Beranda / Lainnya / Dear Joy / 68. Buku Harian Milik Joy (2)

Share

68. Buku Harian Milik Joy (2)

Penulis: Xerin
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-16 22:08:36

“Sial, karton ini lama-lama terasa berat, hahaha!”

Aku beristirahat sebentar dan mulai mencari taxi yang lewat. Rasanya ingin naik angkot saja, sih. Namun, kalau aku melakukannya, yang ada hanya sampai di perempatan jalan. Terus, aku masih harus berjalan lagi sampai di depan kos. Membayangkannya saja sudah cukup membuat—oke, aku hanya sedang malas. Di era yang canggih ini, rasa-rasanya taxi seperti Bisiwa dan Red Bird sudah sangat jarang. Kalau memang begini, pesan online adalah solusinya.

Karton itu akhirnya aku letakkan di atas tempat duduk di depan minimarket. Ya, aku sekalian mencari lokasi yang mudah dijangkau. Hitung-hitung juga tempat yang paling aman saat mulai memainkan ponsel di tempat umum.

Jadi teringat dengan Kania yang kehilangan po

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Dear Joy   69. Perayaan Untukku?

    Tertawa bersama menjadi penutup perjalanan itu. Muti dan Cintia adalah dua orang yang tidak akan aku lupakan dalam hidupku. Memangnya siapa lagi yang menemaniku semasa kuliah? Kenangan tentang dua sahabat yang saling mendukung dan selalu ada saat aku sedang susah jelas tidak akan terlupa begitu saja.Aku baru saja tiba di dalam kamar. Kupandangi cermin yang ada di sana. Senyumku merekah dengan indah saat memandangi diriku. Ada satu hal besar lain yang berhasil aku lalui dengan baik—aku bangga pada diriku sendiri.“Selamat, Amel. Kamu berhasil melewatkan satu fase yang sangat besar! Ya, tidak bisa ikut wisuda periode ini karena mepet untuk pendaftaran. Ya sudahlah ya … lagipula sama Cintia, hihihi ….”

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-17
  • Dear Joy   70. Deep Talk?

    Aku dan Nagita menghabiskan waktu bersama kami. Gadis itu terkadang menyebalkan tetapi di saat yang sama juga hanyalah gadis manis yang ambisius. Sayangnya, taraf ambisinya sudah terlalu jauh sampai rela meninggalkan teman-temannya. Ah, mungkin lebih tepatnya, karena teman-temannya tak dapat menyesuaikan, akhirnya mereka menjadi iri. Who knows? Tidak ada yang tahu kejadian sebenarnya selain Nagita sendiri. Kami sudah selesai makan, tetapi masih di ruang tamu. Rasanya, malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk kami berdua saling bercerita.“Apa yang kamu rencanakan setelah lulus nanti? Ikut wisuda periode ini kan?”Aku menggelengkan kepala. “Waktunya terlalu mepet. Lagipula, ada banyak yang perlu dire

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-17
  • Dear Joy   71. Skincare Bekas?

    Buku harian Joy yang tergeletak tak berdaya di atas meja belajarku pun menjadi sasaran yang sangat empuk untuk aku buka. Memangnya apa lagi yang bisa aku lakukan kalau sudah kepo seperti ini? Rasanya memang sudah saatnya untuk membuka dan membaca sedikit saja dari buku itu.“Benar, kan … kalau Joy memperbolehkan aku untuk membaca ini? Ataukah … ia malah akan marah padaku karena sudah sangat lancang melakukannya?” Lagi dan lagi, aku berusaha keras untuk mengingat pesan apa yang dimaksudkan oleh Joy. “Aku rasa … tidak apa-apa.”Mataku melihat ke kiri dan kanan. Jangan sampai arwah Joy malah bergentayangan di dalam kamarku dan memarahiku habis-habisan karena telah membacanya? Ugh, kalau itu terjadi, aku bisa lari te

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-17
  • Dear Joy   72. Sedikit Kilas Balik

    Setelah sarapan bersama, aku dan Muti jelas tak langsung pergi. Ini masih jam delapan pagi. Memangnya, ada Mall yang sudah buka? Hm … mungkin di kota lain. Yang jelas, di kota ini biasanya Mall buka mulai pukul sepuluh pagi. Lalu, ke mana Cintia? Yang jelas belum ada di sini. Muti memang sedikit keterlaluan kali ini. Bisa-bisanya ia mengganggu ketentraman di pagi hari! Karena sudah membawa sarapan, aku anggap semuanya impas.“Ayo kembali ke kamar. Mau aku perlihatkan apa saja yang ada di dalam karton itu. Seandainya aku tahu kartonnya berat, aku akan mengajakmu waktu itu,” ucapku.“Eh? Luar biasa sekali. Giliran ada hal yang sangat penting dan memerlukan bantuan, kamu langsung terpikirkan tentangku. Aku ini sudah kayak bala bantuan, ya ….”

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-18
  • Dear Joy   73. Keseharian di Rumah Bersama Lara (1)

    Aku tidak akan menyangka bila kebersamaan itu adalah yang terakhir kali. Setelah waktu itu, kami tidak pernah keluar bersama kecuali saat bertemu di kampus untuk pengurusan berkas. Hari wisuda Muti tiba dan kami sempat merayakannya di rumah Muti. Lalu, masa-masa berpisah selama tiga bulan sampai waktu aku dan Cintia akan wisuda. Cintia sama denganku, memilih untuk pulang ke kota kelahirannya sambil menunggu masa wisuda.Memang, kami masih wajib membayar sewa kos meski tidak ditinggali. Mau bagaimana lagi? Membawa langsung barang-barang rasanya terlalu berat—lebih tepatnya malas. Lalu, Nagita? Entahlah, ia juga sudah tidak menghubungiku lagi. Mungkin ambisinya tentang dunia perkuliahan sudah membawanya kembali dengan kesibukan yang amat padat.***“Amel

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-19
  • Dear Joy   74. Kesedihan Joy yang Tertulis

    “Iya, donk. Mengapa pula Mama tidak memanfaatkan kesempatan ini. Kamu tidak akan tahu betapa banyaknya informasi dari orang-orang yang sangat suka bergosip. Itu adalah info yang terkini meskipun mungkin tidak bisa dipercaya sepenuhnya.” Makanan sudah dihidangkan. “Makanlah. Ini sekalian untuk makan siangmu, ya.”“Memangnya acara gosip-menggosip itu kapan, sih? Kayaknya Mama arisannya sore, deh. Ini masih pagi, loh ….”“Memangnya siapa yang bilang pagi ini mau pergi arisan? Pagi ini Mama dan Bibi Susana mau pergi belanja bulanan. Kamu duduk tenang di rumah dan jaga Lara. Biar tahu kamu bagaimana capeknya urus anak.”“Duh, ujung-ujungnya disindir lagi.”Kebiasaan ibu yang paling tak kusukai di

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-19
  • Dear Joy   75. Keseharian di Rumah Bersama Lara (2)

    Sungguh, aku sama sekali tidak membayangkan peristiwa demi peristiwa sesakit ini telah dialami oleh Joy. Seorang gadis cantik yang sangat disayangi dan dibanggakan oleh orang tuanya harus melewati masa-masa seperti ini? Kasihan sekali …. Kututup buku itu karena suara tangis Lara terdengar. Waow! Siapa yang menyangka bila bayi mungil yang terlihat lemah ternyata memiliki suara yang sangat keras. Hihihi, entah bagaimana yang sudah terlewati oleh ibu dan Bibi Susana? Apa mereka juga merasa bila bayi ini memiliki tangisan yang sangat keras? “Iya, iya … aku datang ….” Segera kakiku menuju ruangan itu. Aku memeriksa popok terlebih dulu. Biasanya bayi akan menangis karena merasa tidak nyaman atau kelaparan. Hm … a

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-20
  • Dear Joy   76. Pujian

    Buku itu memanglah istimewa. Sampai halaman terakhir, aku baru menyadari bila Joy sama sekali tidak membenci atau mengharapkan hal yang buruk pada Bima. Cinta yang sangat tulus untuk seorang pria yang bahkan tak tahu diri! Aku iri, ini adalah bagaimana seorang anak perempuan di zaman sekarang masih bisa mencintai dengan tulus.“Huft! Bima … kamu sudah meninggalkan seseorang yang sangat tulus padamu demi gadis yang belum tentu merasa beruntung bersamamu. Brengsek!”Pedekate, pacaran, hamil lalu terpaksa menikah. Belum lagi diusir keluarga, ditinggalkan Bima dan diselingkuhi. Bagai paket lengkap yang memaksamu untuk bertahan demi bayi di dalam perutmu. Joy sayang, Joy malang. Semua penderitaanmu sudah selesai.

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-21

Bab terbaru

  • Dear Joy   Epilog

    Tidak ada yang tahu tentang hari esok. Kenyataan bila Lara juga memiliki keluarga inti adalah hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku dan Bibi Susana akhirnya memutuskan untuk melakukannya—membawa bayi cantik itu untuk menemui sang Nenek.Hari ini akhirnya datang juga. Bagaimanapun juga, aku masih harus membawa bayi itu untuk menemui keluarganya—maksudnya keluarga dari pihak Joy. Seorang Amel dengan bayi dalam gendongannya mungkin akan mengejutkan papa dan mama Joy. Ah, semua itu tak masalah.“Amel, kamu yakin sudah mau bertemu Tante Carla sekarang?” tanya ibuku. Beliau tidak ikut. Katanya merasa tidak enak badan.“Ya kalau enggak sekarang, terus kapan? Cepat atau lambat, mereka harus tahu tentang cucunya. Kalau Mama di posisi

  • Dear Joy   86. Akhir yang Bahagia?

    “Um … kalian belum memutuskannya?” Muti semakin ingin tahu. “Sumpah, kalau bisa, Lara tinggal bersama kami saja selamanya. A ….” Aku berhenti sejenak. Ini memang sedikit aneh. Mungkin para tetangga bisa langsung pingsan jika mendengar semua cerita panjang ini. Bagaimana bisa sebuah keluarga yang selama ini tinggal di dekat mereka ternyata masih memiliki anak yang lain tetapi tidak diketahui. “Papa dan Mama mesti menjelaskan satu dan lain hal pada para tetangga. Ugh, dan … sudah pasti awalnya mereka tidak akan mempercayainya. Tetap saja, bakal ada tetangga yang … hm … langsung menuduh kalau cerita itu adalah karangan Papa dan Mama saja agar menutupi aibku.” “Hah

  • Dear Joy   85. Sepucuk Surat dari Bima

    “Amel, ayo … kita sudah sampai di bandara. Nanti kamu bisa tidur lagi sepuasnya di ruang tunggu dan di pesawat.” Suara ayah benar-benar membuatku tersadar dari alam lain.“O … a … ng … hoaaamm ….”Aku mulai melihat ke luar. Ini memanglah kawasan bandara. Padahal baru pagi tadi kami tiba dan sekarang sudah mau pulang saja. Hm … luar biasa sekali perjalanan yang singkat ini. Kalau diingat-ingat lagi. Ah, apalah itu. Intinya aku hanya ingin segera pulang ke rumah!Memang seperti itulah yang aku lakukan—tidur di ruang tunggu selama kurang lebih satu setengah jam, lalu melanjutkannya saat di dalam pesawat. Anggap saja ini adalah balas dendam tentang waktu istirahatku yang tersita.

  • Dear Joy   84. Bima adalah Adam

    Setelah mendapatkan informasi penting lain yang tak kalah membuat terkejut, kupikir akan datang berita baik. Aku salah besar. Ini jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.Dan inilah yang terjadi sebelum Bibi Susana masuk ke dalam kamarku.Ponselku terus berdering. Bukan satu atau dua, bahkan panggilan dari satu orang. Tiga orang yang kusewa sebagai ‘mata-mata’ untuk mencari keberadaan Bima menghubungiku. Jelas, ini bukanlah sebuah pertanda yang bagus. Meski begitu, aku masih berusaha untuk berpikir yang jernih dan berharap apa yang aku pikirkan tidaklah benar.Bukan hanya itu, karena sedikit terlambat, panggilan itu terhenti. Kupikir mereka akhirnya menyerah. Aku salah, sebuah panggilan masuk melalui telepon rumah. Sedikit langka memang di era sekarang masih memiliki nomor telepon rumah.

  • Dear Joy   83. Tiada

    Sampai pada akhirnya aku sudah harus kembali ke kota tempatku kuliah. Muti sama sekali tidak bisa berjanji bila ia bisa hadir saat wisudaku. Tidak apa-apa, toh pada akhirnya kami masih akan bertemu di kota yang sama. Tentu saja saat aku sudah kembali pulang.“Sampaikan salamku pada Cintia juga. Ah, rasanya aku menjadi kesal sekarang.”“Tidak masalah, Muti. Aku dan Cintia bisa memahaminya. Kamu kan harus bekerja. Kita bisa merayakannya bersama lain kali saja.” Aku berusaha menenangkan Muti yang merasa bersalah.”“Hati-hati, ya.”Aku dan Muti saling mengucapkan salam perpisahan. Ayah dan ibu tidak mengantar. Ayahku jelas sedang

  • Dear Joy   82. Tentang Adam

    Benar saja, aku dan ibuku melakukannya! Kami pergi bersama ke tukang jahit baju. Suasana di antara aku dan ibu menjadi jauh lebih baik. Ya, memang sudah seharusnya begitu. Memangnya aku mesti marah sampai berapa lama?Kami langsung pulang setelah pengukuran untuk pola selesai. Dengan penambahan 2 cm untuk jaga-jaga. Jangan sampai dalam tiga minggu ini badanku menjadi naik. Itu bukanlah hal yang tidak mungkin apalagi bila menjelang masa datang bulan. Aku akan makan jauh lebih banyak.“Tukang jahitnya, gimana? Ramah, bukan?”“Hm m. Mungkin karena Mama sudah langganan sangat lama. Belum tentu sama pelanggan baru.”“Astaga, anak ini ….”

  • Dear Joy   81. Amarah yang Mereda

    “To-tolong ... siapapun di luar sana, tolong aku ....” Suara jerit Seseorang seakan memanggilku. Aku mengenalnya. Itu adalah A40. Kenapa aku bahkan mendengar suaranya sekarang? Apa aku sedang berhalusinasi sekarang? Tidak mungkin!Satu ….Dua ….Tiga.Aku terbangun. Badanku penuh dengan keringat. Itu adalah sebuah mimpi yang terlalu menakutkan untuk diingat. Bagaimana seseorang dibunuh dengan sadis di depan mataku tidak bisa aku lupakan begitu saja. wajah A40 lalu menyadarkanku pada sesuatu. Ia kini terlihat sangat familiar. Aku sangat mengenal wajah itu sekarang. Itu ada di dalam buku harian milik Joy.

  • Dear Joy   80. Kebohongan

    Ini bukan hal yang mudah untuk membicarakan langsung tentang hak asuh Lara. Apa yang akan dipikirkan oleh Bibi Susana? Marahkah ia setelah mendengarkan kalimatku nanti atau malah menyetujuinya dengan syarat ini dan itu? Tidak ada yang tahu tentang itu dengan pasti. Yang jelas, aku berharap baik dari semua ini.“Kalau Lara ingin diadopsi oleh keluarga kami, apa Bibi tidak masalah?” Aku memberanikan diri untuk mengatakannya.Beberapa detik Bibi Susana terdiam. Wajahnya juga sempat terkejut saat mendengarnya. Lalu, ia tersenyum dan menjawab, “Kalau soal hak asuh, sebenarnya Bibi sama sekali tidak memiliki hak yang kuat di sini. Orang tua Joy-lah yang paling berkuasa dan tepat untuk memutuskannya.”

  • Dear Joy   79. Gelisah?

    Lara yang mulai rewel akhirnya pula yang membuat aku dan ibu memutuskan untuk meninggalkan café Diandara. Dalam perjalanan kami tidak saling bicara. Ibuku fokus menyetir sedangkan aku memastikan Lara aman dalam pangkuanku di dalam mobil.“Memangnya ada ya, orang tua yang tidak mengakui anaknya sendiri?” tanyaku tiba-tiba. “Si Bima itu memanglah brengsek. Bisa-bisanya ia malah menuduhku seorang penipu! Memangnya apa yang mau aku ambil darinya? Uang? Bukannya dia saja tidak punya uang? Ckckck!”“Kamu itu mengomel mulu ya kalau sudah tentang Bima,” balas ibu yang mulai kesal mendengar kata demi kata yang keluar dari mulutku.“Ckckck! Soalnya Mama belum tahu semua yang dilakukan oleh Bima pada Joy. Kalau aku ceritakan s

DMCA.com Protection Status