Zayna mengikuti Desi dari belakang. "Mama mau bicara apa?" tanya Zayna tidak berani menatap mata Desi setelah berdiri saling berhadapan. Mereka berdua berdiri agak menjauh dari dapur agar Bi Astri tidak mendengar obrolan.
"Mama minta maaf soal semalam, ya, Nak. Mama benar-benar tersulut emosi dengan ucapan Dona," ungkap Desi merasa tidak enak hati dengan Zayna, sebab telah memaksa Zayna bercerita akan masa lalunya. "Mama tidak bermaksud memaksa kamu untuk bercerita. Harusnya Mama mengerti di posisi kamu. Mama minta maaf sekali lagi, jangan dipikirkan, ya?" mohon Desi.Jangan dipikirkan? Sudah terlambat, Zayna semalam overthinking parah. Zayna pikir Mama Desi mengajak berbicara empat mata untuk menyuruhnya berkata sejujurnya tanpa ada kelewat sedikitpun, ternyata tidak. Di sisi lain ada kelegaan di hati Zayna saat mendengar permintaan maaf Mama Desi.Kepala Zayna terangkat dan menggigit bibir bawahnya. "Mama jangan minta maaf sama Zayna. Mama pasti kecewa sama Zay, ya?" Tatapan Zayna berubah.Desi meraih tangan Zayna, dielus lembut. Dia sangat menyayangi menantu perempuannya itu, sudah seperti anak sendiri. "Sayang, Mama tidak kecewa sama kamu. Setiap orang punya masa lalu, yang penting kamu sekarang sudah memperbaiki diri. Jangan dengerin omongan Dona yang kemarin, ya! Biar Mama marahin kalau bertemu dengannya! Enak saja menantu kesayangan Mama diinjak olehnya," murka Desi.Senyuman Zayna mengembang. Sangat bersyukur dia diterima oleh keluarga Fatih, kecuali Latisa yang tampak membencinya entah punya alasan apa. "Makasih banget, ya, Ma. Rasanya lega sekarang." Matanya berbinar-binar tak bisa dipungkiri merasa senang, dia tidak overthinking lagi."Sama-sama sayang. Mau masak bantu Bi Astri?""Iya, Ma. Sambil belajar," jawab Zayna merasa malu karena tidak bisa memasak. "Repot nanti kalau pindah ke rumah baru masih tidak bisa masak," lanjutnya.Desi tidak mempermasalahkan kalau menantunya belum bisa terbiasa di dapur. Justru salut dengan Zayna yang bicara terang-terangan kalau tidak bisa memasak. "Tidak apa-apa. Fatih bisa memasak kok, nanti Mama suruh Fatih buat ngajarin kamu masak. Oh, ya. Kalau sudah pindah rumah pekerjaan rumah tangga itu bukan kewajiban istri, melainkan tanggung jawab yang dibebankan pada suami. Jadi, Mama sudah meminta Fatih untuk membantu kamu.""Akhh, terima kasih, Ma!" jerit Zayna senang sambil memeluk Mama Desi. Zayna beruntung sekali diterima baik oleh Ibunya Fatih, bisa menerima kekurangannya dan perhatian padanya."Iya, sayang." Membalas pelukan. "Pokoknya kalau Fatih bikin kamu menangis. Bilang sama Mama!"Zayna mengangguk semangat. "Siap, Ma!"Zayna pun melanjutkan membantu Bi Astri di dapur. Sambil belajar sedikit, Bi Astri tidak keberatan sama sekali. Setelah selesai memasak sambil membawa makanan ke meja makan Zayna bercerita ke Bi Astri tentang keluarga Fatih."Nak Zayna harus bersyukur banget bisa menjadi bagian keluarga ini. Bu Desi memang baik banget orangnya. Pernah Bibi melakukan kesalahan, ditegur langsung dimaafkan. Untunglah tidak dipecat. Apalagi soal makanan, Bu Desi tidak pelit sama sekali. Dulu juga Bibi dipaksa gabung makan satu meja, tapi Bibi tolak, nggak enak hati," cerita Bi Astri. "Pokoknya banyak banget kebaikan Bu Desi. Sampai anak Bibi yang terakhir di kampung dibiayai kuliah."Zayna melongo. "Oh, ya, Bi?" Kaget sekaligus senang mendengarnya. Kalau Bi Astri tidak cerita, mungkin Zayna tidak akan tahu kebaikan Mama Desa, memperlakukan ART tanpa pandang bulu."Iya, Nak. Alhamdulillah banget Bibi bisa kerja di sini. Dapat majikan super baik!" Bi Astri sangat amat bersyukur."Syukurlah, Bi. Ikut senang."****Tepat pukul enam lebih lima belas menit, semua makanan untuk sarapan tersaji di meja makan. Banyak pilihan lauk pauk sampai bingung ingin memakan yang mana. Melihat saja sudah ngiler."Ini semua yang masak Zayna, lho. Saking banyaknya bisa sisain untuk makan siang," ucap Desi memberi tahu saat suaminya dan putranya sudah duduk di sana. "Cobain deh masakannya Zay."Zayna tersenyum kikuk. Sebenarnya tidak sepenuhnya dirinya yang masak, dia hanya membantu Bi Asri. Zayna masih kesulitan dan kaku di dapur. Entah rasanya enak di lidah mereka apa tidak.Fatih mencicipi lebih dulu salah satu menu paling dekat dengannya membuat semua orang di meja menelan ludah menunggu jawaban Fatih. Zayna gelisah takut masakan kurang di lidah suaminya."Gimana?" tanya Desi. "Enak, 'kan?"Fatih mengangguk. "Lumayan. Tidak mengecewakan.""Nah, apa kata Mama! Tapi katanya Zayna ingin diajarkan memasak oleh kamu tuh. Itung-itung bikin senang istri."Fatih menoleh ke Zayna. Dahi berkerut menandakan kebingungan. "Ini sudah bisa masak, lho," tanggapnya.Fatih menoleh ke Zayna. Dahi berkerut menandakan kebingungan. "Ini sudah bisa masak, lho," tanggapnya. "Sudah jangan banyak omong. Ajarkan saja, Fatih. Mama juga tahu kamu jago masak, waktu sekolah dulu ambil jurusan tata boga.""Iya-iya, Ma." Fatih setuju. "Tapi nanti saat kita sudah pindah rumah. Tidak apa-apa, 'kan, Zay?" Fatih menoleh ke Zayna.Zayna mengangguk. Mendengar jawaban Fatih, Zayna senang sekali. "Ah, anak Papa. Bilang saja ingin bermesraan di dapur sama istri sambil masak, kan?" goda Hasan. "Kalau di rumah ini banyak orang, jadi tidak ada kesempatan," lanjutnya. "E-nggak begitu, Pa," elak Fatih.Desi terkekeh kecil. "Papa ini ada-ada saja. Ingat dulu sebelum ada Bi Astri juga Papa modus, selalu mengganggu Mama kalau masak. Main peluk dari belakang," cerita Desi panjang lebar.Hasan cemberut. "Jangan diceritakan juga kali, Ma di depan anak-anak. Malu Papa.""Pagi, Ma, Pa," sapa Latisa dan Denia yang baru turun dari lantai atas, keduanya sudah rapi mengenakan seragam s
"Jangan sok care dong sama Kak Zay. Tisa tahu semuanya kalau Kak Fatih cuma pura-pura baik sama Kak Zayna!""TISA!" bentak Fatih tanpa berpikir dulu. "BICARA APA KAMU?!" Bentakan kedua nada suara lebih tinggi.Latisa terkejut mendengar bentakan Fatih. Ini adalah pertama kalinya dibentak. Matanya memerah dan berkaca-kaca lalu buru-buru turun dari mobil sebelum Fatih berteriak memanggilnya dengan nada marah, berlari ke gedung sekolah tanpa menoleh ke belakang sambil menahan tangis. Latisa memang type gadis yang tidak suka dibentak. Di dalam mobil. Dada Fatih naik turun, sibuk mengatur napasnya. Menarik lalu dihembuskan perlahan. Perkataan adiknya berhasil membuatnya emosi. Bibirnya bergerak berulang kali mengucapkan istighfar untuk menenangkan diri.Sementara Zayna terdiam melihat ke arah jendela kaca mobil di mana gedung itu sekolah menengah atas. Batinnya bertanya-tanya, Ya Allah apa maksudnya dari perkataan Latisa? Fatih berpura-pura baik padanya? Hati Zayna mulai tak tenang dan awal
Yara? Bagaimana bisa tahu alamat rumah orang tua Fatih? Bibir Zayna langsung menutup, kalau dipikir-pikir hanya Yara yang mengetahui cake kesukaannya. Seharusnya Zayna langsung tahu siapa yang memberinya cromboloni tanpa bertanya."Oh, Mbak Yara kakakku, Ma," ucap Zayna memberi tahu."Kok Mama baru tahu, sih. Kakak kamu sudah pulang. Aduh seharusnya tadi Mama ajak Nak Yara masuk. Mama jadi tidak enak nih.""Tidak apa, Ma. Mbak Yara datang ke pernikahanku tapi saat acara resepsi selesai," jelas Zayna. "Nanti Zay telpon Mbak Yara buat ngucapin terima kasih.""Salam untuk Kakakmu, ya, Nak.""Nanti Zayna sampaikan salamnya." Zayna meraih box itu agar mendekat. Rasanya tidak sabar mencoba. "Mama mau coba?" tawar Zayna.Desi mengangguk. Penasaran dengan rasanya karena lidahnya tidak pernah mencicipi cromboloni. Zayna mengambil dua piring, satu untuknya dan satu untuk Mama Desi—mulai kantong plastik lalu membuka box."Ini beli atau buat, Zay?" tanya Desi, mulai menggigit kue itu. "Enak sekali
Ini pertama kalinya mereka berdua ke kampus bersama-sama. Awalnya Rosmala tak menyangka saat Arga menyuruhnya naik ke mobilnya dan berangkat ke kampus satu mobil. Ada apa dengan Arga sejak kemarin? Rosmala tidak bertanya banyak. Dia juga senang dan bahagia dengan perubahan Arga.“Kalau ada apa-apa hubungi, aku, ya!” tutur Arga saat mereka akan berpisah karena arah jalan berlawanan.“Tuh, kan!” celutuk Rosmala dalam hati. “Ah, mungkin saja Mas Arga ingin menjadi suami yang baik,” batin Rosmala lagi, berpikir positif. Tidak ada salahnya bukan?Hari ini Arga tidak ada jadwal mengajar, seperti biasa nongkrong di masjid bersama Ganang yang kebetulan sedang senggang. Sejujurnya, kejadian tadi Arga mengajak Rosmala berangkat bersama karena teringat kata-kata dari Ganang. ‘Cintai dia karena Allah. Allah benci orang yang lari dari tanggung jawab.’ Hal itu membuatArga sadar, selama ini menghindari dan mengabaikan Rosmala. Pasti sangat menyakiti perasa
“Ke kantin yuk, La!” “Delivery aja ya, lagi ada gratis ongkir banyak, nih,” balas Rosmala sembari membuka layar ponsel. Salwa cemberut. “Yah … padahal aku mau pesen banyak makanan kantin. Laper nih, lagian kalau delivery lama tau!” Akhirnya Rosmala mengalah demi sahabatnya itu. “ Ya udah deh. Hayuk ke kantin,” ajak Rosmala. Tangannya langsung digandeng oleh Salwa yang sekarang nyengir senang sekali. Aslinya Rosmala sangat malas jalan pergi ke kantin karena lumayan jauh. Ya, sahabat Rosmala hanya satu. Dia akan hadir di masa sedihnya Rosmala meskipun tidak pernah meminta datang. Salwa dengan senang hati akan memberikan bahunya sebagai sandaran karena dikecewakan dan masalah lainnya yang terasa berat bagi Rosmala. Salwa akan meminta Rosmala mengeluarkan segala keluh kesah padanya. Salwa pernah mengatakan pada Rosmala, dia orang yang akan berteriak paling keras membela, melindungi dan menemai Rosmala meskipun sebenarnya dia ketakukan. Dia akan me
“Kenapa Mbak berdiri di sini?”Pertanyaan yang spontan itu membuat Salwa dan Arga tak bisa berkata-kata. Dan Ganang yang menjawab pertanyaan dari Rosmala. Lelaki itu tahu hubungan kakak beradik itu sedang tidak baik-baik saja, pasti Rosmala dan Yura merasa canggung.“Ini La, Yura kehilangan flashdisk.” Ganang menjawab pertanyataan Rosmala dengan tenang. Lelaki itu melirik Arga, memberi isyarat agar Arga yang menjelaskan pada Rosmala. “Jadi kita mau bantuin cari flashdisknya,” lanjutnya.Sekarang Rosmala mengerti. Dia segera berpamitan pergi dari sana. Kenapa rasa cemburu ini membuat pikirannya selalu negatif.***Jam terakhir mata kuliah selesai. Rosmala menelfon Arga untuk ketiga kalinya karena tidak ada jawaban. “Hallo, Assalamualaikum?” salam Rosmala saat panggilannya terhubung, dia menempelkan benda itu ke dekat telinga.“Waalaikumsalam.””Mas Arga, kamu di mana
Rosmala menatap Citra dengan sendu ketika Citra menyuruhnya pulang. “Mama nggak sayang sama Mala?” tanya Rosmala suara lirih. “Mala baru aja ketemu Mama nggak lama. Masa disuruh pulang, sih!” lanjut Rosmala seakan tak terima atas pengusiran dari Mama tercinta.Citra mendekati Rosmala. “Bukan begitu,” katanya. “Kamu sudah punya suami. Jadi harus pulang sekarang.”Rosmala mengecutkan bibirnya kesal. Lagi- lagi Citra menyuruhnya pulang. Huh. Rosmala ingin menginap di rumah Citra, tapi untuk sekarang bukan waktu yang tepat. “Anak sendiri diusir!” dengus Rosmala sambil memeluk erat pinggang Citra. “Mama udah nggak sayang sama Mala.”Citra tertawa geli dengan kemanjaan Rosmala. Putrinya yang dulu selalu menangis saat tersandung, putrinya yang dulu selalu minta digendong, tak terasa sekarang sudah sebesar ini. “Kata siapa Mama nggak sayang sama kamu hm?” goda Citra. “Buktinya Mama
“Ya Allah aku tak mengerti dengan sikapnya ini,” batin Rosmala. “Apa mungkin Mas Arga tak ingin tidur satu ranjang denganku lagi?” Rosmala menggeleng. Tidak. Tidak. Mungkin saja hari ini Arga sedang ingin tidur sendirian. Rosmala berusaha menghempaskan pikiran negatifnya.“Tidurlah. Bukankah kamu besok ada kelas lagi?” Arga tidak menjawab pertanyaan Rosmala, melainkan menyuruhnya untuk segara tidur.“I-ya, Mas.” Rosmala berjalan ke arah tempat tidur, berbaring dengan perasaan kecewa, sedih, marah dan banyak pikiran tentang perubahan Arga padanya. Rosmala seperti menjadi wanita bodoh saat ini. Rosmala tak sekalipun membantah, ingin menang sendiri, namun dia selalu menerima perlakuan dingin dari Arga dengan lapang dada. Rosmala tidak mau durhaka pada suaminya, dia juga tak mau egois. Astaghfirullah …“La ….”Rosmala menoleh. “Iya?”“Maaf &hellip