Lea ingin sekali menegur Haiden, akan tetapi dia sadar kalau Haiden lebih meledak-meledak setelah sebelumnya ditegur olehnya. Mungkin Haiden merasa kalau tadi Lea membela Ziea sehingga dia semakin marah pada semua orang. "Haiden." Kenzie kembali menegur putranya, "Usiamu sudah kepala tiga tetapi kelakuanmu masih seperti bocah tiga tahun. Sebentar lagi kau juga akan menjadi seorang papa, ubah sikapmu yang seperti ini." "Jangan senyum-senyum, Zie. Kamu juga sama seperti Kakak. Sudah besar tetapi masih bertingkah seperti anak kecil." Kenzie beralih menegur putrinya, membuat senyuman penuh kemenangan Ziea seketika luntur. "Maaf, Daddy," sungut Ziea pelan, mendapat anggukkan kepala dari daaddynya. Mereka semua pada akhrinya sarapan bersama, tak ada lagi yang berani ribut karena para petarung sudah ditegur oleh Kenzie. Selesai sarapan, Haiden ke kantor dan begitu juga dengan Maxim. Hanya Reigha yang tak kemana-mana, karena pekerjaannya memang lebih longgar kalau sedang di tanah ai
"Ingin kau jadikan sekretaris lagi?" Haiden menatap Nanda dengan mimik muka datar. "Panggil saja." Nanda pada akhrinya menganggukkan kepala kemudian segera beranjak dari sana untuk memanggil Citra. Tak lama, Nanda kembali ke ruangan Haiden, bersama dengan Citra. "Nanda, keluarlah." titah Haiden datar, membuat Nanda mengernyit tak paham dan juga penasaran secara bersamaan. Haiden tiba-tiba memanggil Citra keriangannya kemudian Haiden menyuruhnya keluar. Entah kenapa Nanda curiga. Apa yang ingin Haiden bicarakan pada Citra sehingga Haiden mengusirnya? Namun, Nanda tak berani membantah Haiden. Dia segera keluar dari ruangan Haiden, memilih menunggu di depan ruangan. Ada sebuah sofa tunggu di sana, Nanda memilih duduk di tempat tersebut. "Apa yang bisa kubantu, Tuan?" tanya Citra, seperti biasa formal dan sopan. Akan tetapi, dalam hati dia senang luar biasa. Akhirnya setelah beberapa bulan ini ia dipindahkan dan tak bisa dekat dengan Haiden lagi, hari ini Haiden kembali memangg
"Kami sedang membakar ubi, Mas," jawab Lea pelan, memandang wajah suaminya secara lekat dan penuh tanda tanya. "Setelah ini, kita pulang, Azalea." Lea menganggukkan kepala, tersenyum tipis pada suaminya. Sebetulnya Lea masih di sini, tetapi jika Lea mengatakannya pada Haiden, dia takut Haiden seperti tadi malam–marah dan merajuk. Jadi lebih baik dia patuh diajak pulang oleh suaminya. Meski begitu, malam ini Lea seru-seruan dengan keluarga suaminya. Dia sangat senang dan tertawa lepas bersama Ziea dan Aayara. Hingga sekitar jam sembilan malam, Haiden membawanya pulang. *** "Hari pernikahan Nanda dan Nami sudah semakin dekat." Haiden dan Lea sudah kembali ke rumah mereka, di mana saat ini tengah membantu istrinya menghitung lingar perut. Haiden selalu cemburu pada bayi di perut istrinya. Akan tetapi, dia begitu protektif dan selalu bersemangat dalam memperhatikan perkembangan kehamilan istrinya. "Kau ingin mengunakan dress seperti apa, Azalea?" tanya Haiden, setelah menguk
Hari ini adalah hari bahagia untuk Nanda, karena pria ceria dan manis tersebut telah resmi melepas masa single nya. Setelah selesai dari acara pernikahan, Nanda ikut berkumpul bersama teman-temannya. Ini sudah seperti tradisi di geng's-nya, sehari setelah menikah, pasti mereka akan berkumpul. Akan tetapi kali ini berbeda, tak seperti Rafael yang berkumpul dengan keluarga besarnya, Nanda hanya bersenang-senang dengan sahabat dan teman dekat. "Weiis … pengantin baru kita akhirnya keluar," ucap Bima, mendapat tawa dari Elang dan teman yang lainnya. "Bagaimana malam pertamamu, Dude?" tanya Arga, yang lainnya terkekeh. Hanya Haiden dan Reigha yang diam, keduanya memilih sarapan dengan tenang. Kevan juga ikut, membawa Citra dengannya. Di depan semua orang, dia memperlakukan perempuan bagai babunya. Semua orang tak ada yang berani menegur ataupun mencampuri. Rekq tentunya juga ikut meramaikan. Meskipun dia sering bertengkar dengan Nanda, tetapi mereka juga teman satu team yang baik.
Selepas dari masalah tadi pagi, mereka semua kembali seru-seruan. Haiden sempat ke kamarnya dan Lea, khusus untuk memperingati Lea supaya tidak terlalu aktif. Semisal Ziea atau Serena mengajak Lea jalan-jalan sekitar pantai, Haiden menegaskan agar Lea menolak. Yah, mereka semua berada di sebuah villa milik keluarga Mahendra, untuk merayakan hari bahagia Nanda. Sebetulnya ada opsi menyewa penginapan, tetapi kenapa tidak?! Nanda kepercayaan sekaligus temannya. Haiden tak akan pelit. Setelah menasehati dan memperingati istrinya, Haiden kembali ke arah teman-temannya. Kemudian tanpa mengatakan apa-apa, di mencengkeram kuat lengan Arga lalu menarik pria itu keluar dari villa. Orang-orang di sana kebingungan. Akan tetapi, tak ada yang berani merelai. Rafael sendiri, dia berpura-pura cuek. Dia baru berdamai dengan Haiden, dan dia tak ingin bermasalah dengan sepupunya itu lagi. Maxim sendiri, dia tahu apa yang akan Haiden lakukan. Oleh sebab itu dia memilih tak mencampuri. Lagipula dia se
Lea menganggukkan kepala, tersenyum manis pada suaminya. "Aku percaya, Mas Tampan," ucap Lea centil sembari mengusap dada bidang sang suami genit. Haiden menangkap tangan nakal istrinya lalu melayangkan tatapan peringatan pada Lea. "Jangan memancing, Azalea.""Aku sedang menjala, Mas Deden Terlope-lope." Lagi-lagi Lea berkata dengan nada centil, tak lupa mengedipkan sebelah mata secara genit pada sang suami. Haiden berkacak pinggang, geleng-geleng kepala melihat tingkah Lea. Entah kenapa dia merasa Lea kembali ke era mengejarnya, centil tetapi candu. Sialnya, ada banyak orang di sini, Haiden takut membuat istrinya tak dapat keluar dari kamar jika dia langsung menerkam. "Tunggu setelah kita pulang," ucap Haiden pelan, seketika membuat senyuman lebar Lea berubah menjadi senyuman getir. "Hehehe …." Lea cengenges pelan, "a-aku ke tempat Ziea dulu. Papai …," ucap Lea, setelah itu buru-buru pergi dari dekat Haiden. "Cih." Haiden berdecis pelan, menatap kepergian istrinya dengan sorot g
"Hidup …--" Lea kembali ingin menyeru, kali ini bersiap-siap untuk melantunkan yel yel kebangsaan geng's-nya. Akan tetapi dia mengurungkan niat karena tak sengaja kembali menoleh ke arah para pria. Dia semakin jelas bisa melihat api. "Ya ampun! Itu bukan becanda, Zie, Yara, Jenny. Itu kepala orang kebakar!" pekik Lea, buru-buru beranjak dari tempatnya menuju ke arah pada lelaki. Yang ada dipikiran Lea adalah suaminya. Sedangkan Haiden, dia memperingati siapapun untuk memadamkan api di kepala Arga. Teman-temannya tentu kasihan pada Arga, akan tetapi mereka tak berani. Terlebih Haiden tak sendiri, ada Kevan, Nanda, Reigha dan juga Rekq yang sudah jelas berpihak padanya. Apalah mereka yang hanya mengandalkan Rafael. Maxim itu netral dan Alvian selalu mengikuti Maxim. "Minggir minggir minggir!" Lea mendorong siapapun yang menghalangi jalannya untuk menuju tengah. Dia khawatir Haiden terbakar! Melihat Haiden dekat dengan sumber api, Lea langsung menarik suaminya supaya menjauh. "Mas H
"Tolong, jangan rusak kebahagiaanku!" Setelah mengatakan itu, Nanda segera beranjak dari sana.Rekq menyempatkan diri tersenyum pada Arga dan setelah itu ikut meninggalkan tempat tersebut. Maxim menarik Aayara kemudian segera beranjak dari sana. Perlahan semua orang juga meninggalkan tempat tersebut, sisa Rafael dan Arga. "Kuharap kau bersedia meminta maaf pada Nanda, Haiden dan Maxim," ucapnya sembari menepuk-nepuk pelan pundak Arga."El, aku tidak melakukan kesalahan apapun pada Haiden. Dia saja yang-- ck, sok berkuasa." "Bukan sok berkuasa tetapi memang punya kekuasaan," ujar Rafael datar, bersedekap di dada sembari menatap kurang suka pada Arga. "Aku dan Haiden baru kembali berteman. Dan gara-garamu, aku kembali ribut dengannya. Cepat minta maaf padanya. Jangan lupa pada Nanda, kau membuat Nanda sedih." "Baiklah." Arga menganggukkan kepala. Dia berdecak kembali ketika memegang kepalanya yang sudah-- sialan! Dia sangat membenci Haiden. Tapi-- mau bagaimana lagi? Dia tidak bisa
"A-apa? Aku dijodohin sama Papa?" Kaget dan panik Nindi. "Udah. Kamu mandi dulu. Nanti Mama bicarain ke kamu." Setelah sampai di kamar putrinya, Lachi mendorong Nindi masuk ke dalam kamar–menyuruh putrinya untuk segera mandi. *** "Jadi bagaimana? Masih ingin menikahi putri Paman?" tanya Danzel, di mana saat ini dia sedang berbicara dengan anak dari salah satu temannya lamanya di dunia bisnis. Sejak dulu pemuda ini sudah mendatanginya dan mengatakan keinginannya untuk memperistri putranya. Dulu, Danzel menertawakan karena anak ini masih remaja labil. Tapi meski begitu, dia menganggukkan kepala–setuju jika pria ini menikahi putrinya di masa depan. Sejujurnya Danzel tak terlalu serius dan menganggap itu hanya candaan ssmata. Danzel merasa anak ini tak akan bertahan lama dalam rasa sukanya pada Nindi. Dari remaja hingga dewasa–tak mungkin pria ini tak menemukan perempuan lain di luaran sana. Intinya, Danzel tak yakin jika pemuda ini bertahan dalam hal menyukai putrinya. Namu
Saat ini Nindi berada di kontrakan kecil miliknya. Hidupnya berubah drastis setelah empat bulan terakhir ini. Dia menjalani hari-hari penuh dengan kekurangan, dia berusaha bertahan di era miskin yang melanda dirinya karena ingin hidup mandiri seperti ibunya saat muda dulu. Neneknya bilang ibunya seorang perempuan mandiri yang tak pernah mengandalkan kekayaan orangtuanya. Nindi yang selama ini berfoya-foya dengan uang ayahnya, merasa tersindir. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri. Dia memisah dari keluarga Adam, mencari pekerjaan secara mandiri di perusahaan lain, dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang serba kurang. Bagi Nindi ini cukup sulit karena dia terbiasa hidup penuh kemewahan. Namun, sejauh ini, Nindi menikmati kehidupan barunya. Derrttt'Nindi meraih handphone di atas meja nakas, samping ranjang kecil miliknya. Dia langsung mengangkat telepon dari sahabatnya, Clara. "Iya, Ra?" ucap Nindi, satu tangan menempelkan ponsel ke telinga, satu la
"Lihat penampilanmu sekarang, nggak terurus, buruk dan … harus aku akui, kamu jelek banget." "Yang penting aku masih hidup." "Iya, masalahnya, siapa yang mau pacaran sama kamu kalau kamu bentukannya begini, Nindi." Mendengar nama itu, seorang pria yang sedang menunggu pesanannya segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia bisa melihat dua perempuan sedang duduk bersama, satu perempuan berpenampilan rapi dan satu lagi terlihat seperti gembel. Perempuan gembel itu-- rambutnya berminyak, wajah kusam, pakaian tak disetrika, dan sandal jepit yang dia kenakan sudah diikat tali plastik. Sepertinya sandalnya putus, dan dia mengakalinya dengan tali plastik. Diam-diam pria itu mengambil potret si perempuan gembel tersebut, setelah itu mengamati potret yang ia ambil dengan sangat serius. Sejujurnya meskipun berpenampilan gembel, perempuan ini masih tetap cantik. Hanya saja-- bukankah perempuan ini berasal dari keluarga terpandang, kenapa penampilannya seperti gembel? Apa pamannya–a
"Apa mereka sedang menggunjing istri yah?" timpal Ziea, membuat semua orang menoleh padanya. "Ahahah, tidak mungkin, Ziea." Serena tertawa dengan anggun, menatap lucu pada Ziea. "Positif thinking, pasti membahas mobil. Para pria kan suka begitu," tebak Lea, kali ini mendapat anggukkan dari yang lainnya karena itu masuk diakal dan mereka setuju. "Ah ya ampun!! Pria yang pake kemeja hitam, ganteng sekali." Lea senyum-senyum manis. "Kak Deden?" Ziea memicingkan mata, mendapat anggukan dari Lea. "Tampan kan?!" Lea menaik turunkan alis. "Aduh. Tobat, Lea, tobat! Kamu sudah tua, Sayang!" Ziea mengomeli Lea, tetapi Lea tidak peduli–tetap memuji ketampanan suaminya. "Ada Alana loh di sini. Kamu tidak malu?" "Enggak apa-apa, Aunty. Alana sudah biasa kok," jawab Alana santai. "Pantas anteng, ternyata sudah biasa." Serena tertawa kecil. "Itu adek Kak Zana kan?" bisik Kanza pelan pada Anna, menatap seorang pria yang baru masuk. Pria itu tinggi, berpenampilan rapi dan p
*** Ethan memasuki rumahnya dengan langkah cool. Hari ini dia pulang lebih cepat dari kantor karena orangtua dan mertuanya sayang ke rumah. Keluarga yang lain juga akan datang, untuk menjenguk Alana yang sedang hamil. Sebenarnya ini kebiasaan keluarga Mahendra yang sangat kekeluargaan. Namun, karena daddynya tak mau kalah dan pada akhirnya yang lain ikut-ikutan. Jadilah hari ini mereka semua datang ke rumah ini. Ah, kakaknya juga datang. Namun, Samuel lebih dulu sampai ke sini dibandingkan Ethan yang merupakan tuan rumah. "Nyonya ada di mana?" tanya Ethan pada salah satu maid, ketika maid itu tergesa-gesa keluar dari sebuah ruangan lalu memberi hormat padanya saat melewatinya. Maid tersebut terlihat panik, segera menyembunyikan buku nyonya-nya ke belakang tubuh. "Ah-- itu, Tuan, Nyonya di-di halaman belakang bersama keluarga." "Humm." Ethan berdehem singkat. "Apa yang kau sembunyikan? Perlihatkan sekarang!" titah Ethan kemudian. Maid tersebut dengan ragu memperlihatkan buku
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Alana, melayangkan tatapan tajam ke arah seorang laki-laki. Karena mendapat laporan dari maid–ada seorang pria di depan gerbang rumah, Alana langsung ke sana untuk memeriksa. Alana sejujurnya malas, akan tetapi dia tak ingin membuat keributan. Dia takut pria itu nekat ke dalam atau Ethan tiba-tiba pulang dan salah paham pada si pria itu. Jadi lebih baik Alana turun tangan. "Alana, akhirnya kau bersedia menemuiku." Pria itu begitu senang setelah melihat Alana datang. Dia tersenyum lebar, layaknya seseorang yang telah menemukan berlian langka di dunia. Pria itu mendekat tetapi Alana mundur. "Ck, kamu ngapain datang ke sini, Hendru?!" ketus Alana, menatap sinis dan tak suka pada Hendru. Alana sudah muak dengan Hendru karena pria ini sangat mengganggunya. Hendru meninggalkan kenangan buruk bagi Alana, tetapi pria ini muncul dengan gampangnya dihadapannya, tanpa merasa bersalah sedikit pun atau tak malu sama sekali. "Aku ingin meminta maaf pa
Alana terdiam di depan pintu ruangan Ethan. Dia sudah membuat kopi untuk Ethan akan tetapi dia tak berani untuk mengantarnya akibat dia … memanggil Ethan dengan embel-embel 'mas. Dia melakukannya tanpa sadar dan sekarang dia sangat malu. "Tapi sepertinya Kak Ed juga tidak sadar kalau tadi aku memangilnya Mas," gumam Alana pelan, mengenal napas pela untuk menenangkan diri. Setelah itu, dia membuka pintu ruangan Ethan dan langsung masuk. "Ini kopinya, Kak," ucap Alana pelan, meletakkan kopi di dekat suaminya. Ethan mendongak, sejenak mengamati wajah cantik istrinya lalu tiba-tiba menyunggingkan smirk tipis. "Aku suka." Alana mengerutkan kening, "tapi Kak Ethan belum mencoba kopinya," jawabnya bingung. "Aku suka dipanggil mas olehmu," lanjut Ethan, berhasil membuat pipi Alana memerah dan terasa panas. 'Astaga, jadi Kak Ed sadar? Hah, kok jantungku berdebar-debar kencang? Apakah ini tanda-tanda …- tidak!' Alana langsung membalik tubuh, meletakkan tangan di dada untuk merasakan
"Ugh, Kak Ethan sangat tampan!" gumam Alana pelan, senyum malu-malu ketika melihat suaminya turun dari mobil. Pipinya panas, menyembulkan semu merah yang mempercantik wajahnya. Melihat Ethan berjalan ke rumah, jantung Alana berdebar kencang. Dia segera beranjak dari sana, berjalan buru-buru dan kembali ke tempat semula. "Nyonya, ke-kenapa anda kembali ke sini? Nyonya tidak ingin menyambut Tuan yah?" tanya salah satu maid, cukup bingung karena Alana berlari kecil dari pintu utama. Bukankah seharusnya Alana membukakan pintu untuk suaminya dan menyambutnya? "Ekhm." Alana berdehem singkat, melirik maid dengan wajah datar, "untuk apa?""Jadi … kenapa kami disuruh memantau Tuan, Nyo-Nyonya?" bingung maid tersebut. "Ck." Alana berdecak, "kalian saja yang menyambutnya. Sana sana."Para maid segera beranjak dari sana, menyisakan Alana di ruangan tersebut. Alana meraih novel di atas meja kemudian menutup ke wajah, dia kembali tersenyum malu-malu–mengingat paras Ethan yang sangat tampan.
Mata Tia melebar mendengarkan perkataan Ebrahim. Dia mulai panik dan muali takut. "Ta-tapi … Alana jahat padaku, dan Tuan Ethan melakukan hal buruk padaku, Tu-Tuan Ebrahim," ucap Tia dengan nada gemetar, "anda terkenal baik dan selalu berpihak pada kebenaran." "Dan kebenarannya, kau berencana mencelakai adikku. Aku berniat merebut suami adikku, dan kau menusuk adikku dari belakang," jawab Ebrahim santai, "sekarang kutanya padamu, kau ingin mati di tanganku atau tetap hidup lebih lama dalam lingkar penderitaan yang Ethan ciptakan untukmu." Deg deg deg' Mata Tia melebar, reflek mundur bahkan berakhir terjatuh ke lantai karena lemas dan drop mendengar ucapan Ebrahim. Dia kira dia selamat bila meminta bantuan Ebrahim, akan tetapi status hidupnya malah diperjelas–hanya sebatas mati dan menderita. "Ku sarankan kau memilih Ethan, siapa tahu kau berobat dan Ethan melepasmu," ucap Ebrahim dengan menyunggingkan smirk tipis. Dia sedang menjebak perempuan ini. Faktanya, sekalipun Tia berub