Home / Sci-Fi / Death Plague / Konser terbesar

Share

Death Plague
Death Plague
Author: Kaz the Winter

Konser terbesar

last update Last Updated: 2021-06-14 12:56:05

Tahun 2076 teknologi dan ilmu pengetahuan telah berkembang dengan cepat. Semua pekerjaan mengandalkan internet. Berhitung, berdagang, atau bersekolah. Tidak ada lagi pekerjaan yang terlalu susah atau menguras tenaga. Anak-anak tak perlu lagi berangkat ke sekolah, bahkan bangunan sekolah hampir tidak pernah ditemukan lagi, kecuali di daerah kumuh tempat orang-orang yang terbuang dari masyarakat tinggal. Sekolah kuno yang masih menggunakan buku fisik.

Kehidupan sosial masyarakat telah banyak berubah. Hidup mereka serba gelamor. Tentunya itu bagi sebagian orang, karena sisanya hanyalah pengangguran atau penjahat. Jika dihitung-hitung memang hampir tidak ada yang bekerja secara jujur.

Berkembangnya teknologi berarti semakin sempurnanya kecerdasan buatan. Para ilmuwan berhasil menciptakan AI tercanggih yang kemudian dimasukkan ke dalam program robot dan komputer. Kecerdasan yang bahkan bisa menyaingi otak manusia.

Robot-robot itu sudah bukan lagi mesin yang bergerak dengan kaku. Tampilan mereka sudah mendekati sempurna. Tutur kata dan bahasanya pun sangat fasih. Jika tidak teliti, mereka akan terlihat seperti manusia biasa.

Manusia tidak lagi dibutuhkan sebagai pembantu atau pelayan. Peran mereka sudah digantikan oleh robot yang umumnya dirancang sebagai wanita cantik.

Di antara robot-robot itu, yang paling terkenal adalah Ellie. Ia tidak hanya memiliki kecerdasan buatan paling sempurna, tetapi juga dipercaya memiliki sensor rasa sakit, sehingga bisa merasakan apa yang dirasakan oleh manusia. Satu-satunya humanoid sempurna yang berhasil diciptakan oleh seorang ilmuwan setengah gila bernama Edward Fuller, setelah kehilangan putrinya yang juga bernama Ellie. Hanya saja robot Ellie memiliki singkatan E.O.A.E di belakang namanya. Tidak ada yang tahu apa kepanjangan dari E.O.A.E.

Edward sendiri ditemukan meninggal dunia setelah karya terbesarnya, Ellie E.O.A.E tercipta.

Ellie adalah robot sekaligus penyanyi idol yang diidolakan oleh banyak orang di seluruh dunia, dari tua sampai muda. Setiap orang selalu menantikan penampilannya. 

Hari ini, ia akan tampil di stadion Rungrado May Day di Pyongyang, Korea Utara, stadion terbesar di dunia sejak dulu. Sekarang bahkan lebih besar lagi. Jika dulu hanya dapat menampung 114.000 orang maka sekarang dapat menampung sampai satu juta orang.

Penampilannya kali ini untuk mempromosikan produk parfum terbaru bernama End Spray. "Parfum yang wanginya bisa membawamu sampai ke surga" begitulah semboyan perusahaan itu. Tidak ada yang tahu siapa pemilik perusahaan tersebut, tetapi siapapun orangnya pastilah dia sangat kaya, karena dapat menyewa idol termahal. Tidak hanya sampai di situ, semua orang dari berbagai penjuru dunia boleh menonton konser tanpa harus membeli tiket. Gratis.

Konser terbesar sepanjang zaman.

Di depan pintu rumah berlantai dua, tampak seorang perempuan muda berwajah cantik dengan bibir merah sedang menggerutu. Mengenakan kacamata hitam. Pakaiannya sangat rapi dan bagus. Ia segera membunyikan bel beberapa kali dengan wajah marah.

Tak berselang lama pintu itu pun terbuka. Tampak seorang perempuan yang lebih muda darinya berdiri di sana, memperlihatkan senyuman termanisnya.

"Eh, Kak Shinta, Kakak pasti ingin bertemu dengan Kak Argo, kan?"

"Ya, di mana dia sekarang, Meina?" tanya perempuan bernama Shinta itu masih dengan ekspresi kesal.

"Dia masih tidur."

"Apa? Dia masih tidur?"

Gigi geligi Shinta berkertak-kertuk. Ia memasuki rumah dengan kedua tangan dikepalkan. Wajahnya tampak merah padam, pertanda marah besar.

"Fufufu, pasti bakal seru nih," gumam Meina seraya membuntuti Shinta dari belakang.

Shinta mengetuk pintu kamar di lantai dua dengan keras sambil berteriak-teriak. "Woi, Argo! Bangun! Apa kau sudah lupa dengan janjimu?"

Sementara itu di dalam kamar, Argo terperanjat bangun. Lalu menggosok-gosok kedua matanya. Ia segera berdiri dan berjalan dengan limbung menghampiri pintu. Kepalanya terasa pusing karena dibangunkan secara tiba-tiba.

"Iya, iya, aku sudah bangun," jawabnya seraya membuka pintu. "Ada apa sih, Shin? Pagi-pagi begini sudah bikin ribut?"

"Pagi apanya? Ini sudah tengah hari!" semprot Shinta.

"Oh, kau benar," kata Argo seraya menatap jam tangannya dengan wajah tenang-tenang saja.

"Kau tidak lupa dengan janjimu kemarin, kan?" Shinta menatap Argo lekat-lekat.

"Eh … janji? Janji apa ya?" Argo mengerutkan keningnya.

"Huh, ya ampun, kau ini selalu saja seperti ini!" Shinta menghela napas. "Kemarin kau berjanji akan menemaniku menonton konsernya Ellie."

"Iya, tenang saja, aku ingat, kok." Mulutnya memang berkata begitu tetapi di dalam hatinya ia mengeluh, 'Ck, kenapa kemarin aku menyetujuinya, sih!'

"Baguslah, tapi apa kau ingat, kapan konsernya mulai?"

"Hemm, kalau tidak salah, hari ini pukul tiga sore."

"Dan sekarang pukul berapa?"

Argo segera melihat jam tangannya lagi. "Pukul satu lebih empat puluh menit."

"Kita sudah terlambat, bodoh!" Shinta menarik kerah baju Argo dan mengguncangnya.

"Tenanglah! Kalau naik kereta Super Lightning kau akan sampai dalam sejam."

Shinta segera melepaskan kerah baju Argo.

"Itu memang benar, tapi tiketnya sangat mahal! Lima juta! Memangnya kau mau membelikanku tiket untuk kita berdua?" ujarnya.

"Tidak mau, kau beli saja sendiri untuk dirimu sendiri, terus pergi ke konser itu sendirian saja. Aku punya pekerjaan yang jauh lebih penting daripada menonton konser membosankan itu."

"Huh, kau ini pacar macam apa sih!" Shinta menghela napas. "Untung aku cinta, jika tidak, sudah lama aku meninggalkanmu, dasar es batu!"

Ia merutuk tiada henti seperti biasa, setiap Argo tidak menuruti keinginannya. Hanya akan berhenti mengoceh saat kemauannya dituruti.

Diam-diam Argo membuka gadget untuk melihat sisa saldo rekeningnya. Jumlahnya tiga puluh juta. Bukan nominal yang besar di zaman yang serba maju dan serba mahal ini, hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari saja. Ia membuang napasnya, kemudian berkata. "Baiklah, baiklah, aku akan membelikan tiketnya!"

Seketika wajah masam Shinta berubah menjadi ceria. Ia segera memeluk pacarnya. "Ah, kau memang pacar yang terbaik, aku tidak salah memilihmu."

"Iya, sudah! Cepat lepaskan aku! Konsernya akan segera dimulai, kan?"

"Baiklah, ayo berangkat!" kata Shinta seraya menarik tangan Argo.

Di balik dinding kamar mandi dekat tangga, mereka berpapasan dengan Meina yang segera menyembunyikan kamera ke belakang punggungnya. Ia terlihat sangat gugup.

"A-aku tidak merekam kalian, aku hanya mau ke kamar mandi," kata Meina salah tingkah.

"Lupakan soal itu!" kata Shinta seraya tersenyum manis. "Kau mau ikut menonton konser Ellie bersama kami?"

"Benarkah? Aku boleh ikut?" Meina menatap wajah kakaknya dengan sorot mata penuh harap.

Argo menghela napasnya. "Huh, iya, kau boleh ikut, tapi kau harus menghapus rekaman itu!"

"Oke, aku akan menghapusnya nanti."

Mereka segera pergi ke stasiun kereta Super Kilat yang kecepatannya mencapai 1 km/menit. Dengan kereta Super Kilat, mengelilingi dunia tak lagi membutuhkan waktu berbulan-bulan. Namun, bagaimana bisa? Apakah kereta ini bisa mengapung di atas air? Tentu saja tidak! Kereta ini bisa berkeliling ke seluruh dunia karena jaringan relnya telah dibangun di seluruh bawah laut. Namun, hanya orang-orang kaya yang dapat menikmati kecepatannya.

Setelah membeli karcis, Argo beserta Shinta dan Meina segera menaiki kereta. Bagian dalam kereta itu tampak berkelas. Orang-orang berjas hitam duduk di kursi-kursi yang saling berhadapan, membicarakan bisnis dengan bisik-bisik. Di hadapan mereka sudah tersedia makanan mewah.

Mereka menikmati pemandangan bawah laut melalui jendela kereta, di sepanjang jalan.

Sesampainya di Korea Utara, suasana di sana sangat ramai seperti yang telah diperkirakan. Banyak orang menongkrong di tepi-tepi jalan dan di depan toko. Kapasitas stadion Rungrado sepertinya sudah penuh. Penjaga gerbangnya tidak mengizinkan siapapun untuk masuk lagi, sehingga terpaksa mereka menonton dari layar monitor yang sengaja dipasang di gedung-gedung.

"Tuh, kan, semua ini gara-gara kamu! Kita jadi kehabisan tempat!" gerutu Shinta dengan bibir manyun.

"Berisik! Aku sudah membuang banyak uang tabunganku hanya untukmu, jadi jangan banyak mengeluh!"

"Huh, ya sudah, apa boleh buat."

"Woah, jadi inikah Korea Utara." Mata Meina jelalatan, terkagum-kagum. Ia belum pernah pergi ke luar negeri sebelumnya. 

Semua tempat direkamnya dengan kamera yang tak pernah lepas dari tangannya itu.

Jarum jam telah menunjukkan pukul 15:00. Konser akan segera dimulai saat Ellie beserta anggota idolnya naik ke atas panggung. Siapapun yang melihatnya akan terpesona oleh kecantikannya dan tingkah lakunya yang agak centil, benar-benar humanoid yang sempurna.

Konser berlangsung hingga tengah malam. Ellie membawakan lagu-lagu yang terkesan sedikit kelam dan berbumbu kesedihan pada penampilannya kali ini, mungkin karena suasana hatinya sedang tidak baik. Namun, itu alasan yang tidak masuk akal, karena ia adalah robot, tidak mungkin punya hati.

Di penghujung acara, para staf membagikan sebotol parfum gratis kepada para penonton, tak terkecuali yang berada di luar stadion. Semua orang dapat, tanpa terkecuali.

"Teman-teman!" teriak Ellie dari atas panggung. "Apakah kalian semua sudah mendapatkan hadiahnya?"

Seketika para penontonnya balas berteriak dengan kompak. "Ya!"

"Kalau begitu, sekarang aku akan membawakan lagu terakhir untuk kalian!"

Sontak para penonton bersorak-sorai. Musik segera dimainkan dan Ellie pun mulai bernyanyi, diikuti oleh penontonnya.

Acara konser segera berakhir saat jarum jam telah menunjukkan pukul 01:30.

"Oke, ayo kita pulang!" kata Argo seraya berjalan lebih dulu.

"Hah, kenapa kita tidak menginap di hotel dulu?" tanya Shinta yang terlihat sangat mengantuk.

"Jangan konyol! Uangku hanya tinggal sedikit lagi! Hanya cukup untuk mengantarkan kita pulang dengan pesawat."

"Ugh, ya sudah."

Related chapters

  • Death Plague   Sosok Misterius

    Di bawah langit kelabu dengan awan-awan hitam bergulung itu, suasana perkotaan tampak sepi membisu. Tak ada satu pun manusia yang berkeliaran di jalanan sunyi itu. Bangkai kendaraan yang telah ringsek karena saling bertabrakan ada di mana-mana, beberapa menabrak tiang rambu lalu lintas, beberapa lagi menabrak toko-toko dan sisanya masih utuh. Seisi kota tampak kacau. Dipenuhi kerangka manusia yang bertebaran di segala tempat. Apa yang sudah terjadi? Dan mengapa semua ini bisa terjadi? Tidak ada yang bisa menjawabnya, semua orang sudah mati. Satu hal yang pasti, seminggu setelah konser terbesar Ellie berlangsung, orang-orang mulai mengalami gejala penyakit yang sama dalam waktu serentak. Di antara gejala-gejalanya adalah mereka mengalami penurunan imun tubuh secara drastis. Terdapat ruam pada hidung dan tenggorokan mereka. Suhu tubuh sangat panas, melebihi lima puluh derajat celsius, yan

    Last Updated : 2021-06-15
  • Death Plague   Catatan Terakhir Penyintas

    "Hei, Argo," kata Cheryll dengan suara yang lebih tegas. Argo yang sedari tadi melihat ke kiri dan kanan jalanan, segera melirik gadis berusia lima belas tahun itu. "Apa?" "Tolong ajari aku menembak!" pinta Cheryll seraya menghentikan langkahnya. "Tadi itu kau sangat hebat. Caramu menembak dan menghindari peluru penjahat itu benar-benar keren." Argo pun berhenti kemudian menghela napasnya. "Kenapa kau ingin belajar menembak?" tanyanya. "Aku …." Ekspresi Cheryll mendadak terlihat geram. "Aku ingin membunuh orang-orang kurang ajar itu, mereka … mereka selalu saja mabuk-mabukan dan menyakiti ibuku! Tak jarang ibuku menangis dibuatnya! Ibuku selalu menjawab 'ibu baik-baik saja' saat aku bertanya kenapa dia menangis. "Tapi aku tahu, aku tahu semuanya, dia bekerja sebagai pelacur untuk menghidupiku, bahkan setelah banyak orang yang mati

    Last Updated : 2021-06-16
  • Death Plague   Pencarian Petunjuk

    Argo hanya menghela napas setelah membaca catatan itu. Lalu berkeliling ke seisi ruangan, berharap ada petunjuk lain. Namun, nihil, ia tidak menemukan apa pun. Dokter bernama Mia itu mungkin tahu sesuatu, pikir Argo. Ia memutuskan untuk mencarinya. Akan tetapi harus mencari ke mana? Tidak ada petunjuk ke mana Mia akan pergi. Di dalam komputer itu mungkin tersimpan data profil para pegawai yang bekerja di rumah sakit ini. Sayangnya sudah tidak berfungsi lagi. Argo memukul komputer tersebut setelah beberapa kali mencoba menyalakannya, dan tanpa diduga-duga, komputer pun menyala. Sebelum mencari biodata lengkap para pekerja di tempat ini, terlebih dahulu Argo membuka laman internet. Mungkin di sana ada petunjuk tentang epidemi ini. Di dalam internet, ia menemukan banyak sekali video live streaming yang memperlihatkan kerusuhan saat orang-orang mat

    Last Updated : 2021-06-17
  • Death Plague   Kamp Penyintas

    "Apa yang terjadi di sini?" Argo dan Cheryll terbelalak saat melihat kamp penyintas yang mereka datangi telah hancur porak poranda. Bangunan museum dan kemah-kemah sederhana di sekitarnya telah dilalap api. Tidak ada yang tersisa, kecuali puing-puing yang terbakar. "Kebakarannya belum lama," gumam Argo setelah menganalisis tempat itu. Mungkin sekitar satu atau dua jam yang lalu, dan aku rasa tidak ada korban yang selamat, atau bisa jadi mereka telah melarikan diri, pikirnya. Tiba-tiba terdengar suara seseorang batuk dari dalam museum, sewaktu mereka mendekati bangunan tersebut. "Kau mendengarnya? Sepertinya barusan ada yang batuk dari dalam," ujar Cheryll seraya menatap pria berambut hitam pekat di sampingnya. "Kelihatannya masih ada orang yang selamat di dalam museum. Aku akan menolongnya," ujar Argo seraya berlari ke arah lubang besar di dinding mu

    Last Updated : 2021-06-21
  • Death Plague   Petunjuk Pertama

    Di halaman belakang museum itu terdapat taman bermain anak-anak. Ada banyak sekali permainan di sana. Mulai dari ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, sampai komidi putar pun ada. Tampak masih ada kerangka anak kecil yang belum disingkirkan dari sana. Argo duduk di atas bangku taman sambil menatap ke arah perempuan yang berjalan menghampirinya dengan membawa nampan berisi dua gelas teh hijau. Tersenyum manis. Perempuan berambut kuning jagung yang tak lain dari Mia itu duduk di samping Argo. Hanya dipisahkan oleh nampan. Sejenak keduanya terdiam, tak mengucapkan sepatah kata pun. Memperhatikan Cheryll yang tengah push-up di depan permainan komidi putar, peluh membasahi keningnya. Mulutnya komat-kamit berhitung, "dua puluh lima, dua puluh enam, dua puluh tujuh …." "Dia benar-benar anak yang sangat bersemangat, ya," mulai Mia. "Ya, dan dia juga sangat keras ke

    Last Updated : 2021-06-22
  • Death Plague   Pintu Rahasia Museum

    End Spray, Enofer, lalu idol yang mempromosikannya adalah Ellie E. O. A. E. Argo menggumamkan kata-kata tersebut beberapa kali, dengan kedua mata terus mengawasi langit yang semakin gelap. Ia mencoba membongkar setiap suku kata atau hurufnya, kemudian mencocokkannya dengan berbagai kosakata. Tiba-tiba ia tersentak kaget kemudian bangun—menyadari sesuatu yang mengejutkan. "E, O, A, E dan Enofer, kalau perkiraanku benar, itu bisa berarti 'end of an era,' yang artinya akhir zaman. Mungkinkah Edward Fuller yang telah merencanakan semua ini?" Ia menggelengkan kepalanya. Tidak, itu tidak mungkin, dia sudah mati setelah menciptakan Ellie, atau bisa jadi, dia telah dibunuh oleh seseorang dan Ellie diambil alih oleh orang tersebut untuk melancarkan rencananya, pikirnya. Ada banyak spekulasi di dalam kepalanya saat ini. Wajahnya terlihat sangat serius. Ia terlarut dalam pikirannya yang hanya berisi keingintahuan

    Last Updated : 2021-06-23
  • Death Plague   Menelusuri Lorong

    "Apa? Ada pintu rahasia di sini?" "Jadi, Dira pergi melalui lorong ini, huh? Syukurlah, dia bukan diculik oleh hantu." "Sekarang semuanya menjadi masuk akal. Kerja bagus, Argo." Semua orang berdiri di depan lorong yang gelap itu. Tak ada yang mengira ada pintu rahasia di basemen. Tentu saja, jika bukan karena Argo dengan kacamatanya, mereka tidak akan pernah tahu. Sewaktu Argo memeriksa ke dalam lorong, tampak banyak sekali obor kayu yang ditempelkan pada dinding-dinding batu di sepanjang koridor. Entah menuju ke mana. Ada satu obor yang menghilang, mungkin telah diambil oleh Nadira untuk menerangi jalan. Sepertinya lorong rahasia ini sudah ada bahkan sebelum museum dibangun, terlihat dari lumut dan debu yang menyelimuti dindingnya. Jejak kaki Nadira terlihat jelas di sana. "Apa k

    Last Updated : 2021-06-24
  • Death Plague   Serangan Tiba-tiba

    Kesunyian yang mencekam menyelimuti bangunan museum itu kala malam semakin larut. Hujan telah reda dua jam yang lalu dan gemuruhnya suara guntur tak terdengar lagi. Di dalam kamp atau museum itu, semua orang masih menunggu kelompok yang sedang mencari Nadira dengan harap-harap cemas. Terutama Agatha yang sangat mengkhawatirkan keselamatan nasib cucunya. Tiba-tiba suara ketukan pintu memecahkan keheningan dan ketegangan yang memenuhi seisi ruangan. Sontak semua orang terperanjat kaget. Mereka segera membukakan pintu tanpa berpikir panjang. Mereka berpikir mungkin itu adalah Nadira beserta Mia, Rizal, Argo dan Cheryll. Akan tetapi orang yang ada di depan pintu itu bukanlah Nadira atau pun regu pencarinya. Mereka adalah sepasang pria dan wanita separuh baya yang mengenakan jas hujan berwarna hitam. "Delon! Wahna! Syukurlah kalian sudah

    Last Updated : 2021-06-26

Latest chapter

  • Death Plague   Kasus Argo

    Luka di hati Argo kembali terbuka, dendamnya yang sempat hampir terpadam kini membara lagi, tetapi sebisa mungkin ia menahan diri dan mempertahankan ekspresi tenangnya. Pepatah dari Jep dan mendiang ibunya selalu terngiang di benaknya. Dendam bukanlah pilihan, dendam hanyalah keinginan hati untuk membalas derita, yang hanya akan melahirkan rantai penderitaan yang selalu berulang. Bersabarlah andainya kau tidak bisa memaafkan seseorang. Sabar tidak berarti harus memaafkan. Sabar berarti menahan diri dan tidak berbuat tergesa-gesa, sehingga kau tidak akan melakukan perbuatan yang mungkin akan kau sesali kelak. Argo menatap wanita separuh baya berwajah sendu dengan bara api dendam dan amarah terpancar dari sorot matanya. Wanita itu baru saja menjelaskan semua yang dialami putri semata wayangnya. "Hem, baiklah, saya mengerti." Sejenak Argo merenung setelah menuliskan sesuatu di memo jam tangannya. "Seperti dugaanku, dia punya banyak nama, pantas pol

  • Death Plague   Guru dan Murid

    Pria tua itu bernama Kal, seorang pembunuh bayaran paling mahal dan paling ditakuti di dunia gelap pada masanya, berpuluh-puluh tahun yang lalu. Umurnya sudah setengah abad lebih dua windu. Sudah cukup tua, tetapi kehebatan dan kegesitannya tidak bisa dianggap enteng. Orang tua yang keras kepala, begitulah Argo menamainya. Ia mengeluarkan shotgunnya dengan tangannya yang sebelah kanan kemudian diletakkan di atas bahu. "Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Argo kepada orang tua itu. Kal tua menyeringai. Jelas sekali ia ingin menguji kemampuan muridnya yang sudah lama tidak terlihat. "Ah, akhirnya aku bisa melihat wajahmu lagi, muridku, aku senang kau masih hidup. Kau tidak tahu betapa aku sedihnya saat melihat banyak orang mati, padahal tidak kubunuh." "Tidak usah basa-basi! Aku tahu kebusukan hatimu itu, orang tua keras kepala! Pembunuh tak berperasaan yang sudah membuatku jadi orang kejam sepertimu, tidak mungkin punya rasa simpati!" O

  • Death Plague   Penyusupan

    Spontan Argo balik badan sewaktu merasakan seseorang menyentuh bahunya. Dengan cepat pula pistol Makarovnya ditodongkan kepada orang yang berada di belakangnya itu. Tampak olehnya seorang laki-laki yang mengenakan plester luka di pipinya mundur dengan gugup sambil mengangkat tangan. Wajahnya sangat familier. "Tenanglah, Bung! Aku bukan orang jahat!" "Oh, Giz … ternyata kau," Argo menghela napasnya kemudian menurunkan pistol itu. Laki-laki yang umurnya enam tahun lebih muda dari Argo itu berkata dengan cepat. "Ya, ini aku, senang melihatmu masih hidup, Argo. Aku benar-benar bingung dan frustasi, wabah itu sudah membunuh banyak orang dan entah kenapa, kebanyakannya cuma orang jahat saja yang masih hidup. Omong-omong, apa yang sedang kau lakukan di sini, Argo?" "Aku sedang mencari cara untuk masuk ke sana," kata Argo seraya menatap gedung berlantai sepuluh itu. "Apa? Kau, kau berencana untuk menyusup ke sana lagi?" kaget Giz.

  • Death Plague   Ingatan Kawan Lama 2

    Restoran mewah itu berada di seberang jalan, bersebelahan dengan butik baju dan toko mainan. Seorang pelayan tampan berpakaian serba hitam dan mengenakan dasi kupu-kupu menyambut Argo dan Balaam dengan ramah sewaktu keduanya masuk. Semua makanan dan minuman yang ada di menu terlihat mahal-mahal sekali. Jelas sekali hanya orang kaya raya yang bisa masuk dan mencicipi masakan di sini. Argo cukup terkejut sewaktu ia dibawa ke tempat mewah yang cukup terkenal itu. Ia tidak menyangka orang yang mentraktirnya itu adalah seorang VVIP. Cukup memperlihatkan sebuah kartu hitam, maka pelayan segera membawanya ke tempat khusus yang lebih nyaman daripada meja yang biasa. Seorang violinis memainkan irama yang lembut sekali dan pelayan wanita muda yang cantik jelita menemani mereka. Sepertinya ia sudah sangat mengenal Balaam. Sementara Argo yang terlihat keheranan, Balaam tersenyum lebar. "Hahaha, kau pasti kaget, kan?" "Ya, bukankah tadi kau bilang, ayahmu masuk ke

  • Death Plague   Ingatan Lama dan Teman Lama

    Di depan pintu masuk hotel berlantai sepuluh itu tampak sepasang pria bertubuh besar sedang berjaga. Mereka terlihat kuat dan dapat diandalkan untuk meringkus siapa saja yang mencoba menyusup ke sana. Sebuah rifle menjadi pelengkap akan kesan mengintimidasi mereka. Bangunan itu mengingatkan kembali Argo akan masa lalunya. Sejenak ia terpaku, mengenang kembali ingatan beberapa tahun yang telah berlalu. "Kakak! Kakak! Bantu aku mengerjakan PR dong! Aku tidak mengerti dengan soal yang ini," kata Meina seraya menunjukkan tabletnya. "Ya, sebentar!" jawab Argo masih terfokus pada layar komputernya. Adiknya itu segera mengintip layar komputernya. "Kakak sedang apa sih?" "Aku sedang mencari pekerjaan paruh waktu, supaya bisa menabung untuk membeli lagi rumah lama kita, bagaimanapun itu adalah peninggalan terakhir ibu kita, tapi malah dijual oleh ayah tak bertanggung jawab itu!" "Oh, tapi, tapi kita kan masih bisa tinggal d

  • Death Plague   Side Story: Ledakan Cincin Api

    Hai, hai, selamat pagi-siang-sore-malam semuanya. Perkenalkan namaku Kazuko. Aku adalah partner sekaligus pelayan kesayangan tuan Kaz. "Tidak, kau cuma moe pungutan aja, aku kasihan kau hidup sendirian di dalam kardus di gang kotor, jadi aku memungutmu." Duh, ya ampun, Tuan selalu saja begitu (⁰͡ ε ⁰͡ )╬ "Sudahlah! Jangan banyak basa-basi! Katakan saja tujuan kita! Kasihan tuh pembaca sudah menunggu!" Baiklah, baiklah ( ͡°з ͡°) Oke, pertama-tama, aku mewakili Tuan Kaz ingin mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya karena sudah lebih dari dua minggu ini Death Plague tidak update, karena sedang dirombak dulu. Silakan dibaca lagi dari bab 1 ya, karena banyak yang diubah. Sekali lagi mohon maaf. Sebagai permintaan maaf, kami akan memberikan satu bab bonu

  • Death Plague   Pertemuan Tak Terduga

    Di ambang pintu museum itu Nadira berdiri memandang ke arah hutan. Menunggu Argo dan yang lain kembali. Namun, apa yang dinantinya tak kunjung datang dan hanya membuat lehernya terasa pegal. Gelisah. Bukan hanya ia, ibunya Wahna pun mondar-mandir dengan ekspresi resah. Perasaan mereka saat ini bercampur aduk antara gelisah dan sedih. "Tenanglah, kalian berdua!" kata Agatha yang tengah duduk di atas kursi goyangnya. "Mereka pasti akan segera kembali, jadi tenanglah!" Lama-lama ia merasa tidak nyaman juga, melihat tingkah laku anak dan cucunya yang terlihat sangat risau. "Tapi mereka sudah pergi selama hampir dua jam, ditambah lagi hari sudah gelap dan mereka belum kembali juga, aku khawatir mereka diserang hewan buas," ucap Wahna berhenti mondar-mandir sejenak. "Kita doakan saja semoga mereka baik-baik saja!" &n

  • Death Plague   Tersesat di Hutan

    Argo bersandar pada batang pohon besar di tengah hutan yang gelap itu. Hanya sedikit cahaya yang dapat menyelinap melalui sela-sela dedaunan yang lebat. Ia memperhatikan suasana di sekitarnya yang terkesan menyeramkan. Tidak ada yang datang, sementara senja sudah mulai merona. Dengan tubuh yang semakin terasa sakit, ia mencoba untuk berdiri tetapi lututnya yang lemas mengkhianatinya. Ia terjatuh ke atas akar pohon yang menonjol ke luar itu. Ia sudah mencapai batasannya. "Sial, kakiku mati rasa." Sudah hampir setengah jam ia duduk di sana. Menantikan kedatangan Mia atau siapapun yang akan menyusulnya. Apa mereka tersesat? Atau mereka memang tidak mengikutiku? tanyanya di dalam hati. Di tempat lain, Mia berlari sendirian melewati pohon-pohon yang terlihat menakutkan dengan sepasang mata tiada henti melirik ke kanan dan kiri. Berteriak-

  • Death Plague   Penembak Jitu Misterius

    "Jadi begitu? Kau sengaja mengendalikan robotku untuk membunuh kita semua, ha?" kata Agatha seraya memandang Gilang dengan ekspresi kesal. Duduk bersandar pada tembok di sebelah kincir air yang terus berputar itu. Laki-laki berambut merah itu duduk di tanah, dikelilingi oleh empat orang yang marah. Ia meringis, merasakan sakit di kaki kirinya yang terkena timah panas saat mencoba melarikan diri. Orang yang menembaknya adalah Argo. Ia sedang memeriksa robot yang tiba-tiba berhenti bergerak itu. Sesuai dugaannya, robot buatan Agatha itu mati bukan karena kehabisan daya, melainkan seseorang telah menembaknya tepat ke bagian inti sumber daya. Tidak salah lagi, pelakunya pasti seorang penembak jitu, pikir Argo. "Ya! Benar! Akulah yang telah mencuri alat pengendali robotmu dan menggantinya dengan yang palsu! Aku ingin menghabisi

DMCA.com Protection Status