Fatih terkekeh kecil. "Kan masih ada malam berikutnya. Tidak harus sekarang."
Zayna mengangguk. Tidak salah lihatkan? Dan tidak salah dengar? Fatih terkekeh! Ya Allah, akhirnya sifat dingin Fatih mulai mencair! Ini yang Zayna inginkan mendengar suara tawa kecil dari Fatih.*****Fatih membangunkan Zayna dengan berbisik lembut ke telinga, "Bangun, Zay." Memperhatikan wajah istrinya tanpa kerudung. "Cantik," puji Fatih tersenyum, pertama baginya melihat mahkota panjang Zayna yang sehat terawat itu. Apalagi baunya, harum sekali.Kali ini Fatih berusaha menjadi suami yang baik untuk Zayna, menepis dari segala pikiran negatif mengenai Yara. Kemarin malam alasan Fatih pulang ke rumah lebih dulu untuk merenung, menenangkan diri, dan sekarang sadar membuatnya merasa sangat bersalah."Hmmmmm?" Zayna hanya bergumam dengan mata masih terpejam, enggan membuka mata."Sholat tahajud dulu, yuk.""Nggak dulu. Zayna masih ngantuk, Mas."Fatih tersenyum kecil sambil menatap wajah Zayna tengah kembali terlelap. Lelaki itu tidak memaksa Zayna agar sholat tahajud, akhirnya sholat tahajud sendirian.Zayna terbangun saat suara merdunya Fatih membaca ayat-ayat suci mulai terdengar semakin jelas. Diam-diam membuka mata, memperhatikan Fatih tengah duduk di atas sajadah sambil memegang Al-Qur'an. Masyaallah betapa tampannya Fatih saat memakai baju koko putih lengan panjang dan kopiah hitam.****Mengambil pembelajaran daring satu minggu membuat Zayna bosan. Sedangkan Fatih mengambil libur satu minggu, dia menjadi Dosen di tempat kuliah yang sama dengan Zayna. Selain sebagai dosen, Fatih membuka bisnis coffe shop dan bisnisnya berkembang pesat. Terbuka di beberapa kota.Pukul lima pagi setelah subuhan, Zayna turun ke dapur berniat membantu Bi Astri yang sedang memasak untuk sarapan. Sebenarnya Zayna sedikit takut dan tegang bertemu dengan Mama Desi. Tapi mau bagaimana lagi? Masa iya harus menghindar."Eh, Nak Zay. Mau ngapain?" kaget Bi Astri dengan kedatangan Zayna."Mau bantu Bibi bikin sarapan."Bi Astri gelagapan. "Tidak usah. Nanti Bu Desi marah sama saya. Sudah, Nak Desi duduk saja. Jangan bantu Bibi," jelasnya takut mendapat omel dari Desi karena membiarkan menantunya ikut masak."Nggak Papa, Bi. Zayna bisa belajar masak sama Bibi, nanti kalau Zayna pindah rumah, harus bisa masak sendiri.""Aduh, bagaimana ini?" Bi Astri bingung sendiri."Tenang aja, Bi." Zayna mengambil pisau dan akan memotong cabe yang sudah dicuci. "Cara potongnya gini, ya, Bi?" tanya Zayna yang tidak tahu menahu, karena memang di rumah Mama Fani sama sekali tidak pernah menyentuh dapur."Iya, tapi itu kebesaran potongannya," tawa kecil Bi Astri melihat hasil potong bawang Zayna. Bi Astri merasa senang walaupun Zayna tidak bisa memasak, tapi punya keinginan belajar."Segini, Bi?""Nah seperti itu."Zayna mengangguk mengerti. Dia melanjutkannya memotong bawang putih yang telah dikupas, matanya terasa panas dan berair seperti ingin menangis. "Potong bawang putih emang bikin mata perih ya, Bi."Bi Astri mengangguk. "Kalau Nak Zay tidak kuat biar Bibi saja yang melanjutkan.""Zay bisa kok—" ucapan Zayna terpotong."Zayna ...."Zayna terjingkat kaget saat asyik sedang berada di dapur. Pemilik suara itu tak lain Mamanya Fatih. Zayna berbalik badan dengan kondisi mata berair dan perih melihat Desi berdiri tak jauh darinya."I-iya, Ma?" gagap Zayna."Mama perlu bicara."Deg. Jantung Zayna seketika berdetak kencang. Aduh, ada apa ini? Zayna jadi ketakutan kalau Desi akan membahas kejadian semalam, memaksa menceritakan masa lalu lalu membuat Mama Fatih kecewa besar. Zayna tidak mau hal itu terjadi padanya! Jangan sampai dibenci hanya karena masa lalu!Zayna mengikuti Desi dari belakang. "Mama mau bicara apa?" tanya Zayna tidak berani menatap mata Desi setelah berdiri saling berhadapan. Mereka berdua berdiri agak menjauh dari dapur agar Bi Astri tidak mendengar obrolan."Mama minta maaf soal semalam, ya, Nak. Mama benar-benar tersulut emosi dengan ucapan Dona," ungkap Desi merasa tidak enak hati dengan Zayna, sebab telah memaksa Zayna bercerita akan masa lalunya. "Mama tidak bermaksud memaksa kamu untuk bercerita. Harusnya Mama mengerti di posisi kamu. Mama minta maaf sekali lagi, jangan dipikirkan, ya?" mohon Desi.Jangan dipikirkan? Sudah terlambat, Zayna semalam overthinking parah. Zayna pikir Mama Desi mengajak berbicara empat mata untuk menyuruhnya berkata sejujurnya tanpa ada kelewat sedikitpun, ternyata tidak. Di sisi lain ada kelegaan di hati Zayna saat mendengar permintaan maaf Mama Desi.Kepala Zayna terangkat dan menggigit bibir bawahnya. "Mama jangan minta maaf sama Zayna. Mama pasti kecewa sama Zay, ya?" Tatapan Zayna be
Fatih menoleh ke Zayna. Dahi berkerut menandakan kebingungan. "Ini sudah bisa masak, lho," tanggapnya. "Sudah jangan banyak omong. Ajarkan saja, Fatih. Mama juga tahu kamu jago masak, waktu sekolah dulu ambil jurusan tata boga.""Iya-iya, Ma." Fatih setuju. "Tapi nanti saat kita sudah pindah rumah. Tidak apa-apa, 'kan, Zay?" Fatih menoleh ke Zayna.Zayna mengangguk. Mendengar jawaban Fatih, Zayna senang sekali. "Ah, anak Papa. Bilang saja ingin bermesraan di dapur sama istri sambil masak, kan?" goda Hasan. "Kalau di rumah ini banyak orang, jadi tidak ada kesempatan," lanjutnya. "E-nggak begitu, Pa," elak Fatih.Desi terkekeh kecil. "Papa ini ada-ada saja. Ingat dulu sebelum ada Bi Astri juga Papa modus, selalu mengganggu Mama kalau masak. Main peluk dari belakang," cerita Desi panjang lebar.Hasan cemberut. "Jangan diceritakan juga kali, Ma di depan anak-anak. Malu Papa.""Pagi, Ma, Pa," sapa Latisa dan Denia yang baru turun dari lantai atas, keduanya sudah rapi mengenakan seragam s
"Jangan sok care dong sama Kak Zay. Tisa tahu semuanya kalau Kak Fatih cuma pura-pura baik sama Kak Zayna!""TISA!" bentak Fatih tanpa berpikir dulu. "BICARA APA KAMU?!" Bentakan kedua nada suara lebih tinggi.Latisa terkejut mendengar bentakan Fatih. Ini adalah pertama kalinya dibentak. Matanya memerah dan berkaca-kaca lalu buru-buru turun dari mobil sebelum Fatih berteriak memanggilnya dengan nada marah, berlari ke gedung sekolah tanpa menoleh ke belakang sambil menahan tangis. Latisa memang type gadis yang tidak suka dibentak. Di dalam mobil. Dada Fatih naik turun, sibuk mengatur napasnya. Menarik lalu dihembuskan perlahan. Perkataan adiknya berhasil membuatnya emosi. Bibirnya bergerak berulang kali mengucapkan istighfar untuk menenangkan diri.Sementara Zayna terdiam melihat ke arah jendela kaca mobil di mana gedung itu sekolah menengah atas. Batinnya bertanya-tanya, Ya Allah apa maksudnya dari perkataan Latisa? Fatih berpura-pura baik padanya? Hati Zayna mulai tak tenang dan awal
Yara? Bagaimana bisa tahu alamat rumah orang tua Fatih? Bibir Zayna langsung menutup, kalau dipikir-pikir hanya Yara yang mengetahui cake kesukaannya. Seharusnya Zayna langsung tahu siapa yang memberinya cromboloni tanpa bertanya."Oh, Mbak Yara kakakku, Ma," ucap Zayna memberi tahu."Kok Mama baru tahu, sih. Kakak kamu sudah pulang. Aduh seharusnya tadi Mama ajak Nak Yara masuk. Mama jadi tidak enak nih.""Tidak apa, Ma. Mbak Yara datang ke pernikahanku tapi saat acara resepsi selesai," jelas Zayna. "Nanti Zay telpon Mbak Yara buat ngucapin terima kasih.""Salam untuk Kakakmu, ya, Nak.""Nanti Zayna sampaikan salamnya." Zayna meraih box itu agar mendekat. Rasanya tidak sabar mencoba. "Mama mau coba?" tawar Zayna.Desi mengangguk. Penasaran dengan rasanya karena lidahnya tidak pernah mencicipi cromboloni. Zayna mengambil dua piring, satu untuknya dan satu untuk Mama Desi—mulai kantong plastik lalu membuka box."Ini beli atau buat, Zay?" tanya Desi, mulai menggigit kue itu. "Enak sekali
Ini pertama kalinya mereka berdua ke kampus bersama-sama. Awalnya Rosmala tak menyangka saat Arga menyuruhnya naik ke mobilnya dan berangkat ke kampus satu mobil. Ada apa dengan Arga sejak kemarin? Rosmala tidak bertanya banyak. Dia juga senang dan bahagia dengan perubahan Arga.“Kalau ada apa-apa hubungi, aku, ya!” tutur Arga saat mereka akan berpisah karena arah jalan berlawanan.“Tuh, kan!” celutuk Rosmala dalam hati. “Ah, mungkin saja Mas Arga ingin menjadi suami yang baik,” batin Rosmala lagi, berpikir positif. Tidak ada salahnya bukan?Hari ini Arga tidak ada jadwal mengajar, seperti biasa nongkrong di masjid bersama Ganang yang kebetulan sedang senggang. Sejujurnya, kejadian tadi Arga mengajak Rosmala berangkat bersama karena teringat kata-kata dari Ganang. ‘Cintai dia karena Allah. Allah benci orang yang lari dari tanggung jawab.’ Hal itu membuatArga sadar, selama ini menghindari dan mengabaikan Rosmala. Pasti sangat menyakiti perasa
“Ke kantin yuk, La!” “Delivery aja ya, lagi ada gratis ongkir banyak, nih,” balas Rosmala sembari membuka layar ponsel. Salwa cemberut. “Yah … padahal aku mau pesen banyak makanan kantin. Laper nih, lagian kalau delivery lama tau!” Akhirnya Rosmala mengalah demi sahabatnya itu. “ Ya udah deh. Hayuk ke kantin,” ajak Rosmala. Tangannya langsung digandeng oleh Salwa yang sekarang nyengir senang sekali. Aslinya Rosmala sangat malas jalan pergi ke kantin karena lumayan jauh. Ya, sahabat Rosmala hanya satu. Dia akan hadir di masa sedihnya Rosmala meskipun tidak pernah meminta datang. Salwa dengan senang hati akan memberikan bahunya sebagai sandaran karena dikecewakan dan masalah lainnya yang terasa berat bagi Rosmala. Salwa akan meminta Rosmala mengeluarkan segala keluh kesah padanya. Salwa pernah mengatakan pada Rosmala, dia orang yang akan berteriak paling keras membela, melindungi dan menemai Rosmala meskipun sebenarnya dia ketakukan. Dia akan me
“Kenapa Mbak berdiri di sini?”Pertanyaan yang spontan itu membuat Salwa dan Arga tak bisa berkata-kata. Dan Ganang yang menjawab pertanyaan dari Rosmala. Lelaki itu tahu hubungan kakak beradik itu sedang tidak baik-baik saja, pasti Rosmala dan Yura merasa canggung.“Ini La, Yura kehilangan flashdisk.” Ganang menjawab pertanyataan Rosmala dengan tenang. Lelaki itu melirik Arga, memberi isyarat agar Arga yang menjelaskan pada Rosmala. “Jadi kita mau bantuin cari flashdisknya,” lanjutnya.Sekarang Rosmala mengerti. Dia segera berpamitan pergi dari sana. Kenapa rasa cemburu ini membuat pikirannya selalu negatif.***Jam terakhir mata kuliah selesai. Rosmala menelfon Arga untuk ketiga kalinya karena tidak ada jawaban. “Hallo, Assalamualaikum?” salam Rosmala saat panggilannya terhubung, dia menempelkan benda itu ke dekat telinga.“Waalaikumsalam.””Mas Arga, kamu di mana
Rosmala menatap Citra dengan sendu ketika Citra menyuruhnya pulang. “Mama nggak sayang sama Mala?” tanya Rosmala suara lirih. “Mala baru aja ketemu Mama nggak lama. Masa disuruh pulang, sih!” lanjut Rosmala seakan tak terima atas pengusiran dari Mama tercinta.Citra mendekati Rosmala. “Bukan begitu,” katanya. “Kamu sudah punya suami. Jadi harus pulang sekarang.”Rosmala mengecutkan bibirnya kesal. Lagi- lagi Citra menyuruhnya pulang. Huh. Rosmala ingin menginap di rumah Citra, tapi untuk sekarang bukan waktu yang tepat. “Anak sendiri diusir!” dengus Rosmala sambil memeluk erat pinggang Citra. “Mama udah nggak sayang sama Mala.”Citra tertawa geli dengan kemanjaan Rosmala. Putrinya yang dulu selalu menangis saat tersandung, putrinya yang dulu selalu minta digendong, tak terasa sekarang sudah sebesar ini. “Kata siapa Mama nggak sayang sama kamu hm?” goda Citra. “Buktinya Mama