"Sudah jangan dibahas. Aku mau ke masjid," ketus Fatih kembali ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Fatih memakai kemeja coklat lengan panjang dan segera keluar dari kamar hotel begitu saja. Lelaki itu akan pergi ke masjid terdekat walaupun belum adzan Magrib, kurang lima belas menit.
Zayna tersenyum secara paksa saat Fatih sudah menghilang dari pandangan. Kini Zayna duduk di tepi tempat tidur. Tangannya mencengkram kuat selimut. Usai ijab kabul, Zayna tidak pernah menyangka akan ada perubahan dari Fatih dan suara Fatih tadi membuat pikirannya berkecamuk di isi kepala.*****Yara berjalan cepat sambil memegang dadanya, detak jantungnya berdetak kencang. Kakinya lemas setelah bertemu adiknya dengan suaminya. Dia mencari tempat duduk paling sepi untuk menormalkan detak jantungnya. Napas Yara terengah-engah, duduk di kursi."Ya Allah, apa yang terjadi? Mengapa begitu sakit ketika aku melihatnya bersama adikku?" Yara tidak menyangka bahwa suami adiknya adalah Alfatih Malik. Sosok lelaki yang Yara kenal begitu lama. Sekaligus sosok lelaki yang belum sepenuhnya Yara lupakan. Yara sangat jatuh cinta Fatih saat dibangku sekolah, perasaan itu tidak hilang sampai detik itu juga."YARA?!" teriak Fani, Mamanya. "Ya Allah, alhamdulillah, Ra. Akhirnya kamu datang! Mama kangen banget sama kamu!" Fani berlari menghampiri Yara. Seorang Ibu pasti merindukan putrinya, sudah lama tidak bertemu. "Kangen banget!"Yara tersenyum, membiarkan tubuhnya dipeluk oleh Mama tercinta. "Aku juga kangen sama Mama. Aku datang karena hari ini adalah hari bahagia Zayna," balas Yara. "Maaf ya Ma tidak memberi kabar dulu. Mama pasti terkejut tiba-tiba melihatku di sini.""Iya, sayang. Mama kira salah orang. Terima kasih sudah mau hadir, ya." Fani sangat menyukai kedatangan Yara. "Kamu sudah melihat suami Zayna belum? Sudah bertemu dengan adikmu?"Yara mengangguk. Menarik sudut bibir secara paksa. "Mereka tampak serasi, Ma. Aku bahagia melihat adikku bahagia bersama lelaki pilihannya. Awalnya aku tidak akan mengira Zayna menikah lebih dulu.""Pasti dong serasi. Kan Mama yang menjodohkan Zayna dengan Fatih. Itu loh, Ibunya Fatih, sahabat Mama. Jadi Mama jodohkan, deh," jelas Fani sangat bersemangat. Kebahagiaan terpancar jelas."Oh, ya?" Yara terkejut. Ternyata pernikahan Zayna dengan Fatih berawal dari perjodohan. Yara sedikit kecewa. Kenapa harus Zayna yang bersanding di pelaminan bersama Fatih? Kenapa bukan dirinya? Kenapa?!Fatih menerima begitu saja atas perjodohan itu? Apa tidak teringat dengan dirinya? Janji yang dulu pernah berkomitmen akan bertemu dititik terbaik. Ternyata hanya angan-angan. Yura berpikir, Fatih telah melupakan dirinya.Fani pun menjelaskan awal perjodohan Zayna dengan Fatih. Zayna sempat menolak menikah karena belum menyelesaikan kuliahnya, tapi Fani meyakinkan kalau Fatih adalah lelaki yang baik memimpin Keluarga dan untuk anak-anaknya kelak nanti.Sudah cukup! Yara tidak ingin mendengar penjelasan detailnya. Semakin membuatnya merasa tersakiti. "Aku ingin bertemu sama Papa.""Papa kayaknya sedang ada di lobby hotel," jawab Fani. "Cepatlah temui Papa. Papa kangen banget sama kamu, Ra. Nanti kita pulang bareng ya!"Yara mengangguk dan putuskan untuk ke lobby, sekaligus untuk mencoba menenangkan diri, jalan-jalan di hotel. Dia masuk ke dalam lift, saat pintu lift hampir tertutup tiba-tiba seorang lelaki menghentikan pintu. Yara tertegun. Menelan ludah susah payah melihat Fatih ikut masuk ke lift dan berada satu lift dengannya. Keringat dingin mulai bercucuran. Tubuhnya kaku. Diam tak bergerak."Kamu masih mengenaliku?"Pertanyaan itu sungguh membuat dada Yara sesak. Bagaimana mungkin dia lupa? Tidak pernah lupa sedikitpun tentang Fatih. Fatih selalu membuatnya kagum di waktu sekolah, Fatih yang memberikan kenangan indah di masa remajanya dan kini tinggal kenangan."I-iya," jawab Yara gugup."Bagaimana kabarmu?"Yara berusaha tidak segugup tadi. "Allhamdulillah, baik."Fatih menoleh, begitu juga Yara. Keduanya saling bertatapan. Sorot mata mereka berbicara tidak bisa berbohong. Saling merindukan, tapi tidak tahu harus berbuat apa selain diam tanpa kata sampai Pintu lift terbuka. Fatih lebih dulu keluar dari lift tanpa mengucapkan sepatah kata.Kaki Yara tidak bisa menahan tubuhnya, ambruk duduk lemas di depan lift, jemarinya tanpa sadar bergetar melihat punggung Fatih yang semakin hilang dari penglihatannya. Hatinya menjerit. Rindu semakin meluap akan sosok Fatih. Air mata jatuh beberapa tetes ke lantai. Dia hampir menangis sesenggukan tapi dengan sekuat tenaga menahan agar tidak ada isakan dari mulutnya, langsung menghapus air mata yang telah membasahi pipi.Yara berusaha berdiri, berjalan lunglai mencari ayahnya sambil membatin, "Aku harus kuat. Ingat, Ra. Dia sudah menjadi milik orang lain! Yang tidak lain suami dari adikku!" peringkat Yara, berusaha tega setegar karang yang dihempas ombak tiap detik.Fatih pergi ke masjid terdekat di hotel. Tubuhnya terduduk tak berdaya di atas sajadah masjid. Dia seperti tidak punya semangat dan kebahagian lagi. Perasaannya tidak karuan dan hancur begitu saja.Kedua tangannya menangkup wajahnya. "Ya Allah ... maafkan hamba. Aku benar-benar bingung dengan keadaan ini. Apa yang harus aku lakukan Ya Allah," curhat Fatih dengan suara lirih. Fatih tau, perasaan kepada Yara tak seharusnya dia rasakan. Harusnya perasaan itu sudah hilang tapi kembali setelah melihat wajah wanita itu yang tidak pernah bosan untuk dipandang, paras cantiknya membuat jantungnya berdebar keras. Yara bertambah amat cantik. Apalagi alis tebalnya. Memang Fatih menyukai Yara sudah lama."Wanita yang seharusnya aku beri kebahagiaan dan kasih sayang adalah istriku. Bukan wanita lain. Aku tidak ingin menyakiti istriku yang baru dinikahi hanya karena melihat wajah wanita itu lagi," lanjut Fatih dengan penuh rasa bersalah. "Ampuni hamba Ya Allah."Fatih mengucap istighfar berulang kal
Tok. Tok. Tok!"Kak Zay. Buka pintunya! Buka pintunya sekarang!""Astaghfirullah hal adzim," kaget Zayna terbangun mendengar ketukan pintu di luar kamar hotel yang berisik di telinga. Siapa, sih yang mengganggu jam tidurnya di jam setengah empat pagi dan suara wanita itu tidak Zay kenal. Zayna cepat-cepat memakai kerudung dan rasa kantuknya hilang begitu saja menyadari tidak ada keberadaan Fatih di sampingnya. Fatih tidak ada di sana! Fatih belum pulang! "Apa salahku sehingga aku ditinggalkan seperti ini?" Mengelus dadanya yang terasa sesak sekali. "Kak Zay cepat buka pintunya! Sudah bangun, kan?!" Suara di luar kamar semakin keras. Zayna dengan langkah berat berjalan ke pintu. Mengintip dari lubang kecil di pintu, ternyata yang datang adik Fatih yang kedua bernama Latisa. Usianya baru menginjak 17 tahun dan masih duduk di bangku 12 SMA."Latisa?" kata Zayna setelah pintu dibuka. "Jangan gedor-gedor. Kamar lain bisa terganggu," tegurnya.Latisa memasang ekspresi tanpa dosa telah me
Perasaan kecewa itu Zayna luapkan pada dua rakaat shalat subuh, menggelar sajadah di atas lantai. Seharusnya hari ini sholat subuh bersama Fatih yang akan menjadi imam dan sholat berjamaah, namun Fatih sudah pulang lebih dulu tanpa memberitahunya. Setelah melaksanakan sholat subuh, Zayna membaca surah Ar-Rahman dilanjut Al-Waqiah. Dua surah yang selalu Zayna baca sehabis subuh. Pukul setengah tujuh pagi, Zayna turun untuk sarapan. Di lantai tempat untuk breakfast, Zayna ditanya oleh petugas 'berapa nomor kamarnya' lalu berkeliling untuk melihat menu sarapan apa yang tersedia agar tidak bingung saat mengambil makanan."Mbak Zayna, kan? Yang kemarin mengadakan pernikahan di gedung?"Zayna kaget ada yang mengenalinya. Bagaimana bisa seorang ibu yang hendak mengambil piring itu mengenali dirinya? Zayna pun mengangguk sebagai jawaban."Wah .... Selamat, ya atas pernikahanmu semoga menjadi keluarga sakinah mawadah warahmah." Ucapan doa dan selamat dari ibu-ibu itu sangat antusias, seperti t
"Assalamualaikum," ulang Zayna sambil mengetuk pintu. Tok. Hanya satu ketukan, tiba-tiba suara lembut menyapanya saat pintu tiba-tiba terayun terbuka. "Wa'alaikumsalam, Zay?" jawab Desi, Ibu Fatih. Menatap Zayna dengan seraut wajah yang menyambut hangat. Zayna tersenyum, tidak menunggu lama mencium punggung tangan Mama Desi. "Hai, Tan," sapa Zayna sedikit canggung. Di sisi lain merasa lega, untunglah bukan Fatih yang membukakan pintu."Hai, sayang. Astaga, Baru sampai? Ayo cepat masuk! Biar Mama yang bawakan kopernya." Desi meraih koper Zayna dengan memaksa walaupun Zayna menolak untuk dibawakan koper. "Kehujanan pasti? Maaf, ya sayang. Ini salahnya Fatih yang pulang duluan dan tidak mau menjemput kamu. Padahal sudah Mama paksa. Mama nggak tahu kenapa Fatih menjadi begitu. Cuek dan dingin," dumelnya.Zayna mengerti sekarang, Fatih sengaja tidak menjemputnya. Sakitnya. Zayna pun bertanya apa di rumah ada Papa Fatih. Soalnya Zayna ingin menjaga sopan santun menemui kepala keluarga di
Ini kamarku." Fatih mempersilahkan Zayna masuk.Zayna masuk ke dalam kamar Fatih untuk pertama kali. Bau ruangan harum dengan aroma parfum. Zayna melihat-lihat foto di sana, foto anak kecil dan foto keluarga Fatih yang terpajang di dinding. Foto keluarga Fatih ada anak kecil yang sedang digendong, pasti anak kecil itu Fatih. Kamar Fatih bernuansa abu-abu terlihat elegan dan estetik, menciptakan suasana tenang dan nyaman pada interior. Dipadukan cat putih yang tampak bersih dan netral. Keadaan kamar rapih, tidak berantakan. Di sana juga ada sofa panjang yang empuk dan jendela kaca besar sehingga dapat melihat pemandangan jalan raya. "Nanti bajunya masukin ke dalam lemari. Anggap saja rumah sendiri.""Iya, Mas," balas Zayna sibuk melihat-lihat."Kamu sudah sholat?"Langkah Zayna terhenti. Berbalik badan melihat Fatih dari jarak agak jauh. Menggeleng kepala lalu menjawab, "Sebentar lagi." Fatih mengangguk. "Kalau lapar turun saja ke ruang makan. Mengenai rumah kita, mungkin seminggu ke
Mimik muka Zayna terheran-heran mendengar suara gaduh di lantai bawah. Ada apa di sana? Kini Zayna menuruni tangga bersama Fatih sehabis sholat isya. Betapa terkejutnya Zayna melihat keluarga besar Fatih di ruang keluarga sedang asyik bercakap-cakap, ada tawa, dan canda. Fatih tak kalah terkejut, karena lelaki itu tidak mengetahui kalau keluarganya akan datang. Suasana yang tadinya ramai menjadi hening sejak kedatangan mereka berdua dan apa yang Zayna lihat? Keluarga Fatih memperhatikannya dengan berbagai tatapan. Ada yang menyukai dan ada yang kurang begitu menyukai kehadiran Zayna. Zayna tetap tersenyum ramah pada keluarga Fatih, menepis pikiran buruk sangka. "Wah ... pengantin baru nih baru turun ke lantai bawah." Papa Fatih masih mengenakan peci hitam di kepala, menutupi rambut yang sedikit botak. "Hayo abis ngapain kalian di kamar terus?" goda Hasan.Melihat ayah Fatih sudah berada di rumah, Zayna cepat-cepat menghampiri untuk mencium tangan Hasan dan mencium tangan semua orang
"Mari semuanya makan. Makan malam ini sangat spesial karena Istriku yang memasak, biasanya yang masak Bibi. Di jamin rasanya mantap!" Hasan mempersilahkan mereka semua untuk makan malam. "Nak Zay jangan malu-malu, ya. Anggap saja rumah sendiri, makan yang banyak," ujar Hasan pada Zayna.Zayna mengangguk kecil. Sebenarnya nafsu makan Zayna telah hilang, tidak berselera makan walaupun Mama Desi menawarkan berbagai lauk pauk dan menyuruhnya menambah nasi, tapi Zayna menolak dan makan secukupnya dengan berpura-pura lahap sebab tidak ingin menyinggung Desi tentang rasa masakannya. Sepuluh menit berlalu, semua lauk menu di meja makan hampir habis dan hampir tidak tersisa. Semuanya telah menghabiskan makanan masing-masing. Suasana di meja makan dicairkan oleh Tante Dewi yang memulai percakapan."Kuliah semester berapa, Nak Zay?" tanya Tante Dewi."Baru semester lima, Tante," jawab Zayna dengan ramah."Masyaallah, kamu lebih cantik aslinya, tanpa make up, natural, kulit kuning langsat, ya. Mu
Setelah meja makan itu bebas dari peralatan makan, Hasan memandang Zayna yang tengah menunduk dalam-dalam. "Nak Zay, bisa angkat kepalanya cantik?" pintanya dengan suara lembut karena tidak ingin membuat Zayna ketakutan di hari pertama satu rumah. "Saya tidak akan marah, tenang saja."Awalnya jantung Zayna berdebar tak karuan, suara lembut dari Papa Fatih bisa membuat jantung berdetak normal, jemarinya yang tadinya gemetaran mulai rileks. Perlahan kepala terangkat. Memberanikan diri menatap Papa Fatih, Mama Fatih, serta suaminya secara bergantian. Zayna merasa sangat dipermalukan! Memang sengaja Dona ingin menjatuhkan Zayna dari keluarga Fatih. Keterlaluan! Awas saja kalau bertemu, huh! Zayna tidak terima!Desi menarik napas dalam-dalam. "Benar apa yang dikatakan Dona?" tanyanya dengan amat serius.Zayna tertegun menyadari wajah Mama Desi memerah, kedua tangan disilangkan di bawah dada, tatapan berbeda dari sebelumnya. Zayna menjadi panik cemas, dan ketakutan membuat lidahnya kelu tak