End Spray, Enofer, lalu idol yang mempromosikannya adalah Ellie E. O. A. E. Argo menggumamkan kata-kata tersebut beberapa kali, dengan kedua mata terus mengawasi langit yang semakin gelap. Ia mencoba membongkar setiap suku kata atau hurufnya, kemudian mencocokkannya dengan berbagai kosakata.
Tiba-tiba ia tersentak kaget kemudian bangun—menyadari sesuatu yang mengejutkan."E, O, A, E dan Enofer, kalau perkiraanku benar, itu bisa berarti 'end of an era,' yang artinya akhir zaman. Mungkinkah Edward Fuller yang telah merencanakan semua ini?" Ia menggelengkan kepalanya. Tidak, itu tidak mungkin, dia sudah mati setelah menciptakan Ellie, atau bisa jadi, dia telah dibunuh oleh seseorang dan Ellie diambil alih oleh orang tersebut untuk melancarkan rencananya, pikirnya.Ada banyak spekulasi di dalam kepalanya saat ini. Wajahnya terlihat sangat serius. Ia terlarut dalam pikirannya yang hanya berisi keingintahuan yang besar. Namun, itu tidak berlangsung lama, karena hujan mulai turun dan tetesannya segera membasahi kepala pria berambut hitam ini.Saat tersadar kembali, ia mendapati Cheryll tengah mengguncang tubuhnya. Memanggil-manggil namanya. Ia terlalu fokus pada lamunannya sendiri sehingga tidak menyadari panggilan gadis berbaju kelabu itu.Mereka segera berlari memasuki museum.Di sana, tampak semua penghuni kamp yang tersisa telah berkumpul. Satu hari sudah berlalu tetapi para penyintas lain belum kembali. Tidak ada yang tidak mau mencari mereka, terutama Nadira yang sangat ingin mencari ayah dan ibunya. Namun, sangat berbahaya untuk berpencar-pencar lagi, sehingga ia dilarang pergi. Meskipun sangat ingin mencari kedua orang tuanya, ia hanya bisa diam menunggu sampai beberapa hari. Jika mereka belum kembali juga, semua anggota kamp akan mencarinya bersama-sama tanpa berpencar, karena itu akan sangat berbahaya dengan adanya para penjarah di luar sana.Semua orang terpaksa tinggal di bawah atap yang sama di dalam museum, karena pondok kayu yang sedang mereka buat masih jauh dari kata layak untuk dihuni. Hanya dengan tenaga tiga orang pria saja, termasuk Argo, tidak akan cukup untuk menyelesaikannya dalam waktu dekat.Sebenarnya mereka bisa tinggal bersama-sama di dalam museum tetapi para perempuan ingin tinggal berpisah-pisah.Ada delapan ruangan di dalam museum ini. Empat ruangan di lantai dua, tiga ruang di lantai satu dan sebuah basemen. Masing-masing ruang menyimpan barang bersejarah yang berbeda.Setelah mengganti pakaian secara bergiliran di toilet karena kebasahan, Argo dan Cheryll kembali ke tengah-tengah museum—ruangan paling besar tempat semua orang berkumpul.Sisa-sisa arang dan abu dari rak yang terbakar telah dibersihkan, serta lubang besar di dinding museum ditambal dengan menggunakan sisa-sisa kayu rak yang masih utuh.Tampak Mia sedang mengobati seorang anak laki-laki berwajah kebiruan. Mulut anak itu sedikit berbusa dan megap-megap, seolah sang malaikat maut tengah berada di sana, hendak mencabut nyawanya.Anak dari perempuan gemuk bernama Nanda itu sudah sekarat, tetapi sebagai seorang dokter, Mia tidak menyerah. Ia merawatnya tanpa merasa panik atau tertekan sama sekali. Begitu tenang."A-apa Daniel akan selamat?" tanya Nanda dengan ekspresi antara gugup dan sedih."Tenang saja!" jawab Mia dengan tenang. Ia memasukkan serbuk berwarna hitam ke dalam mulut anak itu. "Berkat kebakaran kemarin, aku bisa membuat obat penawarnya dengan mudah. Daniel akan segera sembuh."Ia memberikan senyuman terbaiknya yang sangat imut."Terima kasih, Mia," ucap Nanda dengan bibir bergetar. "Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, jika aku sampai kehilangan anakku setelah suamiku.""Tidak perlu berterima kasih! Itu sudah menjadi tugasku sebagai dokter. Yang lebih penting, kau harus terus mengawasi Daniel, agar tidak sembarangan memakan sesuatu.""Baiklah."Obat yang dibuat oleh Mia adalah karbon aktif atau arang aktif. Karbon aktif merupakan penawar racun yang cukup ampuh. Dapat dibuat dengan cara kimia atau fisika. Ada banyak kayu yang bisa dijadikan bahan untuk membuat arang aktif, seperti tempurung kelapa, serbuk gergaji, batang jagung atau kayu mahoni, setelah melalui proses karbonisasi.Mia menggunakan arang dari rak kayu untuk membuat karbon aktif. Arang kayu tersebut langsung diaktivasi dengan asam fosfat yang kemudian dipanaskan dengan suhu kurang lebih 600° Celcius selama dua jam, di dalam tungku api kuno di dekat tangga.Tungku api itu sebenarnya hanya untuk pajangan saja. Tidak pernah digunakan, bahkan sejak pertama kali museum dibuka tetapi untungnya berfungsi.Di luar, petir bergelegar saling bersusulan dengan kilatan cahaya putih yang menemani gemuruhnya angin dan air hujan. Hujan yang sangat deras, seolah sang bumantara tengah meluahkan semua rasa sedih di hatinya, menyaksikan perbuatan manusia yang telah membuat banyak kerusakan."Omong-omong di mana Nadira?" tanya Mia sembari jelalatan.
"Oh, tadi siang aku melihatnya masuk ke basemen dan belum keluar lagi sampai sekarang," jawab si tua Agatha yang sedari pagi berada di dalam museum. Membuat peralatan yang lebih aman daripada robot penjaga.
Benda yang dibuatnya kali ini adalah kaki dan tangan palsu yang terbuat dari sisa komponen pembuatan robot.
"Biarkan saja! Mungkin dia sedang ingin sendirian untuk menenangkan pikirannya," sahut laki-laki bertubuh kekar dengan singlet berwarna hitam yang memperlihatkan otot-otot perut dan lengannya yang bertonjolan."Tapi ini sudah terlalu lama, aku akan memeriksanya!" kata Mia seraya berdiri. Pergi menuju ruang bawah tanah.
Akan tetapi selang satu menit kemudian, ia telah kembali lagi dengan ekspresi putus asa. Mengagetkan semua orang. "Nadira tidak ada di basemen!"
"Apa? Mustahil!" sanggah Agatha tak percaya. "Aku sangat yakin, cucuku belum keluar dari basemen sedari siang."
"Apa kau yakin, dia tidak bersembunyi, Mia?" tanya Soni. Pria berkumis melintang yang tengah merokok.
"Ya, aku sudah memeriksa semuanya," jawab Mia.
"Sebaiknya kita periksa lagi!" usul Argo yang segera disetujui oleh semua orang.
Mereka segera pergi ke basemen bersama-sama, kecuali Agatha yang tak bisa berjalan dan Nanda yang harus menjaga anaknya.
Kebanyakan barang-barang di basemen sudah mulai lapuk dan berkarat. Tidak ada yang menarik. Besi-besi tua, buku-buku lama, lemari rusak, kursi reyot, serta masih banyak lagi barang yang sudah tak dapat digunakan. Ruangan ini akan lebih tepat jika disebut gudang bawah tanah."Kau benar, Mia!" kata Soni. "Kita sudah memeriksa semuanya, tapi tidak ada Dira di sini."
"Ja … jangan-jangan, Dira dibawa oleh hantu," celetuk seorang wanita berambut pendek dengan wajah ketakutan.Sontak beberapa orang langsung menelan ludahnya sendiri.
"I-itu mungkin saja! Aku pernah mendengar jika museum dulunya adalah pemakaman umum," sahut perempuan lain membenarkannya.Akan tetapi ada juga yang menyangkalnya. "Jangan konyol! Hantu itu tidak ada! Ini sudah tahun dua ribu tujuh puluh sembilan dan kalian masih percaya dengan hantu?"
Sementara itu, Argo telah mengenakan kacamata lensa satunya untuk melihat jejak kaki. Dengan kacamatanya bekas telapak kaki atau sidik jari akan terlihat dengan jelas, meninggalkan cahaya berwarna hijau. Biarpun ada banyak telapak kaki di sana karena semua orang ikut mencari Nadira, tetapi ada satu jejak yang berbeda. Tapak kaki tersebut memiliki ukuran yang sedikit berbeda antara kanan dan kirinya. Itu pasti milik perempuan yang sedang dicarinya.
Jejak tersebut menghilang di depan dinding. Aneh. Argo segera menyapukan kedua matanya ke dinding tersebut dengan teliti, dan melihat tanda sidik jari pada bagian tembok yang memiliki warna berbeda.
Penasaran, Argo segera menekan bagian dinding tersebut.
Tiba-tiba dinding bergetar dan sebuah pintu rahasia terbuka lebar, dengan lorong yang memanjang. Bagian ujungnya tak terlihat karena diselimuti oleh pekatnya warna hitam kegelapan.
Sontak semua orang yang ada di ruangan tersebut terkejut dan langsung menghampiri Argo."Apa? Ada pintu rahasia di sini?" "Jadi, Dira pergi melalui lorong ini, huh? Syukurlah, dia bukan diculik oleh hantu." "Sekarang semuanya menjadi masuk akal. Kerja bagus, Argo." Semua orang berdiri di depan lorong yang gelap itu. Tak ada yang mengira ada pintu rahasia di basemen. Tentu saja, jika bukan karena Argo dengan kacamatanya, mereka tidak akan pernah tahu. Sewaktu Argo memeriksa ke dalam lorong, tampak banyak sekali obor kayu yang ditempelkan pada dinding-dinding batu di sepanjang koridor. Entah menuju ke mana. Ada satu obor yang menghilang, mungkin telah diambil oleh Nadira untuk menerangi jalan. Sepertinya lorong rahasia ini sudah ada bahkan sebelum museum dibangun, terlihat dari lumut dan debu yang menyelimuti dindingnya. Jejak kaki Nadira terlihat jelas di sana. "Apa k
Kesunyian yang mencekam menyelimuti bangunan museum itu kala malam semakin larut. Hujan telah reda dua jam yang lalu dan gemuruhnya suara guntur tak terdengar lagi. Di dalam kamp atau museum itu, semua orang masih menunggu kelompok yang sedang mencari Nadira dengan harap-harap cemas. Terutama Agatha yang sangat mengkhawatirkan keselamatan nasib cucunya. Tiba-tiba suara ketukan pintu memecahkan keheningan dan ketegangan yang memenuhi seisi ruangan. Sontak semua orang terperanjat kaget. Mereka segera membukakan pintu tanpa berpikir panjang. Mereka berpikir mungkin itu adalah Nadira beserta Mia, Rizal, Argo dan Cheryll. Akan tetapi orang yang ada di depan pintu itu bukanlah Nadira atau pun regu pencarinya. Mereka adalah sepasang pria dan wanita separuh baya yang mengenakan jas hujan berwarna hitam. "Delon! Wahna! Syukurlah kalian sudah
Cheryll memberikan kotak pertolongan pertama itu kepada Mia, tetapi pada saat yang sama tiba-tiba terdengar suara berdesing. Sebuah misil, tetapi ukurannya dua kali lebih kecil. Senjata menyerupai roket tersebut mengenai atap museum di sebelah kanan dan menghancurkannya. "Kyaa!" Para wanita yang berdiri tak jauh dari sana menjerit histeris. Mereka segera berlari menjauh—menghindari puing-puing atap yang berjatuhan. Profesor Agatha yang berada di dalam museum pun terkejut. Ia ingin tahu apa yang sedang terjadi di luar, apalah daya kedua kakinya sudah tiada dan kaki palsu itu belum bisa digunakan. Penasaran, ia turun dari kursi goyangnya kemudian merangkak, menghampiri pintu. "Misil?" kaget Argo. Pandangan matanya segera tertuju ke arah rudal itu berasal. Samar-samar dari kejauhan di dekat kincir pembangkit listrik tenaga air, tampak sosok s
"Jadi begitu? Kau sengaja mengendalikan robotku untuk membunuh kita semua, ha?" kata Agatha seraya memandang Gilang dengan ekspresi kesal. Duduk bersandar pada tembok di sebelah kincir air yang terus berputar itu. Laki-laki berambut merah itu duduk di tanah, dikelilingi oleh empat orang yang marah. Ia meringis, merasakan sakit di kaki kirinya yang terkena timah panas saat mencoba melarikan diri. Orang yang menembaknya adalah Argo. Ia sedang memeriksa robot yang tiba-tiba berhenti bergerak itu. Sesuai dugaannya, robot buatan Agatha itu mati bukan karena kehabisan daya, melainkan seseorang telah menembaknya tepat ke bagian inti sumber daya. Tidak salah lagi, pelakunya pasti seorang penembak jitu, pikir Argo. "Ya! Benar! Akulah yang telah mencuri alat pengendali robotmu dan menggantinya dengan yang palsu! Aku ingin menghabisi
Argo bersandar pada batang pohon besar di tengah hutan yang gelap itu. Hanya sedikit cahaya yang dapat menyelinap melalui sela-sela dedaunan yang lebat. Ia memperhatikan suasana di sekitarnya yang terkesan menyeramkan. Tidak ada yang datang, sementara senja sudah mulai merona. Dengan tubuh yang semakin terasa sakit, ia mencoba untuk berdiri tetapi lututnya yang lemas mengkhianatinya. Ia terjatuh ke atas akar pohon yang menonjol ke luar itu. Ia sudah mencapai batasannya. "Sial, kakiku mati rasa." Sudah hampir setengah jam ia duduk di sana. Menantikan kedatangan Mia atau siapapun yang akan menyusulnya. Apa mereka tersesat? Atau mereka memang tidak mengikutiku? tanyanya di dalam hati. Di tempat lain, Mia berlari sendirian melewati pohon-pohon yang terlihat menakutkan dengan sepasang mata tiada henti melirik ke kanan dan kiri. Berteriak-
Di ambang pintu museum itu Nadira berdiri memandang ke arah hutan. Menunggu Argo dan yang lain kembali. Namun, apa yang dinantinya tak kunjung datang dan hanya membuat lehernya terasa pegal. Gelisah. Bukan hanya ia, ibunya Wahna pun mondar-mandir dengan ekspresi resah. Perasaan mereka saat ini bercampur aduk antara gelisah dan sedih. "Tenanglah, kalian berdua!" kata Agatha yang tengah duduk di atas kursi goyangnya. "Mereka pasti akan segera kembali, jadi tenanglah!" Lama-lama ia merasa tidak nyaman juga, melihat tingkah laku anak dan cucunya yang terlihat sangat risau. "Tapi mereka sudah pergi selama hampir dua jam, ditambah lagi hari sudah gelap dan mereka belum kembali juga, aku khawatir mereka diserang hewan buas," ucap Wahna berhenti mondar-mandir sejenak. "Kita doakan saja semoga mereka baik-baik saja!" &n
Hai, hai, selamat pagi-siang-sore-malam semuanya. Perkenalkan namaku Kazuko. Aku adalah partner sekaligus pelayan kesayangan tuan Kaz. "Tidak, kau cuma moe pungutan aja, aku kasihan kau hidup sendirian di dalam kardus di gang kotor, jadi aku memungutmu." Duh, ya ampun, Tuan selalu saja begitu (⁰͡ ε ⁰͡ )╬ "Sudahlah! Jangan banyak basa-basi! Katakan saja tujuan kita! Kasihan tuh pembaca sudah menunggu!" Baiklah, baiklah ( ͡°з ͡°) Oke, pertama-tama, aku mewakili Tuan Kaz ingin mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya karena sudah lebih dari dua minggu ini Death Plague tidak update, karena sedang dirombak dulu. Silakan dibaca lagi dari bab 1 ya, karena banyak yang diubah. Sekali lagi mohon maaf. Sebagai permintaan maaf, kami akan memberikan satu bab bonu
Di depan pintu masuk hotel berlantai sepuluh itu tampak sepasang pria bertubuh besar sedang berjaga. Mereka terlihat kuat dan dapat diandalkan untuk meringkus siapa saja yang mencoba menyusup ke sana. Sebuah rifle menjadi pelengkap akan kesan mengintimidasi mereka. Bangunan itu mengingatkan kembali Argo akan masa lalunya. Sejenak ia terpaku, mengenang kembali ingatan beberapa tahun yang telah berlalu. "Kakak! Kakak! Bantu aku mengerjakan PR dong! Aku tidak mengerti dengan soal yang ini," kata Meina seraya menunjukkan tabletnya. "Ya, sebentar!" jawab Argo masih terfokus pada layar komputernya. Adiknya itu segera mengintip layar komputernya. "Kakak sedang apa sih?" "Aku sedang mencari pekerjaan paruh waktu, supaya bisa menabung untuk membeli lagi rumah lama kita, bagaimanapun itu adalah peninggalan terakhir ibu kita, tapi malah dijual oleh ayah tak bertanggung jawab itu!" "Oh, tapi, tapi kita kan masih bisa tinggal d
Luka di hati Argo kembali terbuka, dendamnya yang sempat hampir terpadam kini membara lagi, tetapi sebisa mungkin ia menahan diri dan mempertahankan ekspresi tenangnya. Pepatah dari Jep dan mendiang ibunya selalu terngiang di benaknya. Dendam bukanlah pilihan, dendam hanyalah keinginan hati untuk membalas derita, yang hanya akan melahirkan rantai penderitaan yang selalu berulang. Bersabarlah andainya kau tidak bisa memaafkan seseorang. Sabar tidak berarti harus memaafkan. Sabar berarti menahan diri dan tidak berbuat tergesa-gesa, sehingga kau tidak akan melakukan perbuatan yang mungkin akan kau sesali kelak. Argo menatap wanita separuh baya berwajah sendu dengan bara api dendam dan amarah terpancar dari sorot matanya. Wanita itu baru saja menjelaskan semua yang dialami putri semata wayangnya. "Hem, baiklah, saya mengerti." Sejenak Argo merenung setelah menuliskan sesuatu di memo jam tangannya. "Seperti dugaanku, dia punya banyak nama, pantas pol
Pria tua itu bernama Kal, seorang pembunuh bayaran paling mahal dan paling ditakuti di dunia gelap pada masanya, berpuluh-puluh tahun yang lalu. Umurnya sudah setengah abad lebih dua windu. Sudah cukup tua, tetapi kehebatan dan kegesitannya tidak bisa dianggap enteng. Orang tua yang keras kepala, begitulah Argo menamainya. Ia mengeluarkan shotgunnya dengan tangannya yang sebelah kanan kemudian diletakkan di atas bahu. "Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Argo kepada orang tua itu. Kal tua menyeringai. Jelas sekali ia ingin menguji kemampuan muridnya yang sudah lama tidak terlihat. "Ah, akhirnya aku bisa melihat wajahmu lagi, muridku, aku senang kau masih hidup. Kau tidak tahu betapa aku sedihnya saat melihat banyak orang mati, padahal tidak kubunuh." "Tidak usah basa-basi! Aku tahu kebusukan hatimu itu, orang tua keras kepala! Pembunuh tak berperasaan yang sudah membuatku jadi orang kejam sepertimu, tidak mungkin punya rasa simpati!" O
Spontan Argo balik badan sewaktu merasakan seseorang menyentuh bahunya. Dengan cepat pula pistol Makarovnya ditodongkan kepada orang yang berada di belakangnya itu. Tampak olehnya seorang laki-laki yang mengenakan plester luka di pipinya mundur dengan gugup sambil mengangkat tangan. Wajahnya sangat familier. "Tenanglah, Bung! Aku bukan orang jahat!" "Oh, Giz … ternyata kau," Argo menghela napasnya kemudian menurunkan pistol itu. Laki-laki yang umurnya enam tahun lebih muda dari Argo itu berkata dengan cepat. "Ya, ini aku, senang melihatmu masih hidup, Argo. Aku benar-benar bingung dan frustasi, wabah itu sudah membunuh banyak orang dan entah kenapa, kebanyakannya cuma orang jahat saja yang masih hidup. Omong-omong, apa yang sedang kau lakukan di sini, Argo?" "Aku sedang mencari cara untuk masuk ke sana," kata Argo seraya menatap gedung berlantai sepuluh itu. "Apa? Kau, kau berencana untuk menyusup ke sana lagi?" kaget Giz.
Restoran mewah itu berada di seberang jalan, bersebelahan dengan butik baju dan toko mainan. Seorang pelayan tampan berpakaian serba hitam dan mengenakan dasi kupu-kupu menyambut Argo dan Balaam dengan ramah sewaktu keduanya masuk. Semua makanan dan minuman yang ada di menu terlihat mahal-mahal sekali. Jelas sekali hanya orang kaya raya yang bisa masuk dan mencicipi masakan di sini. Argo cukup terkejut sewaktu ia dibawa ke tempat mewah yang cukup terkenal itu. Ia tidak menyangka orang yang mentraktirnya itu adalah seorang VVIP. Cukup memperlihatkan sebuah kartu hitam, maka pelayan segera membawanya ke tempat khusus yang lebih nyaman daripada meja yang biasa. Seorang violinis memainkan irama yang lembut sekali dan pelayan wanita muda yang cantik jelita menemani mereka. Sepertinya ia sudah sangat mengenal Balaam. Sementara Argo yang terlihat keheranan, Balaam tersenyum lebar. "Hahaha, kau pasti kaget, kan?" "Ya, bukankah tadi kau bilang, ayahmu masuk ke
Di depan pintu masuk hotel berlantai sepuluh itu tampak sepasang pria bertubuh besar sedang berjaga. Mereka terlihat kuat dan dapat diandalkan untuk meringkus siapa saja yang mencoba menyusup ke sana. Sebuah rifle menjadi pelengkap akan kesan mengintimidasi mereka. Bangunan itu mengingatkan kembali Argo akan masa lalunya. Sejenak ia terpaku, mengenang kembali ingatan beberapa tahun yang telah berlalu. "Kakak! Kakak! Bantu aku mengerjakan PR dong! Aku tidak mengerti dengan soal yang ini," kata Meina seraya menunjukkan tabletnya. "Ya, sebentar!" jawab Argo masih terfokus pada layar komputernya. Adiknya itu segera mengintip layar komputernya. "Kakak sedang apa sih?" "Aku sedang mencari pekerjaan paruh waktu, supaya bisa menabung untuk membeli lagi rumah lama kita, bagaimanapun itu adalah peninggalan terakhir ibu kita, tapi malah dijual oleh ayah tak bertanggung jawab itu!" "Oh, tapi, tapi kita kan masih bisa tinggal d
Hai, hai, selamat pagi-siang-sore-malam semuanya. Perkenalkan namaku Kazuko. Aku adalah partner sekaligus pelayan kesayangan tuan Kaz. "Tidak, kau cuma moe pungutan aja, aku kasihan kau hidup sendirian di dalam kardus di gang kotor, jadi aku memungutmu." Duh, ya ampun, Tuan selalu saja begitu (⁰͡ ε ⁰͡ )╬ "Sudahlah! Jangan banyak basa-basi! Katakan saja tujuan kita! Kasihan tuh pembaca sudah menunggu!" Baiklah, baiklah ( ͡°з ͡°) Oke, pertama-tama, aku mewakili Tuan Kaz ingin mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya karena sudah lebih dari dua minggu ini Death Plague tidak update, karena sedang dirombak dulu. Silakan dibaca lagi dari bab 1 ya, karena banyak yang diubah. Sekali lagi mohon maaf. Sebagai permintaan maaf, kami akan memberikan satu bab bonu
Di ambang pintu museum itu Nadira berdiri memandang ke arah hutan. Menunggu Argo dan yang lain kembali. Namun, apa yang dinantinya tak kunjung datang dan hanya membuat lehernya terasa pegal. Gelisah. Bukan hanya ia, ibunya Wahna pun mondar-mandir dengan ekspresi resah. Perasaan mereka saat ini bercampur aduk antara gelisah dan sedih. "Tenanglah, kalian berdua!" kata Agatha yang tengah duduk di atas kursi goyangnya. "Mereka pasti akan segera kembali, jadi tenanglah!" Lama-lama ia merasa tidak nyaman juga, melihat tingkah laku anak dan cucunya yang terlihat sangat risau. "Tapi mereka sudah pergi selama hampir dua jam, ditambah lagi hari sudah gelap dan mereka belum kembali juga, aku khawatir mereka diserang hewan buas," ucap Wahna berhenti mondar-mandir sejenak. "Kita doakan saja semoga mereka baik-baik saja!" &n
Argo bersandar pada batang pohon besar di tengah hutan yang gelap itu. Hanya sedikit cahaya yang dapat menyelinap melalui sela-sela dedaunan yang lebat. Ia memperhatikan suasana di sekitarnya yang terkesan menyeramkan. Tidak ada yang datang, sementara senja sudah mulai merona. Dengan tubuh yang semakin terasa sakit, ia mencoba untuk berdiri tetapi lututnya yang lemas mengkhianatinya. Ia terjatuh ke atas akar pohon yang menonjol ke luar itu. Ia sudah mencapai batasannya. "Sial, kakiku mati rasa." Sudah hampir setengah jam ia duduk di sana. Menantikan kedatangan Mia atau siapapun yang akan menyusulnya. Apa mereka tersesat? Atau mereka memang tidak mengikutiku? tanyanya di dalam hati. Di tempat lain, Mia berlari sendirian melewati pohon-pohon yang terlihat menakutkan dengan sepasang mata tiada henti melirik ke kanan dan kiri. Berteriak-
"Jadi begitu? Kau sengaja mengendalikan robotku untuk membunuh kita semua, ha?" kata Agatha seraya memandang Gilang dengan ekspresi kesal. Duduk bersandar pada tembok di sebelah kincir air yang terus berputar itu. Laki-laki berambut merah itu duduk di tanah, dikelilingi oleh empat orang yang marah. Ia meringis, merasakan sakit di kaki kirinya yang terkena timah panas saat mencoba melarikan diri. Orang yang menembaknya adalah Argo. Ia sedang memeriksa robot yang tiba-tiba berhenti bergerak itu. Sesuai dugaannya, robot buatan Agatha itu mati bukan karena kehabisan daya, melainkan seseorang telah menembaknya tepat ke bagian inti sumber daya. Tidak salah lagi, pelakunya pasti seorang penembak jitu, pikir Argo. "Ya! Benar! Akulah yang telah mencuri alat pengendali robotmu dan menggantinya dengan yang palsu! Aku ingin menghabisi