"Amel ..."
Aku berusaha tidur sekarang. Saat kakiku melangkah ke tempat tidur penjaga pasien, aku seolah tak bisa bergerak.
Oh Shit! Ada apa ini?
"Amel ..."
Lagi dan lagi, aku mendengar suara kecil memanggil namaku. Suara itu tak asing di telingaku. Suara yang pernah aku dengar sebelumnya. Aku masih terus berusaha sampai akhirnya aku pasrah. Beberapa detik kemudian aku merasa embusan angin yang sangat dingin. Tubuhku merinding. Pupil mataku membesar, aku terkejut dan juga sedikit takut. Sosok Joy muncul di hadapanku dengan senyumnya.
"J-Joy," ucapku sedikit terbata.
Joy mengangguk tanda menjawab. Aku masih tidak bisa bergerak. Kulihat Joy perlahan mendekatiku. Jantungku berdegup kencang. Mau bagaimana lagi? Sosok Joy yang dihadapanku bukanlah lagi makhluk yang sama denganku. Lidahku berat untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Jangan tanyakan bagaimana kondisiku. Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya namun tak bisa. Jari jemari Joy perlahan menyentuhku, ia menyentuh rambutku dengan pelan lalu mulai berbisik.
"Terima kasih."
Setelah itu sosok Joy hilang dari pandanganku. Bersamaan dengan perginya sosok Joy, tubuhku kembali bergerak dengan leluasa.
"Nak Amel, Nak Amel."
"Hah?"
"Nak Amel baik-baik saja?" Sebuah pertanyaan keluar dari mulut wanita itu. Aku masih belum menoleh ke kanan ataupun ke kiri untuk memastika suara milik siapa itu.
"Ha?" Sekali lagi aku mengeluarkan pertanyaan yang sama.
"Apa Nak Amel bermimpi buruk?" tanyanya lagi.
"Mimpi? Apa itu mimpi?" tanyaku dalam hati.
"Nak Amel ...."
"Bibi, maafkan aku. Apa aku baru bangun tadi?" tanyaku disertai rasa lega. Suara itu milik Bibinya Joy dan bukanlah- kalian tahu siapa yang aku maksud.
"Bibi lihat kamu berkeringat saat tidur dan terbangun dengan wajah pucat."
Aku segera menarik napas panjang. Lega, itu satu kata yang pantas aku keluarkan. Setidaknya pertemuanku dengan 'arwah' Joy hanya mimpi.
"Aku baik-baik saja, Bi. Maafkan aku. Aku pasti mengganggu tidur Bibi."
"Bibi sudah bangun dari tadi. Lagian, ini sudah pagi. Lihat, matahari sudah menyapa kita dengan indahnya." Bibi membalas perkataanku sambil menatap matahari lewat jendela. "Nak Amel boleh pulang, Bibi akan mengurus di sini."
"Ha? Tidak, tidak," cegatku. "Bibi masih sakit, ijinkan aku membantu, Bi."
"Kalau Nak Amel mau membantu, pulanglah sebentar. Nak Amel bisa kembali lagi nanti. Hari ini akan diadakan upacara pemakaman. Apa Nak Amel berencana datang dengan penampilan seperti ini?" Bibi memandangiku dari atas hingga bawah. Aku sedikit tersinggung. Ya, aku pasti terlihat seperti gembel saat ini.
"Hm m, baiklah." Aku langsung mengirimkan pesan untuk Muti dan memintanya menjemputku di rumah sakit.
Penerima : Muti Sastra
Muti yang baik hati dan tidak sombong, selamat pagi. Bisakah aku meminta bantuan padamu sepagi ini?
Pesan telah terkirim, aku hanya perlu menunggu Muti membaca dan membalasnya. Aku harap 'putri tidur' itu sudah bangun.
***
Seorang perawat masuk ke dalam ruang inap Bibi untuk melakukan beberapa pengecekkan tanda vital seperti tekanan darah dan sekaligus mengganti perban luka dengan yang baru.
"Bagaimana keadaan Ibu, apa merasa baikan?" tanyanya dengan ramah.
"Iya, Sus."
Setelah selesai melakukan tugasnya, perawat itu kembali ke ruangannya.
Ting! Notifikasi pesan di ponselku berbunyi.
Ah, itu pasti balasan Muti.
Pengirim : Muti Sastra
Selamat pagi wahai temanku yang baik hati. Tentu aku bisa (syarat dan ketentuan berlaku)
Aku terkekeh membaca balasan temanku itu. Tidak menunggu lama, aku langsung saja meneleponnya dan mengatakan maksud tujuanku. Muti terdengar sedikit kesal. Sepagi ini ia harus menjemputku. Aku tahu betul tentang Muti. Dia bukan orang yang suka keluar rumah dengan terpaksa.
"Ayolah ... sekali ini saja," pintaku dengan sedikit nada manja.
"Hm mmmmm ...." Muti membalasnya dengan malas. Bisa aku bayangkan wajahnya sangat kesal. Suaranya yang masih terdengar sedikit berat dari biasanya sangat menggambarkan keadaannya- ia baru saja bangkit dari mimpi indahnya.
"Baiklah, aku tunggu setengah jam lagi," kataku terburu-buru lalu mematikan panggilan secara sepihak.
Aku lalu membantu Bibi untuk menyendok sarapannya. Awalnya, Bibi menolak. Setelah ia mencobanya sendiri, tangannya bergetar dan juga tangan satunya lagi ada selang infus yang sedikit mengganggu. Tawaranku diterima dan tentu saja aku menyuapi Bibi dengan senang.
"Kalau aku pergi tadi, memangnya siapa yang membantu Bibi makan, hayoooo ...." godaku.
"Bibi terlihat sangat tidak berdaya sekarang, sekali lagi terima kasih Nak Amel. Semoga Tuhan memberkatimu."
"Amin."
Aku lalu menyuapi Bibi perlahan. Senang rasanya menjadi orang yang berguna. Ini memang hal kecil. Tapi bukankah dari hal yang dianggap sepele ini bisa bermakna bagi orang lain, bukan? Selesai sarapan, Bibi lalu meminum obatnya. Setelah semua selesai, aku bisa duduk dengan tenang.
"Harusnya Nak Amel juga sarapan."
"Aku akan sarapan di rumah Muti."
Teng tereng teng teng
"Halo Mut, udah di mana?" tanyaku dengan segera. Aku yakin gadis itu sudah tiba.
"Eh ini serius aku datang ke rumah sakit enggak mandi dulu. Kamu tuh ya, lain kali permintaannya jangan pagi-pagi donk," protesnya. "Aku tunggu di parkiran UGD ya. Cepat ke sini!" tambahnya lagi.
Aku segera menutup telepon begitu setelah mengiyakannya, lalu berpamitan dengan Bibi. Lalu, aku segera melangkahkan kakiku menuju parkiran. Sifat Muti yang tidak sabaran mengganggu pikiranku, aku harus berjalan cepat.
Tit tit! Suara klakson seakan memberitahuku keberadaan mobil milik gadis itu.
"Lama ya nunggunya?" tanyaku sekedar basa-basi saat membuka pintu mobilnya.
"Enggak sih, baru tiga jam," balasnya dengan candaan.
"Hahaha!" Aku tertawa lepas begitu melihat keadaan Muti.
"Berhenti melihatku seperti itu. Iya, iya aku tahu, aku belum mandi. Puas?"
Muti mulai menginjak pedal gas dan melajukan mobil meninggalkan rumah sakit.
"Jadi, bagaimana sekarang?"
"Apanya yang bagaimana?"
"Penguburan Joy."
"Bibi akan mengurusnya selama aku pulang sebentar."
"Syukurlah. Joy ... sampai sekarang aku masih tidak habis pikir. Bisa-bisanya ia menyukai Bima. Apa yang ia lihat dari lelaki itu?"
"Bima tampan. Ayo akui saja."
"He? Apa ini? Apa kau sedang membicarakan lelaki itu? Apanya yang tampan?"
"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Mari kita coba melihat dari sudu pandang Joy. Mungkin ada hal lain yang dilihat olehnya."
"Persetan dengan itu. Satu hal yang aku tahu, lelaki itu adalah orang paling jahat yang memanfaatkan kepolosan Joy. Aku tidak mengenal Joy sedalam dirimu karena aku bukan temannya. Tapi ... entah mengapa aku merasa gadis itu sangat mudah ditipu."
"Joy itu ..." Aku menggantungkan kalimatku.
"Bagaimana sifatya? Apa kalian sangat dekat?"
aku menggelengkan kepala.
"Lalu?"
"Aku hanya tahu dia anak manis dan kesayangan semua guru. Dulu saat SD seingatku ia selalu menjadi peringkat pertama. Joy yang manis dan pintar selalu membuatku menjadi bahan perbandingan. Tidak bisa kupungkiri kenyataan pahit itu. Itu dulu ...."
"Hahaha, aku tahu, kebiasaan orang tua. Aneh ya, seolah anaknya tidak bisa lebih baik di mata mereka. Lanjutkan ceritamu. Lama kelamaan aku semakin penasaran dengan sosok Joy." Muti tiba-tiba mengijak rem mendadak.
"Aish! Muti, apa kau berencana pulang dalam keadaan tak bernyawa?!"
"Maaf ... aku ra-sa tadi aku me-melihat sesuatu."
"Apa kita berdosa karena membicarakan orang yang sudah meninggal?" tanyaku pada Muti dengan suara pelan.
"Hey! berhenti membuatku semakin takut."
Apa itu kamu Joy? Apa kamu tersinggung dengan perkataan kami? Maaf ....
Muti tiba-tiba tertawa dengan sekeras-kerasnya."Heh!""Hahaha! Amel, kamu harus lihat wajahmu itu. Kamu sangat ketakutan saat aku mengatakan aku melihat Joy.""Muti!" Aku meneriakinya dan juga mencubit tumpukan lemak di area perutnya."Akh!""Rasakan!"Muti masih terus tertawa."Mut, ini sama sekali enggak lucu." Aku lalu diam setelahnya. Kesal, marah dan juga tidak habis pikir dengan kelakuan gadis di sampingku ini.Muti memutar musik agar menghilangkan keheningan di antara kami. Aku bisa merasakan, ia sedang berusaha membuka percakapan agar tidak terasa aneh. Ia sadar bila hal yang dilakukannya tadi memang sepertinya sedikit berlebihan."Lain kali jangan seperti itu ya. Bagaimana kalau Joy memang tiba-tiba muncul di hadapan kita?""Iya, iya aku tahu. Tapi ... Mel, aku ingin mengatakan ini dengan serius. Semalam, aku melihat sesosok yang mirip dengan temanmu, Joy.""Ha? Seriusan?"Mob
Aku bangun dengan terkejut. Setelah sarapan, aku sepertinya tidur dengan pulas di rumah Muti. Ah, ini sangat keterlaluan. Aku langsung teringat dengan BiBi yang sedang berada di rumah sakit. Apa semuanya sedang baik-baik saja?Muti memandangiku yang sama terkejut."Tenanglah, semua sudah diurus. Kalau nyawamu sudah terkumpul, kita bisa segera ke lokasi pemakaman."Pemakaman ya? Artinya Jenazah Joy memang dikuburkan tanpa orang tua. Pedih rasanya mengingat kejadian itu. Di masa terakhirnya, ia seorang diri tanpa keluarga. Bila itu aku, aku bisa saja menjadi hantu penasaran, mungkin."Apa tadi katamu?""Semua sudah di urus. Kamu tidur terlalu lama.""Kenapa tidak memabngunkanku tadi, Mut?" tanyaku. Aku masih duduk sambil 'mengumpulkan nyawa' dari alam mimpi."Tidurmu begitu pulas, mana tega aku bangunkan. Semalam pasti kamu tidak tidur." Muti menjelaskan. "Tadi aku ke rumah sakit, buat jaga-jaga saja siapa tahu ada hal pen
Aku mengajak Muti duduk di depan ruang perawatan bayi. Aku ingin menceritakan bagaimana Joy yang aku kenal padanya dan juga bayi mungil itu. Aneh, bahkan mungkin sang bayi tidak mendengarkannya karena terhalang kaca tebal."Sebentar, aku butuh minum dan beberapa makanan ringan. Aku rasa cerita ini akan sangat panjang." Muti lalu meninggalkanku dan menuju suatu tempat. Sepertinya aku tahu, ia akan ke Indoapril atau toko sejenisnya.Sementara menunggu Muti kembali aku melihat bayi mungil joy dari balik kaca. Perawat di sana juga melihatku dan membalas respons atas kehadiranku dengan senyuman."Halo bayi kecil, apa kabarmu hari ini? Ini hari yang berat ya, Mamamu sudah benar-benar tenang di sana sekarang. Ah, aku masih tidak tahu harus memanggilmu atau memberimu nama apa. Apa aku punya hak untuk memberikannya?" Aku melontarkan pertanyaan pada bayi mungil itu. Seperti orang bodoh yang berharap bayi mungil itu bisa memberi respons.Ting!Sebuah pesan ma
"Mut ...." Aku mencoba memanggilnya lagi. Kali ini dengan suara yang sedikit pelan."Aku mau boker," jawabnya tanpa merasa berdosa."Astaga, aku kira ada apa. Sana pergi! Jangan lupa nanti ceboknya yang bersih!" seruku. Muti melihatku dengan tatapan tajam. Suaraku yang besar membuat beberapa orang yang berada di sekitar kami meloleh padanya. Oke, sepertinya aku sedikit keterlaluan.Aku hanya bisa cengengesan setelah Muti berjalan menuju toilet dengan terburu-buru. Sakit perut dan juga sedikit rasa malu yang ditahannya setelah mendapat tatapan dari beberapa orang.***Seperti kisah yang sangat lama selesai, aku memikirkan lagi kalimat selanjutnya yang akan aku katakan tentang Joy. Setiap orang punya dua sisi, baik dan buruk. Aku, kamu, dia, mereka. Semua memiliki itu. Kita tentu tidak bisa menilai kepribadian seseorang hanya dari mendengar ceritanya saja, bukan? Ini adalah alasan mengapa aku harus menceritakan kisah Joy. Mungkin sebagian orang hanya
"Wait ... jadi saat KKN juga kamu belum pernah bertemu dengan 'gadis' yang dimaksud Budi?""Ya tentu saja. Tapi sejujurnya aku sempat sangat penasaran. Siapa dan seperti apa rupa gadis itu. Apa seperti Irene? Tsuyu?""Ngaoco! Perbandingannya sadis sekali," balasku dengan tawa kecil. "Jadi, bagaimana selanjutnya?""Memangnya apa selanjutnya? Tidak ada. Kisah itu lenyap bersamaan dengan selesainya KKN. Saat kembali, kami juga tidak pernah membahasnya lagi. Tidak kusangka gadis itu adalah Joy, kenalanmu. Apa dunia ini begitu sempit?""Lalu bagaimana dengan para mahasiswa dari kampus lain yang kamu temui? Apa ada yang menarik hati? Kita KKN-nya bersamaan loh dengan kampus lain.""Ha? Maksudnya?" Aku langsung tertawa sebesar-besarnya. Aku rasa aku mengingat sesuatu. Muti juga terjebak cinta lokasi saat KKN hanya saja berbeda dengan Joy. Bila Joy jatuh cinta pada sesama mhasiswa, beda ceritanya dengan Muti. Tidak tanggung-tanggung, gadis
Ada banyak hal yang terjadi di dunia ini. Ada yang masih dalam genggaman, kehendak atau keinginan kita. Namun, ada juga yang diluar kemampuan kita untuk mengatasinya. Aku percaya untuk segala sesuatu ada masanya. Ada saat untuk menangis, tertawa, datang, pergi, lahir dan akhirnya kembali kepada sang pemilik kehidupan. Aku harap selama aku masih diberi kesempatan berada di dunia ini, aku bisa berguna sebanyak-banyaknya."Tadi kamu bilang apa? Sorry aku tidak fokus," ucap Muti yang menanyakan ulang kalimat terakhirku sebelumnya."Perasaanku tidak enak ....""Oh, belum boker kayaknya itu.""Enak saja!""Jangan pake perasaan-perasaan deh, kayak bukan Amel saja. Setahu aku nih ya-"Ucapan Muti terhenti. Ia juga sama seperti aku yang melihat seorang perawat berlari ke arah kamar tempat Bibi Susana dirawat. Kami berdiri dari tempat duduk dan mengarahkan pandangan kami ke dalam. Perasaanku semakin tidak enak, ada apa semua ini?Beberapa saat
"Ayo jawab, Mel! Mau bagaimana? Kamu itu ya, kadang-kadang bikin Mama sama Papa kesel." Ibuku terus mengeluarkan kalimatnya. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Semua ini memang kesalahanku. Tapi walau bagaimanapun, bukankah yang aku lakukan ini baik?Aku mengumpulkan keberanianku untuk menjawabnya. Tentu saja setelah memilih rangkaian kata yang tepat."Ma, Amel tahu Amel salah tidak memberitahukan semuanya pada Mama. Amel sama sekali tidak bermaksud menyembunyikan semua ini. Bukankah Amel juga telah memeberitahukan tentang keadaan Joy tempo lalu?" Aku menggigit bibirku, info yang aku beri memang tidak lengkap kala itu."Bagaimana Mama bisa tahu kalau hanya setengah-setengah? Kamu hanya menelepon untuk mencari keberadaan Tante Carla. Lalu bagaimana Mama bisa menebak kalau yang kamu maksudkan ada hubungannya dengan Joy. Untung ada Muti dan Cintia yang mau menceritakan semuanya. Sudah, kamu diam aja. Mami kesal banget sama kamu. Sok jadi pahlawan gini. Ini persis sifa
"Enggak!" tangkis Cintia. "Yang benar saja, kita usah di sini loh, sudah di depan mata. Masa mau langsung pergi begitu aja. Ayo masuk," imbuhnya lagi sambil membuka pintu mobil dan berjalan menuju restoran itu. Aku dan Muti hanya berpandangan kemudian menyusulnya."Dia pasti sangat lapar. Dia kan tidak bisa jinak kalau lagi lapar.""Setuju," aku menimpali. "Kalau dipikir sih harusnya kita sih yang lebih lapar. Bayangkan dari malam kita mengurus ini.""Emangnya kita mengurus apa?""Mut ....""Iya, iya bercanda."Kami lalu masuk dalam restoran itu dan mulai memesan. Mata Cintia menjelajah setiap sudut untuk memastikan ada tempat bagi kami. Cintia terlihat seperti mata-mata yang mengawasi setiap tempat para pengunjung. Ia melihat sebuah meja, sebuah 'target' katanya."Di sana sepertinya sudah mau selesai, aku akan duduk di sana untuk menjaga tempat itu," bisiknya padaku."Good job! sana, sana," balasku menyetujui. Cintia
Tidak ada yang tahu tentang hari esok. Kenyataan bila Lara juga memiliki keluarga inti adalah hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku dan Bibi Susana akhirnya memutuskan untuk melakukannya—membawa bayi cantik itu untuk menemui sang Nenek.Hari ini akhirnya datang juga. Bagaimanapun juga, aku masih harus membawa bayi itu untuk menemui keluarganya—maksudnya keluarga dari pihak Joy. Seorang Amel dengan bayi dalam gendongannya mungkin akan mengejutkan papa dan mama Joy. Ah, semua itu tak masalah.“Amel, kamu yakin sudah mau bertemu Tante Carla sekarang?” tanya ibuku. Beliau tidak ikut. Katanya merasa tidak enak badan.“Ya kalau enggak sekarang, terus kapan? Cepat atau lambat, mereka harus tahu tentang cucunya. Kalau Mama di posisi
“Um … kalian belum memutuskannya?” Muti semakin ingin tahu. “Sumpah, kalau bisa, Lara tinggal bersama kami saja selamanya. A ….” Aku berhenti sejenak. Ini memang sedikit aneh. Mungkin para tetangga bisa langsung pingsan jika mendengar semua cerita panjang ini. Bagaimana bisa sebuah keluarga yang selama ini tinggal di dekat mereka ternyata masih memiliki anak yang lain tetapi tidak diketahui. “Papa dan Mama mesti menjelaskan satu dan lain hal pada para tetangga. Ugh, dan … sudah pasti awalnya mereka tidak akan mempercayainya. Tetap saja, bakal ada tetangga yang … hm … langsung menuduh kalau cerita itu adalah karangan Papa dan Mama saja agar menutupi aibku.” “Hah
“Amel, ayo … kita sudah sampai di bandara. Nanti kamu bisa tidur lagi sepuasnya di ruang tunggu dan di pesawat.” Suara ayah benar-benar membuatku tersadar dari alam lain.“O … a … ng … hoaaamm ….”Aku mulai melihat ke luar. Ini memanglah kawasan bandara. Padahal baru pagi tadi kami tiba dan sekarang sudah mau pulang saja. Hm … luar biasa sekali perjalanan yang singkat ini. Kalau diingat-ingat lagi. Ah, apalah itu. Intinya aku hanya ingin segera pulang ke rumah!Memang seperti itulah yang aku lakukan—tidur di ruang tunggu selama kurang lebih satu setengah jam, lalu melanjutkannya saat di dalam pesawat. Anggap saja ini adalah balas dendam tentang waktu istirahatku yang tersita.
Setelah mendapatkan informasi penting lain yang tak kalah membuat terkejut, kupikir akan datang berita baik. Aku salah besar. Ini jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.Dan inilah yang terjadi sebelum Bibi Susana masuk ke dalam kamarku.Ponselku terus berdering. Bukan satu atau dua, bahkan panggilan dari satu orang. Tiga orang yang kusewa sebagai ‘mata-mata’ untuk mencari keberadaan Bima menghubungiku. Jelas, ini bukanlah sebuah pertanda yang bagus. Meski begitu, aku masih berusaha untuk berpikir yang jernih dan berharap apa yang aku pikirkan tidaklah benar.Bukan hanya itu, karena sedikit terlambat, panggilan itu terhenti. Kupikir mereka akhirnya menyerah. Aku salah, sebuah panggilan masuk melalui telepon rumah. Sedikit langka memang di era sekarang masih memiliki nomor telepon rumah.
Sampai pada akhirnya aku sudah harus kembali ke kota tempatku kuliah. Muti sama sekali tidak bisa berjanji bila ia bisa hadir saat wisudaku. Tidak apa-apa, toh pada akhirnya kami masih akan bertemu di kota yang sama. Tentu saja saat aku sudah kembali pulang.“Sampaikan salamku pada Cintia juga. Ah, rasanya aku menjadi kesal sekarang.”“Tidak masalah, Muti. Aku dan Cintia bisa memahaminya. Kamu kan harus bekerja. Kita bisa merayakannya bersama lain kali saja.” Aku berusaha menenangkan Muti yang merasa bersalah.”“Hati-hati, ya.”Aku dan Muti saling mengucapkan salam perpisahan. Ayah dan ibu tidak mengantar. Ayahku jelas sedang
Benar saja, aku dan ibuku melakukannya! Kami pergi bersama ke tukang jahit baju. Suasana di antara aku dan ibu menjadi jauh lebih baik. Ya, memang sudah seharusnya begitu. Memangnya aku mesti marah sampai berapa lama?Kami langsung pulang setelah pengukuran untuk pola selesai. Dengan penambahan 2 cm untuk jaga-jaga. Jangan sampai dalam tiga minggu ini badanku menjadi naik. Itu bukanlah hal yang tidak mungkin apalagi bila menjelang masa datang bulan. Aku akan makan jauh lebih banyak.“Tukang jahitnya, gimana? Ramah, bukan?”“Hm m. Mungkin karena Mama sudah langganan sangat lama. Belum tentu sama pelanggan baru.”“Astaga, anak ini ….”
“To-tolong ... siapapun di luar sana, tolong aku ....” Suara jerit Seseorang seakan memanggilku. Aku mengenalnya. Itu adalah A40. Kenapa aku bahkan mendengar suaranya sekarang? Apa aku sedang berhalusinasi sekarang? Tidak mungkin!Satu ….Dua ….Tiga.Aku terbangun. Badanku penuh dengan keringat. Itu adalah sebuah mimpi yang terlalu menakutkan untuk diingat. Bagaimana seseorang dibunuh dengan sadis di depan mataku tidak bisa aku lupakan begitu saja. wajah A40 lalu menyadarkanku pada sesuatu. Ia kini terlihat sangat familiar. Aku sangat mengenal wajah itu sekarang. Itu ada di dalam buku harian milik Joy.
Ini bukan hal yang mudah untuk membicarakan langsung tentang hak asuh Lara. Apa yang akan dipikirkan oleh Bibi Susana? Marahkah ia setelah mendengarkan kalimatku nanti atau malah menyetujuinya dengan syarat ini dan itu? Tidak ada yang tahu tentang itu dengan pasti. Yang jelas, aku berharap baik dari semua ini.“Kalau Lara ingin diadopsi oleh keluarga kami, apa Bibi tidak masalah?” Aku memberanikan diri untuk mengatakannya.Beberapa detik Bibi Susana terdiam. Wajahnya juga sempat terkejut saat mendengarnya. Lalu, ia tersenyum dan menjawab, “Kalau soal hak asuh, sebenarnya Bibi sama sekali tidak memiliki hak yang kuat di sini. Orang tua Joy-lah yang paling berkuasa dan tepat untuk memutuskannya.”
Lara yang mulai rewel akhirnya pula yang membuat aku dan ibu memutuskan untuk meninggalkan café Diandara. Dalam perjalanan kami tidak saling bicara. Ibuku fokus menyetir sedangkan aku memastikan Lara aman dalam pangkuanku di dalam mobil.“Memangnya ada ya, orang tua yang tidak mengakui anaknya sendiri?” tanyaku tiba-tiba. “Si Bima itu memanglah brengsek. Bisa-bisanya ia malah menuduhku seorang penipu! Memangnya apa yang mau aku ambil darinya? Uang? Bukannya dia saja tidak punya uang? Ckckck!”“Kamu itu mengomel mulu ya kalau sudah tentang Bima,” balas ibu yang mulai kesal mendengar kata demi kata yang keluar dari mulutku.“Ckckck! Soalnya Mama belum tahu semua yang dilakukan oleh Bima pada Joy. Kalau aku ceritakan s