Selesai membaca pesan itu, aku langsung menyimpan ponselku dalam tas. Aku tidak menjawab pertanyaan dari bibi dan langsung mengambil posisi duduk di dalam ruangan. Bibi itu hanya menatapku dan memilih tidak bertanya lagi. Ia juga mengambil posisi nyaman di tempat tidur dan mulai merebahkan tubuhnya. Jujur aku merasa sedikit tidak enak mengacuhkan pertanyaan Bibi.
"Nak Amel pasti lelah hari ini. Istirahatlah, kita sambung ceritanya besok saja." Bibi itu lalu menutup matanya setelah menyelesaikan kalimatnya.
Lalu, apakah aku bisa tidur? Tentu tidak. Aku memikirkan bagaimana keadaan selanjutnya. Saat ini, aku yakin ibuku sedang menanti kabar dariku. Ah, aku pikir aku akan menghubunginya bila keadaannya lebih tenang. Aku juga mengingat kembali kisah tentang Joy yang akhirnya ia bagikan padaku.
Joy, aku harap kamu tenang di sana. Kamu sudah mengalami hidup yang berat. Ini kisah Joy dan beginilah asal mula pertemuannya dengan Bima.
12 Agustus 2010
Joy, mahasiswi fakultas ekonomi Universitas XYZ sedang menjalani masa KKN di sebuah desa terpencil. Siapa yang menyangka di sana ia bertemu dengan mahasiswa dari kampus lain yang juga tengah melaksanakan salah satu tridarama perguruan tinggi. Singkat cerita, mereka saling jatuh cinta dan cinta mereka semakin bertambah bahkan hingga masa KKN berakhir.
Aku masih ingat dengan jelas, senyum di wajah Joy saat menceritakan bagian ini. Ia benar-benar sudah sangat jatuh hati yang sangat dalam pada lelaki itu. Seorang lelaki yang menurutku sama sekali tidak menarik. Bima Prasetya, kalau tidak salah nama lengkapnya seperti itu, atau ... Bima Pramudia? Aku sama sekali tidak menaruh perhatian pada nama lengkap lelaki it, whatever.
Joy dan Bima jadi sering bertemu semenjak saat itu. Suatu hari, Joy menemukan sesuatu yang sangat aneh dari diri kekasihnya. Siapa yang menyangka, sang pujaan hati sangat gemar berjudi. Aku yang mendengar ceritanya saja menjadi geram. Jauh sebelum Joy akhirnya menceritakan semua ini padaku, aku yakin sekali lelaki itu sama sekali tidak punya masa depan. Maaf, aku mudah menghakimi orang lain.
"Tidak apa-apa, suatu saat, ia pasti akan berubah menjadi orang yang lebih baik." Itu adalah kalimat yang sering aku dengar dari mulut Joy.
Manusia tidak akan berubah dengan cepat. Tabiat dan kebiasaan bukanlah hal yang mudah untuk ditinggalkan begitu saja. Seperti itu juga yang selalu aku sampaikan pada Joy. Lalu, apa ia mendengarkanku? Tidak sama sekali. Aku selalu mengatakan pada Joy kalau ia adalah seorang budak cinta. Ia hanya menatapku dan mengatakan bila itu adalah sebuah ketulusan karena ia mencintai Bima.
Sungguh, saat aku mendengar itu, rasanya aku mau muntah. Cinta benar-benar telah membutakan mata gadis cantik ini. Ah, aku jadi berpikir bila akhirnya aku menjadi bodoh karena cinta, rasanya lebih baik kalau aku tidak jatuh cinta.
Dua bulan berlalu setelahnya, aku tahu Joy mulai jarang terlihat di kampus. Kami memang tidak satu fakultas, hanya saja letak fakultasnya bertetangga denganku. Meskipun tidak setiap hari melihatnya, kami biasanya berpapasan saat menuju kantin.
Saat itu, aku mencoba bertanya pada teman sekelasnya. Benar saja, mereka menjawab pertanyaanku tepat seperti kecurigaanku. Aku lalu menemui Joy dan mengajaknya berbicara.
"Apa kamu benar-benar mengabaikan kuliahmu sekarang dan sibuk berkencan dengan anak itu?" tanyaku tanpa basa-basi.
Joy terkejut saat itu, ia menjawabnya dengan terbata-bata dan juga terlihat sedang berbohong. Joy bukan anak yang suka berbohong, aku tahu itu.
"Aku sama sekali tidak mengabaikan kuliahku. Semester ini bahkan aku sudah mengajukan seminar proposal. Bagaimana denganmu, Amel? Apa kamu masih sibuk mengurusi urusan orang lain?" tanyanya padaku. Sebuah pertanyaan yang juga menyindirku kala itu. Ternyata selain mulai pandai berbohong, Joy juga bisa membalikkan perkataan orang lain.
Aku lalu meninggalkannya dengan perasaan kesal. Aku ingat aku mengatakan hal yang tidak baik padanya dalam hatiku. Seperti 'suatu saat nanti kamu akan meminta bantuan padaku' atau 'awas saja bila nanti ada apa-apa'.
Lama tak bersua, Joy benar-benar tidak pernah muncul lagi. Aku dengar, salah seorang dosen mencarinya. Ya, tidak perlu dikatakan ke mana Joy. Sudah sangat jelas ia sedang bersama kekasihnya.
Hari itu tiba, orang tua Joy datang mengunjungi kota kami. Orang tuaku memintaku untuk menjemput mereka di bandara karena Joy sama sekali tidak bisa dihubungi. Aku sangat terkejut mendengar hal itu, terlebih lagi kedatangan orang tuanya yang sangat mendadak. Bisa aku tebak, ini adalah pertanda yang kurang baik.
Februari 2011, aku menjemput kedua orang tua Joy. Sebenarnya saat itu aku memiliki satu mata kuliah, aku mengorbankannya demi memenuhi 'titah' ibuku.
Menunggu itu memang menjengkelkan. Hampir dua jam aku berada di sana menunggu pesawat yang ditumpangi mereka landing.
"Amel!" seru seorang wanita paruh baya yang masih sangat cantik. Wajahnya mirip dengan Joy, ya karena beliau memang ibunya. "Maaf ya, tadi pesawatnya delay, tadinya Tante mau ngasih tahu kamu tapi ponsel Tante keburu mati."
Aku tersenyum miris dalam hati. "Pantas saja, aku sampai merana menunggu di sini tak kunjung tiba," kataku dalam hati juga.
"Bagaimana kabarmu, Nak? wah Amel tambah cantik. Iya, 'kan Pa?"
"Nanti saja kita bicaranya. Lihat, Amel udah capek nungguin kita dari tadi. Lagian Tante memang suka ngerepotin, Om sudah bilang untuk tidak merepotkan orang lain di sini."
"Ah tidak apa-apa, ini bukan masalah besar, Om, Tante." Aku segera memberi jawaban yang sopan walaupun dalam hatiku rasanya sedang kesal. Untuk hal ini aku tahu semua ini adalah ide gila ibuku. "Aku akan segera memesan taxi onlie."
Beberapa menit kemudian, taxi itu datang. Kami lalu masuk. Aku berharap aku akan segera terbebas dari semua ini. Satu-satunya hal yang paling aku takuti ialah pertanyaan 'itu'. Sepanjang perjalanan aku terus bertanya pada orang tua Joy tentang bagaimana perjalanan mereka untuk mengalihkan pertanyaan yang sama sekali tidak ingin aku dengar.
Hingga akhirnya tante pun bertanya tentang kabar Joy. "Jadi, apa Joy baik-baik saja? Firasat Tante kurang enak akhir-akhir ini. Makanya Tante datang. Kalian, 'kan satu kampus, pasti pernah dong ketemu tidak sengaja."
"Ah ... itu ...." Aku menggigit bibir bawahku sambil memikirkan kalinat yang tepat. "Terakhir kali aku bertemu dengannya, Joy bilang padaku kalau ia sudah mengajukan seminar proposal." Ya, aku tidak bohong. Itu adalah kalimat yang keluar dari mulut anak gadis yang sedang dimabuk asmara itu. Aku tidak tahu jawabannya itu memang benar adanya atau hanya akal-akalannya saja.
"Syukurlah kalau begitu. Lalu bagaimana dengan Amel? Apa kuliahmu lancar?"
"I-Iya, tapi aku memiliki beberapa mata kuliah yang harus aku ulang," jawabku sedikit malu. Tentu mengambil kembali kuliah yang sama bukanlah hal yang buruk, hanya saja ... terkadang terlihat buruk di mata orang lain.
"Harus tetap semangat!"
Aku terkejut mendengar kalimat itu dari wanita di sampingku.
"Apa Amel tahu Joy sedang berkencan?"
Deg! pertanyaan itu akhirnya tiba.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku menjawab yang sebenarnya? Mengapa aku terlibat dalam urusan ini sekarang? Arrgggh!!! Joy! "Nak Amel kenapa? Apa ada sesuatu?" tanya Tante Carla yang melihatku kelagapan. Aku benci situasi seperi ini, bukan aku yang salah, namun seperti aku yang menanggung semuanya. Apa aku boleh saja mengatakan kenyataannya?"A ... tidak," jawabku pelan. Aku sungguh tidak ingin Joy dalam masalah sekarang. Rasanya aku ingin sekali pergi menarik Joy untuk menjawab pertanyaan orang tuanya sendiri.Taxi bergerak dengan lambat. Bisa kutebak ada kemacetan saat melewati Jl. Boulevard. Oh sungguh, saat itu aku ingin sekali kabur dari mobil dan hilang."Amel ... Amel," panggilnya lagi dengan pelan."Maaf Tante, aku kurang tahu ... kalau boleh jujur aku tidak menanyakan hal pribadi pada Joy." Aku cuma bisa memberikan jawaban yang aman baik buatku dan juga Joy.Aku lihat ekspres
Tangan, sentuhan, panggilan ... apa ini? Suara ini ..."Amel," panggil Bibi itu dengan lembut. Sepertinya ia berusaha membangunkanku sedari tadi. Samar-samar aku bisa mendengar isak tangisnya. "Nak, Bibi keluar sebentar ...." Bibi itu lalu berjalan meninggalkanku.TUNGGU!Aku baru menyadari beberapa saat setelah nyawaku terkumpul sepenuhnya dari alam mimpi. Bibi itu saat ini sedang dalam perawatan. Aku segera berjalan menyusulnya."Bi ... Bibi mau kemana?" tanyaku sambil membantunya berjalan perlahan.Ia menatapku sendu sebelum kemudian menjawab pertanyaanku. "Bibi mimpi buruk, Bibi harus melihat suami Bibi."Aku juga bermimpi yang panjang. Entah itu hanya ingatan atau memang aku memimpikan semua kejadian tentang Joy yang telah berlalu. Kami lalu berjalan mendekati ruang ICU. Di dalam sana ada seorang pria yang dicintai Bibi ini. Aku merasa kasihan dengan semua ini. Apa ini takdir yang terlalu beruntun
"Amel ..."Aku berusaha tidur sekarang. Saat kakiku melangkah ke tempat tidur penjaga pasien, aku seolah tak bisa bergerak.Oh Shit! Ada apa ini?"Amel ..."Lagi dan lagi, aku mendengar suara kecil memanggil namaku. Suara itu tak asing di telingaku. Suara yang pernah aku dengar sebelumnya. Aku masih terus berusaha sampai akhirnya aku pasrah. Beberapa detik kemudian aku merasa embusan angin yang sangat dingin. Tubuhku merinding. Pupil mataku membesar, aku terkejut dan juga sedikit takut. Sosok Joy muncul di hadapanku dengan senyumnya."J-Joy," ucapku sedikit terbata.Joy mengangguk tanda menjawab. Aku masih tidak bisa bergerak. Kulihat Joy perlahan mendekatiku. Jantungku berdegup kencang. Mau bagaimana lagi? Sosok Joy yang dihadapanku bukanlah lagi makhluk yang sama denganku. Lidahku berat untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Jangan tanyakan bagaimana kondisiku. Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya namun tak
Muti tiba-tiba tertawa dengan sekeras-kerasnya."Heh!""Hahaha! Amel, kamu harus lihat wajahmu itu. Kamu sangat ketakutan saat aku mengatakan aku melihat Joy.""Muti!" Aku meneriakinya dan juga mencubit tumpukan lemak di area perutnya."Akh!""Rasakan!"Muti masih terus tertawa."Mut, ini sama sekali enggak lucu." Aku lalu diam setelahnya. Kesal, marah dan juga tidak habis pikir dengan kelakuan gadis di sampingku ini.Muti memutar musik agar menghilangkan keheningan di antara kami. Aku bisa merasakan, ia sedang berusaha membuka percakapan agar tidak terasa aneh. Ia sadar bila hal yang dilakukannya tadi memang sepertinya sedikit berlebihan."Lain kali jangan seperti itu ya. Bagaimana kalau Joy memang tiba-tiba muncul di hadapan kita?""Iya, iya aku tahu. Tapi ... Mel, aku ingin mengatakan ini dengan serius. Semalam, aku melihat sesosok yang mirip dengan temanmu, Joy.""Ha? Seriusan?"Mob
Aku bangun dengan terkejut. Setelah sarapan, aku sepertinya tidur dengan pulas di rumah Muti. Ah, ini sangat keterlaluan. Aku langsung teringat dengan BiBi yang sedang berada di rumah sakit. Apa semuanya sedang baik-baik saja?Muti memandangiku yang sama terkejut."Tenanglah, semua sudah diurus. Kalau nyawamu sudah terkumpul, kita bisa segera ke lokasi pemakaman."Pemakaman ya? Artinya Jenazah Joy memang dikuburkan tanpa orang tua. Pedih rasanya mengingat kejadian itu. Di masa terakhirnya, ia seorang diri tanpa keluarga. Bila itu aku, aku bisa saja menjadi hantu penasaran, mungkin."Apa tadi katamu?""Semua sudah di urus. Kamu tidur terlalu lama.""Kenapa tidak memabngunkanku tadi, Mut?" tanyaku. Aku masih duduk sambil 'mengumpulkan nyawa' dari alam mimpi."Tidurmu begitu pulas, mana tega aku bangunkan. Semalam pasti kamu tidak tidur." Muti menjelaskan. "Tadi aku ke rumah sakit, buat jaga-jaga saja siapa tahu ada hal pen
Aku mengajak Muti duduk di depan ruang perawatan bayi. Aku ingin menceritakan bagaimana Joy yang aku kenal padanya dan juga bayi mungil itu. Aneh, bahkan mungkin sang bayi tidak mendengarkannya karena terhalang kaca tebal."Sebentar, aku butuh minum dan beberapa makanan ringan. Aku rasa cerita ini akan sangat panjang." Muti lalu meninggalkanku dan menuju suatu tempat. Sepertinya aku tahu, ia akan ke Indoapril atau toko sejenisnya.Sementara menunggu Muti kembali aku melihat bayi mungil joy dari balik kaca. Perawat di sana juga melihatku dan membalas respons atas kehadiranku dengan senyuman."Halo bayi kecil, apa kabarmu hari ini? Ini hari yang berat ya, Mamamu sudah benar-benar tenang di sana sekarang. Ah, aku masih tidak tahu harus memanggilmu atau memberimu nama apa. Apa aku punya hak untuk memberikannya?" Aku melontarkan pertanyaan pada bayi mungil itu. Seperti orang bodoh yang berharap bayi mungil itu bisa memberi respons.Ting!Sebuah pesan ma
"Mut ...." Aku mencoba memanggilnya lagi. Kali ini dengan suara yang sedikit pelan."Aku mau boker," jawabnya tanpa merasa berdosa."Astaga, aku kira ada apa. Sana pergi! Jangan lupa nanti ceboknya yang bersih!" seruku. Muti melihatku dengan tatapan tajam. Suaraku yang besar membuat beberapa orang yang berada di sekitar kami meloleh padanya. Oke, sepertinya aku sedikit keterlaluan.Aku hanya bisa cengengesan setelah Muti berjalan menuju toilet dengan terburu-buru. Sakit perut dan juga sedikit rasa malu yang ditahannya setelah mendapat tatapan dari beberapa orang.***Seperti kisah yang sangat lama selesai, aku memikirkan lagi kalimat selanjutnya yang akan aku katakan tentang Joy. Setiap orang punya dua sisi, baik dan buruk. Aku, kamu, dia, mereka. Semua memiliki itu. Kita tentu tidak bisa menilai kepribadian seseorang hanya dari mendengar ceritanya saja, bukan? Ini adalah alasan mengapa aku harus menceritakan kisah Joy. Mungkin sebagian orang hanya
"Wait ... jadi saat KKN juga kamu belum pernah bertemu dengan 'gadis' yang dimaksud Budi?""Ya tentu saja. Tapi sejujurnya aku sempat sangat penasaran. Siapa dan seperti apa rupa gadis itu. Apa seperti Irene? Tsuyu?""Ngaoco! Perbandingannya sadis sekali," balasku dengan tawa kecil. "Jadi, bagaimana selanjutnya?""Memangnya apa selanjutnya? Tidak ada. Kisah itu lenyap bersamaan dengan selesainya KKN. Saat kembali, kami juga tidak pernah membahasnya lagi. Tidak kusangka gadis itu adalah Joy, kenalanmu. Apa dunia ini begitu sempit?""Lalu bagaimana dengan para mahasiswa dari kampus lain yang kamu temui? Apa ada yang menarik hati? Kita KKN-nya bersamaan loh dengan kampus lain.""Ha? Maksudnya?" Aku langsung tertawa sebesar-besarnya. Aku rasa aku mengingat sesuatu. Muti juga terjebak cinta lokasi saat KKN hanya saja berbeda dengan Joy. Bila Joy jatuh cinta pada sesama mhasiswa, beda ceritanya dengan Muti. Tidak tanggung-tanggung, gadis
Tidak ada yang tahu tentang hari esok. Kenyataan bila Lara juga memiliki keluarga inti adalah hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku dan Bibi Susana akhirnya memutuskan untuk melakukannya—membawa bayi cantik itu untuk menemui sang Nenek.Hari ini akhirnya datang juga. Bagaimanapun juga, aku masih harus membawa bayi itu untuk menemui keluarganya—maksudnya keluarga dari pihak Joy. Seorang Amel dengan bayi dalam gendongannya mungkin akan mengejutkan papa dan mama Joy. Ah, semua itu tak masalah.“Amel, kamu yakin sudah mau bertemu Tante Carla sekarang?” tanya ibuku. Beliau tidak ikut. Katanya merasa tidak enak badan.“Ya kalau enggak sekarang, terus kapan? Cepat atau lambat, mereka harus tahu tentang cucunya. Kalau Mama di posisi
“Um … kalian belum memutuskannya?” Muti semakin ingin tahu. “Sumpah, kalau bisa, Lara tinggal bersama kami saja selamanya. A ….” Aku berhenti sejenak. Ini memang sedikit aneh. Mungkin para tetangga bisa langsung pingsan jika mendengar semua cerita panjang ini. Bagaimana bisa sebuah keluarga yang selama ini tinggal di dekat mereka ternyata masih memiliki anak yang lain tetapi tidak diketahui. “Papa dan Mama mesti menjelaskan satu dan lain hal pada para tetangga. Ugh, dan … sudah pasti awalnya mereka tidak akan mempercayainya. Tetap saja, bakal ada tetangga yang … hm … langsung menuduh kalau cerita itu adalah karangan Papa dan Mama saja agar menutupi aibku.” “Hah
“Amel, ayo … kita sudah sampai di bandara. Nanti kamu bisa tidur lagi sepuasnya di ruang tunggu dan di pesawat.” Suara ayah benar-benar membuatku tersadar dari alam lain.“O … a … ng … hoaaamm ….”Aku mulai melihat ke luar. Ini memanglah kawasan bandara. Padahal baru pagi tadi kami tiba dan sekarang sudah mau pulang saja. Hm … luar biasa sekali perjalanan yang singkat ini. Kalau diingat-ingat lagi. Ah, apalah itu. Intinya aku hanya ingin segera pulang ke rumah!Memang seperti itulah yang aku lakukan—tidur di ruang tunggu selama kurang lebih satu setengah jam, lalu melanjutkannya saat di dalam pesawat. Anggap saja ini adalah balas dendam tentang waktu istirahatku yang tersita.
Setelah mendapatkan informasi penting lain yang tak kalah membuat terkejut, kupikir akan datang berita baik. Aku salah besar. Ini jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.Dan inilah yang terjadi sebelum Bibi Susana masuk ke dalam kamarku.Ponselku terus berdering. Bukan satu atau dua, bahkan panggilan dari satu orang. Tiga orang yang kusewa sebagai ‘mata-mata’ untuk mencari keberadaan Bima menghubungiku. Jelas, ini bukanlah sebuah pertanda yang bagus. Meski begitu, aku masih berusaha untuk berpikir yang jernih dan berharap apa yang aku pikirkan tidaklah benar.Bukan hanya itu, karena sedikit terlambat, panggilan itu terhenti. Kupikir mereka akhirnya menyerah. Aku salah, sebuah panggilan masuk melalui telepon rumah. Sedikit langka memang di era sekarang masih memiliki nomor telepon rumah.
Sampai pada akhirnya aku sudah harus kembali ke kota tempatku kuliah. Muti sama sekali tidak bisa berjanji bila ia bisa hadir saat wisudaku. Tidak apa-apa, toh pada akhirnya kami masih akan bertemu di kota yang sama. Tentu saja saat aku sudah kembali pulang.“Sampaikan salamku pada Cintia juga. Ah, rasanya aku menjadi kesal sekarang.”“Tidak masalah, Muti. Aku dan Cintia bisa memahaminya. Kamu kan harus bekerja. Kita bisa merayakannya bersama lain kali saja.” Aku berusaha menenangkan Muti yang merasa bersalah.”“Hati-hati, ya.”Aku dan Muti saling mengucapkan salam perpisahan. Ayah dan ibu tidak mengantar. Ayahku jelas sedang
Benar saja, aku dan ibuku melakukannya! Kami pergi bersama ke tukang jahit baju. Suasana di antara aku dan ibu menjadi jauh lebih baik. Ya, memang sudah seharusnya begitu. Memangnya aku mesti marah sampai berapa lama?Kami langsung pulang setelah pengukuran untuk pola selesai. Dengan penambahan 2 cm untuk jaga-jaga. Jangan sampai dalam tiga minggu ini badanku menjadi naik. Itu bukanlah hal yang tidak mungkin apalagi bila menjelang masa datang bulan. Aku akan makan jauh lebih banyak.“Tukang jahitnya, gimana? Ramah, bukan?”“Hm m. Mungkin karena Mama sudah langganan sangat lama. Belum tentu sama pelanggan baru.”“Astaga, anak ini ….”
“To-tolong ... siapapun di luar sana, tolong aku ....” Suara jerit Seseorang seakan memanggilku. Aku mengenalnya. Itu adalah A40. Kenapa aku bahkan mendengar suaranya sekarang? Apa aku sedang berhalusinasi sekarang? Tidak mungkin!Satu ….Dua ….Tiga.Aku terbangun. Badanku penuh dengan keringat. Itu adalah sebuah mimpi yang terlalu menakutkan untuk diingat. Bagaimana seseorang dibunuh dengan sadis di depan mataku tidak bisa aku lupakan begitu saja. wajah A40 lalu menyadarkanku pada sesuatu. Ia kini terlihat sangat familiar. Aku sangat mengenal wajah itu sekarang. Itu ada di dalam buku harian milik Joy.
Ini bukan hal yang mudah untuk membicarakan langsung tentang hak asuh Lara. Apa yang akan dipikirkan oleh Bibi Susana? Marahkah ia setelah mendengarkan kalimatku nanti atau malah menyetujuinya dengan syarat ini dan itu? Tidak ada yang tahu tentang itu dengan pasti. Yang jelas, aku berharap baik dari semua ini.“Kalau Lara ingin diadopsi oleh keluarga kami, apa Bibi tidak masalah?” Aku memberanikan diri untuk mengatakannya.Beberapa detik Bibi Susana terdiam. Wajahnya juga sempat terkejut saat mendengarnya. Lalu, ia tersenyum dan menjawab, “Kalau soal hak asuh, sebenarnya Bibi sama sekali tidak memiliki hak yang kuat di sini. Orang tua Joy-lah yang paling berkuasa dan tepat untuk memutuskannya.”
Lara yang mulai rewel akhirnya pula yang membuat aku dan ibu memutuskan untuk meninggalkan café Diandara. Dalam perjalanan kami tidak saling bicara. Ibuku fokus menyetir sedangkan aku memastikan Lara aman dalam pangkuanku di dalam mobil.“Memangnya ada ya, orang tua yang tidak mengakui anaknya sendiri?” tanyaku tiba-tiba. “Si Bima itu memanglah brengsek. Bisa-bisanya ia malah menuduhku seorang penipu! Memangnya apa yang mau aku ambil darinya? Uang? Bukannya dia saja tidak punya uang? Ckckck!”“Kamu itu mengomel mulu ya kalau sudah tentang Bima,” balas ibu yang mulai kesal mendengar kata demi kata yang keluar dari mulutku.“Ckckck! Soalnya Mama belum tahu semua yang dilakukan oleh Bima pada Joy. Kalau aku ceritakan s