"Hei, Argo," kata Cheryll dengan suara yang lebih tegas.
Argo yang sedari tadi melihat ke kiri dan kanan jalanan, segera melirik gadis berusia lima belas tahun itu. "Apa?""Tolong ajari aku menembak!" pinta Cheryll seraya menghentikan langkahnya. "Tadi itu kau sangat hebat. Caramu menembak dan menghindari peluru penjahat itu benar-benar keren."Argo pun berhenti kemudian menghela napasnya."Kenapa kau ingin belajar menembak?" tanyanya.
"Aku …." Ekspresi Cheryll mendadak terlihat geram. "Aku ingin membunuh orang-orang kurang ajar itu, mereka … mereka selalu saja mabuk-mabukan dan menyakiti ibuku! Tak jarang ibuku menangis dibuatnya! Ibuku selalu menjawab 'ibu baik-baik saja' saat aku bertanya kenapa dia menangis.
"Tapi aku tahu, aku tahu semuanya, dia bekerja sebagai pelacur untuk menghidupiku, bahkan setelah banyak orang yang mati dia tetap menjadi pelacur. Sampai mati pun dia tetaplah pelacur. Aku ingin menumpas semua bajingan itu, terutama orang itu! Dia sudah meninggalkan aku dan ibuku sendirian dan hidup menderita, sementara dia hidup enak-enakan."Argo sedikit menggelengkan kepalanya, tak percaya gadis semuda ini bisa mengatakan hal seperti itu. Ia terdiam sejenak seolah sedang memilah kata-kata yang tepat untuk diucapkan."Dengar, Cheryll! Membunuh itu tidaklah hebat. Apa pun alasannya membunuh tetaplah membunuh, perbuatan yang salah, meskipun alasannya untuk menyelamatkan gadis sepertimu. Aku tidak jauh berbeda dari orang-orang yang kau bilang bajingan yang telah membunuh ibumu.""Tidak, kau tidak sama!" bantah Cheryll. "Kau orang baik, kau adalah pahlawanku, aku mencintaimu."Seandainya dia mengatakannya lagi di lima tahun yang akan datang, batin Argo. Ia menghela napasnya lagi."Maaf, aku tidak bisa mengajarimu menggunakan pistol.""Kenapa?" Gadis berambut kecoklatan itu menengadah, menatap wajah Argo."Kau masih terlalu kecil, selain itu, dendam itu seperti api. Kau akan terbakar, jika kau bermain-main dengannya. Kau hanya akan menyesal pada akhirnya.""Aku tidak peduli! Aku hanya ingin membela keadilan! Aku ingin melenyapkan orang-orang jahat!" Cheryll semakin bersikeras.Argo berpikir sejenak. Ia tidak ingin menciptakan seorang pembunuh, tetapi di sisi lain ia juga paling benci jika harus berdebat, apalagi dengan orang yang keras kepala. Gadis itu benar-benar mengingatkannya pada Shinta."Baiklah, aku akan mengajarimu menembak, tapi sebelum itu kau harus melatih fisikmu terlebih dahulu.""Benarkah?" Cheryll tersenyum lebar. "Terima kasih, Argo! Aku akan berlatih dengan keras."Mereka kembali melanjutkan perjalanannya.Di halaman rumah sakit Argo berhenti. Tak jauh berbeda dengan tempat-tempat lain, kerangka manusia berserakan di mana-mana. Bukan tempat yang mengenakkan untuk beristirahat, tetapi satu-satunya tujuan ia ke sini adalah untuk mencari petunjuk. Bagi Argo yang merupakan seorang mantan detektif, petunjuk sekecil apa pun sangat berguna.Bau busuk segera menyeruak saat Argo dan Cheryll memasuki rumah sakit. Aroma mayat yang seharusnya sudah lama menghilang."Apa yang ingin kau lakukan di tempat bau ini, Argo?" tanya Cheryll seraya menutupi hidungnya."Aku ingin mencari sesuatu sebentar, kau tunggu saja di luar!""Oh, baiklah."Argo segera masuk lebih dalam lagi. Menyusuri lorong yang sulit untuk dilewati karena terhalang oleh brankar berisi kerangka yang memenuhi di sepanjang koridor. Bangsal, kamar mayat, serta semua ruang pasien pun dipenuhi oleh tumpukan tulang belulang pasien tak tertolong dan para perawatnya.Hal yang menarik perhatian Argo adalah bau itu. Pasti ada seseorang yang mati beberapa hari yang lalu di sini. Ia mengikuti aroma busuk tersebut yang membawanya ke depan salah satu ruangan dengan pintu terbuka. Tampak mayat seorang perempuan tergeletak di depan pintu tersebut. Telentang. Argo segera memeriksanya. Mayat tersebut tampak sudah mulai mencair, belatung-belatung berpesta ria mengoyak dagingnya yang membusuk.Di dekat jasad perempuan itu, ada mayat lain. Seorang laki-laki paruh baya yang memiliki pitak di kepalanya, terbujur kaku. Sebuah pisau bernoda merah kehitaman tergenggam di tangannya. Terdapat tujuh luka tembak di dadanya.Perhatian Argo kemudian tertuju pada pistol shot gun kecil yang tergeletak di samping mayat si perempuan malang. Meskipun kemampuan deduksinya tak terlalu hebat, tetapi ia dapat menyimpulkan bahwa kedua orang itu pasti terlibat sebuah pertengkaran yang berujung maut, atau bisa jadi salah satu di antara mereka adalah penjarah. Siapa yang tahu?Di balik telapak tangan mayat perempuan itu, Argo melihat pulpen dan catatan kecil. Sedikit aneh, karena hampir tidak lagi yang menggunakan kertas sejak beberapa tahun terakhir, tergantikan oleh gadget dan komputer yang semakin canggih. Selain lebih mudah dan aman menyimpan dokumen di drive, tanpa takut akan dimakan usia atau terbakar apalagi basah, juga karena pasokan bahan baku kertas semakin menipis. Kawasan hutan semakin berkurang dengan meningkatnya populasi dunia yang kini sudah melebihi sembilan miliar orang. Distribusi kayu kian menurun dan polusi meningkat drastis.Saat ini sangat sulit untuk menemukan toko buku atau pabrik kertas, tetapi bukan berarti sudah tidak ada yang memproduksinya. Hanya saja jarang ada orang yang membelinya, sehingga banyak penjualnya yang menyerah dan mencoba pekerjaan lain.Argo segera mengambil catatan itu dan membawanya.Aku tidak tahu untuk apa aku menulis ini. Aku juga tidak tahu sudah berapa hari atau minggu aku dan sahabatku Mia terjebak di ruangan ini, tetapi yang pasti, kami sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dimakan. Sudah tiga hari kami tidak makan, hanya minum dan minum aja. Kami terlalu takut untuk keluar, karena sejak wabah tiba-tiba menyerang dan membunuh banyak orang, salah satu rekan kerja kami, dokter Marko menjadi gila dan ingin membunuh kami dengan pisaunya.Jadi kami bersembunyi di ruang ini dan mengunci pintunya. Berharap dokter Marko segera pergi. Namun, setiap kali aku mengintipnya, dia selalu berada di sana, berkeliaran sambil tertawa-tawa gila. Satu-satunya harapan kami adalah seorang pahlawan akan datang menyelamatkan kami, tetapi itu tidak mungkin. Ini bukanlah kisah bergenre superhero.Pada akhirnya kami menyerah, kami sudah tidak tahan lagi dengan rasa lapar. Kami harus pergi dari tempat ini. Lebih baik mati setelah berusaha daripada diam saja menunggu kematian datang. Lagipula apa pun pilihannya, hasilnya mungkin tetap akan mati juga.Saat aku membuka pintu, tampak si tua Marko langsung berlari ke arah kami. Mengacungkan pisaunya. Akan tetapi kami sudah membuat beberapa rencana pelarian. Ah sial, mataku sudah semakin berat. Baiklah, kalau begitu aku akan menyingkatnya. Rencana kami gagal dan Marko berhasil menusuk perutku.Mia kembali berlari menghampiriku tetapi dengan bodohnya aku menyuruh dia pergi. Awalnya dia menolak, tetapi aku berhasil meyakinkannya supaya meninggalkanku yang sekarat.
Marko ingin mengejarnya tetapi sebelum dia sempat balik badan, aku mengeluarkan pistol yang selama ini aku sembunyikan dan menghabisi Marko dengan tujuh tembakan. Dia mati dan sebentar lagi aku akan mati. Mungkin sekarang …."Kata-kata selanjutnya hanyalah sebuah coretan tak berarti.Argo hanya menghela napas setelah membaca catatan itu. Lalu berkeliling ke seisi ruangan, berharap ada petunjuk lain. Namun, nihil, ia tidak menemukan apa pun. Dokter bernama Mia itu mungkin tahu sesuatu, pikir Argo. Ia memutuskan untuk mencarinya. Akan tetapi harus mencari ke mana? Tidak ada petunjuk ke mana Mia akan pergi. Di dalam komputer itu mungkin tersimpan data profil para pegawai yang bekerja di rumah sakit ini. Sayangnya sudah tidak berfungsi lagi. Argo memukul komputer tersebut setelah beberapa kali mencoba menyalakannya, dan tanpa diduga-duga, komputer pun menyala. Sebelum mencari biodata lengkap para pekerja di tempat ini, terlebih dahulu Argo membuka laman internet. Mungkin di sana ada petunjuk tentang epidemi ini. Di dalam internet, ia menemukan banyak sekali video live streaming yang memperlihatkan kerusuhan saat orang-orang mat
"Apa yang terjadi di sini?" Argo dan Cheryll terbelalak saat melihat kamp penyintas yang mereka datangi telah hancur porak poranda. Bangunan museum dan kemah-kemah sederhana di sekitarnya telah dilalap api. Tidak ada yang tersisa, kecuali puing-puing yang terbakar. "Kebakarannya belum lama," gumam Argo setelah menganalisis tempat itu. Mungkin sekitar satu atau dua jam yang lalu, dan aku rasa tidak ada korban yang selamat, atau bisa jadi mereka telah melarikan diri, pikirnya. Tiba-tiba terdengar suara seseorang batuk dari dalam museum, sewaktu mereka mendekati bangunan tersebut. "Kau mendengarnya? Sepertinya barusan ada yang batuk dari dalam," ujar Cheryll seraya menatap pria berambut hitam pekat di sampingnya. "Kelihatannya masih ada orang yang selamat di dalam museum. Aku akan menolongnya," ujar Argo seraya berlari ke arah lubang besar di dinding mu
Di halaman belakang museum itu terdapat taman bermain anak-anak. Ada banyak sekali permainan di sana. Mulai dari ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, sampai komidi putar pun ada. Tampak masih ada kerangka anak kecil yang belum disingkirkan dari sana. Argo duduk di atas bangku taman sambil menatap ke arah perempuan yang berjalan menghampirinya dengan membawa nampan berisi dua gelas teh hijau. Tersenyum manis. Perempuan berambut kuning jagung yang tak lain dari Mia itu duduk di samping Argo. Hanya dipisahkan oleh nampan. Sejenak keduanya terdiam, tak mengucapkan sepatah kata pun. Memperhatikan Cheryll yang tengah push-up di depan permainan komidi putar, peluh membasahi keningnya. Mulutnya komat-kamit berhitung, "dua puluh lima, dua puluh enam, dua puluh tujuh …." "Dia benar-benar anak yang sangat bersemangat, ya," mulai Mia. "Ya, dan dia juga sangat keras ke
End Spray, Enofer, lalu idol yang mempromosikannya adalah Ellie E. O. A. E. Argo menggumamkan kata-kata tersebut beberapa kali, dengan kedua mata terus mengawasi langit yang semakin gelap. Ia mencoba membongkar setiap suku kata atau hurufnya, kemudian mencocokkannya dengan berbagai kosakata. Tiba-tiba ia tersentak kaget kemudian bangun—menyadari sesuatu yang mengejutkan. "E, O, A, E dan Enofer, kalau perkiraanku benar, itu bisa berarti 'end of an era,' yang artinya akhir zaman. Mungkinkah Edward Fuller yang telah merencanakan semua ini?" Ia menggelengkan kepalanya. Tidak, itu tidak mungkin, dia sudah mati setelah menciptakan Ellie, atau bisa jadi, dia telah dibunuh oleh seseorang dan Ellie diambil alih oleh orang tersebut untuk melancarkan rencananya, pikirnya. Ada banyak spekulasi di dalam kepalanya saat ini. Wajahnya terlihat sangat serius. Ia terlarut dalam pikirannya yang hanya berisi keingintahuan
"Apa? Ada pintu rahasia di sini?" "Jadi, Dira pergi melalui lorong ini, huh? Syukurlah, dia bukan diculik oleh hantu." "Sekarang semuanya menjadi masuk akal. Kerja bagus, Argo." Semua orang berdiri di depan lorong yang gelap itu. Tak ada yang mengira ada pintu rahasia di basemen. Tentu saja, jika bukan karena Argo dengan kacamatanya, mereka tidak akan pernah tahu. Sewaktu Argo memeriksa ke dalam lorong, tampak banyak sekali obor kayu yang ditempelkan pada dinding-dinding batu di sepanjang koridor. Entah menuju ke mana. Ada satu obor yang menghilang, mungkin telah diambil oleh Nadira untuk menerangi jalan. Sepertinya lorong rahasia ini sudah ada bahkan sebelum museum dibangun, terlihat dari lumut dan debu yang menyelimuti dindingnya. Jejak kaki Nadira terlihat jelas di sana. "Apa k
Kesunyian yang mencekam menyelimuti bangunan museum itu kala malam semakin larut. Hujan telah reda dua jam yang lalu dan gemuruhnya suara guntur tak terdengar lagi. Di dalam kamp atau museum itu, semua orang masih menunggu kelompok yang sedang mencari Nadira dengan harap-harap cemas. Terutama Agatha yang sangat mengkhawatirkan keselamatan nasib cucunya. Tiba-tiba suara ketukan pintu memecahkan keheningan dan ketegangan yang memenuhi seisi ruangan. Sontak semua orang terperanjat kaget. Mereka segera membukakan pintu tanpa berpikir panjang. Mereka berpikir mungkin itu adalah Nadira beserta Mia, Rizal, Argo dan Cheryll. Akan tetapi orang yang ada di depan pintu itu bukanlah Nadira atau pun regu pencarinya. Mereka adalah sepasang pria dan wanita separuh baya yang mengenakan jas hujan berwarna hitam. "Delon! Wahna! Syukurlah kalian sudah
Cheryll memberikan kotak pertolongan pertama itu kepada Mia, tetapi pada saat yang sama tiba-tiba terdengar suara berdesing. Sebuah misil, tetapi ukurannya dua kali lebih kecil. Senjata menyerupai roket tersebut mengenai atap museum di sebelah kanan dan menghancurkannya. "Kyaa!" Para wanita yang berdiri tak jauh dari sana menjerit histeris. Mereka segera berlari menjauh—menghindari puing-puing atap yang berjatuhan. Profesor Agatha yang berada di dalam museum pun terkejut. Ia ingin tahu apa yang sedang terjadi di luar, apalah daya kedua kakinya sudah tiada dan kaki palsu itu belum bisa digunakan. Penasaran, ia turun dari kursi goyangnya kemudian merangkak, menghampiri pintu. "Misil?" kaget Argo. Pandangan matanya segera tertuju ke arah rudal itu berasal. Samar-samar dari kejauhan di dekat kincir pembangkit listrik tenaga air, tampak sosok s
"Jadi begitu? Kau sengaja mengendalikan robotku untuk membunuh kita semua, ha?" kata Agatha seraya memandang Gilang dengan ekspresi kesal. Duduk bersandar pada tembok di sebelah kincir air yang terus berputar itu. Laki-laki berambut merah itu duduk di tanah, dikelilingi oleh empat orang yang marah. Ia meringis, merasakan sakit di kaki kirinya yang terkena timah panas saat mencoba melarikan diri. Orang yang menembaknya adalah Argo. Ia sedang memeriksa robot yang tiba-tiba berhenti bergerak itu. Sesuai dugaannya, robot buatan Agatha itu mati bukan karena kehabisan daya, melainkan seseorang telah menembaknya tepat ke bagian inti sumber daya. Tidak salah lagi, pelakunya pasti seorang penembak jitu, pikir Argo. "Ya! Benar! Akulah yang telah mencuri alat pengendali robotmu dan menggantinya dengan yang palsu! Aku ingin menghabisi
Luka di hati Argo kembali terbuka, dendamnya yang sempat hampir terpadam kini membara lagi, tetapi sebisa mungkin ia menahan diri dan mempertahankan ekspresi tenangnya. Pepatah dari Jep dan mendiang ibunya selalu terngiang di benaknya. Dendam bukanlah pilihan, dendam hanyalah keinginan hati untuk membalas derita, yang hanya akan melahirkan rantai penderitaan yang selalu berulang. Bersabarlah andainya kau tidak bisa memaafkan seseorang. Sabar tidak berarti harus memaafkan. Sabar berarti menahan diri dan tidak berbuat tergesa-gesa, sehingga kau tidak akan melakukan perbuatan yang mungkin akan kau sesali kelak. Argo menatap wanita separuh baya berwajah sendu dengan bara api dendam dan amarah terpancar dari sorot matanya. Wanita itu baru saja menjelaskan semua yang dialami putri semata wayangnya. "Hem, baiklah, saya mengerti." Sejenak Argo merenung setelah menuliskan sesuatu di memo jam tangannya. "Seperti dugaanku, dia punya banyak nama, pantas pol
Pria tua itu bernama Kal, seorang pembunuh bayaran paling mahal dan paling ditakuti di dunia gelap pada masanya, berpuluh-puluh tahun yang lalu. Umurnya sudah setengah abad lebih dua windu. Sudah cukup tua, tetapi kehebatan dan kegesitannya tidak bisa dianggap enteng. Orang tua yang keras kepala, begitulah Argo menamainya. Ia mengeluarkan shotgunnya dengan tangannya yang sebelah kanan kemudian diletakkan di atas bahu. "Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Argo kepada orang tua itu. Kal tua menyeringai. Jelas sekali ia ingin menguji kemampuan muridnya yang sudah lama tidak terlihat. "Ah, akhirnya aku bisa melihat wajahmu lagi, muridku, aku senang kau masih hidup. Kau tidak tahu betapa aku sedihnya saat melihat banyak orang mati, padahal tidak kubunuh." "Tidak usah basa-basi! Aku tahu kebusukan hatimu itu, orang tua keras kepala! Pembunuh tak berperasaan yang sudah membuatku jadi orang kejam sepertimu, tidak mungkin punya rasa simpati!" O
Spontan Argo balik badan sewaktu merasakan seseorang menyentuh bahunya. Dengan cepat pula pistol Makarovnya ditodongkan kepada orang yang berada di belakangnya itu. Tampak olehnya seorang laki-laki yang mengenakan plester luka di pipinya mundur dengan gugup sambil mengangkat tangan. Wajahnya sangat familier. "Tenanglah, Bung! Aku bukan orang jahat!" "Oh, Giz … ternyata kau," Argo menghela napasnya kemudian menurunkan pistol itu. Laki-laki yang umurnya enam tahun lebih muda dari Argo itu berkata dengan cepat. "Ya, ini aku, senang melihatmu masih hidup, Argo. Aku benar-benar bingung dan frustasi, wabah itu sudah membunuh banyak orang dan entah kenapa, kebanyakannya cuma orang jahat saja yang masih hidup. Omong-omong, apa yang sedang kau lakukan di sini, Argo?" "Aku sedang mencari cara untuk masuk ke sana," kata Argo seraya menatap gedung berlantai sepuluh itu. "Apa? Kau, kau berencana untuk menyusup ke sana lagi?" kaget Giz.
Restoran mewah itu berada di seberang jalan, bersebelahan dengan butik baju dan toko mainan. Seorang pelayan tampan berpakaian serba hitam dan mengenakan dasi kupu-kupu menyambut Argo dan Balaam dengan ramah sewaktu keduanya masuk. Semua makanan dan minuman yang ada di menu terlihat mahal-mahal sekali. Jelas sekali hanya orang kaya raya yang bisa masuk dan mencicipi masakan di sini. Argo cukup terkejut sewaktu ia dibawa ke tempat mewah yang cukup terkenal itu. Ia tidak menyangka orang yang mentraktirnya itu adalah seorang VVIP. Cukup memperlihatkan sebuah kartu hitam, maka pelayan segera membawanya ke tempat khusus yang lebih nyaman daripada meja yang biasa. Seorang violinis memainkan irama yang lembut sekali dan pelayan wanita muda yang cantik jelita menemani mereka. Sepertinya ia sudah sangat mengenal Balaam. Sementara Argo yang terlihat keheranan, Balaam tersenyum lebar. "Hahaha, kau pasti kaget, kan?" "Ya, bukankah tadi kau bilang, ayahmu masuk ke
Di depan pintu masuk hotel berlantai sepuluh itu tampak sepasang pria bertubuh besar sedang berjaga. Mereka terlihat kuat dan dapat diandalkan untuk meringkus siapa saja yang mencoba menyusup ke sana. Sebuah rifle menjadi pelengkap akan kesan mengintimidasi mereka. Bangunan itu mengingatkan kembali Argo akan masa lalunya. Sejenak ia terpaku, mengenang kembali ingatan beberapa tahun yang telah berlalu. "Kakak! Kakak! Bantu aku mengerjakan PR dong! Aku tidak mengerti dengan soal yang ini," kata Meina seraya menunjukkan tabletnya. "Ya, sebentar!" jawab Argo masih terfokus pada layar komputernya. Adiknya itu segera mengintip layar komputernya. "Kakak sedang apa sih?" "Aku sedang mencari pekerjaan paruh waktu, supaya bisa menabung untuk membeli lagi rumah lama kita, bagaimanapun itu adalah peninggalan terakhir ibu kita, tapi malah dijual oleh ayah tak bertanggung jawab itu!" "Oh, tapi, tapi kita kan masih bisa tinggal d
Hai, hai, selamat pagi-siang-sore-malam semuanya. Perkenalkan namaku Kazuko. Aku adalah partner sekaligus pelayan kesayangan tuan Kaz. "Tidak, kau cuma moe pungutan aja, aku kasihan kau hidup sendirian di dalam kardus di gang kotor, jadi aku memungutmu." Duh, ya ampun, Tuan selalu saja begitu (⁰͡ ε ⁰͡ )╬ "Sudahlah! Jangan banyak basa-basi! Katakan saja tujuan kita! Kasihan tuh pembaca sudah menunggu!" Baiklah, baiklah ( ͡°з ͡°) Oke, pertama-tama, aku mewakili Tuan Kaz ingin mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya karena sudah lebih dari dua minggu ini Death Plague tidak update, karena sedang dirombak dulu. Silakan dibaca lagi dari bab 1 ya, karena banyak yang diubah. Sekali lagi mohon maaf. Sebagai permintaan maaf, kami akan memberikan satu bab bonu
Di ambang pintu museum itu Nadira berdiri memandang ke arah hutan. Menunggu Argo dan yang lain kembali. Namun, apa yang dinantinya tak kunjung datang dan hanya membuat lehernya terasa pegal. Gelisah. Bukan hanya ia, ibunya Wahna pun mondar-mandir dengan ekspresi resah. Perasaan mereka saat ini bercampur aduk antara gelisah dan sedih. "Tenanglah, kalian berdua!" kata Agatha yang tengah duduk di atas kursi goyangnya. "Mereka pasti akan segera kembali, jadi tenanglah!" Lama-lama ia merasa tidak nyaman juga, melihat tingkah laku anak dan cucunya yang terlihat sangat risau. "Tapi mereka sudah pergi selama hampir dua jam, ditambah lagi hari sudah gelap dan mereka belum kembali juga, aku khawatir mereka diserang hewan buas," ucap Wahna berhenti mondar-mandir sejenak. "Kita doakan saja semoga mereka baik-baik saja!" &n
Argo bersandar pada batang pohon besar di tengah hutan yang gelap itu. Hanya sedikit cahaya yang dapat menyelinap melalui sela-sela dedaunan yang lebat. Ia memperhatikan suasana di sekitarnya yang terkesan menyeramkan. Tidak ada yang datang, sementara senja sudah mulai merona. Dengan tubuh yang semakin terasa sakit, ia mencoba untuk berdiri tetapi lututnya yang lemas mengkhianatinya. Ia terjatuh ke atas akar pohon yang menonjol ke luar itu. Ia sudah mencapai batasannya. "Sial, kakiku mati rasa." Sudah hampir setengah jam ia duduk di sana. Menantikan kedatangan Mia atau siapapun yang akan menyusulnya. Apa mereka tersesat? Atau mereka memang tidak mengikutiku? tanyanya di dalam hati. Di tempat lain, Mia berlari sendirian melewati pohon-pohon yang terlihat menakutkan dengan sepasang mata tiada henti melirik ke kanan dan kiri. Berteriak-
"Jadi begitu? Kau sengaja mengendalikan robotku untuk membunuh kita semua, ha?" kata Agatha seraya memandang Gilang dengan ekspresi kesal. Duduk bersandar pada tembok di sebelah kincir air yang terus berputar itu. Laki-laki berambut merah itu duduk di tanah, dikelilingi oleh empat orang yang marah. Ia meringis, merasakan sakit di kaki kirinya yang terkena timah panas saat mencoba melarikan diri. Orang yang menembaknya adalah Argo. Ia sedang memeriksa robot yang tiba-tiba berhenti bergerak itu. Sesuai dugaannya, robot buatan Agatha itu mati bukan karena kehabisan daya, melainkan seseorang telah menembaknya tepat ke bagian inti sumber daya. Tidak salah lagi, pelakunya pasti seorang penembak jitu, pikir Argo. "Ya! Benar! Akulah yang telah mencuri alat pengendali robotmu dan menggantinya dengan yang palsu! Aku ingin menghabisi