Panggilan itu sudah aku akhiri. Mengapa harus berlama-lama kalau bisa segera pergi mandi dan bersiap-siap? Bukankah Muti-lah yang sedari tadi sangat bersemangat agar kami bertemu secara langsung?
Kakiku sudah membawaku ke kamar mandi. Sesuai dengan yang aku katakan tadi, aku akan mandi dengan durasi yang lebih lama dari biasanya. Tidak ada alasan khusus tentang itu, hanya saja, aku hanya ingin membuat kulitku jauh lebih halus dan cerah untuk hari ini.
Aku cukup lama bersiap-siap sampai benar-benar sangat rapi. Ini adalah hari yang cukup penting. Setelah hari kemarin. Oke, aku sudah tertinggal satu hari untuk bersemangat dengan skripsi ini. Setelah urusan dengan Nagita selesai, aku bisa dengan sangat santai ke kampus.
Baru saja satu langkah dari kamar, aku melihat Nagita berjalan ke arahku. Ah, mungkin ha
Percakapan kami tentang ‘Jodoh masa depan Amel’ masih terus berlanjut. Aku sih bisa memahami mengapa kedua orang tuaku terkesan jauh lebih pemilih sekarang. Sudah ada sebuah contoh yang sangat nyata tentang kegagalan seorang gadis mengatur perasaannya. Itu adalah Joy. Ah, rasanya terus mengungkit kesalahan Joy membuatku sedikit tidak enak.“Sudah sampai,” kataku. Padahal jelas-jelas belum benar-benar tiba.“Apanya ….”Dan setelah sepuluh menit, kami akhirnya sampai di bandara. Aku masih menggendong bayi mungil itu, sementara ayah, ibu dan Bibi Susana sibuk dengan koper-koper mereka. Ini akan menjadi perjalanan pertama bagi orang tuaku bersama seorang bayi kecil.
“Apa ada pilihan lain? Haha!”Kami jelas akan menghabiskan waktu dengan sangat baik. Muti, Cintia dan aku. Semoga hari-hari yang baik seperti ini akan selalu datang dan menghampiri kami. Tidak banyak yang aku minta dalam hidup. Memiliki teman-teman yang baik di sekitarku saja sudah sangat cukup.“Eh, habis ini kamu mau ke mana?” Muti memulai lagi dengan pertanyaan yang baru. Dia memang bertanya, tapi matanya lurus menatap ke depan.“Mau menyusulmu. Aku akan mengerahkan semua kemampuanku. Lagipula, setelah melihat ambisi Nagita, aku semakin tidak mau kalah. Bisa-bisa, malah dia yang wisuda lebih dulu, hahaha! Kamu kapan mau daftar wisudanya, hm?”
“Sial, karton ini lama-lama terasa berat, hahaha!”Aku beristirahat sebentar dan mulai mencari taxi yang lewat. Rasanya ingin naik angkot saja, sih. Namun, kalau aku melakukannya, yang ada hanya sampai di perempatan jalan. Terus, aku masih harus berjalan lagi sampai di depan kos. Membayangkannya saja sudah cukup membuat—oke, aku hanya sedang malas. Di era yang canggih ini, rasa-rasanya taxi seperti Bisiwa dan Red Bird sudah sangat jarang. Kalau memang begini, pesan online adalah solusinya.Karton itu akhirnya aku letakkan di atas tempat duduk di depan minimarket. Ya, aku sekalian mencari lokasi yang mudah dijangkau. Hitung-hitung juga tempat yang paling aman saat mulai memainkan ponsel di tempat umum.Jadi teringat dengan Kania yang kehilangan po
Tertawa bersama menjadi penutup perjalanan itu. Muti dan Cintia adalah dua orang yang tidak akan aku lupakan dalam hidupku. Memangnya siapa lagi yang menemaniku semasa kuliah? Kenangan tentang dua sahabat yang saling mendukung dan selalu ada saat aku sedang susah jelas tidak akan terlupa begitu saja.Aku baru saja tiba di dalam kamar. Kupandangi cermin yang ada di sana. Senyumku merekah dengan indah saat memandangi diriku. Ada satu hal besar lain yang berhasil aku lalui dengan baik—aku bangga pada diriku sendiri.“Selamat, Amel. Kamu berhasil melewatkan satu fase yang sangat besar! Ya, tidak bisa ikut wisuda periode ini karena mepet untuk pendaftaran. Ya sudahlah ya … lagipula sama Cintia, hihihi ….”
Aku dan Nagita menghabiskan waktu bersama kami. Gadis itu terkadang menyebalkan tetapi di saat yang sama juga hanyalah gadis manis yang ambisius. Sayangnya, taraf ambisinya sudah terlalu jauh sampai rela meninggalkan teman-temannya. Ah, mungkin lebih tepatnya, karena teman-temannya tak dapat menyesuaikan, akhirnya mereka menjadi iri. Who knows? Tidak ada yang tahu kejadian sebenarnya selain Nagita sendiri. Kami sudah selesai makan, tetapi masih di ruang tamu. Rasanya, malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk kami berdua saling bercerita.“Apa yang kamu rencanakan setelah lulus nanti? Ikut wisuda periode ini kan?”Aku menggelengkan kepala. “Waktunya terlalu mepet. Lagipula, ada banyak yang perlu dire
Buku harian Joy yang tergeletak tak berdaya di atas meja belajarku pun menjadi sasaran yang sangat empuk untuk aku buka. Memangnya apa lagi yang bisa aku lakukan kalau sudah kepo seperti ini? Rasanya memang sudah saatnya untuk membuka dan membaca sedikit saja dari buku itu.“Benar, kan … kalau Joy memperbolehkan aku untuk membaca ini? Ataukah … ia malah akan marah padaku karena sudah sangat lancang melakukannya?” Lagi dan lagi, aku berusaha keras untuk mengingat pesan apa yang dimaksudkan oleh Joy. “Aku rasa … tidak apa-apa.”Mataku melihat ke kiri dan kanan. Jangan sampai arwah Joy malah bergentayangan di dalam kamarku dan memarahiku habis-habisan karena telah membacanya? Ugh, kalau itu terjadi, aku bisa lari te
Setelah sarapan bersama, aku dan Muti jelas tak langsung pergi. Ini masih jam delapan pagi. Memangnya, ada Mall yang sudah buka? Hm … mungkin di kota lain. Yang jelas, di kota ini biasanya Mall buka mulai pukul sepuluh pagi. Lalu, ke mana Cintia? Yang jelas belum ada di sini. Muti memang sedikit keterlaluan kali ini. Bisa-bisanya ia mengganggu ketentraman di pagi hari! Karena sudah membawa sarapan, aku anggap semuanya impas.“Ayo kembali ke kamar. Mau aku perlihatkan apa saja yang ada di dalam karton itu. Seandainya aku tahu kartonnya berat, aku akan mengajakmu waktu itu,” ucapku.“Eh? Luar biasa sekali. Giliran ada hal yang sangat penting dan memerlukan bantuan, kamu langsung terpikirkan tentangku. Aku ini sudah kayak bala bantuan, ya ….”
Aku tidak akan menyangka bila kebersamaan itu adalah yang terakhir kali. Setelah waktu itu, kami tidak pernah keluar bersama kecuali saat bertemu di kampus untuk pengurusan berkas. Hari wisuda Muti tiba dan kami sempat merayakannya di rumah Muti. Lalu, masa-masa berpisah selama tiga bulan sampai waktu aku dan Cintia akan wisuda. Cintia sama denganku, memilih untuk pulang ke kota kelahirannya sambil menunggu masa wisuda.Memang, kami masih wajib membayar sewa kos meski tidak ditinggali. Mau bagaimana lagi? Membawa langsung barang-barang rasanya terlalu berat—lebih tepatnya malas. Lalu, Nagita? Entahlah, ia juga sudah tidak menghubungiku lagi. Mungkin ambisinya tentang dunia perkuliahan sudah membawanya kembali dengan kesibukan yang amat padat.***“Amel