Beranda / Young Adult / Days to Remember / Bab 7 - Ciye tak Lagi Terngiang

Share

Bab 7 - Ciye tak Lagi Terngiang

Penulis: Nurwahidah Bi
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-08 14:57:55

Saat bertemu dengan Sisi sahabat lamaku, aku pun curhat tentang berbagai hal yang kutemui di sekolah ini termasuk masalah Yani. Semua kuceritakan kepada Sisi, tanpa merahasiakan apapun darinya.

"Terus kenapa tidak mau? Kalau gini pasti udah jadi asistennya sekretaris kelas, bukan sekadar teman yang siap disindir melulu tiap hari," tanya Sisi menanggapi curhatanku.

"Malas ah ... asisten? Tak mau lah diriku! Hehehe. Kalau kumpul-kumpul seperti itu yang ada bukannya belajar, Sisi … malah bercanda, gosip atau pacaran. Mending nggak usah lah!" jelasku.

"Iya sih, betul juga!"

"Oh ya, kamu belum beritahu apa-apa ke teman sekelasku ‘kan?" Aku tiba-tiba mengingat sesuatu.

"Tentang itu? Tenang aja, hanya teman-teman kita yang tahu. Kepala sekolah juga sudah minta teman-teman kelas sebelas untuk pura-pura tahu siapa itu Nana Rahayu. Kan ada si Pak Bos juga tuh!" bisiknya.

"Pak Bos? Hah? Kakak itu, sekolah di sini?" Aku terkejut dan hampir saja berteriak.

"Iya!” Sisi menyipitkan matanya.

“Kok aku belum pernah ketemu dia ya?” celetukku tersenyum.

“Orangnya sibuk kali. Oh ya, kenapa semuanya jadi begini sih? Kok kamu nggak cerita yang terjadi ke teman-teman di kelas kamu?" tanya Sisi mempertanyakan sebuah masalah yang sedang berdiam dalam sekam dan kapan saja bisa berkobar ke permukaan.

"Gara-gara Bu Lisa!" Aku teringat kelakuan Ibu Lisa. "Makanya aku ikut aja," lanjutku mendadak lemas.

"Ya, kalau keputusan Bu Lisa kayak gitu. Ikutin aja, dia pasti cuma mau melindungi kamu. Kalau mereka tahu kamu dari asrama, habis kamu dikerjain sama Yani dan yang lainnya itu," ujar Sisi terdengar bijak. Aku mengangguk mengerti. “Tapi, semua baik-baik saja ‘kan?” lanjutnya memasang wajah khawatir.

“Iya, Insyaallah akan tetap seperti sekarang,” jawabku tertawa dan menggandeng tangannya.

Sungguh tak terasa, kami hampir menghabiskan waktu istirahat, hanya dengan mengobrol tidak jelas di luar kelasnya. Aku hanya bisa curhat tentang beberapa hal kepada Sisi.

Anak perempuan yang kulihat tempo hari, tak sengaja lewat di depan kami. Ingatanku pun melayang, kembali menuju ke hari sial itu. Hari yang sebenarnya jadi salah satu pemicu yang mengurangi minatku bergabung dengan geng Yani.

Dia tampak santai saja saat melewatiku. Tatapannya juga biasa saja saat bertemu mataku, seolah aku tidak pernah memergoki kelakuannya. Apa hanya aku di sini yang merasa tidak enak? Aneh!

"Oh ya, Sisi? Kemarin aku ngobrol sama Alan!" ucapku teringat sesuatu saat melihat perempuan di balik jaket tadi lewat di depanku.

"Kenapa?" Sisi mendadak serius.

"Dia minta aku untuk berhati- hati loh! Itu kok bisa sih? Emangnya ada apa? Kenapa?" Aku bertanya-tanya sembari membengkokkan bibir kecil ini.

"Ooh, soal tantangan gila? Mungkin! Katanya ada PDKT-an gitu! Ada apalah gitu?” jawabnya membuatku mengangguk-angguk. “Terus hubungannya sama kamu apaan?" Sisi selalu pasang wajah polosnya untuk waktu seperti ini.

"Iya, kata Alan, kita semua harus hati-hati dan cewek-cewek yang polos jangan sampai jadi korban modusannya mereka, apa lagi kelas dua belas noh!" ungkapku tak sengaja menunjuk seseorang. "Eh, kak Iwan!" sapaku mendadak kegirangan saat melihat sosok yang berjalan ke arahku.

"Nana?" panggil lelaki berambut rapih dan tersenyum ramah saat melihatku. Dia berjalan pelan menghampiri kami, saat melihatnya seolah ada musik romantis yang terngiang di telingaku dan Sisi.

"Iya," jawabku bergegas langsung berdiri. Sisi mengantarkanku dengan kata Ciye.

"Oh ... jadi kata guru-guru waktu itu, kamu masuk lagi beneran?" tanyanya perhatian, dengan nada suara yang sedikit dikeraskan. Sengaja. Dasar pembual!

"Iya ...," jawabku tersipu, ini kode keras untuknya. Dia tersenyum padaku, membuat kenangan kami berdua hadir dalam ingatan. "Oh ya, kak Iwan udah pindah rumah ya? Kok Nana nggak tahu sih, tante Siska juga nggak ngabarin," lanjutku, dia hanya mengangguk.

"Ya begitulah. Oh ya, Hijab ini hanya di sekolah atau?" tanya kak Iwan tiba-tiba mempertanyakan tentang hijabku.

"Ini? Insyaallah, bisa bertahan sampai rumah juga, Kak. Lagi usaha nih," jawabku menunduk.

"Oh ya ... keep the secret ya …," ujarnya merapikan jilbabku yang agak miring. Sembari tersenyum manis. "Aku pergi ke ruang guru dulu ya, mau persiapan pemilihan Ketua OSIS! Kita ngobrolnya kapan-kapan aja ... soal ini dan ... itu," jawabnya pergi. Aku tertawa mendengar ucapannya.

"Iya, sukses ya, kak! Terima kasih loh." Aku melambai ringan padanya, oh ... Pak Bos-ku.

"Ciye ciye, ada yang bertemu First Love-nya nih!" sela Sisi terdengar mengganggu. Anak ini, terkadang selalu tepat dalam mengetahui kapan seharusnya membuat aku salah tingkah.

"Apa? First love? Apaan sih! Nggak lah, dia 'kan cuma kakak kelas aja! Apa-apaan coba?" sanggahku.

Aku terus menatap punggung Kak Iwan, yang entah kenapa tampak sangat keren di mataku ini. Astaga, apa ini? Mata! Aku harus belajar menundukkan pandanganku. Harus. Tapi, aku yang selalu berkoar tentang bukan muhrim. Justru, hanya terdiam saat dia merapihkan jilbabku.

"Ciye ciye!" lanjutnya lagi tiba-tiba berdiri sejajar denganku.

"Sisi! Stop, ah … apaan coba?" tegurku menyenggol bahu Sisi yang terus saja menggodaku. Melihat Sisi yang belum puas menggoda, aku pun memutuskan meninggalkan orang gila itu dan kembali ke kelas. Saat aku pergi eninggalkannya, Sisi masih setia berdiri di depan pintu ketika kuintip sejenak.

Ya, kak Iwan merupakan orang yang dekat denganku dulu, kami pernah menjadi tetangga. Dia selalu bersikap baik, bahkan terkadang temannya dan temanku mengira kami pacaran. Padahal dia sudah punya pacar dan aku sendiri, memang tidak tertarik untuk pacaran.

Membiarkan kesalahpahaman, menjadi bahan hiburan tersendiri bagi kami. Saat mereka mengira kami pacaran dulu zaman SMP, aku sedikit aman dari godaan teman-teman lelaki yang suka mengganggu.

Meskipun teman dekat tahu kami tidak pacaran, mereka ternyata menikmati support perhatian dari kakak kelas kami dan hubungan indah itu berakhir saat kata ciye tak lagi terngiang.

***

Setelah hari pertemuanku dengan kak Iwan, aku dan dia sering bertemu di depan kelas. Entah itu kelasku atau kelasnya, bahkan beberapa kali kak Iwan datang ke kelasku bersama Alan dan Sisi.

Tentu saja, hal ini mengundang tanda tanya bagi teman-teman sekelas yang tidak mengenal masa laluku. Tapi, aku biarkan saja, menjelaskan sesuatu hal pada orang yang ingin tahu, sama dengan menumpahkan air dari keran ke Padang pasir. 

Tidak terasa, sudah satu semester aku berada di sekolah ini. Semuanya memang terasa berjalan dengan cepat. Tiga bulan setelah masuk ke sekolah aku sempat, masuk-tidak masuk sekolah karena  sakit. Tapi, selama beberapa minggu ini aku sudah merasa pulih, sudah merasa bisa beradaptasi dengan lingkungan di tempat ini dan membuatku semakin aktif ke sekolah, aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali sakit. Ah, senangnya.

***

Awalan semester dua.

Setiap hari, OSIS menggerakkan para ketua kelas untuk memeriksa murid-murid yang melakukan pelanggaran. Dari sekian banyak aturan, aturan larangan membawa ponsel adalah hal yang paling dibenci anak-anak.

Namun, hari ini aku membawa ponsel ke sekolah, karena kebetulan hari ini kelas kami tak ada razia ponsel. Aku dengar, OSIS mengijinkan kami membawa ponsel karena ada tugas untuk materi ‘Teknik, Informatika dan Komputer’. Mata pelajaran yang selalu aku anggap remeh.

Bab terkait

  • Days to Remember   Bab 8 - Kamu Tahu Namaku?

    Pelajaran kami selesai, istirahat pun tiba.Saat sedang asik bermain game di benda ajaib yang disebut ponsel itu, aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja datang dan langsung meletakkan benda besar yang disebut tas itu di mejaku. Tanpa peringatan, tanpa aba-aba dan tanpa sapaan."Titip ya!" ujarnya terburu-buru."Indra! Tasnya jangan ditaruh di situ dong! Iih!" tegurku sembari buru-buru menekan tombol pause dan menatapnya kesal."Apa? Kamu tadi panggil saya ya? Panggil saya apa?" kagetnya berbalik. Tiba-tiba menatapku dengan tatapan matanya yang serius. Membuatku jadi keheranan, kenapa dia ini? "Nana, kamu tadi panggil saya kan?" Dia kembali berucap."Ya, iya. Kamu lah, siapa lagi? Memangnya ada orang lain yang lagi berdiri di depan meja aku, 'kan cuma ada kamu, aneh banget iiih," jawabku panjang lebar."Ooh, jadi kamu memang panggil saya ya? Pangg

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-22
  • Days to Remember   Bab 9 - Tak Sesuai Ekspektasi

    Aku yang sedari tadi berjalan di belakang pak guru hanya terdiam tanpa kata. Aku mengikutinya berjalan menuju ke kelas sebelah tempat dia mengajar hari ini. Pak guru berhenti di depan kelas dan akhirnya bicara juga. Jantung yang sudah berdegup kencang tanpa alasan ini membuatku berkeringat dingin.Tapi, apa salahku? Aku tidak punya salah apapun. Kenapa aku harus bertingkah seperti ini? Tolong, biasa aja, Na.Syukurlah, bukan apa-apa. Rupanya Pak guru hanya ingin memberitahukan, soal aku yang tetap akan diberikan jadwal piket kebersihan meskipun sering sakit. Karena khawatir jika tak diberi jadwal piket, bisa menimbulkan rasa cemburu dari iswa yang lainnya. Pak guru sengaja memintaku untuk bicara berjauhan dari kelas, karena tidak ingin ada murid di kelasku yang mendengar pembicaraan kami. Ya, memang pembicaraan ini terdengar dan terkesan bahwa aku sengaja diatur agar bisa mengikuti aktivitas di sekolah ini.Sebelumnya, aku memang tida

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-29
  • Days to Remember   Bab 10 - Gara-gara Puisi

    Ani tiba-tiba menarik tanganku, dan mengajak untuk kembali ke kelas. Aku turut saja dan mengikuti langkah kecil Ani.Begitu sampai di dalam kelas, Ani menatapku serius. Aku mendadak bingung, anak ini kenapa?"Puisinya bagus ya ...," ucap Ani tersenyum. Sepertinya Ani sedang mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba hening atas diamku. Aku pun hanya mengangguk sekenanya saja. "Na? Nana!" lanjutnya dengan suara lebih keras."Hmm?" Aku terpaksa menatap wajah Ani."Kamu kenapa? Kok kayak syok gitu? Ada masalah? Apa kamu--""Aku? Aku apa? Aku nggak apa-apa kok!" Aku benar-benar salah tingkah dan mencoba menghindari kontak mata dengan Ani."Ya udah sih kalau nggak apa-apa kalau nggak mau cerita, aku sih nggak masalah. Beneran! Tapi, aku ini masih teman kamu loh." Ucapan Ani terdengar menjurus. Apa dia sudah tahu soal tulisan di mading?"Ani, anu ... itu," kataku mendadak gagap."Hmm," ujar Ani mendekatkan

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-05
  • Days to Remember   Bab 11 - Asal Dia Tahu

    Entah kenapa aku malah tiba-tiba tersenyum senang karena melihat dua orang ini sedang diliputi rasa penuh kekesalan. Aku merasa keduanya memang sangat baik dan bisa bersikap seperti ini hanya karena aku. Aku sangat tersanjung. Aku pun mengalihkan pandangan dari Ani dan Riskin, menatap ke arah kerumunan sana, Icha tampak senang mendapatkan sambutan hangat itu. Aku tanpa sadar tersenyum dan saat aku menoleh ke arah teman-temanku ini, langsung saja membuat Ani juga Riski menatap sinis kepadaku. "Kenapa sih? Nggak usah dipikirin deh, itu 'kan cuma puisi," ucapku berpura-pura dingin. "Tapi, itu puisi kamu? Kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan," ucap Riski meninggalkan kami berdua di depan pintu kelas. Idih, ngapain nangis? Aku bisa bikin yang lebih baik dari puisi itu nanti. "Bisa-bisanya yang ngomong kayak gitu!" timpal Ani emosi. Eh, aku sala

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-11
  • Days to Remember   Bab 12 - Menjadi Lebih Dekat

    Setelah seminggu ujian berakhir, aku semakin dekat dengan para sahabat yang baik hati ini, terutama Riski. Ya, walau terkadang mereka akan bersikap menyebalkan, terlebih si Nirmala pecinta dinding, yang suka mendadak tuli kalau dimintai tolong ke kantin. Tapi, aku secara perlahan memang jadi semakin dekat dengan Riski. Mungkin karena dia adalah anak yang seru untuk diajak ngobrol dan kami berdua punya selera humor yang mirip satu sama lain.Aku dan Riski lebih banyak menghabiskan waktu berdua, entah untuk menyelesaikan soal matematika bekas ujian, maupun Riski yang sering menemaniku menggambar. Aku suka membuat sketsa kasar di belakang buku pelajaran. Selain, pemandangan depan pintu kelas. Riski bersedia menjadi objek sketsaku, walau sebenarnya gambarku menjadikan Riski semakin jelek.Dia juga menjadi lebih rajin ketika kumintai tolong untuk membelikan makanan atau minuman di kantin. Mungkin itu yang jadi sebab, Nirmala sudah tidak mau membe

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-29
  • Days to Remember   Bab 13 - Menarik Perhatian

    Hari ini ada pelajaran bahasa Inggris, salah satu pelajaran kesukaanku. Ini bisa jadi kesempatanku untuk memperlihatkan kecakapan dan kemampuanku dalam fast reading di depan kelas, ya di depan semua orang yang mungkin saja selama ini menganggap aku remeh. Begitu pelajaran dimulai, beberapa teman sekelasku hanya saling menertawakan kemampuan bahasa mereka satu sama lain. Tapi, begitu dua orang itu muncul, guru bahasa Inggris sangat memuji Icha si Ketua Kelas dan Indra si Murid yang sok jaim dalam materi yang coba diujikannya. Tibalah waktuku, guru tahu jika selama satu semester kemarin aku termasuk murid yang aktif dalam pelajarannya hingga dia seolah menantangku. Seorang anak pendiam atau lebih tepatnya pemalu, untuk melakukan fast reading di depan kelas. Takut, tentu saja! Ini pertama kalinya aku berpartisipasi melawan ketua kelas dan teman segengnya. Namun, ini lah yang aku tunggu, menguji tata bahasa dan kecepat

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-01
  • Days to Remember   Bab 14 - Obrolan Aneh

    Aku mengulurkan tangan, tanpa sepatah kata pun. Seolah mengerti, Indra menurut dan memberikan benda yang kuminta. Ia meletakkannya di meja, tepat di hadapanku."Maaf!" katanya tampak kikuk."Kamu ngapain?" Aku tak sanggup mengomelinya."Itu, anu--""Minggir!" ucapku mengusirnya dari daerah pribadi ini.Hah, orang ini benar-benar semakin aneh. Saat aku berbaik hati mau bicara dengannya, dia sudah berani duduk di bangkuku, seolah aku adalah bagian dari geng-nya. Dia mungkin saja sedang mencoba menginvasi daerah kekuasaan Yani, atau mencoba membujukku untuk bergabung bersama Yani.Aku mengambil ponsel yang diletakkan olehnya di atas meja, layarnya masih disetel pada lagu-lagu MP3 koleksi. Aku melirik kesal kepadanya dan dia masih tampak menunduk.Apa-apaan dia? Beraninya buka-buka tas dan menyentuh barang-barangku! Batinku mengomel.“Nana?” panggilnya. Lalu, memin

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-01
  • Days to Remember   Bab 15 - Indra Cemburu

    Begitu masuk ke kelas, Indra langsung menyambangiku. Dia tiba-tiba menghalangi Ani dan duduk di tempat Ani. Ini tidak mengherankan lagi, dia sudah jadi terbiasa duduk di tempat Ani. Bahkan Ani kadang harus mengusirnya dulu hanya untuk duduk di bangkunya sendiri. Ini tidak terlalu aneh, karena secara alami kami memang sudah jadi cukup akrab, mungkin itu sebabnya dia bertingkah sok kenal dan sok dekat padaku dan Ani. Mumpung ada Indra, aku jadi teringat kata-kata Yani dua hari lalu. Jika Indra itu tahu informasi tentang Riski, hanya saja aku memang tidak ingin ada urusan dengan anak aneh itu, makanya tidak pernah bertanya apapun. "Belum ada kabar dari Riski ya?" tanya Indra tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku. "Hah?" Aku tersadar dari pikiran tentang Riski. "Belum!" jawabku kemudian. "Syukurlah!" Ucapan itu terdengar aneh, ada rasa satire di dalamnya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-02

Bab terbaru

  • Days to Remember   Bab 16 - Jangan Sakit, Ya!

    Saat jam istirahat, aku sempat makan di kantin bersama Riski dan kawan-kawan lainnya. Kami pun janjian untuk mengobrol sebentar saat pulang sekolah nanti.Kami tidak punya banyak waktu mengobrol saat istirahat, karena terlambat ke kantin gara-gara pak Deni telat masuk kelas.Kami berdua duduk bersaman di lapangan hijau sekolah. Sebelum pulang ke rumah, aku, Ani, Ima, Tri dan Riski duduk-duduk di sini dulu menikmati teriknya matahari siang.Saat mereka pergi sejenak untuk membeli jajanan, aku dan Riski memulai pembicaraan empat mata. Kuceritakan pula apa yang Indra katakan waktu itu. Riski pun hanya bisa menyayangkan sikap temannya tersebut."Aku tuh sempat kesal banget gara-gara itu, padahal sebelumnya kan aku udah mulai biasa aja temenan sama dia," ujarku masih melanjutkan curhatan."Dia bukan sepenuhnya laki-laki baik, itu yang aku tahu sih. Jujur ya, Na. Indra itu, dia cukup berbahaya

  • Days to Remember   Bab 15 - Indra Cemburu

    Begitu masuk ke kelas, Indra langsung menyambangiku. Dia tiba-tiba menghalangi Ani dan duduk di tempat Ani. Ini tidak mengherankan lagi, dia sudah jadi terbiasa duduk di tempat Ani. Bahkan Ani kadang harus mengusirnya dulu hanya untuk duduk di bangkunya sendiri. Ini tidak terlalu aneh, karena secara alami kami memang sudah jadi cukup akrab, mungkin itu sebabnya dia bertingkah sok kenal dan sok dekat padaku dan Ani. Mumpung ada Indra, aku jadi teringat kata-kata Yani dua hari lalu. Jika Indra itu tahu informasi tentang Riski, hanya saja aku memang tidak ingin ada urusan dengan anak aneh itu, makanya tidak pernah bertanya apapun. "Belum ada kabar dari Riski ya?" tanya Indra tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku. "Hah?" Aku tersadar dari pikiran tentang Riski. "Belum!" jawabku kemudian. "Syukurlah!" Ucapan itu terdengar aneh, ada rasa satire di dalamnya.

  • Days to Remember   Bab 14 - Obrolan Aneh

    Aku mengulurkan tangan, tanpa sepatah kata pun. Seolah mengerti, Indra menurut dan memberikan benda yang kuminta. Ia meletakkannya di meja, tepat di hadapanku."Maaf!" katanya tampak kikuk."Kamu ngapain?" Aku tak sanggup mengomelinya."Itu, anu--""Minggir!" ucapku mengusirnya dari daerah pribadi ini.Hah, orang ini benar-benar semakin aneh. Saat aku berbaik hati mau bicara dengannya, dia sudah berani duduk di bangkuku, seolah aku adalah bagian dari geng-nya. Dia mungkin saja sedang mencoba menginvasi daerah kekuasaan Yani, atau mencoba membujukku untuk bergabung bersama Yani.Aku mengambil ponsel yang diletakkan olehnya di atas meja, layarnya masih disetel pada lagu-lagu MP3 koleksi. Aku melirik kesal kepadanya dan dia masih tampak menunduk.Apa-apaan dia? Beraninya buka-buka tas dan menyentuh barang-barangku! Batinku mengomel.“Nana?” panggilnya. Lalu, memin

  • Days to Remember   Bab 13 - Menarik Perhatian

    Hari ini ada pelajaran bahasa Inggris, salah satu pelajaran kesukaanku. Ini bisa jadi kesempatanku untuk memperlihatkan kecakapan dan kemampuanku dalam fast reading di depan kelas, ya di depan semua orang yang mungkin saja selama ini menganggap aku remeh. Begitu pelajaran dimulai, beberapa teman sekelasku hanya saling menertawakan kemampuan bahasa mereka satu sama lain. Tapi, begitu dua orang itu muncul, guru bahasa Inggris sangat memuji Icha si Ketua Kelas dan Indra si Murid yang sok jaim dalam materi yang coba diujikannya. Tibalah waktuku, guru tahu jika selama satu semester kemarin aku termasuk murid yang aktif dalam pelajarannya hingga dia seolah menantangku. Seorang anak pendiam atau lebih tepatnya pemalu, untuk melakukan fast reading di depan kelas. Takut, tentu saja! Ini pertama kalinya aku berpartisipasi melawan ketua kelas dan teman segengnya. Namun, ini lah yang aku tunggu, menguji tata bahasa dan kecepat

  • Days to Remember   Bab 12 - Menjadi Lebih Dekat

    Setelah seminggu ujian berakhir, aku semakin dekat dengan para sahabat yang baik hati ini, terutama Riski. Ya, walau terkadang mereka akan bersikap menyebalkan, terlebih si Nirmala pecinta dinding, yang suka mendadak tuli kalau dimintai tolong ke kantin. Tapi, aku secara perlahan memang jadi semakin dekat dengan Riski. Mungkin karena dia adalah anak yang seru untuk diajak ngobrol dan kami berdua punya selera humor yang mirip satu sama lain.Aku dan Riski lebih banyak menghabiskan waktu berdua, entah untuk menyelesaikan soal matematika bekas ujian, maupun Riski yang sering menemaniku menggambar. Aku suka membuat sketsa kasar di belakang buku pelajaran. Selain, pemandangan depan pintu kelas. Riski bersedia menjadi objek sketsaku, walau sebenarnya gambarku menjadikan Riski semakin jelek.Dia juga menjadi lebih rajin ketika kumintai tolong untuk membelikan makanan atau minuman di kantin. Mungkin itu yang jadi sebab, Nirmala sudah tidak mau membe

  • Days to Remember   Bab 11 - Asal Dia Tahu

    Entah kenapa aku malah tiba-tiba tersenyum senang karena melihat dua orang ini sedang diliputi rasa penuh kekesalan. Aku merasa keduanya memang sangat baik dan bisa bersikap seperti ini hanya karena aku. Aku sangat tersanjung. Aku pun mengalihkan pandangan dari Ani dan Riskin, menatap ke arah kerumunan sana, Icha tampak senang mendapatkan sambutan hangat itu. Aku tanpa sadar tersenyum dan saat aku menoleh ke arah teman-temanku ini, langsung saja membuat Ani juga Riski menatap sinis kepadaku. "Kenapa sih? Nggak usah dipikirin deh, itu 'kan cuma puisi," ucapku berpura-pura dingin. "Tapi, itu puisi kamu? Kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan," ucap Riski meninggalkan kami berdua di depan pintu kelas. Idih, ngapain nangis? Aku bisa bikin yang lebih baik dari puisi itu nanti. "Bisa-bisanya yang ngomong kayak gitu!" timpal Ani emosi. Eh, aku sala

  • Days to Remember   Bab 10 - Gara-gara Puisi

    Ani tiba-tiba menarik tanganku, dan mengajak untuk kembali ke kelas. Aku turut saja dan mengikuti langkah kecil Ani.Begitu sampai di dalam kelas, Ani menatapku serius. Aku mendadak bingung, anak ini kenapa?"Puisinya bagus ya ...," ucap Ani tersenyum. Sepertinya Ani sedang mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba hening atas diamku. Aku pun hanya mengangguk sekenanya saja. "Na? Nana!" lanjutnya dengan suara lebih keras."Hmm?" Aku terpaksa menatap wajah Ani."Kamu kenapa? Kok kayak syok gitu? Ada masalah? Apa kamu--""Aku? Aku apa? Aku nggak apa-apa kok!" Aku benar-benar salah tingkah dan mencoba menghindari kontak mata dengan Ani."Ya udah sih kalau nggak apa-apa kalau nggak mau cerita, aku sih nggak masalah. Beneran! Tapi, aku ini masih teman kamu loh." Ucapan Ani terdengar menjurus. Apa dia sudah tahu soal tulisan di mading?"Ani, anu ... itu," kataku mendadak gagap."Hmm," ujar Ani mendekatkan

  • Days to Remember   Bab 9 - Tak Sesuai Ekspektasi

    Aku yang sedari tadi berjalan di belakang pak guru hanya terdiam tanpa kata. Aku mengikutinya berjalan menuju ke kelas sebelah tempat dia mengajar hari ini. Pak guru berhenti di depan kelas dan akhirnya bicara juga. Jantung yang sudah berdegup kencang tanpa alasan ini membuatku berkeringat dingin.Tapi, apa salahku? Aku tidak punya salah apapun. Kenapa aku harus bertingkah seperti ini? Tolong, biasa aja, Na.Syukurlah, bukan apa-apa. Rupanya Pak guru hanya ingin memberitahukan, soal aku yang tetap akan diberikan jadwal piket kebersihan meskipun sering sakit. Karena khawatir jika tak diberi jadwal piket, bisa menimbulkan rasa cemburu dari iswa yang lainnya. Pak guru sengaja memintaku untuk bicara berjauhan dari kelas, karena tidak ingin ada murid di kelasku yang mendengar pembicaraan kami. Ya, memang pembicaraan ini terdengar dan terkesan bahwa aku sengaja diatur agar bisa mengikuti aktivitas di sekolah ini.Sebelumnya, aku memang tida

  • Days to Remember   Bab 8 - Kamu Tahu Namaku?

    Pelajaran kami selesai, istirahat pun tiba.Saat sedang asik bermain game di benda ajaib yang disebut ponsel itu, aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja datang dan langsung meletakkan benda besar yang disebut tas itu di mejaku. Tanpa peringatan, tanpa aba-aba dan tanpa sapaan."Titip ya!" ujarnya terburu-buru."Indra! Tasnya jangan ditaruh di situ dong! Iih!" tegurku sembari buru-buru menekan tombol pause dan menatapnya kesal."Apa? Kamu tadi panggil saya ya? Panggil saya apa?" kagetnya berbalik. Tiba-tiba menatapku dengan tatapan matanya yang serius. Membuatku jadi keheranan, kenapa dia ini? "Nana, kamu tadi panggil saya kan?" Dia kembali berucap."Ya, iya. Kamu lah, siapa lagi? Memangnya ada orang lain yang lagi berdiri di depan meja aku, 'kan cuma ada kamu, aneh banget iiih," jawabku panjang lebar."Ooh, jadi kamu memang panggil saya ya? Pangg

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status