Yara? Bagaimana bisa tahu alamat rumah orang tua Fatih? Bibir Zayna langsung menutup, kalau dipikir-pikir hanya Yara yang mengetahui cake kesukaannya. Seharusnya Zayna langsung tahu siapa yang memberinya cromboloni tanpa bertanya.
"Oh, Mbak Yara kakakku, Ma," ucap Zayna memberi tahu."Kok Mama baru tahu, sih. Kakak kamu sudah pulang. Aduh seharusnya tadi Mama ajak Nak Yara masuk. Mama jadi tidak enak nih.""Tidak apa, Ma. Mbak Yara datang ke pernikahanku tapi saat acara resepsi selesai," jelas Zayna. "Nanti Zay telpon Mbak Yara buat ngucapin terima kasih.""Salam untuk Kakakmu, ya, Nak.""Nanti Zayna sampaikan salamnya." Zayna meraih box itu agar mendekat. Rasanya tidak sabar mencoba. "Mama mau coba?" tawar Zayna.Desi mengangguk. Penasaran dengan rasanya karena lidahnya tidak pernah mencicipi cromboloni. Zayna mengambil dua piring, satu untuknya dan satu untuk Mama Desi—mulai kantong plastik lalu membuka box."Ini beli atau buat, Zay?" tanya Desi, mulai menggigit kue itu. "Enak sekali rasanya!""Iya kan, Ma? Yang buat Mbak Yara, soalnya dulu Mbak Yara selalu bikin crom boloni," cerita Zayna sambil menikmati kue tersebut."Pintar memasak, ya?" tebak Desi."Iya, Ma. Dulu Mbak Yara sekolah menengah kejuruan ambil jurusan Tata boga. Jadi, dari dulu suka membuat sesuatu di rumah.""Seperti Fatih, ya," sahut Desi. "Suka masak."Zayna mengiyakan. Memang benar Yara pintar memasak seperti Fatih."Zayna .... Aku mencari kamu kemana-mana, ternyata di sini. Yuk perginya sekarang sebelum cahaya matahari meninggi.""Iya, Mas." Zayna sudah puas makan satu cromboloni, dia mengelap sudut bibirnya menggunakan tisu. Menutup box itu dan membawa piring yang telah kotor ke wastafel, tak lupa mencuci tangan. "Zayna ganti baju dulu, Mas." Zayna bergegas menuju kamar."Iya," sahut Fatih."Mau pergi? Kemana?" tanya Mama Desi."Coffee shop, Ma," jawab Fatih. "Apa itu? Dari siapa, Ma? Perasaan tidak ada yang pesan go-food." Fatih melihat box itu tertarik untuk mencoba. Dari penampilan sepertinya enak."Cromboloni. Dari Yara, Kakaknya Zayna yang baru pulang. Kamu sudah bertemu dengan Yara?"Deg. Dada Fatih terasa dihantam keras oleh batu kala nama wanita itu disebut. Lelaki itu mematung di tempat. Napasnya tercekat di tenggorokan. "A-apa Ya-ra ...?" Suara Fatih terbata-bata. "A-ku sudah bertemu dengannya, Ma," lanjutnya memberi tahu."Saat acara pernikahan kalian selesai, kan?"Fatih mengangguk. Terpaksa berbohong, tidak ingin Mama Desi mengetahui kalau dirinya lebih mengenali Yara dibandingkan Zayna. Fatih sedikit kesal. Kenapa wanita itu berani sekali menginjakkan kaki di rumah orang tuanya? Dengan alasan untuk bertemu Zayna dan memberikan Zayna sesuatu. Fatih membatalkan niat untuk memakan cromboloni. Meletakkan kembali ke dalam box, saat hendak menutup tanpa sengaja melihat amplop putih terselip entah berisi apa. Saat Mama Desi pergi, Fatih meraih amplop itu, membuka, dan mulai membaca. Tangan Fatih bergetar hebat. Matanya melebar sempurna. Ini tidak benar! Wanita itu tanpa Fatih duga dengan berani menulis surat diletakan ke bungkus kue itu. Bagaimana kalau Zayna yang membaca?! Fatih tidak bisa membayangkan perasaan Zayna.Wajah Fatih berubah menjadi merah padam. "Apa yang telah kamu lakukan, Ra?!" batinnya sambil meremas-remas kertas itu dan menggertakkan gigi dengan penuh amarah."Kamu kenapa, Mas?"Suara Zayna membuat Fatih tersadar, cepat-cepat memasukkan kertas yang sudah diremas ke kantong celana. "Engga kenapa-kenapa. Sudah siap, yuk berangkat," ajaknya berjalan lebih dulu.Zayna tak bergeming merasakan keanehan. Beberapa detik tersadar, dia berusaha mengabaikan keanehan pada Fatih, dan mengikuti langkah suami, tapi tiba-tiba Fatih berbelok ke kiri dan naik tangga."Sebentar. Aku ke kamar dulu."Zayna mengangguk. "Iya, Mas. Jangan lama-lama." Zayna pun berjalan ke halaman rumah sambil menunggu Fatih.Di kamar, Fatih menutup pintu rapat-rapat, sempat melihat keadaan tidak ada orang yang akan masuk ke kamar. Berharap Zayna tidak menyusulnya dan tetap berada di lantai bawah. Fatih merogoh kantong celana, mengambil kertas lecek itu dan dibuang ke tempat sampah yang ada di kamar."Jangan sampai Zayna membaca ini!"Ini pertama kalinya mereka berdua ke kampus bersama-sama. Awalnya Rosmala tak menyangka saat Arga menyuruhnya naik ke mobilnya dan berangkat ke kampus satu mobil. Ada apa dengan Arga sejak kemarin? Rosmala tidak bertanya banyak. Dia juga senang dan bahagia dengan perubahan Arga.“Kalau ada apa-apa hubungi, aku, ya!” tutur Arga saat mereka akan berpisah karena arah jalan berlawanan.“Tuh, kan!” celutuk Rosmala dalam hati. “Ah, mungkin saja Mas Arga ingin menjadi suami yang baik,” batin Rosmala lagi, berpikir positif. Tidak ada salahnya bukan?Hari ini Arga tidak ada jadwal mengajar, seperti biasa nongkrong di masjid bersama Ganang yang kebetulan sedang senggang. Sejujurnya, kejadian tadi Arga mengajak Rosmala berangkat bersama karena teringat kata-kata dari Ganang. ‘Cintai dia karena Allah. Allah benci orang yang lari dari tanggung jawab.’ Hal itu membuatArga sadar, selama ini menghindari dan mengabaikan Rosmala. Pasti sangat menyakiti perasa
“Ke kantin yuk, La!” “Delivery aja ya, lagi ada gratis ongkir banyak, nih,” balas Rosmala sembari membuka layar ponsel. Salwa cemberut. “Yah … padahal aku mau pesen banyak makanan kantin. Laper nih, lagian kalau delivery lama tau!” Akhirnya Rosmala mengalah demi sahabatnya itu. “ Ya udah deh. Hayuk ke kantin,” ajak Rosmala. Tangannya langsung digandeng oleh Salwa yang sekarang nyengir senang sekali. Aslinya Rosmala sangat malas jalan pergi ke kantin karena lumayan jauh. Ya, sahabat Rosmala hanya satu. Dia akan hadir di masa sedihnya Rosmala meskipun tidak pernah meminta datang. Salwa dengan senang hati akan memberikan bahunya sebagai sandaran karena dikecewakan dan masalah lainnya yang terasa berat bagi Rosmala. Salwa akan meminta Rosmala mengeluarkan segala keluh kesah padanya. Salwa pernah mengatakan pada Rosmala, dia orang yang akan berteriak paling keras membela, melindungi dan menemai Rosmala meskipun sebenarnya dia ketakukan. Dia akan me
“Kenapa Mbak berdiri di sini?”Pertanyaan yang spontan itu membuat Salwa dan Arga tak bisa berkata-kata. Dan Ganang yang menjawab pertanyaan dari Rosmala. Lelaki itu tahu hubungan kakak beradik itu sedang tidak baik-baik saja, pasti Rosmala dan Yura merasa canggung.“Ini La, Yura kehilangan flashdisk.” Ganang menjawab pertanyataan Rosmala dengan tenang. Lelaki itu melirik Arga, memberi isyarat agar Arga yang menjelaskan pada Rosmala. “Jadi kita mau bantuin cari flashdisknya,” lanjutnya.Sekarang Rosmala mengerti. Dia segera berpamitan pergi dari sana. Kenapa rasa cemburu ini membuat pikirannya selalu negatif.***Jam terakhir mata kuliah selesai. Rosmala menelfon Arga untuk ketiga kalinya karena tidak ada jawaban. “Hallo, Assalamualaikum?” salam Rosmala saat panggilannya terhubung, dia menempelkan benda itu ke dekat telinga.“Waalaikumsalam.””Mas Arga, kamu di mana
Rosmala menatap Citra dengan sendu ketika Citra menyuruhnya pulang. “Mama nggak sayang sama Mala?” tanya Rosmala suara lirih. “Mala baru aja ketemu Mama nggak lama. Masa disuruh pulang, sih!” lanjut Rosmala seakan tak terima atas pengusiran dari Mama tercinta.Citra mendekati Rosmala. “Bukan begitu,” katanya. “Kamu sudah punya suami. Jadi harus pulang sekarang.”Rosmala mengecutkan bibirnya kesal. Lagi- lagi Citra menyuruhnya pulang. Huh. Rosmala ingin menginap di rumah Citra, tapi untuk sekarang bukan waktu yang tepat. “Anak sendiri diusir!” dengus Rosmala sambil memeluk erat pinggang Citra. “Mama udah nggak sayang sama Mala.”Citra tertawa geli dengan kemanjaan Rosmala. Putrinya yang dulu selalu menangis saat tersandung, putrinya yang dulu selalu minta digendong, tak terasa sekarang sudah sebesar ini. “Kata siapa Mama nggak sayang sama kamu hm?” goda Citra. “Buktinya Mama
“Ya Allah aku tak mengerti dengan sikapnya ini,” batin Rosmala. “Apa mungkin Mas Arga tak ingin tidur satu ranjang denganku lagi?” Rosmala menggeleng. Tidak. Tidak. Mungkin saja hari ini Arga sedang ingin tidur sendirian. Rosmala berusaha menghempaskan pikiran negatifnya.“Tidurlah. Bukankah kamu besok ada kelas lagi?” Arga tidak menjawab pertanyaan Rosmala, melainkan menyuruhnya untuk segara tidur.“I-ya, Mas.” Rosmala berjalan ke arah tempat tidur, berbaring dengan perasaan kecewa, sedih, marah dan banyak pikiran tentang perubahan Arga padanya. Rosmala seperti menjadi wanita bodoh saat ini. Rosmala tak sekalipun membantah, ingin menang sendiri, namun dia selalu menerima perlakuan dingin dari Arga dengan lapang dada. Rosmala tidak mau durhaka pada suaminya, dia juga tak mau egois. Astaghfirullah …“La ….”Rosmala menoleh. “Iya?”“Maaf &hellip
Pikiran dan perasaan Rosmala berantakan akibat Arga tak kunjung pulang, dia menunggu Arga dengan sangat lama hingga kini kakinya sudah menginjakkan di kampus. Namun tak melihat keberadaan sosok suaminya di ruangannya hingga jam istirahat tiba. Rosmala berjalan di lorong menuju kelasnya, kata Salwa sudah berada di kantin dan mengajak Rosmala makan bersama. Huh, kenapa Salwa tak menunggunya Rosmala. Salwa main pergi meninggalkan Rosmala begitu saja di toilet.“Awas aja. Kalau minta ditemenin ke toilet,” gerutu Rosmala.Makan, ya? Rosmala menjadi ingat Arga, lelaki itu sudah makan atau belum?“Mas Arga udah sarapan belum, ya?” batin Rosmala bertanya-tanya. Bagaimana pun juga Rosmala masih punya tanggung jawab untuk melayani suami, dia akan membelikan Arga nasi kotak dan akan berusaha mencari Arga sampai menemukan keberadaan.“Lama banget sih kamu di toilet,” geram Salwa saat Rosmala mendatangi mejanya.Rosmala melih
“Are you okay,Ra? Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanya Arga pada Yura yang masih diam, kini mereka sedang duduk berdua di ruang tamu. Wajah Arga tersirat kekhawatiran, sangat mengkhawatirkan Yura. “Katakanlah ….” mohon Arga.Yura sedang mengikat perban ke tangannya. Tidak berbicara sepatah katapun. Hanya diam tak bersuara. Arga yang melihat Yura tampak depresi merasa iba, dia membantu Yura menutupi luka di tangannya. Sejujurnya Arga tidak habis pikir dengan Yura. Kenapa wanita itu berani menyakiti diri sendiri atau self harm.“Aku takut, Mas …” balas Yura setelah selesai mengobati lukanya.Kepala perlahan terangkat, memandang Arga yang duduk di sampingnya. Selama ini Yura tak pernah mengekpresikan sesuatu baik melalui kata maupun emosi di hadapan orang lain. Sesedih apapun yang Yura rasakan, tak pernah sekalipun tangisnya muncul. Dia tadi tak menangis, hanya saja mencari kepuasan diri sendiri
“La, kamu mau kemana?”Rosmala terkejut ketika tiba-tiba Salwa berjalan di sampingnya, dia kira Salwa sudah kembali ke kelas duluan. “Aku mau ke sana sebentar,” jawab Rosmala mengangkat dagunya tanpa memberi tahu kemana dia akan pergi. “Kamu ke kelas dulu aja.”Salwa mengangguk, rasa penasaran itu hilang ketika matanya tertuju ke tangan Rosmala yang sedang menenteng nasi kotak, sudah pasti nasi kotak itu untuk suaminya. “Ya udah, duluan ya?” katanya.“Iya, Wa,” balas Rosmala sambil tersenyum.Rosmala berbelok dan tanpa sengaja dia menabrak tubuh seseorang dari arah yang berlawanan. Brukkk! Tubuh Rosmala terhuyung, hampir saja nasi kotak yang dia pegang jatuh ke lantai.“Aduh, maaf ya, Kak. Aku sedang buru-buru jadi tak sengaja menabrak Kakak,” kata wanita itu.“Iya, tidak apa-apa kok,” jawab Rosmala.“Sekali lagi maaf ….” Wa