"Jangan sok care dong sama Kak Zay. Tisa tahu semuanya kalau Kak Fatih cuma pura-pura baik sama Kak Zayna!"
"TISA!" bentak Fatih tanpa berpikir dulu. "BICARA APA KAMU?!" Bentakan kedua nada suara lebih tinggi.Latisa terkejut mendengar bentakan Fatih. Ini adalah pertama kalinya dibentak. Matanya memerah dan berkaca-kaca lalu buru-buru turun dari mobil sebelum Fatih berteriak memanggilnya dengan nada marah, berlari ke gedung sekolah tanpa menoleh ke belakang sambil menahan tangis. Latisa memang type gadis yang tidak suka dibentak.Di dalam mobil. Dada Fatih naik turun, sibuk mengatur napasnya. Menarik lalu dihembuskan perlahan. Perkataan adiknya berhasil membuatnya emosi. Bibirnya bergerak berulang kali mengucapkan istighfar untuk menenangkan diri.Sementara Zayna terdiam melihat ke arah jendela kaca mobil di mana gedung itu sekolah menengah atas. Batinnya bertanya-tanya, Ya Allah apa maksudnya dari perkataan Latisa? Fatih berpura-pura baik padanya? Hati Zayna mulai tak tenang dan awalnya tidak terpikirkan menjadi kepikiran. Dia ingin bertanya langsung ke Latisa nanti setelah Latisa pulang sekolah."Zay," panggil Fatih menepuk pundak istrinya. "Aku minta maaf atas sikapku tadi."Tanpa menoleh, Zayna menjawab, "Jangan minta maaf padaku, Mas. Minta maaflah ke Tisa. Dia pasti sedih."Fatih menghembuskan napas panjang. "Aku kelepasan tadi, tidak ada niatan membentaknya," jelas Fatih tidak mendapatkan respon dari Zayna.Sepanjang jalan pulang, Zayna menjadi pendiam sibuk dengan pikirannya sendiri. Hanya suara musik mengisi keheningan di mobil itu. Lagu all too well dari Taylor Swift membuat perasaan Zayna semakin tidak karuan."Nanti siang ke coffee shop milikku, ya." Fatih membuka topik pembicaraan karena sedari tadi mencuri pandangan tapi istrinya tidak sedikitpun menoleh padanya. "Sekitar tiga puluh menit sampai.""Iya, Mas," balas Zayna lemas. Tak ada energi untuk berbicara.****"Zayna sini sebentar, Nak!"Zayna baru selesai sholat Dhuha, hendak turun ke bawah untuk mengambil air putih. Tiba-tiba dipanggil Mama Desi di ruang makan. "Iya, Ma. Ada apa?" tanya Zayna mengurungkan niatnya pergi ke dapur."Ini tadi ada seorang wanita datang ke rumah ini. Menitipkan ke Mama ini," tunjuk Desi ke box cake dengan windows yang dilapisi mika bening sehingga isian dalam box itu terlihat. "Untuk kamu, Zay. Cake kesukaan kamu katanya."Mata Zayna tertuju ke box di meja. "Wah, ini cromboloni coklat. Zayna suka banget!" Matanya berbinar senang. Mood Zayna berubah drastis. Tak berhenti memamerkan deretan gigi sambil memandang cromboloni yang bikin ngiler. Sudah lama sekali Zayna tak menikmati cromboloni dengan coklat yang lumer di mulut. Alhamdulillah masih pagi ada orang baik. "Dari siapa, Ma?"Desi mencoba mengingat. "Dari, namanya Y-Yara."Yara? Bagaimana bisa tahu alamat rumah orang tua Fatih?Yara? Bagaimana bisa tahu alamat rumah orang tua Fatih? Bibir Zayna langsung menutup, kalau dipikir-pikir hanya Yara yang mengetahui cake kesukaannya. Seharusnya Zayna langsung tahu siapa yang memberinya cromboloni tanpa bertanya."Oh, Mbak Yara kakakku, Ma," ucap Zayna memberi tahu."Kok Mama baru tahu, sih. Kakak kamu sudah pulang. Aduh seharusnya tadi Mama ajak Nak Yara masuk. Mama jadi tidak enak nih.""Tidak apa, Ma. Mbak Yara datang ke pernikahanku tapi saat acara resepsi selesai," jelas Zayna. "Nanti Zay telpon Mbak Yara buat ngucapin terima kasih.""Salam untuk Kakakmu, ya, Nak.""Nanti Zayna sampaikan salamnya." Zayna meraih box itu agar mendekat. Rasanya tidak sabar mencoba. "Mama mau coba?" tawar Zayna.Desi mengangguk. Penasaran dengan rasanya karena lidahnya tidak pernah mencicipi cromboloni. Zayna mengambil dua piring, satu untuknya dan satu untuk Mama Desi—mulai kantong plastik lalu membuka box."Ini beli atau buat, Zay?" tanya Desi, mulai menggigit kue itu. "Enak sekali
Ini pertama kalinya mereka berdua ke kampus bersama-sama. Awalnya Rosmala tak menyangka saat Arga menyuruhnya naik ke mobilnya dan berangkat ke kampus satu mobil. Ada apa dengan Arga sejak kemarin? Rosmala tidak bertanya banyak. Dia juga senang dan bahagia dengan perubahan Arga.“Kalau ada apa-apa hubungi, aku, ya!” tutur Arga saat mereka akan berpisah karena arah jalan berlawanan.“Tuh, kan!” celutuk Rosmala dalam hati. “Ah, mungkin saja Mas Arga ingin menjadi suami yang baik,” batin Rosmala lagi, berpikir positif. Tidak ada salahnya bukan?Hari ini Arga tidak ada jadwal mengajar, seperti biasa nongkrong di masjid bersama Ganang yang kebetulan sedang senggang. Sejujurnya, kejadian tadi Arga mengajak Rosmala berangkat bersama karena teringat kata-kata dari Ganang. ‘Cintai dia karena Allah. Allah benci orang yang lari dari tanggung jawab.’ Hal itu membuatArga sadar, selama ini menghindari dan mengabaikan Rosmala. Pasti sangat menyakiti perasa
“Ke kantin yuk, La!” “Delivery aja ya, lagi ada gratis ongkir banyak, nih,” balas Rosmala sembari membuka layar ponsel. Salwa cemberut. “Yah … padahal aku mau pesen banyak makanan kantin. Laper nih, lagian kalau delivery lama tau!” Akhirnya Rosmala mengalah demi sahabatnya itu. “ Ya udah deh. Hayuk ke kantin,” ajak Rosmala. Tangannya langsung digandeng oleh Salwa yang sekarang nyengir senang sekali. Aslinya Rosmala sangat malas jalan pergi ke kantin karena lumayan jauh. Ya, sahabat Rosmala hanya satu. Dia akan hadir di masa sedihnya Rosmala meskipun tidak pernah meminta datang. Salwa dengan senang hati akan memberikan bahunya sebagai sandaran karena dikecewakan dan masalah lainnya yang terasa berat bagi Rosmala. Salwa akan meminta Rosmala mengeluarkan segala keluh kesah padanya. Salwa pernah mengatakan pada Rosmala, dia orang yang akan berteriak paling keras membela, melindungi dan menemai Rosmala meskipun sebenarnya dia ketakukan. Dia akan me
“Kenapa Mbak berdiri di sini?”Pertanyaan yang spontan itu membuat Salwa dan Arga tak bisa berkata-kata. Dan Ganang yang menjawab pertanyaan dari Rosmala. Lelaki itu tahu hubungan kakak beradik itu sedang tidak baik-baik saja, pasti Rosmala dan Yura merasa canggung.“Ini La, Yura kehilangan flashdisk.” Ganang menjawab pertanyataan Rosmala dengan tenang. Lelaki itu melirik Arga, memberi isyarat agar Arga yang menjelaskan pada Rosmala. “Jadi kita mau bantuin cari flashdisknya,” lanjutnya.Sekarang Rosmala mengerti. Dia segera berpamitan pergi dari sana. Kenapa rasa cemburu ini membuat pikirannya selalu negatif.***Jam terakhir mata kuliah selesai. Rosmala menelfon Arga untuk ketiga kalinya karena tidak ada jawaban. “Hallo, Assalamualaikum?” salam Rosmala saat panggilannya terhubung, dia menempelkan benda itu ke dekat telinga.“Waalaikumsalam.””Mas Arga, kamu di mana
Rosmala menatap Citra dengan sendu ketika Citra menyuruhnya pulang. “Mama nggak sayang sama Mala?” tanya Rosmala suara lirih. “Mala baru aja ketemu Mama nggak lama. Masa disuruh pulang, sih!” lanjut Rosmala seakan tak terima atas pengusiran dari Mama tercinta.Citra mendekati Rosmala. “Bukan begitu,” katanya. “Kamu sudah punya suami. Jadi harus pulang sekarang.”Rosmala mengecutkan bibirnya kesal. Lagi- lagi Citra menyuruhnya pulang. Huh. Rosmala ingin menginap di rumah Citra, tapi untuk sekarang bukan waktu yang tepat. “Anak sendiri diusir!” dengus Rosmala sambil memeluk erat pinggang Citra. “Mama udah nggak sayang sama Mala.”Citra tertawa geli dengan kemanjaan Rosmala. Putrinya yang dulu selalu menangis saat tersandung, putrinya yang dulu selalu minta digendong, tak terasa sekarang sudah sebesar ini. “Kata siapa Mama nggak sayang sama kamu hm?” goda Citra. “Buktinya Mama
“Ya Allah aku tak mengerti dengan sikapnya ini,” batin Rosmala. “Apa mungkin Mas Arga tak ingin tidur satu ranjang denganku lagi?” Rosmala menggeleng. Tidak. Tidak. Mungkin saja hari ini Arga sedang ingin tidur sendirian. Rosmala berusaha menghempaskan pikiran negatifnya.“Tidurlah. Bukankah kamu besok ada kelas lagi?” Arga tidak menjawab pertanyaan Rosmala, melainkan menyuruhnya untuk segara tidur.“I-ya, Mas.” Rosmala berjalan ke arah tempat tidur, berbaring dengan perasaan kecewa, sedih, marah dan banyak pikiran tentang perubahan Arga padanya. Rosmala seperti menjadi wanita bodoh saat ini. Rosmala tak sekalipun membantah, ingin menang sendiri, namun dia selalu menerima perlakuan dingin dari Arga dengan lapang dada. Rosmala tidak mau durhaka pada suaminya, dia juga tak mau egois. Astaghfirullah …“La ….”Rosmala menoleh. “Iya?”“Maaf &hellip
Pikiran dan perasaan Rosmala berantakan akibat Arga tak kunjung pulang, dia menunggu Arga dengan sangat lama hingga kini kakinya sudah menginjakkan di kampus. Namun tak melihat keberadaan sosok suaminya di ruangannya hingga jam istirahat tiba. Rosmala berjalan di lorong menuju kelasnya, kata Salwa sudah berada di kantin dan mengajak Rosmala makan bersama. Huh, kenapa Salwa tak menunggunya Rosmala. Salwa main pergi meninggalkan Rosmala begitu saja di toilet.“Awas aja. Kalau minta ditemenin ke toilet,” gerutu Rosmala.Makan, ya? Rosmala menjadi ingat Arga, lelaki itu sudah makan atau belum?“Mas Arga udah sarapan belum, ya?” batin Rosmala bertanya-tanya. Bagaimana pun juga Rosmala masih punya tanggung jawab untuk melayani suami, dia akan membelikan Arga nasi kotak dan akan berusaha mencari Arga sampai menemukan keberadaan.“Lama banget sih kamu di toilet,” geram Salwa saat Rosmala mendatangi mejanya.Rosmala melih
“Are you okay,Ra? Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanya Arga pada Yura yang masih diam, kini mereka sedang duduk berdua di ruang tamu. Wajah Arga tersirat kekhawatiran, sangat mengkhawatirkan Yura. “Katakanlah ….” mohon Arga.Yura sedang mengikat perban ke tangannya. Tidak berbicara sepatah katapun. Hanya diam tak bersuara. Arga yang melihat Yura tampak depresi merasa iba, dia membantu Yura menutupi luka di tangannya. Sejujurnya Arga tidak habis pikir dengan Yura. Kenapa wanita itu berani menyakiti diri sendiri atau self harm.“Aku takut, Mas …” balas Yura setelah selesai mengobati lukanya.Kepala perlahan terangkat, memandang Arga yang duduk di sampingnya. Selama ini Yura tak pernah mengekpresikan sesuatu baik melalui kata maupun emosi di hadapan orang lain. Sesedih apapun yang Yura rasakan, tak pernah sekalipun tangisnya muncul. Dia tadi tak menangis, hanya saja mencari kepuasan diri sendiri