Tubuh Jimmy menegang. Emosi yang memuncak begitu menguasai diri, hampir tak percaya dengan pemandangan miris di sudut sana. Bagaimana sang istri tercinta, diperlakukan sebagai babu bukan nyonya!Menghela napas panjang. Buru-buru ia berjalan, berdehem kecil. Agar semua orang tahu, bahwa ia datang tak jadi keluar kota."Jim-Jimmy ... Ka-mu," ucap Risma. Gugup sekaligus tegang, repleks berdiri agar perangai buruknya tak diketahui. Padahal, adik iparnya sudah tahu jelas."Tega sekali kamu, Mbak." Berucap dengan ketus, Jimmy menatapnya tajam. "Dia istriku, dan ini juga bukan rumahmu! Tapi, kamu bersi
Seminggu berlalu, dan hidup Alya berasa tenang. Tak ada lagi Risma, yang datang mengganggu. Mungkin, wanita itu memang takut atau apa. Yang jelas, Alya sangat menikmati hari-harinya.Ia dan anak tirinya juga makin dekat. Perempuan kecil, dengan wajah menggemaskan seakan lupa dengan Risma. Terbukti, ia tak lagi menanyakan Kakak Almarhum sang Mama."Masak apa?" tanya Jimmy, melingkarkan tangan pada tubuh ramping Alya. Menghirup aroma wangi, yang menguar."Nasi goreng spesial," sahut Alya. Menyunggingkan senyum, selaras dengan keadaan hatinya."Pasti enak." Jimmy tahu, selain istrinya cantik. Ia juga pandai memasak, maka tak salah ia memilih istri.Bolak-balik antara dapur dan meja makan. Alya merasa kerepotan, dengan Jimmy yang terus menempel. Layaknya anak kecil, yang tak
Di sini Alya sekarang, menatap pintu yang masih tertutup. Ia putuskan untuk pulang, meninggalkan Jimmy dan Laura di kota yang berbeda. Sudah lama pula ia tak bertemu dengan kedua orang tua, rindu sudah membumbung tinggi.Ia pasrah, jika rumah tangganya dengan Jimmy harus retak. Posisi Risma, memang sangat kuat. Alya, cukup tahu diri untuk mundur!Berdiri lama dengan pikiran berkecamuk, Alya takut untuk menjawab setiap pertanyaan Ibu dan Bapak. Kuatkah ia menceritakan semua tanpa air mata?Menghela napas panjang, Alya kembali membulatkan tekad. Mengetuk pintu rumah orangtua, yang sempat ia tinggalkan beberapa bulan terakhir.Dua ketukan pintu, Alya lakukan. Hingga sosok seorang Ibu keluar, dengan netra teduh yang amat menggetirkan hati. Untuk sesaat mereka terdiam, tak lama saling memeluk satu sama lain.Ben
Hari keempat, Alya berada di kota di mana orangtuanya berada. Memutuskan untuk pergi seorang diri, menghabiskan waktu di dalam Mall sambil sesekali menikmati makanan ringan jua minuman yang membuat tenggorokan terasa segar.Ia melirik ponsel, yang tergeletak di atas meja. Selama kepergiaanya, Jimmy sama sekali tidak berniat untuk menghubunginya. Ahh, masih pantaskah ia berharap? Usai kabur, tanpa kata.Hingar-bingar musik, membuat kepalanya sesekali bergoyang. Entah kenapa pikirannya justru makin semrawut, berada di tempat ramai. Tapi, hatinya terasa sepi. Bagai tak bertuan, rindukah hatinya akan Jimmy?Di sudut lain, ada beberapa orang berbadan besar. Tengah menjadi bodyguard sang boss, tujuan mereka apalagi kalau bukan untuk mencari Mey.Pria tampan dengan kacamata hitam, berjalan santai dengan netra menatap ke sana-ke mari.
"Apa yang kamu lihat, itu nggak sesuai dengan apa yang ada dalam pikiranmu!" ucap Alya, tegas. Netranya menerawang jauh, tak memaksa pria di sampingnya untuk percaya.Jimmy memandang wanita, yang masih jadi istrinya. Rasa cemburu saat melihatnya bersama sang mantan, membuat pikirannya tak menentu.Mereka bicara hanya berdua, dengan Risma yang berlalu entah ke mana. Wanita itu terpaksa mengalah, sebab Jimmy sendiri yang meminta."Bisa jadi, kalian berdua janjian. Untuk merayakan pertemuan, atau hal indah lainnya. Aku, bukan pria yang bisa kamu bodohi!" Alya menarik napas panjang, ia tahu akan sulit menjelaskan kesalahpahaman ini.Kini ia pasrah, tak mau membuang waktu untuk orang yang sudah tak mempercayainya lagi."Aku ... Bicara jujur apa adanya, please jangan buat lebih r
"Ini ... Bukti resmi, bahwa kita sudah bercerai!" Jimmy berucap, mengabaikan rasa sakit yang berkecamuk pada Alya. Wanita yang dulu setengah mati ia puja!Kedatangannya tak hanya sendiri, melainkan bersama Risma. Wanita yang kerap kali ikut ke manapun, Jimmy melangkah.Ibu dan Bapak Alya. Tampak kecewa, menyesal sebab telah menitipkan sang anak pada pria yang salah. Kini, nasi sudah menjadi bubur. Kenyataan yang ada, mau tidak mau kudu diterima!"Saya pulangkan Alya, anak Ibu dan Bapak. Maaf, sebab tidak bisa mempertahankan rumah tangga ini." Setetes air mata jatuh, tanpa sadar Alya meremas surat perceraian mereka. Ada rasa tidak rela, meski tak bisa berbuat apa-apa."Bapak pikir, kamu akan tetap membersamai Alya. Ternyata Bapak salah," ungkap pria itu. Dengan sesak di dada, tak pernah menyangka anaknya akan menjadi seorang jan
Tiga bulan pencarian, akhirnya Mey ditemukan dalam keadaan mengkhawatirkan. Dengan hanya mengenakan daster lusuh, ia duduk di rumah besar sang suami. Justru seperti orang asing, mereka yang menatap wanita itu seakan tak percaya akan perubahan tersebut.Bahkan, Mama Rei. Sempat berteriak histeris, meski akhirnya ia memeluk menantu tersayang. Menghujaninya dengan permintaan maaf, sebab mengabaikan segala kesakitan yang telah dirasa oleh seorang Mey."Cepat katakan, Mey. Siapa dia?" tunjuk sang suami sah, pada pria asing di sampingnya.Kini, semua tatapan memandang lekat pada pria yang disinyalir membawa Mey kabur. Mereka membenci, bahkan mengutuk!Mey, merasa tenggorokannya makin tercekat. Mimpi buruk saat anak buah Rei, bisa mempertemukan tempat persembunyiannya.Tubuhnya makin me
Keluarga Mey masih berduka. Pria asing yang tak mereka sukai, bahkan memilih untuk tidak menunjukan diri. Demi menghindari pertikaian, apalagi Rei dan keluarganya selalu ada. Meski benci, kecewa, mereka tetap hadir karena ikatan yang masih jelas terukir.Air mata, menjadi satu-satunya bukti. Bahwa telah kehilangan orang yang dicinta, dan Mey. Amat menyesal, sempat memutukan kabur demi keegoisannya sendiri.Ia tahu betul, penyesalan tak akan bisa membuat sang Papa kembali. Kini, hanya untaian doa dan kata maaf. Untuk semua hal yang pernah terjadi, meski berat tetap harus dijalani bukan?"Setelah ini, apa rencanamu selanjutnya Rei?" tanya sang Mama, mendesah resah. Menatap anak, yang selalu ia kekang selama hidup."Entahlah, Ma. Kita pikirkan nanti, setelah duka ini berjalan lama." Ia hendak melangkah. Namun, dicegah Papanya yang heran a