Home / Sci-Fi / Death Plague / Petunjuk Pertama

Share

Petunjuk Pertama

last update Last Updated: 2021-06-22 01:34:00

Di halaman belakang museum itu terdapat taman bermain anak-anak. Ada banyak sekali permainan di sana. Mulai dari ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, sampai komidi putar pun ada. Tampak masih ada kerangka anak kecil yang belum disingkirkan dari sana.

Argo duduk di atas bangku taman sambil menatap ke arah perempuan yang berjalan menghampirinya dengan membawa nampan berisi dua gelas teh hijau. Tersenyum manis.

Perempuan berambut kuning jagung yang tak lain dari Mia itu duduk di samping Argo. Hanya dipisahkan oleh nampan. Sejenak keduanya terdiam, tak mengucapkan sepatah kata pun. Memperhatikan Cheryll yang tengah push-up di depan permainan komidi putar, peluh membasahi keningnya. Mulutnya komat-kamit berhitung, "dua puluh lima, dua puluh enam, dua puluh tujuh …."

"Dia benar-benar anak yang sangat bersemangat, ya," mulai Mia.

"Ya, dan dia juga sangat keras kepala, dia ngotot sekali ingin diajari menggunakan pistol."

Mia tersenyum siput. "Jadi kau menyuruhnya melakukan push-up agar dia berhenti memaksa?"

"Dia perlu melatih tubuhnya dulu sebelum memakai pistol."

"Tunggu, jangan bilang, kau benar-benar ingin mengajarinya menggunakan pistol?" Mia tersentak kaget.

"Ya, memang, aku tidak pernah mengingkari janjiku, aku hanya perlu memperbaiki niatnya saja, dan lagipula perempuan harus bisa menjaga diri juga, kan, Dokter?" Argo menatap perempuan disampingnya dengan bibir tersenyum tipis. Senyuman yang sangat pelit.

Perempuan bermata kebiruan itu mendesah kemudian tersenyum sembari kembali memalingkan wajahnya, memandang Cheryll yang terkapar dengan napas tersengal-sengal. "Aku tidak akan menyangkalnya."

Argo mengambil salah satu gelas keramik itu kemudian meniupnya, sebelum diminum. Pikirannya mendadak terasa sangat tenang setelah menyesap teh beraroma khas tersebut, yang membawanya kembali bernostalgia ke tahun 2055. Saat ia masih kecil dan teknologi AI belum sepenuhnya sempurna. Rel untuk kereta Super Lightning pun baru dibangun di beberapa negara saja. 

Pembangunan rel kereta Super Lightning ke seluruh dunia sudah dimulai sejak awal 2030 dan selesai pada tahun 2072. Berkat kontribusi ratusan tenaga kerja dari setiap negara serta peralatan robot konstruksi otomatis, pembangunannya bisa diselesaikan dengan cepat. Jika tidak begitu, mungkin baru akan selesai abad 22 nanti.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan denganku?" tanya Mia sembari menyesap tehnya sampai tinggal setengah.

"Aku ingin menanyakan tentang epidemi ini. Setelah aku menemukan catatan terakhir temanmu, aku berpikir untuk mencarimu ke rumahmu. Mungkin kau tahu sesuatu tentang epidemi ini, tapi aku hanya menemukan ini di rumahmu," tutur Argo seraya mengeluarkan sebuah liontin.

Mia tampak terkejut. Ia langsung merebut liontin tersebut. "Ini adalah barang berhargaku, terima kasih sudah membawakannya."

"Langsung saja, katakan apa yang kau ketahui!"

"Baiklah, sebenarnya epidemi ini pernah terjadi di kampung halamanku empat tahun lalu, saat aku sedang mengunjungi makam keluargaku di kota Maxwell, tetapi pemerintah merahasiakannya dari publik. Semua berita yang berhubungan dengan wabah itu akan menghilang beberapa detik kemudian. Aku tidak tahu apa alasannya, yang jelas wabah itu tidak sampai menyebar ke wilayah lain dan langsung menghilang, setelah menjatuhkan banyak korban dalam waktu yang sangat cepat. 

"Wabah itu tidak menular, tetapi dapat menginfeksi siapa saja melalui udara. Gejala-gejalanya sama seperti wabah dua bulan lalu. Artinya, kedua wabah itu disebabkan oleh virus yang sama."

"Virus yang sama?" Argo mengerutkan keningnya.

"Benar, aku juga sudah melakukan penelitian terhadap parfum End Spray …."

"Jadi virusnya disebarkan melalui parfum itu?" potong Argo.

"Bisa jadi." Mia mengangguk. "Aku sedikit penasaran, saat mencium setiap pasien yang terinfeksi virus, memiliki aroma harum yang sama, jadi aku segera menyelidikinya, dan ternyata bau itu berasal dari parfum End Spray. Kepalaku sendiri langsung pusing saat menciumnya, tapi untungnya aku sudah kebal terhadap virus itu."

"Kalau begitu, epidemi itu benar-benar sudah diatur oleh seseorang. Mungkinkah pemilik perusahaan Enofer yang merencanakan semuanya?"

"Entahlah, tapi itulah kemungkinan terbesarnya. Dia sengaja menggunakan Ellie untuk melaksanakan rencananya, karena dia tahu, Ellie sangat disukai oleh banyak orang," ujar Mia seraya menempelkan jari telunjuknya di bawah bibir.

Arho menghela napas kemudian menengadah, menatap awan-awan seputih salju di atas langit yang biru.

"Masuk akal, tapi itu masihlah sebuah hipotesa, aku harus memastikannya ke pabrik tempat parfum itu dibuat, mungkin aku akan mengetahui sesuatu di sana. Masalahnya, aku tidak tahu di mana pabriknya berada," ujarnya.

"Korea Utara!" kata Mia seraya meminum tehnya. "Mungkin kau akan menemukan sesuatu di sana!"

"Oh, kau benar!" Argo segera memasang ekspresi seriusnya. "Aku rasa, aku harus pergi ke sana, karena petunjuk sekecil apa pun bisa menunjukkan kebenaran!"

Mia tiba-tiba mesem.

"Petunjuk sekecil apa pun bisa menunjukkan kebenarankah. Kata-katamu itu mengingatkanku pada detektif yang cukup terkenal lima tahun lalu, kalau tidak salah namanya …."

"Detektif Mata Kebenaran."

"Benar sekali! Rupanya kau tahu dia juga, ya? Meskipun wajahnya tidak pernah diperlihatkan, tapi dia lumayan keren. Sayang sekali dia dikabarkan mengundurkan diri, padahal aku juga salah satu penggemarnya. Aku harap dia juga selamat dari epidemi."

"Ya, dia selamat dan sedang berada di dekatmu," ucap Argo seraya tersenyum tipis.

"Eh, di mana?" Mia menatap ke kanan dan kiri. Mencari sang detektif yang disukainya tetapi tidak ada siapapun di sana, kecuali mereka bertiga.

"Di sampingmu!" tegas Argo.

"Eh, apa? Kau tidak bercanda, kan?" Mia menatap Argo dengan sorot mata tak percaya.

"Ya, detektif Mata Kebenaran itu adalah aku!" jawab Argo seraya mengeluarkan dan memakai kacamata lensa satunya. Lalu memperagakan gaya khasnya sambil mengucapkan motto, "Petunjuk sekecil apa pun bisa menunjukkan kebenaran!"

Mia memegang keningnya, masih tidak percaya. Lalu tiba-tiba sebuah tawa keluar dari mulutnya. "Hahaha, pantas saja suaramu terdengar familier. Jadi kau benar-benar detektif itu, ya, Argo? Senang sekali bisa bertemu denganmu! Omong-omong kenapa berhenti jadi detektif?"

"Ceritanya panjang!" jawab Argo seraya berdesah.

Tiba-tiba seorang wanita gemuk berlari menghampiri mereka dengan napas tersengal-sengal. Wajahnya diliputi oleh perasaan khawatir.

"Ada apa, Nanda?" tanya Mia.

"Anakku, dia memakan jamur beracun!" jawab wanita bernama Nanda itu seraya menarik lengan Mia. "Aku mohon! Cepat selamatkan dia!"

"Baiklah!" kata Mia seraya mengikuti Nanda. Sebelum menjauh, ia menoleh terlebih dahulu pada Argo. "Kita lanjutkan obrolan kita lain kali, ya!"

Argo tak menjawab. Ia memperhatikan kedua perempuan tersebut sampai mereka menghilang di balik tembok museum. Seperti biasa, ia selalu menghela napasnya. Lalu membaringkan tubuhnya di atas bangku yang lumayan panjang itu, menatap langit yang mulai mendung. Perlahan-lahan awan hitam mulai bergerak menyelimuti langit.

Sebentar lagi pasti akan turun hujan.

Related chapters

  • Death Plague   Pintu Rahasia Museum

    End Spray, Enofer, lalu idol yang mempromosikannya adalah Ellie E. O. A. E. Argo menggumamkan kata-kata tersebut beberapa kali, dengan kedua mata terus mengawasi langit yang semakin gelap. Ia mencoba membongkar setiap suku kata atau hurufnya, kemudian mencocokkannya dengan berbagai kosakata. Tiba-tiba ia tersentak kaget kemudian bangun—menyadari sesuatu yang mengejutkan. "E, O, A, E dan Enofer, kalau perkiraanku benar, itu bisa berarti 'end of an era,' yang artinya akhir zaman. Mungkinkah Edward Fuller yang telah merencanakan semua ini?" Ia menggelengkan kepalanya. Tidak, itu tidak mungkin, dia sudah mati setelah menciptakan Ellie, atau bisa jadi, dia telah dibunuh oleh seseorang dan Ellie diambil alih oleh orang tersebut untuk melancarkan rencananya, pikirnya. Ada banyak spekulasi di dalam kepalanya saat ini. Wajahnya terlihat sangat serius. Ia terlarut dalam pikirannya yang hanya berisi keingintahuan

    Last Updated : 2021-06-23
  • Death Plague   Menelusuri Lorong

    "Apa? Ada pintu rahasia di sini?" "Jadi, Dira pergi melalui lorong ini, huh? Syukurlah, dia bukan diculik oleh hantu." "Sekarang semuanya menjadi masuk akal. Kerja bagus, Argo." Semua orang berdiri di depan lorong yang gelap itu. Tak ada yang mengira ada pintu rahasia di basemen. Tentu saja, jika bukan karena Argo dengan kacamatanya, mereka tidak akan pernah tahu. Sewaktu Argo memeriksa ke dalam lorong, tampak banyak sekali obor kayu yang ditempelkan pada dinding-dinding batu di sepanjang koridor. Entah menuju ke mana. Ada satu obor yang menghilang, mungkin telah diambil oleh Nadira untuk menerangi jalan. Sepertinya lorong rahasia ini sudah ada bahkan sebelum museum dibangun, terlihat dari lumut dan debu yang menyelimuti dindingnya. Jejak kaki Nadira terlihat jelas di sana. "Apa k

    Last Updated : 2021-06-24
  • Death Plague   Serangan Tiba-tiba

    Kesunyian yang mencekam menyelimuti bangunan museum itu kala malam semakin larut. Hujan telah reda dua jam yang lalu dan gemuruhnya suara guntur tak terdengar lagi. Di dalam kamp atau museum itu, semua orang masih menunggu kelompok yang sedang mencari Nadira dengan harap-harap cemas. Terutama Agatha yang sangat mengkhawatirkan keselamatan nasib cucunya. Tiba-tiba suara ketukan pintu memecahkan keheningan dan ketegangan yang memenuhi seisi ruangan. Sontak semua orang terperanjat kaget. Mereka segera membukakan pintu tanpa berpikir panjang. Mereka berpikir mungkin itu adalah Nadira beserta Mia, Rizal, Argo dan Cheryll. Akan tetapi orang yang ada di depan pintu itu bukanlah Nadira atau pun regu pencarinya. Mereka adalah sepasang pria dan wanita separuh baya yang mengenakan jas hujan berwarna hitam. "Delon! Wahna! Syukurlah kalian sudah

    Last Updated : 2021-06-26
  • Death Plague   Amukan Robot

    Cheryll memberikan kotak pertolongan pertama itu kepada Mia, tetapi pada saat yang sama tiba-tiba terdengar suara berdesing. Sebuah misil, tetapi ukurannya dua kali lebih kecil. Senjata menyerupai roket tersebut mengenai atap museum di sebelah kanan dan menghancurkannya. "Kyaa!" Para wanita yang berdiri tak jauh dari sana menjerit histeris. Mereka segera berlari menjauh—menghindari puing-puing atap yang berjatuhan. Profesor Agatha yang berada di dalam museum pun terkejut. Ia ingin tahu apa yang sedang terjadi di luar, apalah daya kedua kakinya sudah tiada dan kaki palsu itu belum bisa digunakan. Penasaran, ia turun dari kursi goyangnya kemudian merangkak, menghampiri pintu. "Misil?" kaget Argo. Pandangan matanya segera tertuju ke arah rudal itu berasal. Samar-samar dari kejauhan di dekat kincir pembangkit listrik tenaga air, tampak sosok s

    Last Updated : 2021-06-28
  • Death Plague   Penembak Jitu Misterius

    "Jadi begitu? Kau sengaja mengendalikan robotku untuk membunuh kita semua, ha?" kata Agatha seraya memandang Gilang dengan ekspresi kesal. Duduk bersandar pada tembok di sebelah kincir air yang terus berputar itu. Laki-laki berambut merah itu duduk di tanah, dikelilingi oleh empat orang yang marah. Ia meringis, merasakan sakit di kaki kirinya yang terkena timah panas saat mencoba melarikan diri. Orang yang menembaknya adalah Argo. Ia sedang memeriksa robot yang tiba-tiba berhenti bergerak itu. Sesuai dugaannya, robot buatan Agatha itu mati bukan karena kehabisan daya, melainkan seseorang telah menembaknya tepat ke bagian inti sumber daya. Tidak salah lagi, pelakunya pasti seorang penembak jitu, pikir Argo. "Ya! Benar! Akulah yang telah mencuri alat pengendali robotmu dan menggantinya dengan yang palsu! Aku ingin menghabisi

    Last Updated : 2021-06-30
  • Death Plague   Tersesat di Hutan

    Argo bersandar pada batang pohon besar di tengah hutan yang gelap itu. Hanya sedikit cahaya yang dapat menyelinap melalui sela-sela dedaunan yang lebat. Ia memperhatikan suasana di sekitarnya yang terkesan menyeramkan. Tidak ada yang datang, sementara senja sudah mulai merona. Dengan tubuh yang semakin terasa sakit, ia mencoba untuk berdiri tetapi lututnya yang lemas mengkhianatinya. Ia terjatuh ke atas akar pohon yang menonjol ke luar itu. Ia sudah mencapai batasannya. "Sial, kakiku mati rasa." Sudah hampir setengah jam ia duduk di sana. Menantikan kedatangan Mia atau siapapun yang akan menyusulnya. Apa mereka tersesat? Atau mereka memang tidak mengikutiku? tanyanya di dalam hati. Di tempat lain, Mia berlari sendirian melewati pohon-pohon yang terlihat menakutkan dengan sepasang mata tiada henti melirik ke kanan dan kiri. Berteriak-

    Last Updated : 2021-07-01
  • Death Plague   Pertemuan Tak Terduga

    Di ambang pintu museum itu Nadira berdiri memandang ke arah hutan. Menunggu Argo dan yang lain kembali. Namun, apa yang dinantinya tak kunjung datang dan hanya membuat lehernya terasa pegal. Gelisah. Bukan hanya ia, ibunya Wahna pun mondar-mandir dengan ekspresi resah. Perasaan mereka saat ini bercampur aduk antara gelisah dan sedih. "Tenanglah, kalian berdua!" kata Agatha yang tengah duduk di atas kursi goyangnya. "Mereka pasti akan segera kembali, jadi tenanglah!" Lama-lama ia merasa tidak nyaman juga, melihat tingkah laku anak dan cucunya yang terlihat sangat risau. "Tapi mereka sudah pergi selama hampir dua jam, ditambah lagi hari sudah gelap dan mereka belum kembali juga, aku khawatir mereka diserang hewan buas," ucap Wahna berhenti mondar-mandir sejenak. "Kita doakan saja semoga mereka baik-baik saja!" &n

    Last Updated : 2021-07-03
  • Death Plague   Side Story: Ledakan Cincin Api

    Hai, hai, selamat pagi-siang-sore-malam semuanya. Perkenalkan namaku Kazuko. Aku adalah partner sekaligus pelayan kesayangan tuan Kaz. "Tidak, kau cuma moe pungutan aja, aku kasihan kau hidup sendirian di dalam kardus di gang kotor, jadi aku memungutmu." Duh, ya ampun, Tuan selalu saja begitu (⁰͡ ε ⁰͡ )╬ "Sudahlah! Jangan banyak basa-basi! Katakan saja tujuan kita! Kasihan tuh pembaca sudah menunggu!" Baiklah, baiklah ( ͡°з ͡°) Oke, pertama-tama, aku mewakili Tuan Kaz ingin mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya karena sudah lebih dari dua minggu ini Death Plague tidak update, karena sedang dirombak dulu. Silakan dibaca lagi dari bab 1 ya, karena banyak yang diubah. Sekali lagi mohon maaf. Sebagai permintaan maaf, kami akan memberikan satu bab bonu

    Last Updated : 2021-08-06

Latest chapter

  • Death Plague   Kasus Argo

    Luka di hati Argo kembali terbuka, dendamnya yang sempat hampir terpadam kini membara lagi, tetapi sebisa mungkin ia menahan diri dan mempertahankan ekspresi tenangnya. Pepatah dari Jep dan mendiang ibunya selalu terngiang di benaknya. Dendam bukanlah pilihan, dendam hanyalah keinginan hati untuk membalas derita, yang hanya akan melahirkan rantai penderitaan yang selalu berulang. Bersabarlah andainya kau tidak bisa memaafkan seseorang. Sabar tidak berarti harus memaafkan. Sabar berarti menahan diri dan tidak berbuat tergesa-gesa, sehingga kau tidak akan melakukan perbuatan yang mungkin akan kau sesali kelak. Argo menatap wanita separuh baya berwajah sendu dengan bara api dendam dan amarah terpancar dari sorot matanya. Wanita itu baru saja menjelaskan semua yang dialami putri semata wayangnya. "Hem, baiklah, saya mengerti." Sejenak Argo merenung setelah menuliskan sesuatu di memo jam tangannya. "Seperti dugaanku, dia punya banyak nama, pantas pol

  • Death Plague   Guru dan Murid

    Pria tua itu bernama Kal, seorang pembunuh bayaran paling mahal dan paling ditakuti di dunia gelap pada masanya, berpuluh-puluh tahun yang lalu. Umurnya sudah setengah abad lebih dua windu. Sudah cukup tua, tetapi kehebatan dan kegesitannya tidak bisa dianggap enteng. Orang tua yang keras kepala, begitulah Argo menamainya. Ia mengeluarkan shotgunnya dengan tangannya yang sebelah kanan kemudian diletakkan di atas bahu. "Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Argo kepada orang tua itu. Kal tua menyeringai. Jelas sekali ia ingin menguji kemampuan muridnya yang sudah lama tidak terlihat. "Ah, akhirnya aku bisa melihat wajahmu lagi, muridku, aku senang kau masih hidup. Kau tidak tahu betapa aku sedihnya saat melihat banyak orang mati, padahal tidak kubunuh." "Tidak usah basa-basi! Aku tahu kebusukan hatimu itu, orang tua keras kepala! Pembunuh tak berperasaan yang sudah membuatku jadi orang kejam sepertimu, tidak mungkin punya rasa simpati!" O

  • Death Plague   Penyusupan

    Spontan Argo balik badan sewaktu merasakan seseorang menyentuh bahunya. Dengan cepat pula pistol Makarovnya ditodongkan kepada orang yang berada di belakangnya itu. Tampak olehnya seorang laki-laki yang mengenakan plester luka di pipinya mundur dengan gugup sambil mengangkat tangan. Wajahnya sangat familier. "Tenanglah, Bung! Aku bukan orang jahat!" "Oh, Giz … ternyata kau," Argo menghela napasnya kemudian menurunkan pistol itu. Laki-laki yang umurnya enam tahun lebih muda dari Argo itu berkata dengan cepat. "Ya, ini aku, senang melihatmu masih hidup, Argo. Aku benar-benar bingung dan frustasi, wabah itu sudah membunuh banyak orang dan entah kenapa, kebanyakannya cuma orang jahat saja yang masih hidup. Omong-omong, apa yang sedang kau lakukan di sini, Argo?" "Aku sedang mencari cara untuk masuk ke sana," kata Argo seraya menatap gedung berlantai sepuluh itu. "Apa? Kau, kau berencana untuk menyusup ke sana lagi?" kaget Giz.

  • Death Plague   Ingatan Kawan Lama 2

    Restoran mewah itu berada di seberang jalan, bersebelahan dengan butik baju dan toko mainan. Seorang pelayan tampan berpakaian serba hitam dan mengenakan dasi kupu-kupu menyambut Argo dan Balaam dengan ramah sewaktu keduanya masuk. Semua makanan dan minuman yang ada di menu terlihat mahal-mahal sekali. Jelas sekali hanya orang kaya raya yang bisa masuk dan mencicipi masakan di sini. Argo cukup terkejut sewaktu ia dibawa ke tempat mewah yang cukup terkenal itu. Ia tidak menyangka orang yang mentraktirnya itu adalah seorang VVIP. Cukup memperlihatkan sebuah kartu hitam, maka pelayan segera membawanya ke tempat khusus yang lebih nyaman daripada meja yang biasa. Seorang violinis memainkan irama yang lembut sekali dan pelayan wanita muda yang cantik jelita menemani mereka. Sepertinya ia sudah sangat mengenal Balaam. Sementara Argo yang terlihat keheranan, Balaam tersenyum lebar. "Hahaha, kau pasti kaget, kan?" "Ya, bukankah tadi kau bilang, ayahmu masuk ke

  • Death Plague   Ingatan Lama dan Teman Lama

    Di depan pintu masuk hotel berlantai sepuluh itu tampak sepasang pria bertubuh besar sedang berjaga. Mereka terlihat kuat dan dapat diandalkan untuk meringkus siapa saja yang mencoba menyusup ke sana. Sebuah rifle menjadi pelengkap akan kesan mengintimidasi mereka. Bangunan itu mengingatkan kembali Argo akan masa lalunya. Sejenak ia terpaku, mengenang kembali ingatan beberapa tahun yang telah berlalu. "Kakak! Kakak! Bantu aku mengerjakan PR dong! Aku tidak mengerti dengan soal yang ini," kata Meina seraya menunjukkan tabletnya. "Ya, sebentar!" jawab Argo masih terfokus pada layar komputernya. Adiknya itu segera mengintip layar komputernya. "Kakak sedang apa sih?" "Aku sedang mencari pekerjaan paruh waktu, supaya bisa menabung untuk membeli lagi rumah lama kita, bagaimanapun itu adalah peninggalan terakhir ibu kita, tapi malah dijual oleh ayah tak bertanggung jawab itu!" "Oh, tapi, tapi kita kan masih bisa tinggal d

  • Death Plague   Side Story: Ledakan Cincin Api

    Hai, hai, selamat pagi-siang-sore-malam semuanya. Perkenalkan namaku Kazuko. Aku adalah partner sekaligus pelayan kesayangan tuan Kaz. "Tidak, kau cuma moe pungutan aja, aku kasihan kau hidup sendirian di dalam kardus di gang kotor, jadi aku memungutmu." Duh, ya ampun, Tuan selalu saja begitu (⁰͡ ε ⁰͡ )╬ "Sudahlah! Jangan banyak basa-basi! Katakan saja tujuan kita! Kasihan tuh pembaca sudah menunggu!" Baiklah, baiklah ( ͡°з ͡°) Oke, pertama-tama, aku mewakili Tuan Kaz ingin mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya karena sudah lebih dari dua minggu ini Death Plague tidak update, karena sedang dirombak dulu. Silakan dibaca lagi dari bab 1 ya, karena banyak yang diubah. Sekali lagi mohon maaf. Sebagai permintaan maaf, kami akan memberikan satu bab bonu

  • Death Plague   Pertemuan Tak Terduga

    Di ambang pintu museum itu Nadira berdiri memandang ke arah hutan. Menunggu Argo dan yang lain kembali. Namun, apa yang dinantinya tak kunjung datang dan hanya membuat lehernya terasa pegal. Gelisah. Bukan hanya ia, ibunya Wahna pun mondar-mandir dengan ekspresi resah. Perasaan mereka saat ini bercampur aduk antara gelisah dan sedih. "Tenanglah, kalian berdua!" kata Agatha yang tengah duduk di atas kursi goyangnya. "Mereka pasti akan segera kembali, jadi tenanglah!" Lama-lama ia merasa tidak nyaman juga, melihat tingkah laku anak dan cucunya yang terlihat sangat risau. "Tapi mereka sudah pergi selama hampir dua jam, ditambah lagi hari sudah gelap dan mereka belum kembali juga, aku khawatir mereka diserang hewan buas," ucap Wahna berhenti mondar-mandir sejenak. "Kita doakan saja semoga mereka baik-baik saja!" &n

  • Death Plague   Tersesat di Hutan

    Argo bersandar pada batang pohon besar di tengah hutan yang gelap itu. Hanya sedikit cahaya yang dapat menyelinap melalui sela-sela dedaunan yang lebat. Ia memperhatikan suasana di sekitarnya yang terkesan menyeramkan. Tidak ada yang datang, sementara senja sudah mulai merona. Dengan tubuh yang semakin terasa sakit, ia mencoba untuk berdiri tetapi lututnya yang lemas mengkhianatinya. Ia terjatuh ke atas akar pohon yang menonjol ke luar itu. Ia sudah mencapai batasannya. "Sial, kakiku mati rasa." Sudah hampir setengah jam ia duduk di sana. Menantikan kedatangan Mia atau siapapun yang akan menyusulnya. Apa mereka tersesat? Atau mereka memang tidak mengikutiku? tanyanya di dalam hati. Di tempat lain, Mia berlari sendirian melewati pohon-pohon yang terlihat menakutkan dengan sepasang mata tiada henti melirik ke kanan dan kiri. Berteriak-

  • Death Plague   Penembak Jitu Misterius

    "Jadi begitu? Kau sengaja mengendalikan robotku untuk membunuh kita semua, ha?" kata Agatha seraya memandang Gilang dengan ekspresi kesal. Duduk bersandar pada tembok di sebelah kincir air yang terus berputar itu. Laki-laki berambut merah itu duduk di tanah, dikelilingi oleh empat orang yang marah. Ia meringis, merasakan sakit di kaki kirinya yang terkena timah panas saat mencoba melarikan diri. Orang yang menembaknya adalah Argo. Ia sedang memeriksa robot yang tiba-tiba berhenti bergerak itu. Sesuai dugaannya, robot buatan Agatha itu mati bukan karena kehabisan daya, melainkan seseorang telah menembaknya tepat ke bagian inti sumber daya. Tidak salah lagi, pelakunya pasti seorang penembak jitu, pikir Argo. "Ya! Benar! Akulah yang telah mencuri alat pengendali robotmu dan menggantinya dengan yang palsu! Aku ingin menghabisi

DMCA.com Protection Status