Beranda / Lainnya / Dear Joy / 11. Ada Apa dengan KKN?

Share

11. Ada Apa dengan KKN?

Penulis: Xerin
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-31 19:12:40

"Wait ... jadi saat KKN juga kamu belum pernah bertemu dengan 'gadis' yang dimaksud Budi?"

"Ya tentu saja. Tapi sejujurnya aku sempat sangat penasaran. Siapa dan seperti apa rupa gadis itu. Apa seperti Irene? Tsuyu?"

"Ngaoco! Perbandingannya sadis sekali," balasku dengan tawa kecil. "Jadi, bagaimana selanjutnya?"

"Memangnya apa selanjutnya? Tidak ada. Kisah itu lenyap bersamaan dengan selesainya KKN. Saat kembali, kami juga tidak pernah membahasnya lagi. Tidak kusangka gadis itu adalah Joy, kenalanmu. Apa dunia ini begitu sempit?"

"Lalu bagaimana dengan para mahasiswa dari kampus lain yang kamu temui? Apa ada yang menarik hati? Kita KKN-nya bersamaan loh dengan kampus lain."

"Ha? Maksudnya?"

Aku langsung tertawa sebesar-besarnya. Aku rasa aku mengingat sesuatu. Muti juga terjebak cinta lokasi saat KKN hanya saja berbeda dengan Joy. Bila Joy jatuh cinta pada sesama mhasiswa, beda ceritanya dengan Muti. Tidak tanggung-tanggung, gadis

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Dear Joy   12. Takdir?

    Ada banyak hal yang terjadi di dunia ini. Ada yang masih dalam genggaman, kehendak atau keinginan kita. Namun, ada juga yang diluar kemampuan kita untuk mengatasinya. Aku percaya untuk segala sesuatu ada masanya. Ada saat untuk menangis, tertawa, datang, pergi, lahir dan akhirnya kembali kepada sang pemilik kehidupan. Aku harap selama aku masih diberi kesempatan berada di dunia ini, aku bisa berguna sebanyak-banyaknya."Tadi kamu bilang apa? Sorry aku tidak fokus," ucap Muti yang menanyakan ulang kalimat terakhirku sebelumnya."Perasaanku tidak enak ....""Oh, belum boker kayaknya itu.""Enak saja!""Jangan pake perasaan-perasaan deh, kayak bukan Amel saja. Setahu aku nih ya-"Ucapan Muti terhenti. Ia juga sama seperti aku yang melihat seorang perawat berlari ke arah kamar tempat Bibi Susana dirawat. Kami berdiri dari tempat duduk dan mengarahkan pandangan kami ke dalam. Perasaanku semakin tidak enak, ada apa semua ini?Beberapa saat

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-02
  • Dear Joy   13. Mama

    "Ayo jawab, Mel! Mau bagaimana? Kamu itu ya, kadang-kadang bikin Mama sama Papa kesel." Ibuku terus mengeluarkan kalimatnya. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Semua ini memang kesalahanku. Tapi walau bagaimanapun, bukankah yang aku lakukan ini baik?Aku mengumpulkan keberanianku untuk menjawabnya. Tentu saja setelah memilih rangkaian kata yang tepat."Ma, Amel tahu Amel salah tidak memberitahukan semuanya pada Mama. Amel sama sekali tidak bermaksud menyembunyikan semua ini. Bukankah Amel juga telah memeberitahukan tentang keadaan Joy tempo lalu?" Aku menggigit bibirku, info yang aku beri memang tidak lengkap kala itu."Bagaimana Mama bisa tahu kalau hanya setengah-setengah? Kamu hanya menelepon untuk mencari keberadaan Tante Carla. Lalu bagaimana Mama bisa menebak kalau yang kamu maksudkan ada hubungannya dengan Joy. Untung ada Muti dan Cintia yang mau menceritakan semuanya. Sudah, kamu diam aja. Mami kesal banget sama kamu. Sok jadi pahlawan gini. Ini persis sifa

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-03
  • Dear Joy   14. Menuju Masa Lalu

    "Enggak!" tangkis Cintia. "Yang benar saja, kita usah di sini loh, sudah di depan mata. Masa mau langsung pergi begitu aja. Ayo masuk," imbuhnya lagi sambil membuka pintu mobil dan berjalan menuju restoran itu. Aku dan Muti hanya berpandangan kemudian menyusulnya."Dia pasti sangat lapar. Dia kan tidak bisa jinak kalau lagi lapar.""Setuju," aku menimpali. "Kalau dipikir sih harusnya kita sih yang lebih lapar. Bayangkan dari malam kita mengurus ini.""Emangnya kita mengurus apa?""Mut ....""Iya, iya bercanda."Kami lalu masuk dalam restoran itu dan mulai memesan. Mata Cintia menjelajah setiap sudut untuk memastikan ada tempat bagi kami. Cintia terlihat seperti mata-mata yang mengawasi setiap tempat para pengunjung. Ia melihat sebuah meja, sebuah 'target' katanya."Di sana sepertinya sudah mau selesai, aku akan duduk di sana untuk menjaga tempat itu," bisiknya padaku."Good job! sana, sana," balasku menyetujui. Cintia

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-04
  • Dear Joy   15. Apa ini?

    Suara dan wajah itu ..."Kamu baik-baik saja? Hei! Sini aku bantu," ucap gadis itu lagi padaku.Aku mengucek mataku memastikan kejadian ini. Apa ini? Bagaimana mungkin?"Apa Mel? Kamu kenapa sih?" Gadis itu menarik tanganku dan membantuku berdiri. Aku bisa merasakan kulit halusnya yang bersentuhan denganku."J-Joy?""Hm,"sahutnya pelan. Ia sekarang sibuk menepuk-nepuk bajuku mengeluarkan beberapa daun yang masih menempel pada rok. Ia menatapku jengkel lalu berkata, "apa sih? Dari tadi lihat-lihat mulu? Iya, iya aku tahu aku cantik." Joy melanjutkan kalimatnya lagi."Terima kasih," ucapku. Ya, aku masih meyakinkan diriku apa benar gadis yang ada di depanku ini adalah Joy ataukah ..."Sudah ya, aku mau pergi. Lain kali hati-hati." Joy segera berlalu setelah mengucapkan itu. Ah, iya aku ingat kami memang tidak dekat."Amel!"Aku menoleh ke asal suara. Muti? Kenapa rambutnya masih panjang?"Sudah pendaf

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-15
  • Dear Joy   16. Sikap Joy

    "Mel ... kamu sedang melihat apa?""Ah itu ...." Aku lalu mendekatkan diri dan berbisik, "Seorang kenalan yang cantik.""Oh ya? mana?""Sana," balasaku sambil menunjuk tepat ke arah Joy.Muti malah hendak bergerak menuju tempat itu. "Bagus kalau kenalanmu, kita bisa nyempil dan duduk di sana." Muti memang kadang bertindak spontan."Hei!" cegatku dengan cepat. Aku juga menarik tangannya. "Aku belum selesai bicara. Aku enggak dekat dengan dia," terangku lagi."Oalah. Tapi-" ucapannya terhenti. Aku menarik Muti keluar dari wilayah kantin utama."Makan di tempat lain saja, kantin ini terlalu penuh. Atau ... sambil menunggu, bagaimana kalau kita ke perpustakaan?"Muti hanya mengangguk sebagai respon. Kami lalu menuju perpustakaan. Anehnya, tempat ini sangat sunyi. Perbedaan yang sangat mencolok hanya melihat jumlah pengunjungnya."Sepi sekali ya.""Ya ialah, kan pengunjungnya lagi pada makan. Lihat, staff di perpustaka

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-18
  • Dear Joy   17. Kalah Telak

    "Dia memang sempurna," ucap Muti tepat di telingaku. "Yah, kan sudah aku bilang kami bagai langit dan bumi." "Kapan kamu bilang seperti itu?" "Aku pernah bilang." "Mana ada ... ngigau nih." Muti menjauhkan kembali ponselnya dari hadapanku. "Cantik dan berprestasi. Siapa yang menyangka ia akan mewakili provinsi kita dalam ajang itu. Eh tunggu dulu, bagaimana dengan KKN? Atau ... apa Joy akan menundanya?" Joy tetap akan KKN, aku benar kan? Aku tahu itu. Ini kejadian yang pernah aku alami. "Woy! Tuh kan ... mulai deh bengong. Dirasuki setan baru tahu rasa!" gerutu Muti. "Mau taruhan denganku? Joy tidak akan mengikuti ajang itu. Ia akan KKn bersama kita." Dengan lantang aku memproklamirkan kalimatku. "Kalau kamu salah bagaimana, hm?" tanya Muti menantang. "Aku akan jadi pembantumu selama satu bulan setelah kita selesai KKN, bagaimana?" tawarku. "Oke, deal!" Muti mengulurkan tanganya dan disambut den

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-21
  • Dear Joy   18. Amel VS Joy

    "Akhirnya tiba juga ke gedung keramat ini," ucapku sambil memandangi gedung dengan ciri khas warna merah bata itu. "Jangan senang dulu. Dilihat dulu tuh banyak yang berkeliaran. Itu artinya ada antrean lagi." "Yang itu sih aku sudah tahu. Astaga ... kenapa hari ini penuh dengan antrean?! Arrrgghh!" keluhku dengan sangat kesal. Muti memicingkan matanya dan berkata, "Bisa aku ulang sekali lagi? Seandainya ada seseorang di sini yang tidak menunda-nunda pendaftaran, kejadian seperti ini pasti tidak akan terjadi." "Uhuk! Aku jadi tersinggung." "Jelas!" Muti menunggu di luar gedung, sementara aku langsung masuk dan menyerahkan berkasku pada petugas di sana. Banyak sekali berkas yang terlihat dan juga beberapa siswi magang. Tebakanku, mereka adalah siswi SMA Elang. Seragamnyalah yang menandakan semua itu. SMA Elang adalah salah satu sekolah bergengsi di kota ini. Tidak semua orang bisa masuk di sana. Selain uang sekolahnya yang ma

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-05
  • Dear Joy   19. Deja Vu

    Mimpi yang panjang. Aku rasa aku sedang terjebak dalam sebuah dimensi atau mimpi yang panjang atau mungkinkah aku dibawa ke masa lalu? Aku harap ada orang yang mau membangunkanku. Ataukah ... ini cara yang diberikan Yang Maha Kuasa untuk mencegah kepergian Joy? Apa aku boleh mengubah takdir. Aku berada dalam situasi yang belum aku ketahui. Semua kejadian ini telah aku lewati persis dengan yang telah terjadi. Aku senyum-senyum sendiri mengingat bila nanti Muti akan berkencan dengan anak Kepala Desa."Nah, kan mulai lagi ... kayaknya sebelum pulang aku benar-benar harus mengantarmu ke psikiater deh," ujar Muti."Aku bukan orang gila ya." Tegas, aku membalasnya."Ini nih! Salah kaprah. Psikiater itu bukan hanya untuk orang gila. Sebelum semuanya terlambat memang sudah harus diobati.""Memangnya aku sakit apa? Jangan sok Tahu!""Idih, emosian ...""Ya ialalah!""Lucu tahu, ah!"Aku tidak menanggapi lagi. Rasanya ingin sekali

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-10

Bab terbaru

  • Dear Joy   Epilog

    Tidak ada yang tahu tentang hari esok. Kenyataan bila Lara juga memiliki keluarga inti adalah hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku dan Bibi Susana akhirnya memutuskan untuk melakukannya—membawa bayi cantik itu untuk menemui sang Nenek.Hari ini akhirnya datang juga. Bagaimanapun juga, aku masih harus membawa bayi itu untuk menemui keluarganya—maksudnya keluarga dari pihak Joy. Seorang Amel dengan bayi dalam gendongannya mungkin akan mengejutkan papa dan mama Joy. Ah, semua itu tak masalah.“Amel, kamu yakin sudah mau bertemu Tante Carla sekarang?” tanya ibuku. Beliau tidak ikut. Katanya merasa tidak enak badan.“Ya kalau enggak sekarang, terus kapan? Cepat atau lambat, mereka harus tahu tentang cucunya. Kalau Mama di posisi

  • Dear Joy   86. Akhir yang Bahagia?

    “Um … kalian belum memutuskannya?” Muti semakin ingin tahu. “Sumpah, kalau bisa, Lara tinggal bersama kami saja selamanya. A ….” Aku berhenti sejenak. Ini memang sedikit aneh. Mungkin para tetangga bisa langsung pingsan jika mendengar semua cerita panjang ini. Bagaimana bisa sebuah keluarga yang selama ini tinggal di dekat mereka ternyata masih memiliki anak yang lain tetapi tidak diketahui. “Papa dan Mama mesti menjelaskan satu dan lain hal pada para tetangga. Ugh, dan … sudah pasti awalnya mereka tidak akan mempercayainya. Tetap saja, bakal ada tetangga yang … hm … langsung menuduh kalau cerita itu adalah karangan Papa dan Mama saja agar menutupi aibku.” “Hah

  • Dear Joy   85. Sepucuk Surat dari Bima

    “Amel, ayo … kita sudah sampai di bandara. Nanti kamu bisa tidur lagi sepuasnya di ruang tunggu dan di pesawat.” Suara ayah benar-benar membuatku tersadar dari alam lain.“O … a … ng … hoaaamm ….”Aku mulai melihat ke luar. Ini memanglah kawasan bandara. Padahal baru pagi tadi kami tiba dan sekarang sudah mau pulang saja. Hm … luar biasa sekali perjalanan yang singkat ini. Kalau diingat-ingat lagi. Ah, apalah itu. Intinya aku hanya ingin segera pulang ke rumah!Memang seperti itulah yang aku lakukan—tidur di ruang tunggu selama kurang lebih satu setengah jam, lalu melanjutkannya saat di dalam pesawat. Anggap saja ini adalah balas dendam tentang waktu istirahatku yang tersita.

  • Dear Joy   84. Bima adalah Adam

    Setelah mendapatkan informasi penting lain yang tak kalah membuat terkejut, kupikir akan datang berita baik. Aku salah besar. Ini jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.Dan inilah yang terjadi sebelum Bibi Susana masuk ke dalam kamarku.Ponselku terus berdering. Bukan satu atau dua, bahkan panggilan dari satu orang. Tiga orang yang kusewa sebagai ‘mata-mata’ untuk mencari keberadaan Bima menghubungiku. Jelas, ini bukanlah sebuah pertanda yang bagus. Meski begitu, aku masih berusaha untuk berpikir yang jernih dan berharap apa yang aku pikirkan tidaklah benar.Bukan hanya itu, karena sedikit terlambat, panggilan itu terhenti. Kupikir mereka akhirnya menyerah. Aku salah, sebuah panggilan masuk melalui telepon rumah. Sedikit langka memang di era sekarang masih memiliki nomor telepon rumah.

  • Dear Joy   83. Tiada

    Sampai pada akhirnya aku sudah harus kembali ke kota tempatku kuliah. Muti sama sekali tidak bisa berjanji bila ia bisa hadir saat wisudaku. Tidak apa-apa, toh pada akhirnya kami masih akan bertemu di kota yang sama. Tentu saja saat aku sudah kembali pulang.“Sampaikan salamku pada Cintia juga. Ah, rasanya aku menjadi kesal sekarang.”“Tidak masalah, Muti. Aku dan Cintia bisa memahaminya. Kamu kan harus bekerja. Kita bisa merayakannya bersama lain kali saja.” Aku berusaha menenangkan Muti yang merasa bersalah.”“Hati-hati, ya.”Aku dan Muti saling mengucapkan salam perpisahan. Ayah dan ibu tidak mengantar. Ayahku jelas sedang

  • Dear Joy   82. Tentang Adam

    Benar saja, aku dan ibuku melakukannya! Kami pergi bersama ke tukang jahit baju. Suasana di antara aku dan ibu menjadi jauh lebih baik. Ya, memang sudah seharusnya begitu. Memangnya aku mesti marah sampai berapa lama?Kami langsung pulang setelah pengukuran untuk pola selesai. Dengan penambahan 2 cm untuk jaga-jaga. Jangan sampai dalam tiga minggu ini badanku menjadi naik. Itu bukanlah hal yang tidak mungkin apalagi bila menjelang masa datang bulan. Aku akan makan jauh lebih banyak.“Tukang jahitnya, gimana? Ramah, bukan?”“Hm m. Mungkin karena Mama sudah langganan sangat lama. Belum tentu sama pelanggan baru.”“Astaga, anak ini ….”

  • Dear Joy   81. Amarah yang Mereda

    “To-tolong ... siapapun di luar sana, tolong aku ....” Suara jerit Seseorang seakan memanggilku. Aku mengenalnya. Itu adalah A40. Kenapa aku bahkan mendengar suaranya sekarang? Apa aku sedang berhalusinasi sekarang? Tidak mungkin!Satu ….Dua ….Tiga.Aku terbangun. Badanku penuh dengan keringat. Itu adalah sebuah mimpi yang terlalu menakutkan untuk diingat. Bagaimana seseorang dibunuh dengan sadis di depan mataku tidak bisa aku lupakan begitu saja. wajah A40 lalu menyadarkanku pada sesuatu. Ia kini terlihat sangat familiar. Aku sangat mengenal wajah itu sekarang. Itu ada di dalam buku harian milik Joy.

  • Dear Joy   80. Kebohongan

    Ini bukan hal yang mudah untuk membicarakan langsung tentang hak asuh Lara. Apa yang akan dipikirkan oleh Bibi Susana? Marahkah ia setelah mendengarkan kalimatku nanti atau malah menyetujuinya dengan syarat ini dan itu? Tidak ada yang tahu tentang itu dengan pasti. Yang jelas, aku berharap baik dari semua ini.“Kalau Lara ingin diadopsi oleh keluarga kami, apa Bibi tidak masalah?” Aku memberanikan diri untuk mengatakannya.Beberapa detik Bibi Susana terdiam. Wajahnya juga sempat terkejut saat mendengarnya. Lalu, ia tersenyum dan menjawab, “Kalau soal hak asuh, sebenarnya Bibi sama sekali tidak memiliki hak yang kuat di sini. Orang tua Joy-lah yang paling berkuasa dan tepat untuk memutuskannya.”

  • Dear Joy   79. Gelisah?

    Lara yang mulai rewel akhirnya pula yang membuat aku dan ibu memutuskan untuk meninggalkan café Diandara. Dalam perjalanan kami tidak saling bicara. Ibuku fokus menyetir sedangkan aku memastikan Lara aman dalam pangkuanku di dalam mobil.“Memangnya ada ya, orang tua yang tidak mengakui anaknya sendiri?” tanyaku tiba-tiba. “Si Bima itu memanglah brengsek. Bisa-bisanya ia malah menuduhku seorang penipu! Memangnya apa yang mau aku ambil darinya? Uang? Bukannya dia saja tidak punya uang? Ckckck!”“Kamu itu mengomel mulu ya kalau sudah tentang Bima,” balas ibu yang mulai kesal mendengar kata demi kata yang keluar dari mulutku.“Ckckck! Soalnya Mama belum tahu semua yang dilakukan oleh Bima pada Joy. Kalau aku ceritakan s

DMCA.com Protection Status