Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku menjawab yang sebenarnya? Mengapa aku terlibat dalam urusan ini sekarang? Arrgggh!!! Joy!
"Nak Amel kenapa? Apa ada sesuatu?" tanya Tante Carla yang melihatku kelagapan. Aku benci situasi seperi ini, bukan aku yang salah, namun seperti aku yang menanggung semuanya. Apa aku boleh saja mengatakan kenyataannya?
"A ... tidak," jawabku pelan. Aku sungguh tidak ingin Joy dalam masalah sekarang. Rasanya aku ingin sekali pergi menarik Joy untuk menjawab pertanyaan orang tuanya sendiri.
Taxi bergerak dengan lambat. Bisa kutebak ada kemacetan saat melewati Jl. Boulevard. Oh sungguh, saat itu aku ingin sekali kabur dari mobil dan hilang.
"Amel ... Amel," panggilnya lagi dengan pelan.
"Maaf Tante, aku kurang tahu ... kalau boleh jujur aku tidak menanyakan hal pribadi pada Joy." Aku cuma bisa memberikan jawaban yang aman baik buatku dan juga Joy.
Aku lihat ekspresi wajah Tante Carla sedikit kecewa dengan jawabku.
Kalau aku mengatakannya, Tante Carla pasti terkejut. Aku banyak mendengar gosip yang beredar tentang Joy, aku khawatir itu adalah kabar buruk untuk telinga Tante dan Om.
"Tidak apa-apa, Om mengerti Amel dan Joy memang tidak begitu dekat. Satu kampus bukan berarti tahu segala hal tentang Joy, bukan? Maafkan Tante Carla yang berharap lebih padamu." Om Bagas berucap sedikit menghibur.
Entah mengapa aku sedikit merasa bersalah. Aku seperti orang yang diharapkan bisa memberi informasi tentang Joy sebanyak-banyaknya namun aku tidak bisa. Joy dan hubungannya dan juga kuliahnya dan apapun itu aku tidak terlalu tahu.
Ttiitttt ttiiiiiitt!
Suara klakson memenuhi jalan. Sudah kebiasaan warga di sini yang semakin membuat para pengendara semakin kesal. Kadang aku berpikir, apa gunanya mereka membunyikan klakson? Bukankah itu hanya semakin menambah kekesalan dalam kemacetan?
"Amel ... apa Joy baik-baik saja?" tanya Tante Carla pelan.
"Joy baik-baik saja." Aku segera membalas pertanyaan itu. "Joy akan selalu baik-baik saja." Aku juga berharap demikian.
"Tante rasa ... Joy sedang tersesat dalam sebuah masalah. Tante tidak tahu tapi firasat ini setiap hari semakin kuat." Tante Carla memandangiku dengan sendu. Bisa kulihat, ia ingin sekali memastikan sesuatu dari mulutku.
"Aih, itu hanya perasaan Tante saja, hihihi." Aku menambahkan kalimat lain agar membuatnya tenang. "Hm ... kenapa macet sekarang?" kataku dengan kesal. "Harusnya mereka tahu aku sedang menjemput orang penting sekarang ini?"
"Hahaha, kamu bisa saja Nak." Om Bagas menanggapinya. Aku pikir, Ayah Joy itu tidak mendengarkan kami, rupanya ia diam namun memasang telinga terhadap setiap ucapan yang bergema.
Aku harus berhati-hati dengan ucapanku sekarang. Setiap kata yang keluar dari mulutku bisa membahayakan atau membuat Joy marah padaku.
Setelah melewati berjam-jam dalam kemacetan, akhirnya kami tiba di rumah kos Joy. Ini juga adalah kali pertamaku mendatanginya. Berita bagusnya, orang tua Joy masih tahu tempat tinggalnya. Seandainya tidak, mungkin aku akan kabur saja. Tidak bisa kubayangkan seandainya Joy juga menyembunyikan tempat tinggalnya.
Bagus juga, ya tempat Joy, ya iya sih keluarganya memang berada.
"Selamat siang, maaf, tamu harus mengisi buku ini terlebih dahulu." Seorang satpam yang berjaga lalu menyapa kami dengan sigap.
"Baik," balasku dan langsung mengisi buku itu. "Aku ke sini untuk mengunjungi temanku, Joy. Mereka adalah orang tuanya," imbuhku serasa memperkenalkan Tante Carla dan Om Bagas.
"Oh, Joy yang cantik itu ya? Wah pantas ... Ibunya juga cantik," puji satpam itu membuat rona merah di wajah Tante Carla muncul. "Bapaknya juga ganteng, kayak orang Korea," tambahnya lagi begitu melihat ekspresi Om Bagas yang kurang suka istrinya dipuji pria lain.
"Udah diisi, kami boleh masuk ya, Pak?" tanyaku dan langsung berjalan begitu mendapat persetujuan dari satpam.
"Setahun lalu Tante terakhir ke sini. Tante memang enggak ada rencana datang lagi kecuali pas Joy wisuda nanti." Tante Carla mulai berucap lagi sambil menelusuri halaman kecil di tempat itu.
Rumah kos milik Joy sangat bagus dibandingkan dengan tempatku. Gedungnya yang besar dan terdiri dari empat lantai. Bisa aku lihat, pengamanannya juga bagus. Aku mulai bertanya dalam hati. Apa Bima juga sering ke sini? Ah, sangat tidak mungkin. Ini adalah kos putri dengan penjagaan yang mumpuni.
Aku hanya mengikuti ke mana langkah Tante Carla dan Om Bagas membawaku.
"Aku tunggu di ruang tamu," kata Om Bagas dan bergegas berindah ke ruang tamu di lantai dua itu.
Om Bagas benar-benar memperhatikan dan menaati peraturan. Sekalipun ia adalah orang tua Joy, ia tidak semerta-merta hendak masuk ke dalam kamar.
"Ini kamar Joy, kalau ia tidak ada mungkin ia sedang nerada di kampus." Tante Carla sudah tak sabar untuk bertemu putrinya sekarang. Tante Carla mulai mengankat tangannya sedikit dan mengetuk pintu kamar bernomor 209 itu.
Tuk tuk tuk ....
Lagi dan lagi, tidak ada jawaban.
"Joy, ini Mama, Nak."
Aku haya diam saja dan menanti pintu itu terbuka.
Apa sebaiknya aku ke ruang tamu saja dan bercerita dengan Om Bagas?
Ceklek!
Suara pintu terbuka, Joy muncul dengan penampilan yang acak-acakan. Ia baru saja bangun dari mimpinya yang indah. Satu sisi, aku merasa bersyukur ia ada di tempat ini. Namun, bila memang ia berada di sini sekarang, artinya Joy sedang bolos kuliah, mungkin.
Joy melirik ke arahku sebentar sebelum menyapa ibunya. Tatapan jengkelnya bisa aku lihat. Saat itu aku ingin sekali membalasnya dan mengatakan "Apa? Memangnya aku mau ikut campur dengan urusanmu? Aktifkan poselmu, dengan begitu aku tidak perlu mengorbankan kuliahku!"
"Mama! Mama kapan datang? Kenapa tidak memberitahu terlebih dahulu?" ucapnya basa-basi. Aku sangat yakin ia sedang kesal dengan kedatangan orang tuanya saat itu. "Amel ... thank you ya, sudah antar Mama sampai kosku dengan selamat." Joy lalu menarikku menjauh dari Tante Carla.
"Lepas!" tangkisku.
"Apa maksudmu membawa orang tuaku ke sini?" tanyanya sinis.
"Apa?"
"Apa?!" Suara Joy sedikit meninggi. Mendengarnya saja membuat emosiku sedikit dipermainkan.
"Joy, aku sama sekali tidak tahu-menahu. Mereka hanya meneleponku dan meminta bantuanku. Oh iya, kenapa harus aku? Karena ada seorang anak yang sama sekali tidak bisa dihubungi." Tak mau kalah, aku pun membalasnya.
Joy diam, ia tak tahu harus membalas apa lagi. Kali ini aku menang, ada rasa bahagia telah mematikan kalimatnya.
"Joy, sapalah Papamu. Ia ada di ruang tamu." Suara Tante Carla menghentikan perseteruan kecil-kecilan kami.
Joy lalu berjalan menuju ruang tamu. Senyumnya melebar ketika melihat sang ayah.
"Papa!" ucap Joy langsung mendekap Ayahnya. "Kenapa tidak bilang-bilang dulu?"
"Kalau bilang terlebih dahulu bukan kejutan namanya," balas Om Bagas sambil mencubit pelan hidung mancung Joy.
Ya, kalau bilang dulu pasti kamu sudah merencanakan hal bohong lainnya supaya tidak ketahuan.
Aku hanya menyaksikan di sana sebuah keluarga yang sedang berkumpul. Ah, aku juga rindu orang tuaku.
Tangan, sentuhan, panggilan ... apa ini? Suara ini ..."Amel," panggil Bibi itu dengan lembut. Sepertinya ia berusaha membangunkanku sedari tadi. Samar-samar aku bisa mendengar isak tangisnya. "Nak, Bibi keluar sebentar ...." Bibi itu lalu berjalan meninggalkanku.TUNGGU!Aku baru menyadari beberapa saat setelah nyawaku terkumpul sepenuhnya dari alam mimpi. Bibi itu saat ini sedang dalam perawatan. Aku segera berjalan menyusulnya."Bi ... Bibi mau kemana?" tanyaku sambil membantunya berjalan perlahan.Ia menatapku sendu sebelum kemudian menjawab pertanyaanku. "Bibi mimpi buruk, Bibi harus melihat suami Bibi."Aku juga bermimpi yang panjang. Entah itu hanya ingatan atau memang aku memimpikan semua kejadian tentang Joy yang telah berlalu. Kami lalu berjalan mendekati ruang ICU. Di dalam sana ada seorang pria yang dicintai Bibi ini. Aku merasa kasihan dengan semua ini. Apa ini takdir yang terlalu beruntun
"Amel ..."Aku berusaha tidur sekarang. Saat kakiku melangkah ke tempat tidur penjaga pasien, aku seolah tak bisa bergerak.Oh Shit! Ada apa ini?"Amel ..."Lagi dan lagi, aku mendengar suara kecil memanggil namaku. Suara itu tak asing di telingaku. Suara yang pernah aku dengar sebelumnya. Aku masih terus berusaha sampai akhirnya aku pasrah. Beberapa detik kemudian aku merasa embusan angin yang sangat dingin. Tubuhku merinding. Pupil mataku membesar, aku terkejut dan juga sedikit takut. Sosok Joy muncul di hadapanku dengan senyumnya."J-Joy," ucapku sedikit terbata.Joy mengangguk tanda menjawab. Aku masih tidak bisa bergerak. Kulihat Joy perlahan mendekatiku. Jantungku berdegup kencang. Mau bagaimana lagi? Sosok Joy yang dihadapanku bukanlah lagi makhluk yang sama denganku. Lidahku berat untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Jangan tanyakan bagaimana kondisiku. Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya namun tak
Muti tiba-tiba tertawa dengan sekeras-kerasnya."Heh!""Hahaha! Amel, kamu harus lihat wajahmu itu. Kamu sangat ketakutan saat aku mengatakan aku melihat Joy.""Muti!" Aku meneriakinya dan juga mencubit tumpukan lemak di area perutnya."Akh!""Rasakan!"Muti masih terus tertawa."Mut, ini sama sekali enggak lucu." Aku lalu diam setelahnya. Kesal, marah dan juga tidak habis pikir dengan kelakuan gadis di sampingku ini.Muti memutar musik agar menghilangkan keheningan di antara kami. Aku bisa merasakan, ia sedang berusaha membuka percakapan agar tidak terasa aneh. Ia sadar bila hal yang dilakukannya tadi memang sepertinya sedikit berlebihan."Lain kali jangan seperti itu ya. Bagaimana kalau Joy memang tiba-tiba muncul di hadapan kita?""Iya, iya aku tahu. Tapi ... Mel, aku ingin mengatakan ini dengan serius. Semalam, aku melihat sesosok yang mirip dengan temanmu, Joy.""Ha? Seriusan?"Mob
Aku bangun dengan terkejut. Setelah sarapan, aku sepertinya tidur dengan pulas di rumah Muti. Ah, ini sangat keterlaluan. Aku langsung teringat dengan BiBi yang sedang berada di rumah sakit. Apa semuanya sedang baik-baik saja?Muti memandangiku yang sama terkejut."Tenanglah, semua sudah diurus. Kalau nyawamu sudah terkumpul, kita bisa segera ke lokasi pemakaman."Pemakaman ya? Artinya Jenazah Joy memang dikuburkan tanpa orang tua. Pedih rasanya mengingat kejadian itu. Di masa terakhirnya, ia seorang diri tanpa keluarga. Bila itu aku, aku bisa saja menjadi hantu penasaran, mungkin."Apa tadi katamu?""Semua sudah di urus. Kamu tidur terlalu lama.""Kenapa tidak memabngunkanku tadi, Mut?" tanyaku. Aku masih duduk sambil 'mengumpulkan nyawa' dari alam mimpi."Tidurmu begitu pulas, mana tega aku bangunkan. Semalam pasti kamu tidak tidur." Muti menjelaskan. "Tadi aku ke rumah sakit, buat jaga-jaga saja siapa tahu ada hal pen
Aku mengajak Muti duduk di depan ruang perawatan bayi. Aku ingin menceritakan bagaimana Joy yang aku kenal padanya dan juga bayi mungil itu. Aneh, bahkan mungkin sang bayi tidak mendengarkannya karena terhalang kaca tebal."Sebentar, aku butuh minum dan beberapa makanan ringan. Aku rasa cerita ini akan sangat panjang." Muti lalu meninggalkanku dan menuju suatu tempat. Sepertinya aku tahu, ia akan ke Indoapril atau toko sejenisnya.Sementara menunggu Muti kembali aku melihat bayi mungil joy dari balik kaca. Perawat di sana juga melihatku dan membalas respons atas kehadiranku dengan senyuman."Halo bayi kecil, apa kabarmu hari ini? Ini hari yang berat ya, Mamamu sudah benar-benar tenang di sana sekarang. Ah, aku masih tidak tahu harus memanggilmu atau memberimu nama apa. Apa aku punya hak untuk memberikannya?" Aku melontarkan pertanyaan pada bayi mungil itu. Seperti orang bodoh yang berharap bayi mungil itu bisa memberi respons.Ting!Sebuah pesan ma
"Mut ...." Aku mencoba memanggilnya lagi. Kali ini dengan suara yang sedikit pelan."Aku mau boker," jawabnya tanpa merasa berdosa."Astaga, aku kira ada apa. Sana pergi! Jangan lupa nanti ceboknya yang bersih!" seruku. Muti melihatku dengan tatapan tajam. Suaraku yang besar membuat beberapa orang yang berada di sekitar kami meloleh padanya. Oke, sepertinya aku sedikit keterlaluan.Aku hanya bisa cengengesan setelah Muti berjalan menuju toilet dengan terburu-buru. Sakit perut dan juga sedikit rasa malu yang ditahannya setelah mendapat tatapan dari beberapa orang.***Seperti kisah yang sangat lama selesai, aku memikirkan lagi kalimat selanjutnya yang akan aku katakan tentang Joy. Setiap orang punya dua sisi, baik dan buruk. Aku, kamu, dia, mereka. Semua memiliki itu. Kita tentu tidak bisa menilai kepribadian seseorang hanya dari mendengar ceritanya saja, bukan? Ini adalah alasan mengapa aku harus menceritakan kisah Joy. Mungkin sebagian orang hanya
"Wait ... jadi saat KKN juga kamu belum pernah bertemu dengan 'gadis' yang dimaksud Budi?""Ya tentu saja. Tapi sejujurnya aku sempat sangat penasaran. Siapa dan seperti apa rupa gadis itu. Apa seperti Irene? Tsuyu?""Ngaoco! Perbandingannya sadis sekali," balasku dengan tawa kecil. "Jadi, bagaimana selanjutnya?""Memangnya apa selanjutnya? Tidak ada. Kisah itu lenyap bersamaan dengan selesainya KKN. Saat kembali, kami juga tidak pernah membahasnya lagi. Tidak kusangka gadis itu adalah Joy, kenalanmu. Apa dunia ini begitu sempit?""Lalu bagaimana dengan para mahasiswa dari kampus lain yang kamu temui? Apa ada yang menarik hati? Kita KKN-nya bersamaan loh dengan kampus lain.""Ha? Maksudnya?" Aku langsung tertawa sebesar-besarnya. Aku rasa aku mengingat sesuatu. Muti juga terjebak cinta lokasi saat KKN hanya saja berbeda dengan Joy. Bila Joy jatuh cinta pada sesama mhasiswa, beda ceritanya dengan Muti. Tidak tanggung-tanggung, gadis
Ada banyak hal yang terjadi di dunia ini. Ada yang masih dalam genggaman, kehendak atau keinginan kita. Namun, ada juga yang diluar kemampuan kita untuk mengatasinya. Aku percaya untuk segala sesuatu ada masanya. Ada saat untuk menangis, tertawa, datang, pergi, lahir dan akhirnya kembali kepada sang pemilik kehidupan. Aku harap selama aku masih diberi kesempatan berada di dunia ini, aku bisa berguna sebanyak-banyaknya."Tadi kamu bilang apa? Sorry aku tidak fokus," ucap Muti yang menanyakan ulang kalimat terakhirku sebelumnya."Perasaanku tidak enak ....""Oh, belum boker kayaknya itu.""Enak saja!""Jangan pake perasaan-perasaan deh, kayak bukan Amel saja. Setahu aku nih ya-"Ucapan Muti terhenti. Ia juga sama seperti aku yang melihat seorang perawat berlari ke arah kamar tempat Bibi Susana dirawat. Kami berdiri dari tempat duduk dan mengarahkan pandangan kami ke dalam. Perasaanku semakin tidak enak, ada apa semua ini?Beberapa saat
Tidak ada yang tahu tentang hari esok. Kenyataan bila Lara juga memiliki keluarga inti adalah hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku dan Bibi Susana akhirnya memutuskan untuk melakukannya—membawa bayi cantik itu untuk menemui sang Nenek.Hari ini akhirnya datang juga. Bagaimanapun juga, aku masih harus membawa bayi itu untuk menemui keluarganya—maksudnya keluarga dari pihak Joy. Seorang Amel dengan bayi dalam gendongannya mungkin akan mengejutkan papa dan mama Joy. Ah, semua itu tak masalah.“Amel, kamu yakin sudah mau bertemu Tante Carla sekarang?” tanya ibuku. Beliau tidak ikut. Katanya merasa tidak enak badan.“Ya kalau enggak sekarang, terus kapan? Cepat atau lambat, mereka harus tahu tentang cucunya. Kalau Mama di posisi
“Um … kalian belum memutuskannya?” Muti semakin ingin tahu. “Sumpah, kalau bisa, Lara tinggal bersama kami saja selamanya. A ….” Aku berhenti sejenak. Ini memang sedikit aneh. Mungkin para tetangga bisa langsung pingsan jika mendengar semua cerita panjang ini. Bagaimana bisa sebuah keluarga yang selama ini tinggal di dekat mereka ternyata masih memiliki anak yang lain tetapi tidak diketahui. “Papa dan Mama mesti menjelaskan satu dan lain hal pada para tetangga. Ugh, dan … sudah pasti awalnya mereka tidak akan mempercayainya. Tetap saja, bakal ada tetangga yang … hm … langsung menuduh kalau cerita itu adalah karangan Papa dan Mama saja agar menutupi aibku.” “Hah
“Amel, ayo … kita sudah sampai di bandara. Nanti kamu bisa tidur lagi sepuasnya di ruang tunggu dan di pesawat.” Suara ayah benar-benar membuatku tersadar dari alam lain.“O … a … ng … hoaaamm ….”Aku mulai melihat ke luar. Ini memanglah kawasan bandara. Padahal baru pagi tadi kami tiba dan sekarang sudah mau pulang saja. Hm … luar biasa sekali perjalanan yang singkat ini. Kalau diingat-ingat lagi. Ah, apalah itu. Intinya aku hanya ingin segera pulang ke rumah!Memang seperti itulah yang aku lakukan—tidur di ruang tunggu selama kurang lebih satu setengah jam, lalu melanjutkannya saat di dalam pesawat. Anggap saja ini adalah balas dendam tentang waktu istirahatku yang tersita.
Setelah mendapatkan informasi penting lain yang tak kalah membuat terkejut, kupikir akan datang berita baik. Aku salah besar. Ini jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.Dan inilah yang terjadi sebelum Bibi Susana masuk ke dalam kamarku.Ponselku terus berdering. Bukan satu atau dua, bahkan panggilan dari satu orang. Tiga orang yang kusewa sebagai ‘mata-mata’ untuk mencari keberadaan Bima menghubungiku. Jelas, ini bukanlah sebuah pertanda yang bagus. Meski begitu, aku masih berusaha untuk berpikir yang jernih dan berharap apa yang aku pikirkan tidaklah benar.Bukan hanya itu, karena sedikit terlambat, panggilan itu terhenti. Kupikir mereka akhirnya menyerah. Aku salah, sebuah panggilan masuk melalui telepon rumah. Sedikit langka memang di era sekarang masih memiliki nomor telepon rumah.
Sampai pada akhirnya aku sudah harus kembali ke kota tempatku kuliah. Muti sama sekali tidak bisa berjanji bila ia bisa hadir saat wisudaku. Tidak apa-apa, toh pada akhirnya kami masih akan bertemu di kota yang sama. Tentu saja saat aku sudah kembali pulang.“Sampaikan salamku pada Cintia juga. Ah, rasanya aku menjadi kesal sekarang.”“Tidak masalah, Muti. Aku dan Cintia bisa memahaminya. Kamu kan harus bekerja. Kita bisa merayakannya bersama lain kali saja.” Aku berusaha menenangkan Muti yang merasa bersalah.”“Hati-hati, ya.”Aku dan Muti saling mengucapkan salam perpisahan. Ayah dan ibu tidak mengantar. Ayahku jelas sedang
Benar saja, aku dan ibuku melakukannya! Kami pergi bersama ke tukang jahit baju. Suasana di antara aku dan ibu menjadi jauh lebih baik. Ya, memang sudah seharusnya begitu. Memangnya aku mesti marah sampai berapa lama?Kami langsung pulang setelah pengukuran untuk pola selesai. Dengan penambahan 2 cm untuk jaga-jaga. Jangan sampai dalam tiga minggu ini badanku menjadi naik. Itu bukanlah hal yang tidak mungkin apalagi bila menjelang masa datang bulan. Aku akan makan jauh lebih banyak.“Tukang jahitnya, gimana? Ramah, bukan?”“Hm m. Mungkin karena Mama sudah langganan sangat lama. Belum tentu sama pelanggan baru.”“Astaga, anak ini ….”
“To-tolong ... siapapun di luar sana, tolong aku ....” Suara jerit Seseorang seakan memanggilku. Aku mengenalnya. Itu adalah A40. Kenapa aku bahkan mendengar suaranya sekarang? Apa aku sedang berhalusinasi sekarang? Tidak mungkin!Satu ….Dua ….Tiga.Aku terbangun. Badanku penuh dengan keringat. Itu adalah sebuah mimpi yang terlalu menakutkan untuk diingat. Bagaimana seseorang dibunuh dengan sadis di depan mataku tidak bisa aku lupakan begitu saja. wajah A40 lalu menyadarkanku pada sesuatu. Ia kini terlihat sangat familiar. Aku sangat mengenal wajah itu sekarang. Itu ada di dalam buku harian milik Joy.
Ini bukan hal yang mudah untuk membicarakan langsung tentang hak asuh Lara. Apa yang akan dipikirkan oleh Bibi Susana? Marahkah ia setelah mendengarkan kalimatku nanti atau malah menyetujuinya dengan syarat ini dan itu? Tidak ada yang tahu tentang itu dengan pasti. Yang jelas, aku berharap baik dari semua ini.“Kalau Lara ingin diadopsi oleh keluarga kami, apa Bibi tidak masalah?” Aku memberanikan diri untuk mengatakannya.Beberapa detik Bibi Susana terdiam. Wajahnya juga sempat terkejut saat mendengarnya. Lalu, ia tersenyum dan menjawab, “Kalau soal hak asuh, sebenarnya Bibi sama sekali tidak memiliki hak yang kuat di sini. Orang tua Joy-lah yang paling berkuasa dan tepat untuk memutuskannya.”
Lara yang mulai rewel akhirnya pula yang membuat aku dan ibu memutuskan untuk meninggalkan café Diandara. Dalam perjalanan kami tidak saling bicara. Ibuku fokus menyetir sedangkan aku memastikan Lara aman dalam pangkuanku di dalam mobil.“Memangnya ada ya, orang tua yang tidak mengakui anaknya sendiri?” tanyaku tiba-tiba. “Si Bima itu memanglah brengsek. Bisa-bisanya ia malah menuduhku seorang penipu! Memangnya apa yang mau aku ambil darinya? Uang? Bukannya dia saja tidak punya uang? Ckckck!”“Kamu itu mengomel mulu ya kalau sudah tentang Bima,” balas ibu yang mulai kesal mendengar kata demi kata yang keluar dari mulutku.“Ckckck! Soalnya Mama belum tahu semua yang dilakukan oleh Bima pada Joy. Kalau aku ceritakan s