Mimpi yang panjang. Aku rasa aku sedang terjebak dalam sebuah dimensi atau mimpi yang panjang atau mungkinkah aku dibawa ke masa lalu? Aku harap ada orang yang mau membangunkanku. Ataukah ... ini cara yang diberikan Yang Maha Kuasa untuk mencegah kepergian Joy? Apa aku boleh mengubah takdir. Aku berada dalam situasi yang belum aku ketahui. Semua kejadian ini telah aku lewati persis dengan yang telah terjadi. Aku senyum-senyum sendiri mengingat bila nanti Muti akan berkencan dengan anak Kepala Desa.
"Nah, kan mulai lagi ... kayaknya sebelum pulang aku benar-benar harus mengantarmu ke psikiater deh," ujar Muti.
"Aku bukan orang gila ya." Tegas, aku membalasnya.
"Ini nih! Salah kaprah. Psikiater itu bukan hanya untuk orang gila. Sebelum semuanya terlambat memang sudah harus diobati."
"Memangnya aku sakit apa? Jangan sok Tahu!"
"Idih, emosian ..."
"Ya ialalah!"
"Lucu tahu, ah!"
Aku tidak menanggapi lagi. Rasanya ingin sekali
Satu hal yang kadang membuat orang lain menyalahartikan yaitu marah. Saat kita marah seolah orang langsung mengahkimi kita sedang membenci. Apakah salah satu emosi itu menjadi sebuah tolak ukur kebencian? Apa manusia tidak berhak marah saat emosinya terpancing? Marah bukankah hal yang wajar? Entahlah, aku sering bertanya-tanya tentang hal-hal seperti ini.Biasanya dalam keheningan malam aku selalu merenungkan semua hal yang terjadi dalam hari-hariku. Ya ... mungkin setiap orang, aku rasa.Ada sebuah hal yang membuatku kesal. Aku sama sekali tidak suka dibanding-bandingkan dengan orang lain. Mungkin ... karena aku memang kalah telak darinya pada saat itu. Joy yang sempurna dan seorang Amel yang seperti itik buruk rupa.Aku menghadapkan wajahku di cermin. "Oke, i am not beauty queen, i am just beautiful me ... lalalalalalaa ... lah, kok malah nyanyi?"Akhirnya aku kembali mengaktifkan ponselku setelah selesai mandi dan juga emosiku sedi
Perlahan tapi pasti, aku dan Muti tiba di kampus. Setelah memarkirkan mobilnya, kami langsung menuju gedung UPT. Ah, bahkan mungkin pegawai di sini belum tiba. Bagaimana tidak, ini masih pukul tujuh lebih lima puluh menit. Aku bertanya pelan dalam benakku, "Muti yang sangat ingin meninggakan rumah terlalu cepat atau para pegawai di sini yang terlambat?""Kalau karyawan Papaku sudah aku pecat ini. Masa jam segini belum buka kantor?" ucap Muti tiba-tiba."Jangan bicara sembarang deh! Lihat!" seruku padanya sambil menunjukkan jam operasional yang tertera di sana. "Jam setengah sembilan emang baru dibuka.""Heh! Lihat sudah ada staff di dalam sana," balas Muti tidak mau kalah. Ia juga menunjuk ke arah dalam kantor UPT."Itu mereka lagi briefing, markonah! Ya jelas saja. Tanya deh sama Papa kamu bagaimana di kantor mereka. Parti ada tu apel anggur dan sejenisnya.""Bagi-bagi buah di pagi hari, begitu?""Astaga ...." Aku menarik napas pan
Joy menatapku sedikit aneh. Tatapan sendu tapi juga sedikit mengintimidasi. Gadis ini, apa yang sedang ia pikirkan? Apa pertanyaan yang akan ia keluarkan dari bibirnya nanti? Ah, aku seperti memainkan pikiranku terlalu berlebihan sekarang. "Amel ...." "Tanyakan saja, kamu ingin menanyakan apa padaku?" "Tapi aku mohon jawablah dengan jujur." Luar biasa sekali Joy mempermainkan pikiranku sekarang. Rasa penasaran semakin bergejolak. Padahal, ia bisa saja langsung mengeluarkan sebuah kalimat tanya, bukan? Apa semua ini sengaja? "Apa ... kamu membenciku?" "Ha?" "Aku tanya, apa kamu membenciku?" Aku diam. Aku harus memastikan kalimat yang baik untuk membalas pertanyaan seperti itu. Sungguh, itu adalah pertanyaan yang aku sendiri tidak yakin, apa aku membencinya atau tidak. "Mengapa kamu bertanya seperti itu?" Muti lalu menyela seperti biasanya. "Aku bertanya pada Amel." "Maksudk
Aku memandangi langkah kaki Joy yang meninggalkan kami di gedung UPT. Gadis cantik itu pergi bersama seorang temannya yang tiba-tiba datang. Kalimat terakhirnya membuatku berpikir. Apa ia bisa merasa kesepian saat semua perhatian tertuju padanya? Ah, Mungkin. Atau ... ada sebuah rahasia yang tidak bisa ia ceritakan padaku. Aku bukan orang yang dekat dengannya namun, aku juga bukan orang yang sangat membencinya. "Setelah mendengar pengakuan gadis itu aku sedikit merasa kasihan," tutur Muti yang juga memandangi punggung Joy yang perlahan menjauh. "Apa ia sedang kesulitan?" "Lain kali kamu perlu bermain dengannya. Oh iya, bagaimana kalau kita ke kantin? Semua berkasmu sudah selesai, bukan? Artinya kita punya waktu dua minggu sebelum menuju lokasi penempatan KKN. Ah, sangat tidak sabar mengabdi pada masyarakat," ujar Muti sangat bersemangat. "Ya tentu saja kamu sangat bersemangat. Kamu akan menemukan cinta di lokasi KKN nanti."
Sinis, sebuah tatapan dari mata gadis di depanku. Aku memandang wajahnya sembari mencari sesuatu yang ia sembunyikan. Aku tahu orang bisa berubah dengan cepat. Namun, ini terlalu cepat. Apa yang telah aku lakukan? Apa aku pantas mendapatkan ini semua?"Ceroboh sekali," ucapnya lagi lalu beranjak pergi."Hei!" Muti langsung meneriakinya saat Joy meninggalkan kami."Sudah, Mut. Dia juga sudah pergi," kataku sambil menenangkan Muti. Muti menepis tanganku yang berusaha menahannya. Ia berjalan mengikuti langkah Joy. "Mut ....""Gadis itu harus tahu bagaimana memperlakukan orang lain. Dasar orang munafik. Memang kamu salah menumpahkan minumannya, tapi itu kan tidak sengaja.""Biarkan saja, aku juga tidak mengapa. Jangan memperkeruh suasanan deh," bujukku. Ya untung saja saat ini juga sepi mengingat masih pagi. Seandainya kantin seramai jam makan siang mungkin akan sangat beda jadinya.Muti terlihat sangat tidak senang. Ia m
Dua minggu berlalu, kini saatnya kami akan menemui teman-teman satu kabupaten untuk briefing sebelum menuju posko KKN. Entah berjodoh atau bukan, aku, Muti, Cintia bahkan Joy berada dalam lokasi yang tidak begitu jauh. Memang sih berbeda desa, namun masih dalam satu kabupaten. Semoga saja nantinya, aku tidak satu desa dengannya. Oh iya, memang aku akan tidak satu desa. Aku lupa bila secara garis besar aku berada dalam dunia yang sepertinya pernah aku lalui. Ah, aku merasa seperti seorang peramal sekarang.Joy duduk di sudut sebelah sana. Ia sudah datang terlebih dahulu dibanding mahasiswa yang lain. Tidak perlu diragukan lagi bila kehadirannya memang membuat mata para lelaki segar. Aku juga tidak heran bila beberapa anak lelaki yang berada di sana diam-diam tengah membicarakannya."Aku mau duduk di sana saja," kataku sembari melangkah mendekati Joy."Di sini saja, toh supervisor kita juga belum datang." Seperti biasa Muti tidak meng
"Jadi, apa yang kalian bicarakan tadi?" tanya Muti segera saat aku masuk dalam mobilnya. Cintia juga ada di sana dan menatapku penasaran."Um ... ya bicara seadanya. Memangnya mau bicara, ngomong, talk sesuatu yang spesial?" tanyaku balik pada Muti."Males ngomong sama Amel ya gini ... pura-pura tidak mengerti apa yang aku maksud. Ya dah kalau enggak mau kasih tahu dengan jelas. Betewe kita ke toko Murah Bahagia yuk, beli beberapa makanan yang bisa dibawa besok," ajak Muti sambil melajukan mobilnya. Ia sedikit keasl mendapati jawaban yang menurutnya tidak memuaskan."Kalau aku sih ikut Muti saja, penumpang gratis." Cintia membalas sambil memainkan salah satu aplikasi dalam ponselnya sekarang."Ya dah, aku juga oke kalau begitu ... ayo belanja.""Mel ....""Ya, ya, ya ... Joy meminta maaf padaku tadi. Clear ya.""Nah, gitu kan enak ... tidak berbelit-belit kalau ditanya.""Iya Ibu Muti ...."
11 Agsutus ....Dari : Muti SastraAmel yuhu ... selamat pagi, ayo bangun! Aku yakin kamu bahkan belum siap-siap. Ingat, sebentar sore kita sudah harus berkumpul di kampus. Aku sudah tidak sabar berpetualang di lokasi tempat kita mengabdi.Begitulah isi pesan yang kirimkan Muti. Akhir-akhir ini menurutku ia semakin cerewet dan suka menyuruh ini itu. Entah apapun alasannya, bagiku terlihat berlebihan. Aku tetap berterima kasih tentang berkasku yang selesai karena campur tangannya, sih.Dengan malas aku membalas pesan dengan sebuah kata, ok.Sesuai dugaanku, tidak berselang lama Muti menelepon. Aku bahkan sudah tahu apa yang mau ia sampaikan."Apa-apaan? Hanya sebuah kata dan cuma 'ok'? Tolong ya Amel bersikap lebih peduli!" protesnya melalui telepon.Aku tertawa kecil. Ia benar-benar tidak seperti Muti yang aku kenal saat pertama kali kami bertemu. Apa Muti dan aku sudah bertukar ji
Tidak ada yang tahu tentang hari esok. Kenyataan bila Lara juga memiliki keluarga inti adalah hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku dan Bibi Susana akhirnya memutuskan untuk melakukannya—membawa bayi cantik itu untuk menemui sang Nenek.Hari ini akhirnya datang juga. Bagaimanapun juga, aku masih harus membawa bayi itu untuk menemui keluarganya—maksudnya keluarga dari pihak Joy. Seorang Amel dengan bayi dalam gendongannya mungkin akan mengejutkan papa dan mama Joy. Ah, semua itu tak masalah.“Amel, kamu yakin sudah mau bertemu Tante Carla sekarang?” tanya ibuku. Beliau tidak ikut. Katanya merasa tidak enak badan.“Ya kalau enggak sekarang, terus kapan? Cepat atau lambat, mereka harus tahu tentang cucunya. Kalau Mama di posisi
“Um … kalian belum memutuskannya?” Muti semakin ingin tahu. “Sumpah, kalau bisa, Lara tinggal bersama kami saja selamanya. A ….” Aku berhenti sejenak. Ini memang sedikit aneh. Mungkin para tetangga bisa langsung pingsan jika mendengar semua cerita panjang ini. Bagaimana bisa sebuah keluarga yang selama ini tinggal di dekat mereka ternyata masih memiliki anak yang lain tetapi tidak diketahui. “Papa dan Mama mesti menjelaskan satu dan lain hal pada para tetangga. Ugh, dan … sudah pasti awalnya mereka tidak akan mempercayainya. Tetap saja, bakal ada tetangga yang … hm … langsung menuduh kalau cerita itu adalah karangan Papa dan Mama saja agar menutupi aibku.” “Hah
“Amel, ayo … kita sudah sampai di bandara. Nanti kamu bisa tidur lagi sepuasnya di ruang tunggu dan di pesawat.” Suara ayah benar-benar membuatku tersadar dari alam lain.“O … a … ng … hoaaamm ….”Aku mulai melihat ke luar. Ini memanglah kawasan bandara. Padahal baru pagi tadi kami tiba dan sekarang sudah mau pulang saja. Hm … luar biasa sekali perjalanan yang singkat ini. Kalau diingat-ingat lagi. Ah, apalah itu. Intinya aku hanya ingin segera pulang ke rumah!Memang seperti itulah yang aku lakukan—tidur di ruang tunggu selama kurang lebih satu setengah jam, lalu melanjutkannya saat di dalam pesawat. Anggap saja ini adalah balas dendam tentang waktu istirahatku yang tersita.
Setelah mendapatkan informasi penting lain yang tak kalah membuat terkejut, kupikir akan datang berita baik. Aku salah besar. Ini jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.Dan inilah yang terjadi sebelum Bibi Susana masuk ke dalam kamarku.Ponselku terus berdering. Bukan satu atau dua, bahkan panggilan dari satu orang. Tiga orang yang kusewa sebagai ‘mata-mata’ untuk mencari keberadaan Bima menghubungiku. Jelas, ini bukanlah sebuah pertanda yang bagus. Meski begitu, aku masih berusaha untuk berpikir yang jernih dan berharap apa yang aku pikirkan tidaklah benar.Bukan hanya itu, karena sedikit terlambat, panggilan itu terhenti. Kupikir mereka akhirnya menyerah. Aku salah, sebuah panggilan masuk melalui telepon rumah. Sedikit langka memang di era sekarang masih memiliki nomor telepon rumah.
Sampai pada akhirnya aku sudah harus kembali ke kota tempatku kuliah. Muti sama sekali tidak bisa berjanji bila ia bisa hadir saat wisudaku. Tidak apa-apa, toh pada akhirnya kami masih akan bertemu di kota yang sama. Tentu saja saat aku sudah kembali pulang.“Sampaikan salamku pada Cintia juga. Ah, rasanya aku menjadi kesal sekarang.”“Tidak masalah, Muti. Aku dan Cintia bisa memahaminya. Kamu kan harus bekerja. Kita bisa merayakannya bersama lain kali saja.” Aku berusaha menenangkan Muti yang merasa bersalah.”“Hati-hati, ya.”Aku dan Muti saling mengucapkan salam perpisahan. Ayah dan ibu tidak mengantar. Ayahku jelas sedang
Benar saja, aku dan ibuku melakukannya! Kami pergi bersama ke tukang jahit baju. Suasana di antara aku dan ibu menjadi jauh lebih baik. Ya, memang sudah seharusnya begitu. Memangnya aku mesti marah sampai berapa lama?Kami langsung pulang setelah pengukuran untuk pola selesai. Dengan penambahan 2 cm untuk jaga-jaga. Jangan sampai dalam tiga minggu ini badanku menjadi naik. Itu bukanlah hal yang tidak mungkin apalagi bila menjelang masa datang bulan. Aku akan makan jauh lebih banyak.“Tukang jahitnya, gimana? Ramah, bukan?”“Hm m. Mungkin karena Mama sudah langganan sangat lama. Belum tentu sama pelanggan baru.”“Astaga, anak ini ….”
“To-tolong ... siapapun di luar sana, tolong aku ....” Suara jerit Seseorang seakan memanggilku. Aku mengenalnya. Itu adalah A40. Kenapa aku bahkan mendengar suaranya sekarang? Apa aku sedang berhalusinasi sekarang? Tidak mungkin!Satu ….Dua ….Tiga.Aku terbangun. Badanku penuh dengan keringat. Itu adalah sebuah mimpi yang terlalu menakutkan untuk diingat. Bagaimana seseorang dibunuh dengan sadis di depan mataku tidak bisa aku lupakan begitu saja. wajah A40 lalu menyadarkanku pada sesuatu. Ia kini terlihat sangat familiar. Aku sangat mengenal wajah itu sekarang. Itu ada di dalam buku harian milik Joy.
Ini bukan hal yang mudah untuk membicarakan langsung tentang hak asuh Lara. Apa yang akan dipikirkan oleh Bibi Susana? Marahkah ia setelah mendengarkan kalimatku nanti atau malah menyetujuinya dengan syarat ini dan itu? Tidak ada yang tahu tentang itu dengan pasti. Yang jelas, aku berharap baik dari semua ini.“Kalau Lara ingin diadopsi oleh keluarga kami, apa Bibi tidak masalah?” Aku memberanikan diri untuk mengatakannya.Beberapa detik Bibi Susana terdiam. Wajahnya juga sempat terkejut saat mendengarnya. Lalu, ia tersenyum dan menjawab, “Kalau soal hak asuh, sebenarnya Bibi sama sekali tidak memiliki hak yang kuat di sini. Orang tua Joy-lah yang paling berkuasa dan tepat untuk memutuskannya.”
Lara yang mulai rewel akhirnya pula yang membuat aku dan ibu memutuskan untuk meninggalkan café Diandara. Dalam perjalanan kami tidak saling bicara. Ibuku fokus menyetir sedangkan aku memastikan Lara aman dalam pangkuanku di dalam mobil.“Memangnya ada ya, orang tua yang tidak mengakui anaknya sendiri?” tanyaku tiba-tiba. “Si Bima itu memanglah brengsek. Bisa-bisanya ia malah menuduhku seorang penipu! Memangnya apa yang mau aku ambil darinya? Uang? Bukannya dia saja tidak punya uang? Ckckck!”“Kamu itu mengomel mulu ya kalau sudah tentang Bima,” balas ibu yang mulai kesal mendengar kata demi kata yang keluar dari mulutku.“Ckckck! Soalnya Mama belum tahu semua yang dilakukan oleh Bima pada Joy. Kalau aku ceritakan s