"Mel ... kamu sedang melihat apa?"
"Ah itu ...." Aku lalu mendekatkan diri dan berbisik, "Seorang kenalan yang cantik."
"Oh ya? mana?"
"Sana," balasaku sambil menunjuk tepat ke arah Joy.
Muti malah hendak bergerak menuju tempat itu. "Bagus kalau kenalanmu, kita bisa nyempil dan duduk di sana." Muti memang kadang bertindak spontan.
"Hei!" cegatku dengan cepat. Aku juga menarik tangannya. "Aku belum selesai bicara. Aku enggak dekat dengan dia," terangku lagi.
"Oalah. Tapi-" ucapannya terhenti. Aku menarik Muti keluar dari wilayah kantin utama.
"Makan di tempat lain saja, kantin ini terlalu penuh. Atau ... sambil menunggu, bagaimana kalau kita ke perpustakaan?"
Muti hanya mengangguk sebagai respon. Kami lalu menuju perpustakaan. Anehnya, tempat ini sangat sunyi. Perbedaan yang sangat mencolok hanya melihat jumlah pengunjungnya.
"Sepi sekali ya."
"Ya ialah, kan pengunjungnya lagi pada makan. Lihat, staff di perpustakaan juga cuma sisa satu yang jagain untuk regristrasi."
"Bagaimana kalau kita ke Chinese Corner yang ada di lantai tiga? penjaga di sana ramah," usul Muti.
"Boleh aja sih, sekalian bisa lihat-lihat buku-buku di sana. Aku pernah ke sana satu kali sama Cintia dan tempatnya memang nyaman, beda dengan corner yang lain. Paling penting juga ... luas. Hihihi, apa ada peng-anak tiri-an di sini?"
"Hm ... hanya petinggi kampus yang tahu semua ini." Meski sambil bernapas pelan, Muti berusaha menjawab pertanyaanku.
Lokasi corner ini memiliki sisi baik dan buruk. Berada di lantai tiga tentu sangat nyaman karena tidak banyak yang tahu keberadaan tempat sebagus ini. Pintunya yang selalu tertutup juga membuat orang yang dari luar sedikit ragu untuk masuk. Siapa yang menyangka bila staf yang berada di dalamnya sangat ramah dengan senyuman khasnya.
"Selamat datang, silakan isi buku tamu ya," katanya dengan sopan.
Aku dan Muti lalu mengisi buku itu dan segera mengambil tempat untuk duduk. Tempat ini bernuansa sangat oriental dengan warna merah dan juga ornamen kayu.
"Se-jam saja ya di sini. Setelah itu kita balik ke kantin." Muti seolah memperingatkanku agar tidak terlena dengan kenyamanan tempat ini.
"Iyaaaaaa nyonyaaaaaaa ...."
"Tapi ngomong-ngomong cewek yang kita lihat di kantin itu sama kan dengan yang kamu tabrak karena bengong? Masa sih kalian enggak dekat? serius?" Muti mulai penasaran.
"Kami bertetangga, hanya itu saja. Dia masuk di kampus ini tanpa tes. Sebenarnya aku tidak membencinya, hanya saja ... bila diingat kembali entah mengapa aku kesal padanya. Dia selalu mendapatkan apa yang ia mau. Ah, dia juga pintar, tentu saja. Aku ingat saat dia memamerkan hasil ujiannya padaku. Sombong sekali."
"Cup, cup, cup ... sabar ya." Muti mencoba menenangkanku sebelum kemudian berkata, "tapi kayaknya kamu yang sensi deh, memangnya kenapa kalau memperlihatkan hasil ujiannya?"
"Mut, kamu itu memihak siapa sih sebenarnya?"
"Hihihi, huhuhu, hahaha. Sensi amat sih! Ya ampun ... aku ini netral tidak memihak siapa-siapa. Tapi kalau harus memilih, ya tentu saja kamoeh! Aku juga tidak kenal Joy, ngapain amat aku memihak padanya."
Senyum perlahan mengembang dari wajahku. Ya, aku akui ini sedikit berlebihan. Meminta seseorang untuk seolah menghakimi Joy tanpa mengenalnya lebih jauh.
***
Bukan Muti namanya kalau tidak menjelajahi suatu tempat. Gadis itu sedari tadi mengintari bagian-bagian dari ruangan ini. Sangat berbeda denganku yang sudah mulai hanyut dalam sebuah buku bergambar dengan judul Cerita Rakyat Tongkok.
Awalnya aku tidak peduli dengan yang dilakukan Muti hingga pendengaranku tertarik dengan percakapan yang sepertinya sangat seru antara dia dan penjaga tempat ini. Mataku memang tertuju pada buku yang menarik di depanku, tapi telingaku seperti berdusta dengan konsentrasi pada sebuah percakapan.
Muti selesai dengan segala keingintahuannya dan akhirnya duduk di bangku depanku. Kami hanya terhalang sebuah meja yang ukurannya cukup besar.
"Tempat ini memang bagus, bayangkan saja bagaimana mereka bisa mendatangkan pengajar native."
"Oh ya? Terus terus?" Aku menutup buku yang sedang kubaca perlahan, perhatianku sekarang mengarah pada ucapan Muti.
"Ternyata di sini membuka kelas untuk belajar Bahasa Mandarin. Pantas di sisi sana ada ruangan kelas, dua lagi. Tadi aku dan kakak penjaganya melihat-lihat, ia juga menjelaskan dengan detail. Kampusku memang the best, fasilitas seperti ini belum tentu ada di kampus lain."
Aku pun terkagum mendengar penjelasan Muti. Yah, bagaimanapun juga kampus ini memang salah satu kampus impian semua calon mahasiswa. Seperti aku, Muti dan Joy yang berjuang untuk bisa diterima di sini. Kebanggaan tersendiri bukan? Aku tak tahu mengatakan ini apa akan menimbulkan pro dan kontra. Menurutku bukan nama kampus yang menentukan masa depan. Dimanapun kalian kuliah, saat kelulusan adalah perjuangan kalian yang sesungguhnya. Apa gunanya bila kalian lulusan universitas terbaik tapi tidak memiliki soft skills yang dibutuhkan dalam dunia kerja.
Muti melihat jam tangan merek Roleks kw premium dan kemudian terseyum. Bisa aku tebak dalam pikirannya sudah saatnya uintuk mengisi bahan bakar dalam tubuh kami. Cacing-cacing di perutku juga sepertinya sudah mengamuk dan meminta untuk diberi makan. Kami hanya saling berpandangan dan mulai membereskan buku yang aku pinjam tadi. Segera, aku meletakkan kembali ke rak dengan rapi. Kami lalu keluar dari ruangan itu, dan menuruni tangga hingga ke lantai satu. Sampai sudah kami di depan pintu gerbang perpustakaan pusat. Kami siap berjalan menuju kantin utama.
"Aneh banget ya, kita bahkan enggak berbicara sama sekali tapi bisa mengerti saatnya ke kantin, hahaha."
"Kita bicara lewat hati."
"Preeettt ...."
Kami lalu tertawa bersama.
***
"Nah, gini donk ... banyak tempat kosong, bisa duduk di mana saja," ujar Muti.
"Jadi mau makan apa sekarang? Ayam geprek atau gado-gado?"
"Coto aja deh coto."
"Apa yang ditanya dan dijawab beda ya, kebiasaan kamu ini!"
Muti lalu menuju salah satu penjual dan memesan coto. Aku sebagai kaum pemuja ayam tetap dengan pendirianku. Aku memesan ayam geprek dengan cabe ekstra pedas. Setelah dipesan tinggal menunggu beberapa saat hingga pesanan kami datang. Untuk minum, aku dan Muti tetap memilih minuman termurah, es teh.
Akhir-akhir ini aku mulai berpikir setelah membaca postingan di salah satu media sosial. Ternyata kandungan teh kurang begitu baik saat dikonsumsi setelah minum. Aku akan mencari tahu lagi tentang itu. Tapi ... apa setelah mengetahui fakta mengejutkan apa aku akan berhenti memunum es teh? Ckckck, aku bahkan tidak yakin.
Akhirnya setelah beberapa menit menunggu, pesanan kami tiba. Dengan doa singkat, kami lalu menikmati makan siang kami.
"Ah, mantap!" seruku setelah menelan suapan pertama dan juga meneguk minumanku. "Makan saat sedang lapar memang yang terbaik."
Kami melanjutkan makan siang kami dengan damai. Tenang rasanya bisa makan dengan kondisi kantin yang tak begitu ramai. Setelah selesai, kami tidak langsung pergi. Kami mengambil beberapa menit terlebih dahulu untuk beristirahat, ya ... sekedar menenangkan perut.
"Mel, tambah sepuluh menit lagi ya. Aku masih pewe nih, malas gerak."
"Hm. Oke! Lanjut main hape aja dulu, aku juga lagi melihat-lihat video lucu yang bertebaran," balasku dengan mata yang masih tertuju pada ponsel milikku. Muti lalu kembali konsentrasi dengan ponselnya.
"Mel, lihat ini deh," ucap Muti sambil memperlihtakan sebuah artikel."
"J-Joy?"
"Dia memang sempurna," ucap Muti tepat di telingaku. "Yah, kan sudah aku bilang kami bagai langit dan bumi." "Kapan kamu bilang seperti itu?" "Aku pernah bilang." "Mana ada ... ngigau nih." Muti menjauhkan kembali ponselnya dari hadapanku. "Cantik dan berprestasi. Siapa yang menyangka ia akan mewakili provinsi kita dalam ajang itu. Eh tunggu dulu, bagaimana dengan KKN? Atau ... apa Joy akan menundanya?" Joy tetap akan KKN, aku benar kan? Aku tahu itu. Ini kejadian yang pernah aku alami. "Woy! Tuh kan ... mulai deh bengong. Dirasuki setan baru tahu rasa!" gerutu Muti. "Mau taruhan denganku? Joy tidak akan mengikuti ajang itu. Ia akan KKn bersama kita." Dengan lantang aku memproklamirkan kalimatku. "Kalau kamu salah bagaimana, hm?" tanya Muti menantang. "Aku akan jadi pembantumu selama satu bulan setelah kita selesai KKN, bagaimana?" tawarku. "Oke, deal!" Muti mengulurkan tanganya dan disambut den
"Akhirnya tiba juga ke gedung keramat ini," ucapku sambil memandangi gedung dengan ciri khas warna merah bata itu. "Jangan senang dulu. Dilihat dulu tuh banyak yang berkeliaran. Itu artinya ada antrean lagi." "Yang itu sih aku sudah tahu. Astaga ... kenapa hari ini penuh dengan antrean?! Arrrgghh!" keluhku dengan sangat kesal. Muti memicingkan matanya dan berkata, "Bisa aku ulang sekali lagi? Seandainya ada seseorang di sini yang tidak menunda-nunda pendaftaran, kejadian seperti ini pasti tidak akan terjadi." "Uhuk! Aku jadi tersinggung." "Jelas!" Muti menunggu di luar gedung, sementara aku langsung masuk dan menyerahkan berkasku pada petugas di sana. Banyak sekali berkas yang terlihat dan juga beberapa siswi magang. Tebakanku, mereka adalah siswi SMA Elang. Seragamnyalah yang menandakan semua itu. SMA Elang adalah salah satu sekolah bergengsi di kota ini. Tidak semua orang bisa masuk di sana. Selain uang sekolahnya yang ma
Mimpi yang panjang. Aku rasa aku sedang terjebak dalam sebuah dimensi atau mimpi yang panjang atau mungkinkah aku dibawa ke masa lalu? Aku harap ada orang yang mau membangunkanku. Ataukah ... ini cara yang diberikan Yang Maha Kuasa untuk mencegah kepergian Joy? Apa aku boleh mengubah takdir. Aku berada dalam situasi yang belum aku ketahui. Semua kejadian ini telah aku lewati persis dengan yang telah terjadi. Aku senyum-senyum sendiri mengingat bila nanti Muti akan berkencan dengan anak Kepala Desa."Nah, kan mulai lagi ... kayaknya sebelum pulang aku benar-benar harus mengantarmu ke psikiater deh," ujar Muti."Aku bukan orang gila ya." Tegas, aku membalasnya."Ini nih! Salah kaprah. Psikiater itu bukan hanya untuk orang gila. Sebelum semuanya terlambat memang sudah harus diobati.""Memangnya aku sakit apa? Jangan sok Tahu!""Idih, emosian ...""Ya ialalah!""Lucu tahu, ah!"Aku tidak menanggapi lagi. Rasanya ingin sekali
Satu hal yang kadang membuat orang lain menyalahartikan yaitu marah. Saat kita marah seolah orang langsung mengahkimi kita sedang membenci. Apakah salah satu emosi itu menjadi sebuah tolak ukur kebencian? Apa manusia tidak berhak marah saat emosinya terpancing? Marah bukankah hal yang wajar? Entahlah, aku sering bertanya-tanya tentang hal-hal seperti ini.Biasanya dalam keheningan malam aku selalu merenungkan semua hal yang terjadi dalam hari-hariku. Ya ... mungkin setiap orang, aku rasa.Ada sebuah hal yang membuatku kesal. Aku sama sekali tidak suka dibanding-bandingkan dengan orang lain. Mungkin ... karena aku memang kalah telak darinya pada saat itu. Joy yang sempurna dan seorang Amel yang seperti itik buruk rupa.Aku menghadapkan wajahku di cermin. "Oke, i am not beauty queen, i am just beautiful me ... lalalalalalaa ... lah, kok malah nyanyi?"Akhirnya aku kembali mengaktifkan ponselku setelah selesai mandi dan juga emosiku sedi
Perlahan tapi pasti, aku dan Muti tiba di kampus. Setelah memarkirkan mobilnya, kami langsung menuju gedung UPT. Ah, bahkan mungkin pegawai di sini belum tiba. Bagaimana tidak, ini masih pukul tujuh lebih lima puluh menit. Aku bertanya pelan dalam benakku, "Muti yang sangat ingin meninggakan rumah terlalu cepat atau para pegawai di sini yang terlambat?""Kalau karyawan Papaku sudah aku pecat ini. Masa jam segini belum buka kantor?" ucap Muti tiba-tiba."Jangan bicara sembarang deh! Lihat!" seruku padanya sambil menunjukkan jam operasional yang tertera di sana. "Jam setengah sembilan emang baru dibuka.""Heh! Lihat sudah ada staff di dalam sana," balas Muti tidak mau kalah. Ia juga menunjuk ke arah dalam kantor UPT."Itu mereka lagi briefing, markonah! Ya jelas saja. Tanya deh sama Papa kamu bagaimana di kantor mereka. Parti ada tu apel anggur dan sejenisnya.""Bagi-bagi buah di pagi hari, begitu?""Astaga ...." Aku menarik napas pan
Joy menatapku sedikit aneh. Tatapan sendu tapi juga sedikit mengintimidasi. Gadis ini, apa yang sedang ia pikirkan? Apa pertanyaan yang akan ia keluarkan dari bibirnya nanti? Ah, aku seperti memainkan pikiranku terlalu berlebihan sekarang. "Amel ...." "Tanyakan saja, kamu ingin menanyakan apa padaku?" "Tapi aku mohon jawablah dengan jujur." Luar biasa sekali Joy mempermainkan pikiranku sekarang. Rasa penasaran semakin bergejolak. Padahal, ia bisa saja langsung mengeluarkan sebuah kalimat tanya, bukan? Apa semua ini sengaja? "Apa ... kamu membenciku?" "Ha?" "Aku tanya, apa kamu membenciku?" Aku diam. Aku harus memastikan kalimat yang baik untuk membalas pertanyaan seperti itu. Sungguh, itu adalah pertanyaan yang aku sendiri tidak yakin, apa aku membencinya atau tidak. "Mengapa kamu bertanya seperti itu?" Muti lalu menyela seperti biasanya. "Aku bertanya pada Amel." "Maksudk
Aku memandangi langkah kaki Joy yang meninggalkan kami di gedung UPT. Gadis cantik itu pergi bersama seorang temannya yang tiba-tiba datang. Kalimat terakhirnya membuatku berpikir. Apa ia bisa merasa kesepian saat semua perhatian tertuju padanya? Ah, Mungkin. Atau ... ada sebuah rahasia yang tidak bisa ia ceritakan padaku. Aku bukan orang yang dekat dengannya namun, aku juga bukan orang yang sangat membencinya. "Setelah mendengar pengakuan gadis itu aku sedikit merasa kasihan," tutur Muti yang juga memandangi punggung Joy yang perlahan menjauh. "Apa ia sedang kesulitan?" "Lain kali kamu perlu bermain dengannya. Oh iya, bagaimana kalau kita ke kantin? Semua berkasmu sudah selesai, bukan? Artinya kita punya waktu dua minggu sebelum menuju lokasi penempatan KKN. Ah, sangat tidak sabar mengabdi pada masyarakat," ujar Muti sangat bersemangat. "Ya tentu saja kamu sangat bersemangat. Kamu akan menemukan cinta di lokasi KKN nanti."
Sinis, sebuah tatapan dari mata gadis di depanku. Aku memandang wajahnya sembari mencari sesuatu yang ia sembunyikan. Aku tahu orang bisa berubah dengan cepat. Namun, ini terlalu cepat. Apa yang telah aku lakukan? Apa aku pantas mendapatkan ini semua?"Ceroboh sekali," ucapnya lagi lalu beranjak pergi."Hei!" Muti langsung meneriakinya saat Joy meninggalkan kami."Sudah, Mut. Dia juga sudah pergi," kataku sambil menenangkan Muti. Muti menepis tanganku yang berusaha menahannya. Ia berjalan mengikuti langkah Joy. "Mut ....""Gadis itu harus tahu bagaimana memperlakukan orang lain. Dasar orang munafik. Memang kamu salah menumpahkan minumannya, tapi itu kan tidak sengaja.""Biarkan saja, aku juga tidak mengapa. Jangan memperkeruh suasanan deh," bujukku. Ya untung saja saat ini juga sepi mengingat masih pagi. Seandainya kantin seramai jam makan siang mungkin akan sangat beda jadinya.Muti terlihat sangat tidak senang. Ia m
Tidak ada yang tahu tentang hari esok. Kenyataan bila Lara juga memiliki keluarga inti adalah hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku dan Bibi Susana akhirnya memutuskan untuk melakukannya—membawa bayi cantik itu untuk menemui sang Nenek.Hari ini akhirnya datang juga. Bagaimanapun juga, aku masih harus membawa bayi itu untuk menemui keluarganya—maksudnya keluarga dari pihak Joy. Seorang Amel dengan bayi dalam gendongannya mungkin akan mengejutkan papa dan mama Joy. Ah, semua itu tak masalah.“Amel, kamu yakin sudah mau bertemu Tante Carla sekarang?” tanya ibuku. Beliau tidak ikut. Katanya merasa tidak enak badan.“Ya kalau enggak sekarang, terus kapan? Cepat atau lambat, mereka harus tahu tentang cucunya. Kalau Mama di posisi
“Um … kalian belum memutuskannya?” Muti semakin ingin tahu. “Sumpah, kalau bisa, Lara tinggal bersama kami saja selamanya. A ….” Aku berhenti sejenak. Ini memang sedikit aneh. Mungkin para tetangga bisa langsung pingsan jika mendengar semua cerita panjang ini. Bagaimana bisa sebuah keluarga yang selama ini tinggal di dekat mereka ternyata masih memiliki anak yang lain tetapi tidak diketahui. “Papa dan Mama mesti menjelaskan satu dan lain hal pada para tetangga. Ugh, dan … sudah pasti awalnya mereka tidak akan mempercayainya. Tetap saja, bakal ada tetangga yang … hm … langsung menuduh kalau cerita itu adalah karangan Papa dan Mama saja agar menutupi aibku.” “Hah
“Amel, ayo … kita sudah sampai di bandara. Nanti kamu bisa tidur lagi sepuasnya di ruang tunggu dan di pesawat.” Suara ayah benar-benar membuatku tersadar dari alam lain.“O … a … ng … hoaaamm ….”Aku mulai melihat ke luar. Ini memanglah kawasan bandara. Padahal baru pagi tadi kami tiba dan sekarang sudah mau pulang saja. Hm … luar biasa sekali perjalanan yang singkat ini. Kalau diingat-ingat lagi. Ah, apalah itu. Intinya aku hanya ingin segera pulang ke rumah!Memang seperti itulah yang aku lakukan—tidur di ruang tunggu selama kurang lebih satu setengah jam, lalu melanjutkannya saat di dalam pesawat. Anggap saja ini adalah balas dendam tentang waktu istirahatku yang tersita.
Setelah mendapatkan informasi penting lain yang tak kalah membuat terkejut, kupikir akan datang berita baik. Aku salah besar. Ini jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.Dan inilah yang terjadi sebelum Bibi Susana masuk ke dalam kamarku.Ponselku terus berdering. Bukan satu atau dua, bahkan panggilan dari satu orang. Tiga orang yang kusewa sebagai ‘mata-mata’ untuk mencari keberadaan Bima menghubungiku. Jelas, ini bukanlah sebuah pertanda yang bagus. Meski begitu, aku masih berusaha untuk berpikir yang jernih dan berharap apa yang aku pikirkan tidaklah benar.Bukan hanya itu, karena sedikit terlambat, panggilan itu terhenti. Kupikir mereka akhirnya menyerah. Aku salah, sebuah panggilan masuk melalui telepon rumah. Sedikit langka memang di era sekarang masih memiliki nomor telepon rumah.
Sampai pada akhirnya aku sudah harus kembali ke kota tempatku kuliah. Muti sama sekali tidak bisa berjanji bila ia bisa hadir saat wisudaku. Tidak apa-apa, toh pada akhirnya kami masih akan bertemu di kota yang sama. Tentu saja saat aku sudah kembali pulang.“Sampaikan salamku pada Cintia juga. Ah, rasanya aku menjadi kesal sekarang.”“Tidak masalah, Muti. Aku dan Cintia bisa memahaminya. Kamu kan harus bekerja. Kita bisa merayakannya bersama lain kali saja.” Aku berusaha menenangkan Muti yang merasa bersalah.”“Hati-hati, ya.”Aku dan Muti saling mengucapkan salam perpisahan. Ayah dan ibu tidak mengantar. Ayahku jelas sedang
Benar saja, aku dan ibuku melakukannya! Kami pergi bersama ke tukang jahit baju. Suasana di antara aku dan ibu menjadi jauh lebih baik. Ya, memang sudah seharusnya begitu. Memangnya aku mesti marah sampai berapa lama?Kami langsung pulang setelah pengukuran untuk pola selesai. Dengan penambahan 2 cm untuk jaga-jaga. Jangan sampai dalam tiga minggu ini badanku menjadi naik. Itu bukanlah hal yang tidak mungkin apalagi bila menjelang masa datang bulan. Aku akan makan jauh lebih banyak.“Tukang jahitnya, gimana? Ramah, bukan?”“Hm m. Mungkin karena Mama sudah langganan sangat lama. Belum tentu sama pelanggan baru.”“Astaga, anak ini ….”
“To-tolong ... siapapun di luar sana, tolong aku ....” Suara jerit Seseorang seakan memanggilku. Aku mengenalnya. Itu adalah A40. Kenapa aku bahkan mendengar suaranya sekarang? Apa aku sedang berhalusinasi sekarang? Tidak mungkin!Satu ….Dua ….Tiga.Aku terbangun. Badanku penuh dengan keringat. Itu adalah sebuah mimpi yang terlalu menakutkan untuk diingat. Bagaimana seseorang dibunuh dengan sadis di depan mataku tidak bisa aku lupakan begitu saja. wajah A40 lalu menyadarkanku pada sesuatu. Ia kini terlihat sangat familiar. Aku sangat mengenal wajah itu sekarang. Itu ada di dalam buku harian milik Joy.
Ini bukan hal yang mudah untuk membicarakan langsung tentang hak asuh Lara. Apa yang akan dipikirkan oleh Bibi Susana? Marahkah ia setelah mendengarkan kalimatku nanti atau malah menyetujuinya dengan syarat ini dan itu? Tidak ada yang tahu tentang itu dengan pasti. Yang jelas, aku berharap baik dari semua ini.“Kalau Lara ingin diadopsi oleh keluarga kami, apa Bibi tidak masalah?” Aku memberanikan diri untuk mengatakannya.Beberapa detik Bibi Susana terdiam. Wajahnya juga sempat terkejut saat mendengarnya. Lalu, ia tersenyum dan menjawab, “Kalau soal hak asuh, sebenarnya Bibi sama sekali tidak memiliki hak yang kuat di sini. Orang tua Joy-lah yang paling berkuasa dan tepat untuk memutuskannya.”
Lara yang mulai rewel akhirnya pula yang membuat aku dan ibu memutuskan untuk meninggalkan café Diandara. Dalam perjalanan kami tidak saling bicara. Ibuku fokus menyetir sedangkan aku memastikan Lara aman dalam pangkuanku di dalam mobil.“Memangnya ada ya, orang tua yang tidak mengakui anaknya sendiri?” tanyaku tiba-tiba. “Si Bima itu memanglah brengsek. Bisa-bisanya ia malah menuduhku seorang penipu! Memangnya apa yang mau aku ambil darinya? Uang? Bukannya dia saja tidak punya uang? Ckckck!”“Kamu itu mengomel mulu ya kalau sudah tentang Bima,” balas ibu yang mulai kesal mendengar kata demi kata yang keluar dari mulutku.“Ckckck! Soalnya Mama belum tahu semua yang dilakukan oleh Bima pada Joy. Kalau aku ceritakan s