Beranda / Lainnya / Dear Joy / 22. Joy dan Kejujurannya

Share

22. Joy dan Kejujurannya

Penulis: Xerin
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-16 20:03:17

Joy menatapku sedikit aneh. Tatapan sendu tapi juga sedikit mengintimidasi. Gadis ini, apa yang sedang ia pikirkan? Apa pertanyaan yang akan ia keluarkan dari bibirnya nanti? Ah, aku seperti memainkan pikiranku terlalu berlebihan sekarang. 

"Amel ...."

"Tanyakan saja, kamu ingin menanyakan apa padaku?"

"Tapi aku mohon jawablah dengan jujur." 

Luar biasa sekali Joy mempermainkan pikiranku sekarang. Rasa penasaran semakin bergejolak. Padahal, ia bisa saja langsung mengeluarkan sebuah kalimat tanya, bukan? Apa semua ini sengaja?

"Apa ... kamu membenciku?" 

"Ha?"

"Aku tanya, apa kamu membenciku?"

Aku diam. Aku harus memastikan kalimat yang baik untuk membalas pertanyaan seperti itu. Sungguh, itu adalah pertanyaan yang aku sendiri tidak yakin, apa aku membencinya atau tidak. 

"Mengapa kamu bertanya seperti itu?" Muti lalu menyela seperti biasanya.

"Aku bertanya pada Amel."

"Maksudk

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Dear Joy   23. Ada Apa?

    Aku memandangi langkah kaki Joy yang meninggalkan kami di gedung UPT. Gadis cantik itu pergi bersama seorang temannya yang tiba-tiba datang. Kalimat terakhirnya membuatku berpikir. Apa ia bisa merasa kesepian saat semua perhatian tertuju padanya? Ah, Mungkin. Atau ... ada sebuah rahasia yang tidak bisa ia ceritakan padaku. Aku bukan orang yang dekat dengannya namun, aku juga bukan orang yang sangat membencinya. "Setelah mendengar pengakuan gadis itu aku sedikit merasa kasihan," tutur Muti yang juga memandangi punggung Joy yang perlahan menjauh. "Apa ia sedang kesulitan?" "Lain kali kamu perlu bermain dengannya. Oh iya, bagaimana kalau kita ke kantin? Semua berkasmu sudah selesai, bukan? Artinya kita punya waktu dua minggu sebelum menuju lokasi penempatan KKN. Ah, sangat tidak sabar mengabdi pada masyarakat," ujar Muti sangat bersemangat. "Ya tentu saja kamu sangat bersemangat. Kamu akan menemukan cinta di lokasi KKN nanti."

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-17
  • Dear Joy   24. Muka Dua?

    Sinis, sebuah tatapan dari mata gadis di depanku. Aku memandang wajahnya sembari mencari sesuatu yang ia sembunyikan. Aku tahu orang bisa berubah dengan cepat. Namun, ini terlalu cepat. Apa yang telah aku lakukan? Apa aku pantas mendapatkan ini semua?"Ceroboh sekali," ucapnya lagi lalu beranjak pergi."Hei!" Muti langsung meneriakinya saat Joy meninggalkan kami."Sudah, Mut. Dia juga sudah pergi," kataku sambil menenangkan Muti. Muti menepis tanganku yang berusaha menahannya. Ia berjalan mengikuti langkah Joy. "Mut ....""Gadis itu harus tahu bagaimana memperlakukan orang lain. Dasar orang munafik. Memang kamu salah menumpahkan minumannya, tapi itu kan tidak sengaja.""Biarkan saja, aku juga tidak mengapa. Jangan memperkeruh suasanan deh," bujukku. Ya untung saja saat ini juga sepi mengingat masih pagi. Seandainya kantin seramai jam makan siang mungkin akan sangat beda jadinya.Muti terlihat sangat tidak senang. Ia m

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-23
  • Dear Joy   25. Aku Sudah Melupakannya

    Dua minggu berlalu, kini saatnya kami akan menemui teman-teman satu kabupaten untuk briefing sebelum menuju posko KKN. Entah berjodoh atau bukan, aku, Muti, Cintia bahkan Joy berada dalam lokasi yang tidak begitu jauh. Memang sih berbeda desa, namun masih dalam satu kabupaten. Semoga saja nantinya, aku tidak satu desa dengannya. Oh iya, memang aku akan tidak satu desa. Aku lupa bila secara garis besar aku berada dalam dunia yang sepertinya pernah aku lalui. Ah, aku merasa seperti seorang peramal sekarang.Joy duduk di sudut sebelah sana. Ia sudah datang terlebih dahulu dibanding mahasiswa yang lain. Tidak perlu diragukan lagi bila kehadirannya memang membuat mata para lelaki segar. Aku juga tidak heran bila beberapa anak lelaki yang berada di sana diam-diam tengah membicarakannya."Aku mau duduk di sana saja," kataku sembari melangkah mendekati Joy."Di sini saja, toh supervisor kita juga belum datang." Seperti biasa Muti tidak meng

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-25
  • Dear Joy   26. Perjalanan Panjang

    "Jadi, apa yang kalian bicarakan tadi?" tanya Muti segera saat aku masuk dalam mobilnya. Cintia juga ada di sana dan menatapku penasaran."Um ... ya bicara seadanya. Memangnya mau bicara, ngomong, talk sesuatu yang spesial?" tanyaku balik pada Muti."Males ngomong sama Amel ya gini ... pura-pura tidak mengerti apa yang aku maksud. Ya dah kalau enggak mau kasih tahu dengan jelas. Betewe kita ke toko Murah Bahagia yuk, beli beberapa makanan yang bisa dibawa besok," ajak Muti sambil melajukan mobilnya. Ia sedikit keasl mendapati jawaban yang menurutnya tidak memuaskan."Kalau aku sih ikut Muti saja, penumpang gratis." Cintia membalas sambil memainkan salah satu aplikasi dalam ponselnya sekarang."Ya dah, aku juga oke kalau begitu ... ayo belanja.""Mel ....""Ya, ya, ya ... Joy meminta maaf padaku tadi. Clear ya.""Nah, gitu kan enak ... tidak berbelit-belit kalau ditanya.""Iya Ibu Muti ...."

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-01
  • Dear Joy   27. Drama Kecil

    11 Agsutus ....Dari : Muti SastraAmel yuhu ... selamat pagi, ayo bangun! Aku yakin kamu bahkan belum siap-siap. Ingat, sebentar sore kita sudah harus berkumpul di kampus. Aku sudah tidak sabar berpetualang di lokasi tempat kita mengabdi.Begitulah isi pesan yang kirimkan Muti. Akhir-akhir ini menurutku ia semakin cerewet dan suka menyuruh ini itu. Entah apapun alasannya, bagiku terlihat berlebihan. Aku tetap berterima kasih tentang berkasku yang selesai karena campur tangannya, sih.Dengan malas aku membalas pesan dengan sebuah kata, ok.Sesuai dugaanku, tidak berselang lama Muti menelepon. Aku bahkan sudah tahu apa yang mau ia sampaikan."Apa-apaan? Hanya sebuah kata dan cuma 'ok'? Tolong ya Amel bersikap lebih peduli!" protesnya melalui telepon.Aku tertawa kecil. Ia benar-benar tidak seperti Muti yang aku kenal saat pertama kali kami bertemu. Apa Muti dan aku sudah bertukar ji

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-01
  • Dear Joy   28. Tenang Adalah Kunci

    Selesai dengan kegiatan mandiku, aku segera menganti pakaian yang juga sudah kubawa ke dalam kamar mandi. Sesudahnya, aku memakai skincare.Muti masih seperti tadi yang masih terus mengeluarkan rasa kesalnya dalam bentuk omelan."Duh, siapa sih menelepon terus? Amel ponselmu sedari tadi berdering.""Biarkan saja. Palingan orang tuaku yang mau menanyakan kabar. Nanti akan aku kabari bila keadaan sudah memungkinkan," balasku sambil mulai mengeringkan rambut. "Mut, perlu bantuan?"Muti menunjukkan mata elangnya sekarang. Sebuah tatapan penuh intimidasi."Apa aku terlihat butuh bantuan? Tentu ....""Huahaha, aku akan membantumu.""Membantuku? Ngaca dong, saat ini akulah yang sedang memabntumu, Mel.""Iya, iya ... terima kasih Muti yang cantik, baik, rajin cari uang dan juga menghabiskannya ....""Yang terakhir tolong dihapus saja."Ponselku terus berdering."Jadi penasaran kenapa berder

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-01
  • Dear Joy   29. Kejutan Lain

    Setelah suara riang itu, muncullah sosok yang sudah bisa aku tebak. Cintia muncul dengan senyum manis. Gigi ginsul miliknya juga tak kalah eksis tatkala ia melebarkan senyumnya."Lha? Perasaan tadi lagi menelpon sekarang sudah ada di sini." Langsung saja sebuah pertanyaan terlontar dari bibirku."Kan aku sambil menelepon sambil jalan. Aku mau kasih ini," balas Cintia."Wa ... tumben amat bawa makanan.""Firasatku sih si tukang tidur ini belum makan dari pagi. Aku tuh kayak orang gila dari tadi ye menelepon tapi tidak ada respons. Mau lihat berapa jumlah panggilan tak tgerjawab yang aku berikan?""Hm ... nih. Segini, kan?"Cintia menepuk dahinya. "Untung kamu jomblo ya, kalau tidak sudah dituduh macam-macam sama pacarmu itu ... bisa-bisanya enggak angkat panggilan hingga segitu banyaknya.""Iya, untungnya aku jomblo.""Ehm ... bukannya aku mau protes atau gimana nih ya ... tapi bagaimana caranya aku

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-01
  • Dear Joy   30. Let's Go!

    Singkat cerita ... aku sudah selesai dengan segala keperluan yang semestinya aku bawa. Muti juga sudah berpulang ke kediamannya, begitu pula Cintia. Kami masih memiliki kurang lebih tiga jam untuk mempersiapkan atau hanya sekedar melakukan pengecekkan terakhir. Kata orang, sesuatu yang terburu-buru itu tidak baik. Ya, aku percaya itu. Aku mulai melihat detail kecil di kamar kosan. Memeriksa dan sekali lagi semua benda-benda yang akan kutinggal selama dua bulan itu akan baik-baik saja nantinya. Kalau seperti ini, apa baiknya kalau aku mengirim barang-barangku ke rumah saja? Ah, sudah terlambat rasanya. Sayang sekali bukan, bila harus membayar uang sewa selama dua bulan full namun tidak ditempati. Aku mengecek kembali ponselku lalu menghubungi Ibuku. Rasanya sedikit aneh, hari ini Ibu bahkan tidak menghubungiku. Sekali, dua kali ... hingga panggilan ke tiga. Aku mulai gelisah. Ada apa gerangan? Tidak menyerah, aku putuskan untuk menghubungi Ayah. Sa

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-02

Bab terbaru

  • Dear Joy   Epilog

    Tidak ada yang tahu tentang hari esok. Kenyataan bila Lara juga memiliki keluarga inti adalah hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku dan Bibi Susana akhirnya memutuskan untuk melakukannya—membawa bayi cantik itu untuk menemui sang Nenek.Hari ini akhirnya datang juga. Bagaimanapun juga, aku masih harus membawa bayi itu untuk menemui keluarganya—maksudnya keluarga dari pihak Joy. Seorang Amel dengan bayi dalam gendongannya mungkin akan mengejutkan papa dan mama Joy. Ah, semua itu tak masalah.“Amel, kamu yakin sudah mau bertemu Tante Carla sekarang?” tanya ibuku. Beliau tidak ikut. Katanya merasa tidak enak badan.“Ya kalau enggak sekarang, terus kapan? Cepat atau lambat, mereka harus tahu tentang cucunya. Kalau Mama di posisi

  • Dear Joy   86. Akhir yang Bahagia?

    “Um … kalian belum memutuskannya?” Muti semakin ingin tahu. “Sumpah, kalau bisa, Lara tinggal bersama kami saja selamanya. A ….” Aku berhenti sejenak. Ini memang sedikit aneh. Mungkin para tetangga bisa langsung pingsan jika mendengar semua cerita panjang ini. Bagaimana bisa sebuah keluarga yang selama ini tinggal di dekat mereka ternyata masih memiliki anak yang lain tetapi tidak diketahui. “Papa dan Mama mesti menjelaskan satu dan lain hal pada para tetangga. Ugh, dan … sudah pasti awalnya mereka tidak akan mempercayainya. Tetap saja, bakal ada tetangga yang … hm … langsung menuduh kalau cerita itu adalah karangan Papa dan Mama saja agar menutupi aibku.” “Hah

  • Dear Joy   85. Sepucuk Surat dari Bima

    “Amel, ayo … kita sudah sampai di bandara. Nanti kamu bisa tidur lagi sepuasnya di ruang tunggu dan di pesawat.” Suara ayah benar-benar membuatku tersadar dari alam lain.“O … a … ng … hoaaamm ….”Aku mulai melihat ke luar. Ini memanglah kawasan bandara. Padahal baru pagi tadi kami tiba dan sekarang sudah mau pulang saja. Hm … luar biasa sekali perjalanan yang singkat ini. Kalau diingat-ingat lagi. Ah, apalah itu. Intinya aku hanya ingin segera pulang ke rumah!Memang seperti itulah yang aku lakukan—tidur di ruang tunggu selama kurang lebih satu setengah jam, lalu melanjutkannya saat di dalam pesawat. Anggap saja ini adalah balas dendam tentang waktu istirahatku yang tersita.

  • Dear Joy   84. Bima adalah Adam

    Setelah mendapatkan informasi penting lain yang tak kalah membuat terkejut, kupikir akan datang berita baik. Aku salah besar. Ini jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.Dan inilah yang terjadi sebelum Bibi Susana masuk ke dalam kamarku.Ponselku terus berdering. Bukan satu atau dua, bahkan panggilan dari satu orang. Tiga orang yang kusewa sebagai ‘mata-mata’ untuk mencari keberadaan Bima menghubungiku. Jelas, ini bukanlah sebuah pertanda yang bagus. Meski begitu, aku masih berusaha untuk berpikir yang jernih dan berharap apa yang aku pikirkan tidaklah benar.Bukan hanya itu, karena sedikit terlambat, panggilan itu terhenti. Kupikir mereka akhirnya menyerah. Aku salah, sebuah panggilan masuk melalui telepon rumah. Sedikit langka memang di era sekarang masih memiliki nomor telepon rumah.

  • Dear Joy   83. Tiada

    Sampai pada akhirnya aku sudah harus kembali ke kota tempatku kuliah. Muti sama sekali tidak bisa berjanji bila ia bisa hadir saat wisudaku. Tidak apa-apa, toh pada akhirnya kami masih akan bertemu di kota yang sama. Tentu saja saat aku sudah kembali pulang.“Sampaikan salamku pada Cintia juga. Ah, rasanya aku menjadi kesal sekarang.”“Tidak masalah, Muti. Aku dan Cintia bisa memahaminya. Kamu kan harus bekerja. Kita bisa merayakannya bersama lain kali saja.” Aku berusaha menenangkan Muti yang merasa bersalah.”“Hati-hati, ya.”Aku dan Muti saling mengucapkan salam perpisahan. Ayah dan ibu tidak mengantar. Ayahku jelas sedang

  • Dear Joy   82. Tentang Adam

    Benar saja, aku dan ibuku melakukannya! Kami pergi bersama ke tukang jahit baju. Suasana di antara aku dan ibu menjadi jauh lebih baik. Ya, memang sudah seharusnya begitu. Memangnya aku mesti marah sampai berapa lama?Kami langsung pulang setelah pengukuran untuk pola selesai. Dengan penambahan 2 cm untuk jaga-jaga. Jangan sampai dalam tiga minggu ini badanku menjadi naik. Itu bukanlah hal yang tidak mungkin apalagi bila menjelang masa datang bulan. Aku akan makan jauh lebih banyak.“Tukang jahitnya, gimana? Ramah, bukan?”“Hm m. Mungkin karena Mama sudah langganan sangat lama. Belum tentu sama pelanggan baru.”“Astaga, anak ini ….”

  • Dear Joy   81. Amarah yang Mereda

    “To-tolong ... siapapun di luar sana, tolong aku ....” Suara jerit Seseorang seakan memanggilku. Aku mengenalnya. Itu adalah A40. Kenapa aku bahkan mendengar suaranya sekarang? Apa aku sedang berhalusinasi sekarang? Tidak mungkin!Satu ….Dua ….Tiga.Aku terbangun. Badanku penuh dengan keringat. Itu adalah sebuah mimpi yang terlalu menakutkan untuk diingat. Bagaimana seseorang dibunuh dengan sadis di depan mataku tidak bisa aku lupakan begitu saja. wajah A40 lalu menyadarkanku pada sesuatu. Ia kini terlihat sangat familiar. Aku sangat mengenal wajah itu sekarang. Itu ada di dalam buku harian milik Joy.

  • Dear Joy   80. Kebohongan

    Ini bukan hal yang mudah untuk membicarakan langsung tentang hak asuh Lara. Apa yang akan dipikirkan oleh Bibi Susana? Marahkah ia setelah mendengarkan kalimatku nanti atau malah menyetujuinya dengan syarat ini dan itu? Tidak ada yang tahu tentang itu dengan pasti. Yang jelas, aku berharap baik dari semua ini.“Kalau Lara ingin diadopsi oleh keluarga kami, apa Bibi tidak masalah?” Aku memberanikan diri untuk mengatakannya.Beberapa detik Bibi Susana terdiam. Wajahnya juga sempat terkejut saat mendengarnya. Lalu, ia tersenyum dan menjawab, “Kalau soal hak asuh, sebenarnya Bibi sama sekali tidak memiliki hak yang kuat di sini. Orang tua Joy-lah yang paling berkuasa dan tepat untuk memutuskannya.”

  • Dear Joy   79. Gelisah?

    Lara yang mulai rewel akhirnya pula yang membuat aku dan ibu memutuskan untuk meninggalkan café Diandara. Dalam perjalanan kami tidak saling bicara. Ibuku fokus menyetir sedangkan aku memastikan Lara aman dalam pangkuanku di dalam mobil.“Memangnya ada ya, orang tua yang tidak mengakui anaknya sendiri?” tanyaku tiba-tiba. “Si Bima itu memanglah brengsek. Bisa-bisanya ia malah menuduhku seorang penipu! Memangnya apa yang mau aku ambil darinya? Uang? Bukannya dia saja tidak punya uang? Ckckck!”“Kamu itu mengomel mulu ya kalau sudah tentang Bima,” balas ibu yang mulai kesal mendengar kata demi kata yang keluar dari mulutku.“Ckckck! Soalnya Mama belum tahu semua yang dilakukan oleh Bima pada Joy. Kalau aku ceritakan s

DMCA.com Protection Status