"Tolong, jangan rusak kebahagiaanku!" Setelah mengatakan itu, Nanda segera beranjak dari sana.Rekq menyempatkan diri tersenyum pada Arga dan setelah itu ikut meninggalkan tempat tersebut. Maxim menarik Aayara kemudian segera beranjak dari sana. Perlahan semua orang juga meninggalkan tempat tersebut, sisa Rafael dan Arga. "Kuharap kau bersedia meminta maaf pada Nanda, Haiden dan Maxim," ucapnya sembari menepuk-nepuk pelan pundak Arga."El, aku tidak melakukan kesalahan apapun pada Haiden. Dia saja yang-- ck, sok berkuasa." "Bukan sok berkuasa tetapi memang punya kekuasaan," ujar Rafael datar, bersedekap di dada sembari menatap kurang suka pada Arga. "Aku dan Haiden baru kembali berteman. Dan gara-garamu, aku kembali ribut dengannya. Cepat minta maaf padanya. Jangan lupa pada Nanda, kau membuat Nanda sedih." "Baiklah." Arga menganggukkan kepala. Dia berdecak kembali ketika memegang kepalanya yang sudah-- sialan! Dia sangat membenci Haiden. Tapi-- mau bagaimana lagi? Dia tidak bisa
"Rapat rapat rapat!" Lea mengumpulkan anggota geng's-nya di halaman belakang. Nami yang tak tahu apa-apa, kini bergabung. Begitu juga dengan Rekq dan kekasihnya yang terseret dalam masalah ini. "Sialan! Target kita melarikan diri, Guys!" ucap Lea, kesal dan cukup gemar secara bersamaan. Dia memegang kening kemudian menepuk meja–tempat mereka rapat. "Ck, harusnya tadi kita baik-baikin dikit nggak sih, supaya dia tak pamit." Ziea ikut menggeram kesal. "Itu lagi! Ngapain dia nggak ikut makan malam?! Padahal Lea sudah sengaja pura-pura ngidam rendang, supaya bisa ngasih bagian lengkuas ke dia." Aayara mendengus di akhir kalimat, ikut kesal karena hampir semua rencana mereka gagal. "Bersyukur dong. Berarti Tuhan tidak mau kita melakukan dosa maka dari itu--" Lea, Ziea dan Aayara kompak membekap mulut Jenny. "Jen, tolong jangan terlalu positif vibes. Ini saatnya kita preman vibes," dongkol Lea.Jenny tak menjawab, hanya menatap cemberut pada Lea, Aayara dan Ziea. Ketiga temannya ini
"Kenapa tanganku diikat, Mas?" Lea setengah memekik, menatap mendongak pada suaminya. Bibirnya mengerucut, alis menekuk dan pipi menggembung. Dia sangat kesal pada Haiden. Memang! Benar Haiden membawanya ke pantai, tetapi pria ini mengikat tangan kanannya dengan tangan kiri Haiden. Seandainya ada borgol, mungkin Haiden akan menggunakan itu. "Supaya kau tidak kemana-mana," jawab Haiden santai, tersenyum tipis lalu mengusap ubun-ubun kepala istrinya dengan tangan kanan. Lea tak mengatakan apa-apa, bad mood karena tangannya terikat. Ayolah, memangnya Lea ingin kemana? Dia juga tahu dan sadar betul kalau kondisinya sedang hamil. Namun, suaminya memang berlebihan. "Kita pulang saja," ucap Lea pelan. Haiden menghentikan langkah, otomatis Lea juga menghentikan langkah. "Kau tidak ingin jalan-jalan lagi?" Lea mengagukkan kepala. "Kita pulang saja," beonya. "Humm." Haiden berdehem, terlihat senang karena diajak pulang oleh istrinya. Dalam hati, Lea mengeluarkan semua sumpah se
"Pak, aku ingin bertanya sesuatu." Kessy berucap rendah dan cukup ragu. Nanti malam mereka akan pulang dari sini dan sore ini, Rekq mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Pasangan lainnya juga sedang jalan-jalan, mungkin minus pasangan Haiden dan Lea yang memilih tak keluar. "Hum. Silahkan, Nona," jawab Rekq santai. "Emm … Tuan Haiden itu CEO dari JVM yah? Dan Nyonya HaiLe itu-- istrinya?" Rekq menganggukkan kepala. Wajah santianya berubah menjadi wajah serius. Tatapannya penuh selidik dan cukup tajam. Kenapa Kessy menanyakan hal ini padanya? Apa Kessy seperti perempuan lainnya, menggilai pria tampan dan kaya raya? Rekq memiliki keduanya, dia sangat percaya diri akan hal itu. Namun, kepercayaan diri tersebut hilang jika bersebelahan dengan sang tuan yang jauh lebih darinya. Banyak perempuan yang tergila-gila padanya, apa Kessy juga? "Kenapa?" tanya Rekq. Biasanya nada bicaranya ramah di telinga, tetapi kali ini terasa sedikit marah. "Jadi Pak Rekq anak angkat Tuan Haiden dan
Nanda menutup pintu kemudian berjalan mendekat ke arah istrinya. Sejenak Nanda hanya diam, memperhatikan tubuh seksi Nami yang berbalut lingerie merah–sangat menggoda, membuat jantung Nanda berdebar kencang dan darah berdesir cepat. Namun, Nanda tak yakin. Melihat tubuh Nami yang gemetaran, dia ragu untuk mendapatkan haknya sebagai suami. "Untuk apa kau memakai baju seperti ini?" tanya Nanda, meletakkan HP ke atas nakas kemudian bersedekap–menatap Nami cukup dingin. Awalnya dia ke sini untuk memberitahu masalah Pepita pada Nami, akan tetapi dia mengurungkan niat. Penampilan Nami yang seperti ini membuat Nanda terkejut. Nami mendongak dengan gugup dan malu pada Nanda, tangannya naik ke atas–menyilang di depan dada, menutupi undukan indah yang terlihat sangat. "A-aku sudah siap," ulang Nami, "aku ingin menyerahkan diriku pada Pak Nanda," cicitnya dengan suara kecil, seperti cicitan anak ayam. "Kau yakin?" Nanda menaikkan sebelah alis, menatap ke arah tangan istrinya yan
"Berjanjilah lebih dulu jika kau akan membuatkan timun love-love di bekalku, baru aku melepasmu," ucap Haiden sembari memeluk erat pinggang istrinya. Lea yang tengah memberontak seketika berhenti, keningnya berkerut dan alisnya menekuk. "Hah? Timun love-love?" bingung Lea, menoleh ke belakang sembari mendongak untuk menatap suaminya. Haiden menganggukkan kepala, langsung mendaratkan ciuman singkat di bibir istrinya–memanfaatkan Lea yang masih mendongak padanya. "Berjanji?" tagih Haiden kembali. "Timun love-love dapat di mana, Mas ku sayang?" Lea berkata heran. "Ada!" Haiden mengotot, "aku melihatnya di bekal Nanda," lanjutnya, berkata ogah-ogahan dan setengah kesal. Katakan saja Lea tak mau membuatkan timun love-love untuknya. Lea tak mau menunjukkan cintanya lagi. "Lupakan." Haiden tiba-tiba melepas pelukannya dari Lea kemudian segera meninggalkan istrinya tersebut. "Mas Haiden," panggil Lea akan tetapi tak mendapat jawaban dari Haiden. Lea menghela napas, memilih melanju
"Kamu orang yang sangat angkuh dan ibuku tidak mungkin melahirkan orang jahat sepertimu!" jerit Nami, meluapkan kemarahannya dan rasa sakitnya karena mendengar perkataan Pepita. Selama ini dia masih berusaha sabar ketika Pepita terus menghinanya. Namun, jika sudah menghina ibunya, Nami tak bisa menahan diri. "Aku juga tidak sudi punya saudara sepertimu. Sangat tidak Sudi!" ucap Nami, menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya sembari menatap marah pada Pepita. Almara menghela napas, mendekati Nami kemudian membawa keponakannya tersebut dalam pelukannya. "Maafkan Paman," ucapnya penuh perasaan sesal, "mulai sekarang dia bukan lagi bagian dari keluarga kita. Dia tidak akan Paman biarkan tinggal di rumah ini. Dia bukan keluarga kita!" Almara melayangkan tatapan dingin pada Pepita, penuh kemarahan dan emosi. "Pa-Papa." Pepita memekik tak terima, merasa sedih secara bersamaan karena mendengar ucapan papanya yang tak mau mengakuinya. "Aku bukan papamu! Dan aku menyesal menjadikanm
"APA?!" Haiden seketika berdiri, langsung menatap terkejut pada Lea. "Ma-Mas Haiden kenapa?" Lea menatap bingung pada Haiden, mengamati pria yang juah lebih tinggi darinya tersebut dari atas hingga bawah. Haiden tiba-tiba berteriak 'apa, seakan-akan Lea melakukan hal yang mencengangkan saja. Padahal Lea hanya bilang kalau dia mencuci kotak bekal, itu saja. "Kau mencuci kotak bekalku?" Haiden ternyata lemas, terduduk kembali di pinggir ranjang. Lea hanya menganggukkan kepala, masih mengamati sang suami yang terasa sangat aneh. "Kenapa kau mencucinya, Azalea?!" geram Haiden penuh kekesalan bercampur gemas. Namun setelah itu, dia kembali terlihat tak berdaya. Pundak melorot dan tatapan sayu. Nasi love-love-nya …. "Ya-- supaya bersih, Mas Haiden." Jawab Lea, "Mas Haiden kenapa?" tanyanya kemudian. "Nasiku kau buang?" tanya Haiden dingin. "Tentu saja." Lea menganggukkan kepala, "kamu nggak makan dan jadi basi. Aku buang lah." "Kenapa kau buang, Azalae?" Haiden berkata
"Jam tangan," gumam Ethan, membuka kado yang Alana berikan padanya. Dia sudah di rumahnya, di dalam kamar dan sedang bersantai. Senyuman tipis muncul di bibirnya, mengusap jam tangan pemberian perempuan yang ia cintai. Ethan mencoba jam tangan tersebut ke pergelangan tangan dan ternyata pas. Dia lagi-lagi tersenyum tipis, merasa semakin senang ketika jam tersebut telah ada di pergelangan tangan. Namun, karena dia takut jam tersebut lecet dan terkena debu, Ethan melepas jam itu. Dia kembali memasukkan ke dalam kotak lalu membawanya ke walk in closet. Tetapi Ethan mengurungkan niat, memilih menyimpan jam tersebut di atas nakas sebelah ranjang. Karena dengan begitu, setiap hari Ethan akan melihat jam ini. Setelah meletakkan jam tersebut di atas nakas, Ethan mengeluarkan sebuah surat dari saku celana. Surat tersebut adalah surat yang Alana lempar tadi. Dia diam-diam memungutnya karena dia sangat penasaran dengan isi surat tersebut. [Untuk, Kak Ethan. Selamat hari kasih sayang dan ci
Alana mendekati Daddynya lalu merampas kertas kecil tersebut. "Daddy sama Mommy rese banget sih," ucap Alana dengan nada cemberut, dia meremas kertas secara diam-diam kemudian membuangnya secara sembarang arah. Sebenarnya tak ada yang istimewa pada kertas itu, soalnya yang menulis adalah staf toko jam tangan. Palingan hanya ucapan terimakasih. Namun, kalau daddynya membaca, tetap saja Alana merasa malu. "Jadi Alana dan Kak Ethan kencan sambil mencari kado? Kalian ingin tukar kado yah?" tanya Nanda dengan nada hangat tetapi tatapan jahil pada Alana. "Enggak, Uncle," bantah Alana, memilih di sebuah sofa tunggal. Sebetulanya Alana sudah tak punya muka dan dia ingin sekali meninggalkan tempat ini. Namun, dia takut sekali mommynya mengatakan hal-hal aneh pada Ethan. Alana juga takut kalau Ethan me-melamarnya. Awalnya Alana tak masalah dilamar oleh Ethan. Itu bukan sebuah ancaman baginya karena dia putri kesayangan sang Haiden. Daddynya tak mungkin merelakan Alana pada Ethan. Namun
"Kamu dari mana sih, Alana sayang?" tanya Lea ketika putrinya telah kembali. Dia langsung menghampiri sang putri, menatap Alana lekat dan penuh perhatian. Lea tentu khawatir pada Alana. Tadi malam putrinya hampir terkena masalah yang luar biasa mengerikan. Pagi ini, ada berita buruk tentang seseorang yang membenci putrinya. Lea khawatir orang tersebut melakukan aksi kejahatan pada Alana; menyerang Alana secara fisik. Lea sangat panik tetapi dia tidak berani memberitahu suaminya karena dia takut jika Haiden mengamuk. Meski sekarang suaminya jauh lebih lembut dan hangat, tetapi Haiden tetaplah Haiden. Sumbu pendek, nuklir ataupun gunung berapi. Jadi Lea tak ingin mengambil resiko. Dia memilih menghubungi Ethan, pria yang sudah ia dan suaminya setujui untuk menjadi menantu. Sebenarnya ada opsi menghubungi putranya, tetapi sifat Ebrahim tak jauh dari dadanya–sangat mudah marah. Takutnya, Ebrahim memarahi adiknya yang pergi tanpa pamit. "Aku habis jalan-jalan, Mommy," jawab Lea,
"Aku calon suami Alana." Deg deg deg Alana reflek mendongak pada Ethan, menatap pria itu dengan mimik muka campuran tegang dan malu-malu. Namun, Alana tak seperti biasanya, di mana dia akan kesal serta tak terima ketika Ethan menyebutnya pasangan. Alana hanya … merasa gugup. Satria menatap Ethan dengan senyuman remeh, pria ini pasti orang yang mengaku-ngaku sebagai calon suami Alana. Atau jangan-jangan dia fans fanatik dari Alana? "Kau ini--" Satria menatap Ethan dari atas hingga bawah. 'Pakaiannya sangat berkelas, dia penuh wibawa dan karisma. Orang sepertinya seharusnya jarang menonton televisi. Ah, bisa saja dia berpenampilan seperti ini untuk memikat perempuan. Tapi tak bisa ku pungkiri, dia memiliki aura yang mahal.' batin Satria, dia memperhatikan penampilan Ethan untuk menghina pria ini. Akan tetapi, dia tidak memiliki bahan untuk menghina pria ini. Bahkan semua yang pria ini pakai harganya hampir setara dengan harga mobil miliknya yang biasa ia pakai ke lokasi shooting.
"Angkat kamera kalian dan kalau berani, menghadap padaku!" dingin Haiden, nada menggeram marah dan tatapan sangat tajam–penuh emosi. Alih-alih mengangkat kamera, para wartawan tersebut bergerak mundur. Mereka menunduk dalam, menutupi wajah agar tidak dilihat oleh sang legendaris Mahendra. Rurom menyebut, apabila dalam keadaan marah Haiden menatap seseorang, maka orang tersebut akan menghilang. Tak ada yang bisa membenarkan rumor tersebut, akan tetapi banyak yang menyebutnya nyata. "Kalian berani mengganggu putriku, Hah?!" bentar Haiden dengan suara menggelegar–para wartawan tersentak kaget, tubuh bgemetar hebat dan jantung berdebar kencang. "Ma-maafkan kami, Tuan Haiden," ucap salah satu dari wartawan tersebut. "Kalian semua pantas mati!" dingin Haiden. Lea melepas pelukannya pada putrinya lalu buru-buru menghampiri suaminya. "Mas Deden Terlope-lope, tenangkan diri kamu," peringat Lea, memeluk suaminya sembari satu tangan mengusap dada bidang sang suami. "Sebaiknya kita p
"Putriku. Di-dimana putriku?" Haiden dan yang lainnya datang ke sana. Ebrahim yang memberitahu supaya daddynya datang ke tempat ini. Awalnya Ebrahim dan Ethan sepakat ingin menutup-nutupi masalah ini dari Haiden dan Lea. Akan tetapi, daddynya terus menghubunginya–menyuruh Ebrahim untuk mencari Alana ada di mana. Pada akhirnya Ebrahim mengatakan yang sejujurnya. "Daddy …." Alana langsung berdiri, menangis sembari menatap ke arah daddynya. Haiden merentangkan tangan supaya putrinya datang dan memeluknya. Alana langsung berlari dan …- Bug' Memeluk sosok perempuan di sebelah daddynya–mommynya. Haiden yang masih merentangkan tangan–berharap dipeluk oleh putrinya, terlihat memasang muka kaku dan dengan mata berkedut-kedut. Hell! Dia hanya mendapat angin untuk dipeluk. Semua orang yang melihat itu, berusaha menahan tawa. Lucu akan tetapi salah waktu saja. "Su-sudah, Den. Tak ada yang ingin memelukmu," ucap Reigha, menurunkan tangan Haiden yang masih direntangkan. "Nanti kita
"Sudah?" tanya Ethan, melirik sekilas pada Alana yang masih berendam dalam bath up. Sebenarnya Ethan ingin sekali melirik Alana lebih dari satu detik, tetapi … damn! Dia takut dia mencelakai gadis ini. Alana menekuk kaki lalu memeluk diri sendiri. Dia sudah sadar dan tubuhnya tidak lagi merasa terbakar. "Sudah, Kak," jawabnya pelan, malu karena keadaannya hampir telanjang. "Humm." Ethan berdehem singkat, meraih handuk lalu memberikannya pada Alana. "Aku keluar," ucapnya setelah itu."Kak Ethan, bajuku basah dan aku tidak punya baju lagi," cicit Alana ketika Ethan berniat keluar dari kamar mandi. "Humm." Ethan hanya berdehem, dia keluar dari kamar mandi lalu menghubungi seseorang untuk mengantar pakaian pada Alana. Orang yang dia hubungi adalah Zana, perempuan itu dekat dengan Alana dan tentunya tahu selera berpakaian Alana. Satu lagi. Zana sepupunya dan mereka lumayan dekat. Tak lama Zana datang dengan Ebrahim, di mana raut muka Ebrahim sangat tak bersahabat–khawatir dan marah
Alana menjauhkan pandangan, meraih handphonenya dan pura-pura sibuk dengan ponsel. Jantung Alana berdebar kencang, padahal dia hanya bersitatap dengan Ethan tetapi kenapa dia gugup? Ada getaran yang tak ia pahami di dalam hati. Di sisi lain, Ethan menghela napas, Alana tidak suka padanya dan dia tidak ingin memaksa. Acara berlanjut dan begitu meriah. Di depan sana, orangtuanya membanggakan Ethan, granddad dan grandma-nya juga memuji Ethan. Di tempatnya Alana ikut senang melihatnya. Dia masih ingat waktu Ethan termenung di ruangannya karena masalah yang iklan. Masih teringat jelas wajah murung Ethan ketika kakaknya menyalahkannya di depan banyak orang, karena masalah tersebut. Namun, di sini Ethan terlihat bersinar. Dia bisa membuktikan dirinya sendiri dan akhirnya dia diakui. Tanpa sadar Alana tersenyum dan bertepuk tangan kecil. Akan tetapi senyumannya langsung lenyap ketika Ethan menatapnya. Lagi-lagi jantungnya berdebar kencang dan Alana tidak nyaman dengan tatapan Ethan. Semua
"Dia memang Azam, tetapi dia berdiri diatas kakinya sendiri. Dia tidak pernah mengandalkan nama belakangnya. Dan Kakak perhatikan Kak Ethan sangat memperhatikanmu, kau sangat beruntung jika mendapatkannya. Karena Kak Ethan tidak peduli pada sekitarnya, dan kau satu-satunya yang akan dia perhatikan.""Kak! Tolong jangan paksa aku. Aku nggak suka Kak Ethan," pekik Alana. Ebrahim menghela napas, berdiri dari sebelah adiknya lalu mengusap pucuk kepala Alana. "Terserah. Tapi-- gengsinya jangan lama-lama. Yang suka pada Kak Ethan itu bukan hanya kau.""Ih apaan sih?!" ketus Alana, langsung menutup pintu dengan kasar–setelah Ebrahim keluar dari kamarnya. Semua orang gila! Sudah Alana bilang kalau dia tidak suka pada Ethan, tetapi orang-orang terus keukeuh menganggap Alana suka pada Ethan. Hell! Bukan hanya Ethan laki-laki di dunia ini, dan … big no untuk pria Azam. Sekalipun Ebrahim sudah menasehati, itu tak mempan pada Alana. Tidak tetap tidak suka! Tok tok tok'Alana membuka pintu deng