemari demi memastikan sesuatu. Mengingat dia pun
"Apa? Besok aku sudah mulai pengambilan gambar dan shooting untuk promosi?" Alana begitu terkejut mendengar penjelasan Tia. Mereka sedang bertelponan. "Aku juga bertanggung jawab untuk iklan yah? Wah, bagus sekali. Luisa pasti tambah mengamuk padaku. Ahahaha … semakin dia mengamuk, semakin aku senang." 'Iya, tapi kita akan diawasi ketat oleh wakil CEO. Meskipun Tuan Ethan itu kakak sepupuku, tetapi aku merasa dia berbeda. Ma-maksudku … tak memandang persaudaraan kalau sudah menyangkut pekerjaan. Oh iya, aku akan mengirim aturan tambahan dan kontrak kerja sama. Jangan lupa dibaca.' "Hu'um." Alana berdehem singkat. Dia mengakhiri pembicaraan dengan Tia–menutup telepon, setelah itu jingkrak-jingkrak di atas ranjang karena sangat senang. "Oh my goodness! Aku dapat projek iklan juga. Aku nggak sabar untuk besok, ingin melihat Luisa melabrakku. Ahahaha …." "Yes … job-nya kuambil, jobnya kuambil. Yes yes yes yes …." "Kalau aku berhasil di sini, pasti aku akan dilirik banyak brand."
"Uhg, bagus-bagus semua fotonya." Alana melihat hasil jepretan Tia, semuanya bagus dan Alana sangat suka. 'Kak Ethan tampan juga kalau dilihat-lihat. Umm-- tampan pake banget sih sebenarnya. Tapi sayang, dia Azam dan … i don't like Azam. Iss, not my type.' batin Alana, tanpa sadar men-zoom wajah Ethan. Namun, ketika dia menyadari apa yang dia lakukan, Alana reflek mematikan zoom. Dia langsung menoleh ke arah Ethan, memastikan apakah Ethan melihat atau tidak. Untungnya tidak. "Kak, boleh tidak foto yang ini aku upload di sosial mediaku?" tanya Alana, memperlihatkan foto yang ingin dia posting di sosial media-nya. "Boleh." Ethan menjawab santai–Luke yang berdiri di sebelahnya membulatkan mata karena tercengang. Selain anti kamera, Ethan juga anti hal yang seperti Alana pinta. Bahkan di majalah bisnis yang membahas keluarga Azam, wajah Ethan selalu diblur. Namun, kenapa mendadak Ethan membiarkan. Dua hari bersama Alana, dua hari tuannya menunjukkan sikap yang tak biasa. "Aku mau t
"Terimakasih atas kerja samanya." Alana berterimakasih pada fotografer dan para kru. Pengambilan gambar hari ini telah selesai, dan Alana memang terbiasa berterimakasih pada kru yang bekerja dengannya. "Terimakasih juga, Nona Alana. Selain cantik, anda juga sangat baik." ujar sang fotografer. Alana tersenyum manis. Setelah itu pamit untuk keluar dari ruangan tersebut. Dia dan Tia berjalan bersama. Alana berencana pulang tanpa mengabari Ethan. Dia takut Ethan kembali mengantarnya pulang. Bukan apa-apa, Alana hanya tak enak hati pada kakaknya tersebut. Rumah mereka berlawanan arah. "Alana." Alana dan Tia yang sedang asyik mengobrol langsung berhenti melangkah. Mereka berdua memutar tubuh, menatap seorang perempuan yang memanggilnya. "Alana, kamu keterlaluan!" Luisa mengambil ancang-ancang untuk menampar Alana, akan tetapi Alana mengindari ke samping sehingga Luisa berakhir terjerembab. "Argkkk!" Luisa menjerit tak terima. "Kamu--" marahnya, menunjuk ke arah Alana.
"Meminta?" Ethan menaikkan sebelah alis, wajahnya datar dan begitu juga dengan sorot matanya; sayu tetapi mengintimidasi. Alana meneguk saliva secara kasar. Sial! Dia keseringan meminta minta pada kakaknya sehingga menyamakan semua orang dengan kakaknya. Ah, tentu saja Ethan berbeda! "Maksudku meminjam uang Kak Ethan. Setelah di rumah, nanti uangnya kuganti," ucap Alana dengan nada malas. Ethan ternyata pelit, dan sudah ia duga jika kebaikan Ethan selama beberapa hari ini hanya bentuk pencitraan saja. "Ini." Ethan menyerahkan dompetnya pada Alana, membuat perempuan itu terkejut karena tak ekspek Ethan akan menyerahkan dompetnya. Namun, saat Alana berniat mengambil dompet tersebut, Ethan menariknya–membuat Alana sedikit kesal karena merasa dipermainkan, "tidak perlu bayar sekarang, aku akan menagih di kemudian hari." "Iya iya. Nanti hutangku kucatat di buku khusus," jawab Lea pelan tetapi dengan nada cemberut, mengambil dompet Ethan lalu buru-buru kembali masuk ke minimarket. Et
Saat ini Alana sedang menahan senyuman, tetapi sebisa mungkin dia membalikkan ekspresi muka datar. Sekarang dia berada di kediaman utama keluarga Azam, berkumpul di sana karena pengantin Ethan melarikan diri. Yah, Alana senang karena perempuan yang dinikahi oleh Ethan memilih kabur. Dengan begitu, bukankah Ethan tidak akan menikah?! Namun, kasihan juga Ethan dan keluarganya. Ethan terlihat tertekan dan frustasi, sedangkan otangtua Ethan terlihat menyedihkan. 'Alah, bodo amat. Yang terpenting Kak Ethan tidak jadi menikah. Hehehe ….' batin Alana, tiba-tiba menutup mulut karena dia tidak bisa mencegah dirinya untuk tak tersenyum. Katakan Alana jahat, tetapi …- Alana bahagia diatas penderitaan Ethan. "Alana, kenapa kamu--" Kanza mengamati Alana secara teliti, tetapi karena suaranya cukup kencang akhirnya semua orang ikut menatap ke arah Alana. Bahkan Ethan pun menatap ke arah Alana, "kamu senyum senyum yah?"Alana melototkan mata kepada Kanza, wajahnya sudah tegang dan konyol. 'Adi m
"Tidak apa-apa. Itu hak Kak Ethan," jawab Alana santai, diakhiri sebuah senyuman manis pada Ethan. Ekspresi Ethan langsung berubah dingin, kembali fokus pada jalana. Namun, dia kembali bersuara. "Aku memang ingin menikahi perempuan lain dalam waktu dekat," ucap Ethan, "baguslah jika kau tidak keberatan," lanjutnya. Alana mendongak kembali pada Ethan, lagi-lagi memperlihatkan senyuman manis. Setelah percakapan itu, sepanjang jalan, Alana dan Ethan hanya saling mendiami. Alana diam-diam melirik Ethan, jantungnya berdebar kencang dan dadanya bergemuruh hebat. Ethan ingin menikahi perempuan lain? Bukankah seharusnya Alana senang? Tetapi kenapa dia … kesal. 'Ck, ini bagus dong. Jika Kak Ethan menikah dengan orang lain, maka aku dan dia tidak akan dijodoh-jodohin lagi sama keluarga kami. Syukurlah kalau begitu,' batin Alana, mencoba menyingkirkan perasaan tak enak setelah mendengar penuturan Ethan. Tidak mungkin pria ini akan menikah! Akhirnya Alana sampai di rumah. Dia turun
"Jam tangan," gumam Ethan, membuka kado yang Alana berikan padanya. Dia sudah di rumahnya, di dalam kamar dan sedang bersantai. Senyuman tipis muncul di bibirnya, mengusap jam tangan pemberian perempuan yang ia cintai. Ethan mencoba jam tangan tersebut ke pergelangan tangan dan ternyata pas. Dia lagi-lagi tersenyum tipis, merasa semakin senang ketika jam tersebut telah ada di pergelangan tangan. Namun, karena dia takut jam tersebut lecet dan terkena debu, Ethan melepas jam itu. Dia kembali memasukkan ke dalam kotak lalu membawanya ke walk in closet. Tetapi Ethan mengurungkan niat, memilih menyimpan jam tersebut di atas nakas sebelah ranjang. Karena dengan begitu, setiap hari Ethan akan melihat jam ini. Setelah meletakkan jam tersebut di atas nakas, Ethan mengeluarkan sebuah surat dari saku celana. Surat tersebut adalah surat yang Alana lempar tadi. Dia diam-diam memungutnya karena dia sangat penasaran dengan isi surat tersebut. [Untuk, Kak Ethan. Selamat hari kasih sayang dan ci
Alana mendekati Daddynya lalu merampas kertas kecil tersebut. "Daddy sama Mommy rese banget sih," ucap Alana dengan nada cemberut, dia meremas kertas secara diam-diam kemudian membuangnya secara sembarang arah. Sebenarnya tak ada yang istimewa pada kertas itu, soalnya yang menulis adalah staf toko jam tangan. Palingan hanya ucapan terimakasih. Namun, kalau daddynya membaca, tetap saja Alana merasa malu. "Jadi Alana dan Kak Ethan kencan sambil mencari kado? Kalian ingin tukar kado yah?" tanya Nanda dengan nada hangat tetapi tatapan jahil pada Alana. "Enggak, Uncle," bantah Alana, memilih di sebuah sofa tunggal. Sebetulanya Alana sudah tak punya muka dan dia ingin sekali meninggalkan tempat ini. Namun, dia takut sekali mommynya mengatakan hal-hal aneh pada Ethan. Alana juga takut kalau Ethan me-melamarnya. Awalnya Alana tak masalah dilamar oleh Ethan. Itu bukan sebuah ancaman baginya karena dia putri kesayangan sang Haiden. Daddynya tak mungkin merelakan Alana pada Ethan. Namun
"Kamu dari mana sih, Alana sayang?" tanya Lea ketika putrinya telah kembali. Dia langsung menghampiri sang putri, menatap Alana lekat dan penuh perhatian. Lea tentu khawatir pada Alana. Tadi malam putrinya hampir terkena masalah yang luar biasa mengerikan. Pagi ini, ada berita buruk tentang seseorang yang membenci putrinya. Lea khawatir orang tersebut melakukan aksi kejahatan pada Alana; menyerang Alana secara fisik. Lea sangat panik tetapi dia tidak berani memberitahu suaminya karena dia takut jika Haiden mengamuk. Meski sekarang suaminya jauh lebih lembut dan hangat, tetapi Haiden tetaplah Haiden. Sumbu pendek, nuklir ataupun gunung berapi. Jadi Lea tak ingin mengambil resiko. Dia memilih menghubungi Ethan, pria yang sudah ia dan suaminya setujui untuk menjadi menantu. Sebenarnya ada opsi menghubungi putranya, tetapi sifat Ebrahim tak jauh dari dadanya–sangat mudah marah. Takutnya, Ebrahim memarahi adiknya yang pergi tanpa pamit. "Aku habis jalan-jalan, Mommy," jawab Lea,
"Aku calon suami Alana." Deg deg deg Alana reflek mendongak pada Ethan, menatap pria itu dengan mimik muka campuran tegang dan malu-malu. Namun, Alana tak seperti biasanya, di mana dia akan kesal serta tak terima ketika Ethan menyebutnya pasangan. Alana hanya … merasa gugup. Satria menatap Ethan dengan senyuman remeh, pria ini pasti orang yang mengaku-ngaku sebagai calon suami Alana. Atau jangan-jangan dia fans fanatik dari Alana? "Kau ini--" Satria menatap Ethan dari atas hingga bawah. 'Pakaiannya sangat berkelas, dia penuh wibawa dan karisma. Orang sepertinya seharusnya jarang menonton televisi. Ah, bisa saja dia berpenampilan seperti ini untuk memikat perempuan. Tapi tak bisa ku pungkiri, dia memiliki aura yang mahal.' batin Satria, dia memperhatikan penampilan Ethan untuk menghina pria ini. Akan tetapi, dia tidak memiliki bahan untuk menghina pria ini. Bahkan semua yang pria ini pakai harganya hampir setara dengan harga mobil miliknya yang biasa ia pakai ke lokasi shooting.
"Angkat kamera kalian dan kalau berani, menghadap padaku!" dingin Haiden, nada menggeram marah dan tatapan sangat tajam–penuh emosi. Alih-alih mengangkat kamera, para wartawan tersebut bergerak mundur. Mereka menunduk dalam, menutupi wajah agar tidak dilihat oleh sang legendaris Mahendra. Rurom menyebut, apabila dalam keadaan marah Haiden menatap seseorang, maka orang tersebut akan menghilang. Tak ada yang bisa membenarkan rumor tersebut, akan tetapi banyak yang menyebutnya nyata. "Kalian berani mengganggu putriku, Hah?!" bentar Haiden dengan suara menggelegar–para wartawan tersentak kaget, tubuh bgemetar hebat dan jantung berdebar kencang. "Ma-maafkan kami, Tuan Haiden," ucap salah satu dari wartawan tersebut. "Kalian semua pantas mati!" dingin Haiden. Lea melepas pelukannya pada putrinya lalu buru-buru menghampiri suaminya. "Mas Deden Terlope-lope, tenangkan diri kamu," peringat Lea, memeluk suaminya sembari satu tangan mengusap dada bidang sang suami. "Sebaiknya kita p
"Putriku. Di-dimana putriku?" Haiden dan yang lainnya datang ke sana. Ebrahim yang memberitahu supaya daddynya datang ke tempat ini. Awalnya Ebrahim dan Ethan sepakat ingin menutup-nutupi masalah ini dari Haiden dan Lea. Akan tetapi, daddynya terus menghubunginya–menyuruh Ebrahim untuk mencari Alana ada di mana. Pada akhirnya Ebrahim mengatakan yang sejujurnya. "Daddy …." Alana langsung berdiri, menangis sembari menatap ke arah daddynya. Haiden merentangkan tangan supaya putrinya datang dan memeluknya. Alana langsung berlari dan …- Bug' Memeluk sosok perempuan di sebelah daddynya–mommynya. Haiden yang masih merentangkan tangan–berharap dipeluk oleh putrinya, terlihat memasang muka kaku dan dengan mata berkedut-kedut. Hell! Dia hanya mendapat angin untuk dipeluk. Semua orang yang melihat itu, berusaha menahan tawa. Lucu akan tetapi salah waktu saja. "Su-sudah, Den. Tak ada yang ingin memelukmu," ucap Reigha, menurunkan tangan Haiden yang masih direntangkan. "Nanti kita
"Sudah?" tanya Ethan, melirik sekilas pada Alana yang masih berendam dalam bath up. Sebenarnya Ethan ingin sekali melirik Alana lebih dari satu detik, tetapi … damn! Dia takut dia mencelakai gadis ini. Alana menekuk kaki lalu memeluk diri sendiri. Dia sudah sadar dan tubuhnya tidak lagi merasa terbakar. "Sudah, Kak," jawabnya pelan, malu karena keadaannya hampir telanjang. "Humm." Ethan berdehem singkat, meraih handuk lalu memberikannya pada Alana. "Aku keluar," ucapnya setelah itu."Kak Ethan, bajuku basah dan aku tidak punya baju lagi," cicit Alana ketika Ethan berniat keluar dari kamar mandi. "Humm." Ethan hanya berdehem, dia keluar dari kamar mandi lalu menghubungi seseorang untuk mengantar pakaian pada Alana. Orang yang dia hubungi adalah Zana, perempuan itu dekat dengan Alana dan tentunya tahu selera berpakaian Alana. Satu lagi. Zana sepupunya dan mereka lumayan dekat. Tak lama Zana datang dengan Ebrahim, di mana raut muka Ebrahim sangat tak bersahabat–khawatir dan marah