Bunyi sirene ambulans terdengar lagi, aku yakin kali ini pasien yang diantar adalah paman dan bibinya Joy. Aku, Muti serta Cintia bergegas menuju Unit Gawat Darurat untuk memeriksanya. Benar saja, sesampainya di sana, aku bisa melihat wajah sang bibi. Memang, aku baru bertemu dengan beliau dua kali namun aku masih mengingat wajah itu. Aku kembali mengambil tanggung jawab, aku mengatakan pada para perawat dan dokter di sana bila aku adalah keluarganya. Kalian pasti akan berpikir manusia sepertiku terlalu banyak ikut campur dengan urusan orang lain atau lebih tepatnya suka melibatkan diri sendiri. Tidak apa-apa, karena aku tahu untuk urusan ini, aku benar.
"Mel," panggil Muti pelan sambil menarik lengan bajuku.
Aku memandanginya sesaat lalu berkata, "Tidak apa-apa, aku masih bisa menanganinya."
Wajah Cintia terlihat datar, ia tak mengeluarkan ekspresi apapun. Mungkin, ia terlalu kaget dengan semua kejadian beruntun yang terlalu mendadak. Itu wajar, aku pun terkejut. Aku hanya berusaha kuat.
Salah seorang perawat lalu memintaku menuju ruang administrasi untuk mengambil dataku dan juga menandatangani sebuah dokumen. Ya, aku seperti seseorang yang akan menjamin biaya pengobatan paman dan bibi sekarang. Entah berapa banyak tagihanya nanti, aku seolah tidak memperdulikannya.
"Amel ... sekarang bertambah lagi?" tanya Muti begitu aku kembali.
"Tidak apa-apa, dengan administrasi itu, Paman dan Bibi bisa ditangani dengan segera. Kamu tahu sendiri, 'kan di sinetron-sinteron kesayanganmu itu kalau ...."
"Hei!" Muti memotong kalimatku. "Itu hanya sebuah sinetron. Aku yakin tanpa bantuanmu, rumah sakit ini tetap akan menolong pasien. Amel ... terkadang, aku pikir kamu itu suka menjadi pahlawan kesiangan."
Aku hanya membalasanya dengan senyuman, aku tahu mereka berkata seperti itu karena khawatir denganku. Aku, seorang Amel yang ... mungkin suka sekali ikut campur atau ... tercampur dengan urusan orang lain karena rasa iba yang berlebihan?
Muti melanjutkan kalimatnya lagi, "Tapi itulah yang membuatmu menjadi istimewa. Ah, asal jangan selalu membawaku juga dalam masalahmu. Aku akan menghajarmu dengan sangat keras." Selesai berkata seperti itu ditutup dengan sebuah tawa kecil yang disambut Cintia dan juga aku.
Beberapa jam berlalu, keadaan sang paman kritis, ia dibawa di ruang ICU, sedangkan bibi sudah dipindahkan ke ruang perawatan untuk rawat inap.
Aku menemani bibi di ruangan berharap meringankan sedikit rasa sedihnya dan juga rasa sakitnya. Hari sudah malam, aku menyarankan Muti dan Cintia untuk pulang terlebih dahulu.
"Bi ... apa sekarang Bibi merasa lebih baik?" tanyaku pelan sambil menggenggam tangannya meyakinkan semuanya akan baik-baik saja.
"I-iya, Nak, maaf ... kami datang malah merepotkanmu," balasnya dengan tatapan sayu. "Dan juga terima kasih. Joy sangat beruntung mempunyai teman sepertimu," imbuhnya lagi sambil mengeratkan genggamannya.
"Tidak masalah, aku senang bisa membantu," balasku.
"Kami akan segera membayar semua tagihan rumah sakit ini begitu sudah pulih."
"Bibi, Bibi tidak perlu memikirkan itu dulu ya? Kondisi Bibi sekarang yang paling penting. Masalah biaya, kita bisa membahasnya lain kali." Aku masih terus berusaha menenangkan diri bibi, yah walaupun aku sendiri sedang pusing bagaimana cara melunasinya nanti. Akhirnya, aku hanya punya satu pilihan yaitu meminta pada orang tuaku. Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh mahasiswa tingkat akhir sepertiku?
"Bagaimana dengan bayi itu?"
"Dia sehat dan sangat cantik seperti Ibunya." Sesaat setelah menjawab, aku langsung teringat dengan susu formula yang harus aku beli. "Bibi, aku keluar sebentar ya," kataku lalu meninggalkan bibi dan menuju apotek.
***
"Apa? hanya empat ratus gram dan semahal ini?" keluhku setelah membayar dan menerima kaleng susu itu.
Aku lalu pergi menuju ruang perawatan bayi dan menyerahkan susu itu. Kasus Joy sangat sangat menyadarkanku tentang pentingnya biaya rumah sakit. Aku juga belajar, sebaiknya aku memiliki sebuah asuransi kesehatan untuk berjaga-jaga.
"Sus ... ini susunya," kataku. "pastikan bayinya selalu meminumnya dengan baik."
"Pasti." Perawat itu lalu pergi begitu saja setelah menerimanya.
Aku lalu memandangi bayi mungil Joy. Ia terlihat sangat damai dalam tidurnya. Bayi yang malang, ia belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ah, memikirkan bagaimana ia akan menjalani kehidupannya di dunia yang kejam ini membuatku bersedih.
"Apa yang bisa aku lakukan untukmu, hai bayi? Tunggu, aku juga tidak tahu harus memanggilmu seperti apa? Kamu belum memiliki nama." Aku masih terus mengoceh dibalik kaca sambil memandangi bayi itu yang sedar tertidur dengan lelap. "Lara ... apa itu nama yang cocok? Hm ... tidak, tidak, aku hanya akan memberimu nasib buruk bila menggunakan nama itu. Aku akan memikirkannya lagi. Nah, tunggulah. Sebentar lagi perawat itu akan memberimu sebotol susu. Bibi Amel pergi dulu ya, bye bye bayi kecil."
Aku lalu kembali ke ruang rawat bibi. Sebenarnya, aku ingin sekali mengunjungi paman, sayangnya, aku sepertinya memang lebih baik menunggu hingga paman itu dipindahkan ke ruang rawat.
Aku masuk perlahan ke dalam kamar pasien agar tidak membangunkan bibi yang sudah tertidur.
"Kamu sudah kembali?" tanya bibi yang sontak membuatku kaget.
"Bibi mengagetkanku!" seruku. "Aku pikir Bibi sudah tidur."
"Maaf Nak, aku tidak bermaksud mengagetkanmu."
Aku hanya terseyum bersuaha menenangkan jantungku yang bedebar. Aku memang gampang terkejut bahkan untuk hal-hal kecil.
"Kamu dari mana saja, Nak? Bibi pikir hanya ke apotek membeli susu." tanyanya lembut.
"Menemui bayi cantik dan menyerahkan susu pada perawat sehingga bayi itu bisa bertahan. Ah." Kata bertahan' mungkin terlalu kejam untuknya?
"Bibi juga mau menemuinya," ucap bibi seraya berusaha bangun dari tempat tidur pasien. Aku segera mencegahnya tentu saja. Bibi belum boleh banyak bergerak.
"Tahan Bibi, Bibi bisa menemuinya sesuka hati begitu sembuh, okay? Aku mengambil beberapa foto bayi itu, sebentar," kataku sambil mengambil ponsel dalam saku celanaku."Lihat ini Bibi," kataku menunjukkan foto bayi itu. Bibi memandanginya dengan sangat bahagia.
"Bayi ini sangat cantik. Aku benar, 'kan?"
"Iya, Bibi. Anak Joy memang sangat cantik seperti Ibunya. Aku berharap ia akan bahagia sepanjang hidupnya."
Bibi terlihat murung setelahnya, aku tahu, ia sedang berduka untuk bayi mungil itu.
"Bayi itu akan baik-baik saja dan bahagia. Ia memiliki keluarga yang menyayanginya." Aku berusaha menghibur bibi.
"Tentu, ia juga memiliki Bibi seperti Amel," balas bibi.
"Bibi bisa aja."Aku membalas lagi. Aku tidak berhak berbangga untuk pujian itu. Aku benar-benar tulus menolong Joy.
"Nak, sepertinya ada sebuah pesan masuk dalam ponselmu." Bibi lalu menyerahkan kembali ponsel itu padaku. Benar saja, ada sebuah pesan penting di sana. Itu adalah sebuah pesan dari Ibuku.
Dari : My Mom
Amel, Mama dengar kamu sedang merahasiakan sesuatu dari Mama, Nak? Mama sudah menelepon Muti dan Cintia tentang hal ini. Mama sangat terkejut mendengar penjelasan mereka. Mel, telpon Mama kalau kamu ada waktu luang. Mama rasa kamu mulai terlalu repot dengan urusan temanmu itu.
Deg! Aku terkejut membaca pesan singkat itu. "Apa ini? Kenapa tulisan itu seperti bernada marah? Muti, Cintia? Apa ini? Apa mereka mengatakan sesuatu yang berlebihan?" tanyaku dalam hati menerka kejadian yang mungkin terjadi.
"Ada apa, Nak? Apa Nak Amel baik-baik saja?" tanya bibi khawatir.
Selesai membaca pesan itu, aku langsung menyimpan ponselku dalam tas. Aku tidak menjawab pertanyaan dari bibi dan langsung mengambil posisi duduk di dalam ruangan. Bibi itu hanya menatapku dan memilih tidak bertanya lagi. Ia juga mengambil posisi nyaman di tempat tidur dan mulai merebahkan tubuhnya. Jujur aku merasa sedikit tidak enak mengacuhkan pertanyaan Bibi. "Nak Amel pasti lelah hari ini. Istirahatlah, kita sambung ceritanya besok saja." Bibi itu lalu menutup matanya setelah menyelesaikan kalimatnya.Lalu, apakah aku bisa tidur? Tentu tidak. Aku memikirkan bagaimana keadaan selanjutnya. Saat ini, aku yakin ibuku sedang menanti kabar dariku. Ah, aku pikir aku akan menghubunginya bila keadaannya lebih tenang. Aku juga mengingat kembali kisah tentang Joy yang akhirnya ia bagikan padaku.Joy, aku harap kamu tenang di sana. Kamu sudah mengalami hidup yang berat. Ini kisah Joy dan beginilah asal mula pertemuannya dengan Bima.12 Agustus 2010Joy,
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku menjawab yang sebenarnya? Mengapa aku terlibat dalam urusan ini sekarang? Arrgggh!!! Joy! "Nak Amel kenapa? Apa ada sesuatu?" tanya Tante Carla yang melihatku kelagapan. Aku benci situasi seperi ini, bukan aku yang salah, namun seperti aku yang menanggung semuanya. Apa aku boleh saja mengatakan kenyataannya?"A ... tidak," jawabku pelan. Aku sungguh tidak ingin Joy dalam masalah sekarang. Rasanya aku ingin sekali pergi menarik Joy untuk menjawab pertanyaan orang tuanya sendiri.Taxi bergerak dengan lambat. Bisa kutebak ada kemacetan saat melewati Jl. Boulevard. Oh sungguh, saat itu aku ingin sekali kabur dari mobil dan hilang."Amel ... Amel," panggilnya lagi dengan pelan."Maaf Tante, aku kurang tahu ... kalau boleh jujur aku tidak menanyakan hal pribadi pada Joy." Aku cuma bisa memberikan jawaban yang aman baik buatku dan juga Joy.Aku lihat ekspres
Tangan, sentuhan, panggilan ... apa ini? Suara ini ..."Amel," panggil Bibi itu dengan lembut. Sepertinya ia berusaha membangunkanku sedari tadi. Samar-samar aku bisa mendengar isak tangisnya. "Nak, Bibi keluar sebentar ...." Bibi itu lalu berjalan meninggalkanku.TUNGGU!Aku baru menyadari beberapa saat setelah nyawaku terkumpul sepenuhnya dari alam mimpi. Bibi itu saat ini sedang dalam perawatan. Aku segera berjalan menyusulnya."Bi ... Bibi mau kemana?" tanyaku sambil membantunya berjalan perlahan.Ia menatapku sendu sebelum kemudian menjawab pertanyaanku. "Bibi mimpi buruk, Bibi harus melihat suami Bibi."Aku juga bermimpi yang panjang. Entah itu hanya ingatan atau memang aku memimpikan semua kejadian tentang Joy yang telah berlalu. Kami lalu berjalan mendekati ruang ICU. Di dalam sana ada seorang pria yang dicintai Bibi ini. Aku merasa kasihan dengan semua ini. Apa ini takdir yang terlalu beruntun
"Amel ..."Aku berusaha tidur sekarang. Saat kakiku melangkah ke tempat tidur penjaga pasien, aku seolah tak bisa bergerak.Oh Shit! Ada apa ini?"Amel ..."Lagi dan lagi, aku mendengar suara kecil memanggil namaku. Suara itu tak asing di telingaku. Suara yang pernah aku dengar sebelumnya. Aku masih terus berusaha sampai akhirnya aku pasrah. Beberapa detik kemudian aku merasa embusan angin yang sangat dingin. Tubuhku merinding. Pupil mataku membesar, aku terkejut dan juga sedikit takut. Sosok Joy muncul di hadapanku dengan senyumnya."J-Joy," ucapku sedikit terbata.Joy mengangguk tanda menjawab. Aku masih tidak bisa bergerak. Kulihat Joy perlahan mendekatiku. Jantungku berdegup kencang. Mau bagaimana lagi? Sosok Joy yang dihadapanku bukanlah lagi makhluk yang sama denganku. Lidahku berat untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Jangan tanyakan bagaimana kondisiku. Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya namun tak
Muti tiba-tiba tertawa dengan sekeras-kerasnya."Heh!""Hahaha! Amel, kamu harus lihat wajahmu itu. Kamu sangat ketakutan saat aku mengatakan aku melihat Joy.""Muti!" Aku meneriakinya dan juga mencubit tumpukan lemak di area perutnya."Akh!""Rasakan!"Muti masih terus tertawa."Mut, ini sama sekali enggak lucu." Aku lalu diam setelahnya. Kesal, marah dan juga tidak habis pikir dengan kelakuan gadis di sampingku ini.Muti memutar musik agar menghilangkan keheningan di antara kami. Aku bisa merasakan, ia sedang berusaha membuka percakapan agar tidak terasa aneh. Ia sadar bila hal yang dilakukannya tadi memang sepertinya sedikit berlebihan."Lain kali jangan seperti itu ya. Bagaimana kalau Joy memang tiba-tiba muncul di hadapan kita?""Iya, iya aku tahu. Tapi ... Mel, aku ingin mengatakan ini dengan serius. Semalam, aku melihat sesosok yang mirip dengan temanmu, Joy.""Ha? Seriusan?"Mob
Aku bangun dengan terkejut. Setelah sarapan, aku sepertinya tidur dengan pulas di rumah Muti. Ah, ini sangat keterlaluan. Aku langsung teringat dengan BiBi yang sedang berada di rumah sakit. Apa semuanya sedang baik-baik saja?Muti memandangiku yang sama terkejut."Tenanglah, semua sudah diurus. Kalau nyawamu sudah terkumpul, kita bisa segera ke lokasi pemakaman."Pemakaman ya? Artinya Jenazah Joy memang dikuburkan tanpa orang tua. Pedih rasanya mengingat kejadian itu. Di masa terakhirnya, ia seorang diri tanpa keluarga. Bila itu aku, aku bisa saja menjadi hantu penasaran, mungkin."Apa tadi katamu?""Semua sudah di urus. Kamu tidur terlalu lama.""Kenapa tidak memabngunkanku tadi, Mut?" tanyaku. Aku masih duduk sambil 'mengumpulkan nyawa' dari alam mimpi."Tidurmu begitu pulas, mana tega aku bangunkan. Semalam pasti kamu tidak tidur." Muti menjelaskan. "Tadi aku ke rumah sakit, buat jaga-jaga saja siapa tahu ada hal pen
Aku mengajak Muti duduk di depan ruang perawatan bayi. Aku ingin menceritakan bagaimana Joy yang aku kenal padanya dan juga bayi mungil itu. Aneh, bahkan mungkin sang bayi tidak mendengarkannya karena terhalang kaca tebal."Sebentar, aku butuh minum dan beberapa makanan ringan. Aku rasa cerita ini akan sangat panjang." Muti lalu meninggalkanku dan menuju suatu tempat. Sepertinya aku tahu, ia akan ke Indoapril atau toko sejenisnya.Sementara menunggu Muti kembali aku melihat bayi mungil joy dari balik kaca. Perawat di sana juga melihatku dan membalas respons atas kehadiranku dengan senyuman."Halo bayi kecil, apa kabarmu hari ini? Ini hari yang berat ya, Mamamu sudah benar-benar tenang di sana sekarang. Ah, aku masih tidak tahu harus memanggilmu atau memberimu nama apa. Apa aku punya hak untuk memberikannya?" Aku melontarkan pertanyaan pada bayi mungil itu. Seperti orang bodoh yang berharap bayi mungil itu bisa memberi respons.Ting!Sebuah pesan ma
"Mut ...." Aku mencoba memanggilnya lagi. Kali ini dengan suara yang sedikit pelan."Aku mau boker," jawabnya tanpa merasa berdosa."Astaga, aku kira ada apa. Sana pergi! Jangan lupa nanti ceboknya yang bersih!" seruku. Muti melihatku dengan tatapan tajam. Suaraku yang besar membuat beberapa orang yang berada di sekitar kami meloleh padanya. Oke, sepertinya aku sedikit keterlaluan.Aku hanya bisa cengengesan setelah Muti berjalan menuju toilet dengan terburu-buru. Sakit perut dan juga sedikit rasa malu yang ditahannya setelah mendapat tatapan dari beberapa orang.***Seperti kisah yang sangat lama selesai, aku memikirkan lagi kalimat selanjutnya yang akan aku katakan tentang Joy. Setiap orang punya dua sisi, baik dan buruk. Aku, kamu, dia, mereka. Semua memiliki itu. Kita tentu tidak bisa menilai kepribadian seseorang hanya dari mendengar ceritanya saja, bukan? Ini adalah alasan mengapa aku harus menceritakan kisah Joy. Mungkin sebagian orang hanya
Tidak ada yang tahu tentang hari esok. Kenyataan bila Lara juga memiliki keluarga inti adalah hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku dan Bibi Susana akhirnya memutuskan untuk melakukannya—membawa bayi cantik itu untuk menemui sang Nenek.Hari ini akhirnya datang juga. Bagaimanapun juga, aku masih harus membawa bayi itu untuk menemui keluarganya—maksudnya keluarga dari pihak Joy. Seorang Amel dengan bayi dalam gendongannya mungkin akan mengejutkan papa dan mama Joy. Ah, semua itu tak masalah.“Amel, kamu yakin sudah mau bertemu Tante Carla sekarang?” tanya ibuku. Beliau tidak ikut. Katanya merasa tidak enak badan.“Ya kalau enggak sekarang, terus kapan? Cepat atau lambat, mereka harus tahu tentang cucunya. Kalau Mama di posisi
“Um … kalian belum memutuskannya?” Muti semakin ingin tahu. “Sumpah, kalau bisa, Lara tinggal bersama kami saja selamanya. A ….” Aku berhenti sejenak. Ini memang sedikit aneh. Mungkin para tetangga bisa langsung pingsan jika mendengar semua cerita panjang ini. Bagaimana bisa sebuah keluarga yang selama ini tinggal di dekat mereka ternyata masih memiliki anak yang lain tetapi tidak diketahui. “Papa dan Mama mesti menjelaskan satu dan lain hal pada para tetangga. Ugh, dan … sudah pasti awalnya mereka tidak akan mempercayainya. Tetap saja, bakal ada tetangga yang … hm … langsung menuduh kalau cerita itu adalah karangan Papa dan Mama saja agar menutupi aibku.” “Hah
“Amel, ayo … kita sudah sampai di bandara. Nanti kamu bisa tidur lagi sepuasnya di ruang tunggu dan di pesawat.” Suara ayah benar-benar membuatku tersadar dari alam lain.“O … a … ng … hoaaamm ….”Aku mulai melihat ke luar. Ini memanglah kawasan bandara. Padahal baru pagi tadi kami tiba dan sekarang sudah mau pulang saja. Hm … luar biasa sekali perjalanan yang singkat ini. Kalau diingat-ingat lagi. Ah, apalah itu. Intinya aku hanya ingin segera pulang ke rumah!Memang seperti itulah yang aku lakukan—tidur di ruang tunggu selama kurang lebih satu setengah jam, lalu melanjutkannya saat di dalam pesawat. Anggap saja ini adalah balas dendam tentang waktu istirahatku yang tersita.
Setelah mendapatkan informasi penting lain yang tak kalah membuat terkejut, kupikir akan datang berita baik. Aku salah besar. Ini jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.Dan inilah yang terjadi sebelum Bibi Susana masuk ke dalam kamarku.Ponselku terus berdering. Bukan satu atau dua, bahkan panggilan dari satu orang. Tiga orang yang kusewa sebagai ‘mata-mata’ untuk mencari keberadaan Bima menghubungiku. Jelas, ini bukanlah sebuah pertanda yang bagus. Meski begitu, aku masih berusaha untuk berpikir yang jernih dan berharap apa yang aku pikirkan tidaklah benar.Bukan hanya itu, karena sedikit terlambat, panggilan itu terhenti. Kupikir mereka akhirnya menyerah. Aku salah, sebuah panggilan masuk melalui telepon rumah. Sedikit langka memang di era sekarang masih memiliki nomor telepon rumah.
Sampai pada akhirnya aku sudah harus kembali ke kota tempatku kuliah. Muti sama sekali tidak bisa berjanji bila ia bisa hadir saat wisudaku. Tidak apa-apa, toh pada akhirnya kami masih akan bertemu di kota yang sama. Tentu saja saat aku sudah kembali pulang.“Sampaikan salamku pada Cintia juga. Ah, rasanya aku menjadi kesal sekarang.”“Tidak masalah, Muti. Aku dan Cintia bisa memahaminya. Kamu kan harus bekerja. Kita bisa merayakannya bersama lain kali saja.” Aku berusaha menenangkan Muti yang merasa bersalah.”“Hati-hati, ya.”Aku dan Muti saling mengucapkan salam perpisahan. Ayah dan ibu tidak mengantar. Ayahku jelas sedang
Benar saja, aku dan ibuku melakukannya! Kami pergi bersama ke tukang jahit baju. Suasana di antara aku dan ibu menjadi jauh lebih baik. Ya, memang sudah seharusnya begitu. Memangnya aku mesti marah sampai berapa lama?Kami langsung pulang setelah pengukuran untuk pola selesai. Dengan penambahan 2 cm untuk jaga-jaga. Jangan sampai dalam tiga minggu ini badanku menjadi naik. Itu bukanlah hal yang tidak mungkin apalagi bila menjelang masa datang bulan. Aku akan makan jauh lebih banyak.“Tukang jahitnya, gimana? Ramah, bukan?”“Hm m. Mungkin karena Mama sudah langganan sangat lama. Belum tentu sama pelanggan baru.”“Astaga, anak ini ….”
“To-tolong ... siapapun di luar sana, tolong aku ....” Suara jerit Seseorang seakan memanggilku. Aku mengenalnya. Itu adalah A40. Kenapa aku bahkan mendengar suaranya sekarang? Apa aku sedang berhalusinasi sekarang? Tidak mungkin!Satu ….Dua ….Tiga.Aku terbangun. Badanku penuh dengan keringat. Itu adalah sebuah mimpi yang terlalu menakutkan untuk diingat. Bagaimana seseorang dibunuh dengan sadis di depan mataku tidak bisa aku lupakan begitu saja. wajah A40 lalu menyadarkanku pada sesuatu. Ia kini terlihat sangat familiar. Aku sangat mengenal wajah itu sekarang. Itu ada di dalam buku harian milik Joy.
Ini bukan hal yang mudah untuk membicarakan langsung tentang hak asuh Lara. Apa yang akan dipikirkan oleh Bibi Susana? Marahkah ia setelah mendengarkan kalimatku nanti atau malah menyetujuinya dengan syarat ini dan itu? Tidak ada yang tahu tentang itu dengan pasti. Yang jelas, aku berharap baik dari semua ini.“Kalau Lara ingin diadopsi oleh keluarga kami, apa Bibi tidak masalah?” Aku memberanikan diri untuk mengatakannya.Beberapa detik Bibi Susana terdiam. Wajahnya juga sempat terkejut saat mendengarnya. Lalu, ia tersenyum dan menjawab, “Kalau soal hak asuh, sebenarnya Bibi sama sekali tidak memiliki hak yang kuat di sini. Orang tua Joy-lah yang paling berkuasa dan tepat untuk memutuskannya.”
Lara yang mulai rewel akhirnya pula yang membuat aku dan ibu memutuskan untuk meninggalkan café Diandara. Dalam perjalanan kami tidak saling bicara. Ibuku fokus menyetir sedangkan aku memastikan Lara aman dalam pangkuanku di dalam mobil.“Memangnya ada ya, orang tua yang tidak mengakui anaknya sendiri?” tanyaku tiba-tiba. “Si Bima itu memanglah brengsek. Bisa-bisanya ia malah menuduhku seorang penipu! Memangnya apa yang mau aku ambil darinya? Uang? Bukannya dia saja tidak punya uang? Ckckck!”“Kamu itu mengomel mulu ya kalau sudah tentang Bima,” balas ibu yang mulai kesal mendengar kata demi kata yang keluar dari mulutku.“Ckckck! Soalnya Mama belum tahu semua yang dilakukan oleh Bima pada Joy. Kalau aku ceritakan s