"Rapat rapat rapat!" Lea mengumpulkan anggota geng's-nya di halaman belakang. Nami yang tak tahu apa-apa, kini bergabung. Begitu juga dengan Rekq dan kekasihnya yang terseret dalam masalah ini. "Sialan! Target kita melarikan diri, Guys!" ucap Lea, kesal dan cukup gemar secara bersamaan. Dia memegang kening kemudian menepuk meja–tempat mereka rapat. "Ck, harusnya tadi kita baik-baikin dikit nggak sih, supaya dia tak pamit." Ziea ikut menggeram kesal. "Itu lagi! Ngapain dia nggak ikut makan malam?! Padahal Lea sudah sengaja pura-pura ngidam rendang, supaya bisa ngasih bagian lengkuas ke dia." Aayara mendengus di akhir kalimat, ikut kesal karena hampir semua rencana mereka gagal. "Bersyukur dong. Berarti Tuhan tidak mau kita melakukan dosa maka dari itu--" Lea, Ziea dan Aayara kompak membekap mulut Jenny. "Jen, tolong jangan terlalu positif vibes. Ini saatnya kita preman vibes," dongkol Lea.Jenny tak menjawab, hanya menatap cemberut pada Lea, Aayara dan Ziea. Ketiga temannya ini
"Kenapa tanganku diikat, Mas?" Lea setengah memekik, menatap mendongak pada suaminya. Bibirnya mengerucut, alis menekuk dan pipi menggembung. Dia sangat kesal pada Haiden. Memang! Benar Haiden membawanya ke pantai, tetapi pria ini mengikat tangan kanannya dengan tangan kiri Haiden. Seandainya ada borgol, mungkin Haiden akan menggunakan itu. "Supaya kau tidak kemana-mana," jawab Haiden santai, tersenyum tipis lalu mengusap ubun-ubun kepala istrinya dengan tangan kanan. Lea tak mengatakan apa-apa, bad mood karena tangannya terikat. Ayolah, memangnya Lea ingin kemana? Dia juga tahu dan sadar betul kalau kondisinya sedang hamil. Namun, suaminya memang berlebihan. "Kita pulang saja," ucap Lea pelan. Haiden menghentikan langkah, otomatis Lea juga menghentikan langkah. "Kau tidak ingin jalan-jalan lagi?" Lea mengagukkan kepala. "Kita pulang saja," beonya. "Humm." Haiden berdehem, terlihat senang karena diajak pulang oleh istrinya. Dalam hati, Lea mengeluarkan semua sumpah se
"Pak, aku ingin bertanya sesuatu." Kessy berucap rendah dan cukup ragu. Nanti malam mereka akan pulang dari sini dan sore ini, Rekq mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Pasangan lainnya juga sedang jalan-jalan, mungkin minus pasangan Haiden dan Lea yang memilih tak keluar. "Hum. Silahkan, Nona," jawab Rekq santai. "Emm … Tuan Haiden itu CEO dari JVM yah? Dan Nyonya HaiLe itu-- istrinya?" Rekq menganggukkan kepala. Wajah santianya berubah menjadi wajah serius. Tatapannya penuh selidik dan cukup tajam. Kenapa Kessy menanyakan hal ini padanya? Apa Kessy seperti perempuan lainnya, menggilai pria tampan dan kaya raya? Rekq memiliki keduanya, dia sangat percaya diri akan hal itu. Namun, kepercayaan diri tersebut hilang jika bersebelahan dengan sang tuan yang jauh lebih darinya. Banyak perempuan yang tergila-gila padanya, apa Kessy juga? "Kenapa?" tanya Rekq. Biasanya nada bicaranya ramah di telinga, tetapi kali ini terasa sedikit marah. "Jadi Pak Rekq anak angkat Tuan Haiden dan
Nanda menutup pintu kemudian berjalan mendekat ke arah istrinya. Sejenak Nanda hanya diam, memperhatikan tubuh seksi Nami yang berbalut lingerie merah–sangat menggoda, membuat jantung Nanda berdebar kencang dan darah berdesir cepat. Namun, Nanda tak yakin. Melihat tubuh Nami yang gemetaran, dia ragu untuk mendapatkan haknya sebagai suami. "Untuk apa kau memakai baju seperti ini?" tanya Nanda, meletakkan HP ke atas nakas kemudian bersedekap–menatap Nami cukup dingin. Awalnya dia ke sini untuk memberitahu masalah Pepita pada Nami, akan tetapi dia mengurungkan niat. Penampilan Nami yang seperti ini membuat Nanda terkejut. Nami mendongak dengan gugup dan malu pada Nanda, tangannya naik ke atas–menyilang di depan dada, menutupi undukan indah yang terlihat sangat. "A-aku sudah siap," ulang Nami, "aku ingin menyerahkan diriku pada Pak Nanda," cicitnya dengan suara kecil, seperti cicitan anak ayam. "Kau yakin?" Nanda menaikkan sebelah alis, menatap ke arah tangan istrinya yan
"Berjanjilah lebih dulu jika kau akan membuatkan timun love-love di bekalku, baru aku melepasmu," ucap Haiden sembari memeluk erat pinggang istrinya. Lea yang tengah memberontak seketika berhenti, keningnya berkerut dan alisnya menekuk. "Hah? Timun love-love?" bingung Lea, menoleh ke belakang sembari mendongak untuk menatap suaminya. Haiden menganggukkan kepala, langsung mendaratkan ciuman singkat di bibir istrinya–memanfaatkan Lea yang masih mendongak padanya. "Berjanji?" tagih Haiden kembali. "Timun love-love dapat di mana, Mas ku sayang?" Lea berkata heran. "Ada!" Haiden mengotot, "aku melihatnya di bekal Nanda," lanjutnya, berkata ogah-ogahan dan setengah kesal. Katakan saja Lea tak mau membuatkan timun love-love untuknya. Lea tak mau menunjukkan cintanya lagi. "Lupakan." Haiden tiba-tiba melepas pelukannya dari Lea kemudian segera meninggalkan istrinya tersebut. "Mas Haiden," panggil Lea akan tetapi tak mendapat jawaban dari Haiden. Lea menghela napas, memilih melanju
"Kamu orang yang sangat angkuh dan ibuku tidak mungkin melahirkan orang jahat sepertimu!" jerit Nami, meluapkan kemarahannya dan rasa sakitnya karena mendengar perkataan Pepita. Selama ini dia masih berusaha sabar ketika Pepita terus menghinanya. Namun, jika sudah menghina ibunya, Nami tak bisa menahan diri. "Aku juga tidak sudi punya saudara sepertimu. Sangat tidak Sudi!" ucap Nami, menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya sembari menatap marah pada Pepita. Almara menghela napas, mendekati Nami kemudian membawa keponakannya tersebut dalam pelukannya. "Maafkan Paman," ucapnya penuh perasaan sesal, "mulai sekarang dia bukan lagi bagian dari keluarga kita. Dia tidak akan Paman biarkan tinggal di rumah ini. Dia bukan keluarga kita!" Almara melayangkan tatapan dingin pada Pepita, penuh kemarahan dan emosi. "Pa-Papa." Pepita memekik tak terima, merasa sedih secara bersamaan karena mendengar ucapan papanya yang tak mau mengakuinya. "Aku bukan papamu! Dan aku menyesal menjadikanm
"APA?!" Haiden seketika berdiri, langsung menatap terkejut pada Lea. "Ma-Mas Haiden kenapa?" Lea menatap bingung pada Haiden, mengamati pria yang juah lebih tinggi darinya tersebut dari atas hingga bawah. Haiden tiba-tiba berteriak 'apa, seakan-akan Lea melakukan hal yang mencengangkan saja. Padahal Lea hanya bilang kalau dia mencuci kotak bekal, itu saja. "Kau mencuci kotak bekalku?" Haiden ternyata lemas, terduduk kembali di pinggir ranjang. Lea hanya menganggukkan kepala, masih mengamati sang suami yang terasa sangat aneh. "Kenapa kau mencucinya, Azalea?!" geram Haiden penuh kekesalan bercampur gemas. Namun setelah itu, dia kembali terlihat tak berdaya. Pundak melorot dan tatapan sayu. Nasi love-love-nya …. "Ya-- supaya bersih, Mas Haiden." Jawab Lea, "Mas Haiden kenapa?" tanyanya kemudian. "Nasiku kau buang?" tanya Haiden dingin. "Tentu saja." Lea menganggukkan kepala, "kamu nggak makan dan jadi basi. Aku buang lah." "Kenapa kau buang, Azalae?" Haiden berkata
---Sepuluh tahun kemudian---Seorang anak kecil sedang bermain di dalam kamarnya. Dia merusak robot mainannya kemudian merakit kembali dengan bentuk dan model berbeda. Anak laki-laki berusia sepuluh tahun tersebut terlihat begitu tampan, masih kecil tetapi dia telah memiliki daya tarik yang kuat. Ebrahim Mahendra, putra Haiden Mahendra dan Azalea Ariva Mahendra. Ebrahim sudah memasuki seolah dasar dan saat ini sudah kelas empat. Wajahnya gabungan antara mommy dan daddynya, akan tetapi dominan lebih mirip daddynya. Sifatnya hampir sama dengan daddynya, namun lebih sopan dan lembut seperti mommynya. Di sekolahnya, Ebrahim bersaing dengan Razie, memperebutkan juara pertama. Kadang dia dan kadang Razie, bahkan kadang nilai mereka sama. Jika nilai mereka sama, maka guru akan menentukan juara dari sikap selama di kelas. Maka di sanalah kekalahan Ebrahim, Razie pendiam sedangkan dia preman kelas. Namun, meski begitu, Ebrahim dan Razie berteman baik. Mereka tak pernah memandang satu sama la
"A-apa? Aku dijodohin sama Papa?" Kaget dan panik Nindi. "Udah. Kamu mandi dulu. Nanti Mama bicarain ke kamu." Setelah sampai di kamar putrinya, Lachi mendorong Nindi masuk ke dalam kamar–menyuruh putrinya untuk segera mandi. *** "Jadi bagaimana? Masih ingin menikahi putri Paman?" tanya Danzel, di mana saat ini dia sedang berbicara dengan anak dari salah satu temannya lamanya di dunia bisnis. Sejak dulu pemuda ini sudah mendatanginya dan mengatakan keinginannya untuk memperistri putranya. Dulu, Danzel menertawakan karena anak ini masih remaja labil. Tapi meski begitu, dia menganggukkan kepala–setuju jika pria ini menikahi putrinya di masa depan. Sejujurnya Danzel tak terlalu serius dan menganggap itu hanya candaan ssmata. Danzel merasa anak ini tak akan bertahan lama dalam rasa sukanya pada Nindi. Dari remaja hingga dewasa–tak mungkin pria ini tak menemukan perempuan lain di luaran sana. Intinya, Danzel tak yakin jika pemuda ini bertahan dalam hal menyukai putrinya. Namu
Saat ini Nindi berada di kontrakan kecil miliknya. Hidupnya berubah drastis setelah empat bulan terakhir ini. Dia menjalani hari-hari penuh dengan kekurangan, dia berusaha bertahan di era miskin yang melanda dirinya karena ingin hidup mandiri seperti ibunya saat muda dulu. Neneknya bilang ibunya seorang perempuan mandiri yang tak pernah mengandalkan kekayaan orangtuanya. Nindi yang selama ini berfoya-foya dengan uang ayahnya, merasa tersindir. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri. Dia memisah dari keluarga Adam, mencari pekerjaan secara mandiri di perusahaan lain, dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang serba kurang. Bagi Nindi ini cukup sulit karena dia terbiasa hidup penuh kemewahan. Namun, sejauh ini, Nindi menikmati kehidupan barunya. Derrttt'Nindi meraih handphone di atas meja nakas, samping ranjang kecil miliknya. Dia langsung mengangkat telepon dari sahabatnya, Clara. "Iya, Ra?" ucap Nindi, satu tangan menempelkan ponsel ke telinga, satu la
"Lihat penampilanmu sekarang, nggak terurus, buruk dan … harus aku akui, kamu jelek banget." "Yang penting aku masih hidup." "Iya, masalahnya, siapa yang mau pacaran sama kamu kalau kamu bentukannya begini, Nindi." Mendengar nama itu, seorang pria yang sedang menunggu pesanannya segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia bisa melihat dua perempuan sedang duduk bersama, satu perempuan berpenampilan rapi dan satu lagi terlihat seperti gembel. Perempuan gembel itu-- rambutnya berminyak, wajah kusam, pakaian tak disetrika, dan sandal jepit yang dia kenakan sudah diikat tali plastik. Sepertinya sandalnya putus, dan dia mengakalinya dengan tali plastik. Diam-diam pria itu mengambil potret si perempuan gembel tersebut, setelah itu mengamati potret yang ia ambil dengan sangat serius. Sejujurnya meskipun berpenampilan gembel, perempuan ini masih tetap cantik. Hanya saja-- bukankah perempuan ini berasal dari keluarga terpandang, kenapa penampilannya seperti gembel? Apa pamannya–a
"Apa mereka sedang menggunjing istri yah?" timpal Ziea, membuat semua orang menoleh padanya. "Ahahah, tidak mungkin, Ziea." Serena tertawa dengan anggun, menatap lucu pada Ziea. "Positif thinking, pasti membahas mobil. Para pria kan suka begitu," tebak Lea, kali ini mendapat anggukkan dari yang lainnya karena itu masuk diakal dan mereka setuju. "Ah ya ampun!! Pria yang pake kemeja hitam, ganteng sekali." Lea senyum-senyum manis. "Kak Deden?" Ziea memicingkan mata, mendapat anggukan dari Lea. "Tampan kan?!" Lea menaik turunkan alis. "Aduh. Tobat, Lea, tobat! Kamu sudah tua, Sayang!" Ziea mengomeli Lea, tetapi Lea tidak peduli–tetap memuji ketampanan suaminya. "Ada Alana loh di sini. Kamu tidak malu?" "Enggak apa-apa, Aunty. Alana sudah biasa kok," jawab Alana santai. "Pantas anteng, ternyata sudah biasa." Serena tertawa kecil. "Itu adek Kak Zana kan?" bisik Kanza pelan pada Anna, menatap seorang pria yang baru masuk. Pria itu tinggi, berpenampilan rapi dan p
*** Ethan memasuki rumahnya dengan langkah cool. Hari ini dia pulang lebih cepat dari kantor karena orangtua dan mertuanya sayang ke rumah. Keluarga yang lain juga akan datang, untuk menjenguk Alana yang sedang hamil. Sebenarnya ini kebiasaan keluarga Mahendra yang sangat kekeluargaan. Namun, karena daddynya tak mau kalah dan pada akhirnya yang lain ikut-ikutan. Jadilah hari ini mereka semua datang ke rumah ini. Ah, kakaknya juga datang. Namun, Samuel lebih dulu sampai ke sini dibandingkan Ethan yang merupakan tuan rumah. "Nyonya ada di mana?" tanya Ethan pada salah satu maid, ketika maid itu tergesa-gesa keluar dari sebuah ruangan lalu memberi hormat padanya saat melewatinya. Maid tersebut terlihat panik, segera menyembunyikan buku nyonya-nya ke belakang tubuh. "Ah-- itu, Tuan, Nyonya di-di halaman belakang bersama keluarga." "Humm." Ethan berdehem singkat. "Apa yang kau sembunyikan? Perlihatkan sekarang!" titah Ethan kemudian. Maid tersebut dengan ragu memperlihatkan buku
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Alana, melayangkan tatapan tajam ke arah seorang laki-laki. Karena mendapat laporan dari maid–ada seorang pria di depan gerbang rumah, Alana langsung ke sana untuk memeriksa. Alana sejujurnya malas, akan tetapi dia tak ingin membuat keributan. Dia takut pria itu nekat ke dalam atau Ethan tiba-tiba pulang dan salah paham pada si pria itu. Jadi lebih baik Alana turun tangan. "Alana, akhirnya kau bersedia menemuiku." Pria itu begitu senang setelah melihat Alana datang. Dia tersenyum lebar, layaknya seseorang yang telah menemukan berlian langka di dunia. Pria itu mendekat tetapi Alana mundur. "Ck, kamu ngapain datang ke sini, Hendru?!" ketus Alana, menatap sinis dan tak suka pada Hendru. Alana sudah muak dengan Hendru karena pria ini sangat mengganggunya. Hendru meninggalkan kenangan buruk bagi Alana, tetapi pria ini muncul dengan gampangnya dihadapannya, tanpa merasa bersalah sedikit pun atau tak malu sama sekali. "Aku ingin meminta maaf pa
Alana terdiam di depan pintu ruangan Ethan. Dia sudah membuat kopi untuk Ethan akan tetapi dia tak berani untuk mengantarnya akibat dia … memanggil Ethan dengan embel-embel 'mas. Dia melakukannya tanpa sadar dan sekarang dia sangat malu. "Tapi sepertinya Kak Ed juga tidak sadar kalau tadi aku memangilnya Mas," gumam Alana pelan, mengenal napas pela untuk menenangkan diri. Setelah itu, dia membuka pintu ruangan Ethan dan langsung masuk. "Ini kopinya, Kak," ucap Alana pelan, meletakkan kopi di dekat suaminya. Ethan mendongak, sejenak mengamati wajah cantik istrinya lalu tiba-tiba menyunggingkan smirk tipis. "Aku suka." Alana mengerutkan kening, "tapi Kak Ethan belum mencoba kopinya," jawabnya bingung. "Aku suka dipanggil mas olehmu," lanjut Ethan, berhasil membuat pipi Alana memerah dan terasa panas. 'Astaga, jadi Kak Ed sadar? Hah, kok jantungku berdebar-debar kencang? Apakah ini tanda-tanda …- tidak!' Alana langsung membalik tubuh, meletakkan tangan di dada untuk merasakan
"Ugh, Kak Ethan sangat tampan!" gumam Alana pelan, senyum malu-malu ketika melihat suaminya turun dari mobil. Pipinya panas, menyembulkan semu merah yang mempercantik wajahnya. Melihat Ethan berjalan ke rumah, jantung Alana berdebar kencang. Dia segera beranjak dari sana, berjalan buru-buru dan kembali ke tempat semula. "Nyonya, ke-kenapa anda kembali ke sini? Nyonya tidak ingin menyambut Tuan yah?" tanya salah satu maid, cukup bingung karena Alana berlari kecil dari pintu utama. Bukankah seharusnya Alana membukakan pintu untuk suaminya dan menyambutnya? "Ekhm." Alana berdehem singkat, melirik maid dengan wajah datar, "untuk apa?""Jadi … kenapa kami disuruh memantau Tuan, Nyo-Nyonya?" bingung maid tersebut. "Ck." Alana berdecak, "kalian saja yang menyambutnya. Sana sana."Para maid segera beranjak dari sana, menyisakan Alana di ruangan tersebut. Alana meraih novel di atas meja kemudian menutup ke wajah, dia kembali tersenyum malu-malu–mengingat paras Ethan yang sangat tampan.
Mata Tia melebar mendengarkan perkataan Ebrahim. Dia mulai panik dan muali takut. "Ta-tapi … Alana jahat padaku, dan Tuan Ethan melakukan hal buruk padaku, Tu-Tuan Ebrahim," ucap Tia dengan nada gemetar, "anda terkenal baik dan selalu berpihak pada kebenaran." "Dan kebenarannya, kau berencana mencelakai adikku. Aku berniat merebut suami adikku, dan kau menusuk adikku dari belakang," jawab Ebrahim santai, "sekarang kutanya padamu, kau ingin mati di tanganku atau tetap hidup lebih lama dalam lingkar penderitaan yang Ethan ciptakan untukmu." Deg deg deg' Mata Tia melebar, reflek mundur bahkan berakhir terjatuh ke lantai karena lemas dan drop mendengar ucapan Ebrahim. Dia kira dia selamat bila meminta bantuan Ebrahim, akan tetapi status hidupnya malah diperjelas–hanya sebatas mati dan menderita. "Ku sarankan kau memilih Ethan, siapa tahu kau berobat dan Ethan melepasmu," ucap Ebrahim dengan menyunggingkan smirk tipis. Dia sedang menjebak perempuan ini. Faktanya, sekalipun Tia berub