“Apa ada pilihan lain? Haha!”
Kami jelas akan menghabiskan waktu dengan sangat baik. Muti, Cintia dan aku. Semoga hari-hari yang baik seperti ini akan selalu datang dan menghampiri kami. Tidak banyak yang aku minta dalam hidup. Memiliki teman-teman yang baik di sekitarku saja sudah sangat cukup.
“Eh, habis ini kamu mau ke mana?” Muti memulai lagi dengan pertanyaan yang baru. Dia memang bertanya, tapi matanya lurus menatap ke depan.
“Mau menyusulmu. Aku akan mengerahkan semua kemampuanku. Lagipula, setelah melihat ambisi Nagita, aku semakin tidak mau kalah. Bisa-bisa, malah dia yang wisuda lebih dulu, hahaha! Kamu kapan mau daftar wisudanya, hm?”
“Sial, karton ini lama-lama terasa berat, hahaha!”Aku beristirahat sebentar dan mulai mencari taxi yang lewat. Rasanya ingin naik angkot saja, sih. Namun, kalau aku melakukannya, yang ada hanya sampai di perempatan jalan. Terus, aku masih harus berjalan lagi sampai di depan kos. Membayangkannya saja sudah cukup membuat—oke, aku hanya sedang malas. Di era yang canggih ini, rasa-rasanya taxi seperti Bisiwa dan Red Bird sudah sangat jarang. Kalau memang begini, pesan online adalah solusinya.Karton itu akhirnya aku letakkan di atas tempat duduk di depan minimarket. Ya, aku sekalian mencari lokasi yang mudah dijangkau. Hitung-hitung juga tempat yang paling aman saat mulai memainkan ponsel di tempat umum.Jadi teringat dengan Kania yang kehilangan po
Tertawa bersama menjadi penutup perjalanan itu. Muti dan Cintia adalah dua orang yang tidak akan aku lupakan dalam hidupku. Memangnya siapa lagi yang menemaniku semasa kuliah? Kenangan tentang dua sahabat yang saling mendukung dan selalu ada saat aku sedang susah jelas tidak akan terlupa begitu saja.Aku baru saja tiba di dalam kamar. Kupandangi cermin yang ada di sana. Senyumku merekah dengan indah saat memandangi diriku. Ada satu hal besar lain yang berhasil aku lalui dengan baik—aku bangga pada diriku sendiri.“Selamat, Amel. Kamu berhasil melewatkan satu fase yang sangat besar! Ya, tidak bisa ikut wisuda periode ini karena mepet untuk pendaftaran. Ya sudahlah ya … lagipula sama Cintia, hihihi ….”
Aku dan Nagita menghabiskan waktu bersama kami. Gadis itu terkadang menyebalkan tetapi di saat yang sama juga hanyalah gadis manis yang ambisius. Sayangnya, taraf ambisinya sudah terlalu jauh sampai rela meninggalkan teman-temannya. Ah, mungkin lebih tepatnya, karena teman-temannya tak dapat menyesuaikan, akhirnya mereka menjadi iri. Who knows? Tidak ada yang tahu kejadian sebenarnya selain Nagita sendiri. Kami sudah selesai makan, tetapi masih di ruang tamu. Rasanya, malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk kami berdua saling bercerita.“Apa yang kamu rencanakan setelah lulus nanti? Ikut wisuda periode ini kan?”Aku menggelengkan kepala. “Waktunya terlalu mepet. Lagipula, ada banyak yang perlu dire
Buku harian Joy yang tergeletak tak berdaya di atas meja belajarku pun menjadi sasaran yang sangat empuk untuk aku buka. Memangnya apa lagi yang bisa aku lakukan kalau sudah kepo seperti ini? Rasanya memang sudah saatnya untuk membuka dan membaca sedikit saja dari buku itu.“Benar, kan … kalau Joy memperbolehkan aku untuk membaca ini? Ataukah … ia malah akan marah padaku karena sudah sangat lancang melakukannya?” Lagi dan lagi, aku berusaha keras untuk mengingat pesan apa yang dimaksudkan oleh Joy. “Aku rasa … tidak apa-apa.”Mataku melihat ke kiri dan kanan. Jangan sampai arwah Joy malah bergentayangan di dalam kamarku dan memarahiku habis-habisan karena telah membacanya? Ugh, kalau itu terjadi, aku bisa lari te
Setelah sarapan bersama, aku dan Muti jelas tak langsung pergi. Ini masih jam delapan pagi. Memangnya, ada Mall yang sudah buka? Hm … mungkin di kota lain. Yang jelas, di kota ini biasanya Mall buka mulai pukul sepuluh pagi. Lalu, ke mana Cintia? Yang jelas belum ada di sini. Muti memang sedikit keterlaluan kali ini. Bisa-bisanya ia mengganggu ketentraman di pagi hari! Karena sudah membawa sarapan, aku anggap semuanya impas.“Ayo kembali ke kamar. Mau aku perlihatkan apa saja yang ada di dalam karton itu. Seandainya aku tahu kartonnya berat, aku akan mengajakmu waktu itu,” ucapku.“Eh? Luar biasa sekali. Giliran ada hal yang sangat penting dan memerlukan bantuan, kamu langsung terpikirkan tentangku. Aku ini sudah kayak bala bantuan, ya ….”
Aku tidak akan menyangka bila kebersamaan itu adalah yang terakhir kali. Setelah waktu itu, kami tidak pernah keluar bersama kecuali saat bertemu di kampus untuk pengurusan berkas. Hari wisuda Muti tiba dan kami sempat merayakannya di rumah Muti. Lalu, masa-masa berpisah selama tiga bulan sampai waktu aku dan Cintia akan wisuda. Cintia sama denganku, memilih untuk pulang ke kota kelahirannya sambil menunggu masa wisuda.Memang, kami masih wajib membayar sewa kos meski tidak ditinggali. Mau bagaimana lagi? Membawa langsung barang-barang rasanya terlalu berat—lebih tepatnya malas. Lalu, Nagita? Entahlah, ia juga sudah tidak menghubungiku lagi. Mungkin ambisinya tentang dunia perkuliahan sudah membawanya kembali dengan kesibukan yang amat padat.***“Amel
“Iya, donk. Mengapa pula Mama tidak memanfaatkan kesempatan ini. Kamu tidak akan tahu betapa banyaknya informasi dari orang-orang yang sangat suka bergosip. Itu adalah info yang terkini meskipun mungkin tidak bisa dipercaya sepenuhnya.” Makanan sudah dihidangkan. “Makanlah. Ini sekalian untuk makan siangmu, ya.”“Memangnya acara gosip-menggosip itu kapan, sih? Kayaknya Mama arisannya sore, deh. Ini masih pagi, loh ….”“Memangnya siapa yang bilang pagi ini mau pergi arisan? Pagi ini Mama dan Bibi Susana mau pergi belanja bulanan. Kamu duduk tenang di rumah dan jaga Lara. Biar tahu kamu bagaimana capeknya urus anak.”“Duh, ujung-ujungnya disindir lagi.”Kebiasaan ibu yang paling tak kusukai di
Sungguh, aku sama sekali tidak membayangkan peristiwa demi peristiwa sesakit ini telah dialami oleh Joy. Seorang gadis cantik yang sangat disayangi dan dibanggakan oleh orang tuanya harus melewati masa-masa seperti ini? Kasihan sekali …. Kututup buku itu karena suara tangis Lara terdengar. Waow! Siapa yang menyangka bila bayi mungil yang terlihat lemah ternyata memiliki suara yang sangat keras. Hihihi, entah bagaimana yang sudah terlewati oleh ibu dan Bibi Susana? Apa mereka juga merasa bila bayi ini memiliki tangisan yang sangat keras? “Iya, iya … aku datang ….” Segera kakiku menuju ruangan itu. Aku memeriksa popok terlebih dulu. Biasanya bayi akan menangis karena merasa tidak nyaman atau kelaparan. Hm … a