Rosmala ingin segera pulang saja. Dia sudah tidak tahan lagi harus berhadapan dengan Adam. Rosmala pikir, Adam akan menyerah tidak mendekatinya, namun salah. Tanpa Adam sadari, perlakuan tadi membuat Rosmala tidak nyaman dan semakin membuatnya enggan untuk mengobrol lagi dengan Adam.
Okay. Sebaiknya lupakan kejadian tadi.
Sekarang Rosmala tak sabar memasak makan malam untuk Arga, suaminya. Sebelum pulang ke rumah, Rosmala berniat membeli sayuran di supermarket dan juga membeli kebutuhan untuk makan malam nanti.
Satu jam Rosmala habiskan untuk berbelanja, dia dengan bersemangat mendorong troli belanja di Supermarket, belanja kebutuhan sehari-hari dan tidak lupa membeli keperluan untuk dimasak malam ini juga. Setelah puas belanja, Rosmala menyibukkan diri di dapur. Semua bahan yang tadi dibeli sudah tersedia di atas meja.
Sebelum menikah dan setelah menjadi pengantin baru, Rosmala memang tak pandai memasak, namun dia berusaha mengikuti kelas memasak. Rosmal
Rasa bahagia menunggu Arga pulang dan harapan besar masakannya akan di makan oleh Arga kini harapan itu sirna. Rosmala sudah tidak tahan lagi dengan kekecewaan ini, sebagai seorang istri harus tetap sabar menghadapi suami. Tapi sampai kapan?“Ya Allah kuatkan hambamu ini untuk menghadapi Mas Arga,” batin Rosmala.Langkah kaki pelan menuju meja makan, dia merapikan makanan yang sudah tersaji dua jam yang lalu. Rosmala sudah sangat lama menunggu Arga pulang, tapi tidak ada tanda-tanda sang suaminya pulang. Setelah membereskan makanan, Rosmala menaiki tangga lalu masuk ke dalam kamar. Dia duduk di depan meja belajar, meletakan novel dan menyalakan ponsel untuk mencoba menghubungi Arga sekali lagi. Helaan napas terdengar saat panggilannya sama sekali tidak terjawab, pesan juga belum ada balasan.Huh. Rosmala berusaha untuk berpikir positif. Dia lelah overthinking setiap saat.“Apa mungkin Mas Arga masih sibuk, ya? Hingga untuk membalas pesan
Apakah Arga menyesal? Menyasali menikah dengan Rosmala? Seperti kata-kata bijak, penyesalan memang selalu datang diakhir.“Dia juga masih mencintaiku, Nang. Kenapa dia datang saat aku telah menikah dengan Mala,” sesal Arga.Mendengar itu Ganang terkejut setengah mati dengan pengakuan Arga. Lelaki itu mematung di tempat, duduk tak bergerak, dan mata sama sekali tidak berkedip. Sahabatnya ternyata masih mencintaiwanita yang dulu akan dijadikan istri olehnya, namun pernikahan itu batal secara tidak terduga. Mantan calon istrinya menjadi orang ketiga di dalam rumah tangga Arga dengan Rosmala, dan keluarga yang awalnya harmonis sekarang diambang keretakan.“Kamu menyesal telah menikahi Mala bukan Yura?” tanya Ganang dengan serius.Arga mengerjabkan sepasang mata sekali. Dia bungkam, wajahnya memerah setelah mendengar pertanyaan dari Ganang. Menyesal? Arga bingung harus menjawab apa. Menyesal? Arga belum tau ini sebuah penyesalan atau bu
“Saya nikahkan dan saya kawinkan Engkau Ananda Alfatih Malik Bin Hasan Basyir dengan anak saya yang bernama Zayna Amira dengan maskawin uang tunai lima puluh juta dibayar tunai!”“Saya terima nikah dan kawinnya Zayna Amira binti Arman Faris dengan maskawin tersebut, Tunai!” ucap Fatih dengan lantang. “SAH!”Lalu ucapan rasa syukur dari para tamu yang menyaksikan ijab kabul itu. Alhamdulillah, lega rasanya. Akhirnya hari itu juga Zayna telah menjadi istri sah Fatih, betapa senangnya menjadi pengantin baru.Tepat pukul lima sore acara resepsi pernikahan telah selesai. Para tamu undangan sudah pergi, tersisa hanya keluarga pengantin wanita dan keluarga lelaki di ballroom hotel. Zayna mengajak Fatih untuk ke kamar yang sudah di booking khusus untuk pasangan baru menikah. Zayna tidak sabar beristirahat sambil menunggu waktu Magrib tiba. Kepalanya sudah sangat pusing memakai mahkota di kepala, gaun pengantin juga berat dan make up yang tebal. Rasanya ingin cepat melepas gaun pengantin dan k
“Kalian saling kenal?" tanya Zayna, memandang Mbak Yara dan Mas Fatih secara bergantianYara tersenyum canggung. “T-tidak, Zay. Mbak baru melihatnya,” dustanya menatap bola mata Zayna. "Ya sudah, Zay. Mbak mau mencari Mama dan Papa dulu. Assalamualaikum," pamit Yara dengan dahinya dipenuhi peluh dingin.Zayna menjawab salam dengan lirih. Kepergian Yara membuat Zayna bertanya-tanya, “Mas mengenal Mbak Yara?”“Tidak,” jawab Fatih singkat.Zayna tidak yakin. Apa memang benar mereka berdua saling kenal? Dilihat dari perubahan Mas Fatih sangat dirasakan oleh Zayna. Bahkan Fatih banyak diam setelah bertemu dengan Mbak Yara. Saat di dalam lift menaiki lantai 5, Zayna berulang kali melirik suaminya yang hanya diam dan wajahnya terlihat gelisah. Kebahagiaan yang tadinya terpancar dari wajahnya telah sirna.Sebenarnya apa yang terjadi? Zayna benar-benar tidak tahu apa yang terjadi antara Mas Fatih dengan Mbak Yara. Mereka berdua sama-sama berubah saat bertemu. Sikap Mas Fatih kini dingin sekali,
"Sudah jangan dibahas. Aku mau ke masjid," ketus Fatih kembali ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Fatih memakai kemeja coklat lengan panjang dan segera keluar dari kamar hotel begitu saja. Lelaki itu akan pergi ke masjid terdekat walaupun belum adzan Magrib, kurang lima belas menit.Zayna tersenyum secara paksa saat Fatih sudah menghilang dari pandangan. Kini Zayna duduk di tepi tempat tidur. Tangannya mencengkram kuat selimut. Usai ijab kabul, Zayna tidak pernah menyangka akan ada perubahan dari Fatih dan suara Fatih tadi membuat pikirannya berkecamuk di isi kepala.*****Yara berjalan cepat sambil memegang dadanya, detak jantungnya berdetak kencang. Kakinya lemas setelah bertemu adiknya dengan suaminya. Dia mencari tempat duduk paling sepi untuk menormalkan detak jantungnya. Napas Yara terengah-engah, duduk di kursi. "Ya Allah, apa yang terjadi? Mengapa begitu sakit ketika aku melihatnya bersama adikku?" Yara tidak menyangka bahwa suami adiknya adalah Alfatih Malik. Sosok lelaki
Fatih pergi ke masjid terdekat di hotel. Tubuhnya terduduk tak berdaya di atas sajadah masjid. Dia seperti tidak punya semangat dan kebahagian lagi. Perasaannya tidak karuan dan hancur begitu saja.Kedua tangannya menangkup wajahnya. "Ya Allah ... maafkan hamba. Aku benar-benar bingung dengan keadaan ini. Apa yang harus aku lakukan Ya Allah," curhat Fatih dengan suara lirih. Fatih tau, perasaan kepada Yara tak seharusnya dia rasakan. Harusnya perasaan itu sudah hilang tapi kembali setelah melihat wajah wanita itu yang tidak pernah bosan untuk dipandang, paras cantiknya membuat jantungnya berdebar keras. Yara bertambah amat cantik. Apalagi alis tebalnya. Memang Fatih menyukai Yara sudah lama."Wanita yang seharusnya aku beri kebahagiaan dan kasih sayang adalah istriku. Bukan wanita lain. Aku tidak ingin menyakiti istriku yang baru dinikahi hanya karena melihat wajah wanita itu lagi," lanjut Fatih dengan penuh rasa bersalah. "Ampuni hamba Ya Allah."Fatih mengucap istighfar berulang kal
Tok. Tok. Tok!"Kak Zay. Buka pintunya! Buka pintunya sekarang!""Astaghfirullah hal adzim," kaget Zayna terbangun mendengar ketukan pintu di luar kamar hotel yang berisik di telinga. Siapa, sih yang mengganggu jam tidurnya di jam setengah empat pagi dan suara wanita itu tidak Zay kenal. Zayna cepat-cepat memakai kerudung dan rasa kantuknya hilang begitu saja menyadari tidak ada keberadaan Fatih di sampingnya. Fatih tidak ada di sana! Fatih belum pulang! "Apa salahku sehingga aku ditinggalkan seperti ini?" Mengelus dadanya yang terasa sesak sekali. "Kak Zay cepat buka pintunya! Sudah bangun, kan?!" Suara di luar kamar semakin keras. Zayna dengan langkah berat berjalan ke pintu. Mengintip dari lubang kecil di pintu, ternyata yang datang adik Fatih yang kedua bernama Latisa. Usianya baru menginjak 17 tahun dan masih duduk di bangku 12 SMA."Latisa?" kata Zayna setelah pintu dibuka. "Jangan gedor-gedor. Kamar lain bisa terganggu," tegurnya.Latisa memasang ekspresi tanpa dosa telah me
Perasaan kecewa itu Zayna luapkan pada dua rakaat shalat subuh, menggelar sajadah di atas lantai. Seharusnya hari ini sholat subuh bersama Fatih yang akan menjadi imam dan sholat berjamaah, namun Fatih sudah pulang lebih dulu tanpa memberitahunya. Setelah melaksanakan sholat subuh, Zayna membaca surah Ar-Rahman dilanjut Al-Waqiah. Dua surah yang selalu Zayna baca sehabis subuh. Pukul setengah tujuh pagi, Zayna turun untuk sarapan. Di lantai tempat untuk breakfast, Zayna ditanya oleh petugas 'berapa nomor kamarnya' lalu berkeliling untuk melihat menu sarapan apa yang tersedia agar tidak bingung saat mengambil makanan."Mbak Zayna, kan? Yang kemarin mengadakan pernikahan di gedung?"Zayna kaget ada yang mengenalinya. Bagaimana bisa seorang ibu yang hendak mengambil piring itu mengenali dirinya? Zayna pun mengangguk sebagai jawaban."Wah .... Selamat, ya atas pernikahanmu semoga menjadi keluarga sakinah mawadah warahmah." Ucapan doa dan selamat dari ibu-ibu itu sangat antusias, seperti t