Setelah seminggu ujian berakhir, aku semakin dekat dengan para sahabat yang baik hati ini, terutama Riski. Ya, walau terkadang mereka akan bersikap menyebalkan, terlebih si Nirmala pecinta dinding, yang suka mendadak tuli kalau dimintai tolong ke kantin. Tapi, aku secara perlahan memang jadi semakin dekat dengan Riski. Mungkin karena dia adalah anak yang seru untuk diajak ngobrol dan kami berdua punya selera humor yang mirip satu sama lain.
Aku dan Riski lebih banyak menghabiskan waktu berdua, entah untuk menyelesaikan soal matematika bekas ujian, maupun Riski yang sering menemaniku menggambar. Aku suka membuat sketsa kasar di belakang buku pelajaran. Selain, pemandangan depan pintu kelas. Riski bersedia menjadi objek sketsaku, walau sebenarnya gambarku menjadikan Riski semakin jelek.
Dia juga menjadi lebih rajin ketika kumintai tolong untuk membelikan makanan atau minuman di kantin. Mungkin itu yang jadi sebab, Nirmala sudah tidak mau membe
Hari ini ada pelajaran bahasa Inggris, salah satu pelajaran kesukaanku. Ini bisa jadi kesempatanku untuk memperlihatkan kecakapan dan kemampuanku dalam fast reading di depan kelas, ya di depan semua orang yang mungkin saja selama ini menganggap aku remeh. Begitu pelajaran dimulai, beberapa teman sekelasku hanya saling menertawakan kemampuan bahasa mereka satu sama lain. Tapi, begitu dua orang itu muncul, guru bahasa Inggris sangat memuji Icha si Ketua Kelas dan Indra si Murid yang sok jaim dalam materi yang coba diujikannya. Tibalah waktuku, guru tahu jika selama satu semester kemarin aku termasuk murid yang aktif dalam pelajarannya hingga dia seolah menantangku. Seorang anak pendiam atau lebih tepatnya pemalu, untuk melakukan fast reading di depan kelas. Takut, tentu saja! Ini pertama kalinya aku berpartisipasi melawan ketua kelas dan teman segengnya. Namun, ini lah yang aku tunggu, menguji tata bahasa dan kecepat
Aku mengulurkan tangan, tanpa sepatah kata pun. Seolah mengerti, Indra menurut dan memberikan benda yang kuminta. Ia meletakkannya di meja, tepat di hadapanku."Maaf!" katanya tampak kikuk."Kamu ngapain?" Aku tak sanggup mengomelinya."Itu, anu--""Minggir!" ucapku mengusirnya dari daerah pribadi ini.Hah, orang ini benar-benar semakin aneh. Saat aku berbaik hati mau bicara dengannya, dia sudah berani duduk di bangkuku, seolah aku adalah bagian dari geng-nya. Dia mungkin saja sedang mencoba menginvasi daerah kekuasaan Yani, atau mencoba membujukku untuk bergabung bersama Yani.Aku mengambil ponsel yang diletakkan olehnya di atas meja, layarnya masih disetel pada lagu-lagu MP3 koleksi. Aku melirik kesal kepadanya dan dia masih tampak menunduk.Apa-apaan dia? Beraninya buka-buka tas dan menyentuh barang-barangku! Batinku mengomel.“Nana?” panggilnya. Lalu, memin
Begitu masuk ke kelas, Indra langsung menyambangiku. Dia tiba-tiba menghalangi Ani dan duduk di tempat Ani. Ini tidak mengherankan lagi, dia sudah jadi terbiasa duduk di tempat Ani. Bahkan Ani kadang harus mengusirnya dulu hanya untuk duduk di bangkunya sendiri. Ini tidak terlalu aneh, karena secara alami kami memang sudah jadi cukup akrab, mungkin itu sebabnya dia bertingkah sok kenal dan sok dekat padaku dan Ani. Mumpung ada Indra, aku jadi teringat kata-kata Yani dua hari lalu. Jika Indra itu tahu informasi tentang Riski, hanya saja aku memang tidak ingin ada urusan dengan anak aneh itu, makanya tidak pernah bertanya apapun. "Belum ada kabar dari Riski ya?" tanya Indra tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku. "Hah?" Aku tersadar dari pikiran tentang Riski. "Belum!" jawabku kemudian. "Syukurlah!" Ucapan itu terdengar aneh, ada rasa satire di dalamnya.
Saat jam istirahat, aku sempat makan di kantin bersama Riski dan kawan-kawan lainnya. Kami pun janjian untuk mengobrol sebentar saat pulang sekolah nanti.Kami tidak punya banyak waktu mengobrol saat istirahat, karena terlambat ke kantin gara-gara pak Deni telat masuk kelas.Kami berdua duduk bersaman di lapangan hijau sekolah. Sebelum pulang ke rumah, aku, Ani, Ima, Tri dan Riski duduk-duduk di sini dulu menikmati teriknya matahari siang.Saat mereka pergi sejenak untuk membeli jajanan, aku dan Riski memulai pembicaraan empat mata. Kuceritakan pula apa yang Indra katakan waktu itu. Riski pun hanya bisa menyayangkan sikap temannya tersebut."Aku tuh sempat kesal banget gara-gara itu, padahal sebelumnya kan aku udah mulai biasa aja temenan sama dia," ujarku masih melanjutkan curhatan."Dia bukan sepenuhnya laki-laki baik, itu yang aku tahu sih. Jujur ya, Na. Indra itu, dia cukup berbahaya
Pagi ini aku menyeruput mimpi indah, berbagi pandangan semu dengan seseorang di balik telepon. Beberapa kata menjadi pengingat satu sama lain. Aku masih tidak menyangka telah bersama dengannya untuk waktu yang tak terduga.Padahal, dulu kelam hidupku tak terarah. Kemudian kembali bersemi karena dirinya. Dialah penanda halaman dan bait-bait dalam buku yang tidak setebal kisah Romeo atau pun Juliet. Dialah awal dari kisahku dimulai.Obrolan kami menjadi obralan kenang saat aku memulai untuk mengingat dan mengenang kenangan lama. Bagaimana aku bisa jatuh dalam pelukannya dan kini malah bersembunyi di balik kapas putih dingin yang menyelemuti jalanan raya. Bagaimana pada akhirnya aku bisa tenggelam dalam lukisan senja berpadu wangi musim gugur yang menenangkan.Sempat terbersit bahwa itu semua karena izin dan kuasa Allah dan kegigihannya dalam memperjuangkan diriku dan masa depan hari ini.**
Di sekolah baru ini, semua siswinya berhijab. Peraturan sekolahnya memang begini, meskipun bukan sekolah agama, peraturannya adalah mengenakan hijab untuk yang muslim dan seragam sopan untuk non muslim.Tentu saja, hal ini membuat gadis sederhana sepertiku cukup nyaman berada di tempat ini. Aku akan lanjutkan tentang hal menarik yang terjadi di Minggu pertama saat aku masuk sekolah.***Pada pagi yang terik, aku sudah bersiap dan menunggu bibi untuk mengantar ke sekolah. Kebetulan, dia akan berangkat ke kantor dan arah kantornya selalu searah dengan sekolahku. Kami selalu berangkat bersama sejak aku masih duduk di bangku SMP dulu.Kali ini tak boleh terlambat! Batinku memberi semangat pada diri sendiri.Syukurlah, pagi ini rasa sakit tak menimpa dan membuatku aman-aman saja untuk datang ke sekolah; sekolah baru yang kuharap jauh lebih baik dari sekolah sebelumnya. Karena biasanya, aku sering sakit-sakitan. Mak
Setelah pemilihan ketua kelas berakhir, terpilihlah sang gadis yang katanya paling popular dari kelas kami. Dia menjadi ketua kelas, gadis berhijab manis berbadan agak sedikit tebal. Dia menang dengan hasil voting 12 suara dari 25 siswa, aku sebut saja namanya Icha.Nah, jika ada ketua kelas, tentu ada wakilnya bukan? Bagaimana dengan wakil ketua kelas? Siapa yang terpilih? Tentu saja, anak laki-laki yang duduk di sebelahku pada waktu hari pertama lah yang menjadi wakil ketua kelas.Entah orang seperti apa yang sudah memilih orang dengan penampilan seperti dia? Dengan baju kemeja putih yang rapih, tapi bagian dalamnya berwarna merah yang menerawang jelas. Dia mendapatkan voting sebanyak 8 suara, cukup banyak untuk menjadikannya wakil ketua kelas.Lalu, Yani? Jangan tanya bagaimana reaksinya! Dia cemberut tidak keruan, karena suara yang didapatkannya sangat sedikit. Bibirnya yang dikulum, membuat teman sekelas tampak tidak nyaman. Ada
Aku masih tidak menyangka atas apa yang dilihat tadi."Ii-iitu, itu lagi ngapain? Kalian berdua jagain orang pacaran ya? Dosa tahu! Istighfar!" kataku pada si rambut mangkok masih ngos-ngosan bercampur gagap; hah kenapa begini?"Heee! Siapa juga yang jagain orang pacaran? Saya itu cuma jagain pintu dari orang-orang polos seperti kamu! Orang-orang imut yang takut dosa," jawabnya tersenyum, memperlihatkan gigi putihnya. Sambil menepuk pundak rekan sejawat, si dahi lebar yang lagi menunduk menahan tawanya. Lalu keduanya pun sekali lagi tertawa bersama-sama.Enak banget ya, ketawain aku?Ngeeekk ....Suara kursi yang didorong menghentikan tawa si rambut mangkok. Tiba-tiba, saja anak perempuan yang tadi kulihat berlari ke luar kelas, melewati kami bertiga yang terdiam di depan kelas. Malu, aku yakin itu juga sedang menyerangnya.Tapi, mengingat kelakuannya barusan. Aku malah berpikiran, sudah lari ke mana ras
Saat jam istirahat, aku sempat makan di kantin bersama Riski dan kawan-kawan lainnya. Kami pun janjian untuk mengobrol sebentar saat pulang sekolah nanti.Kami tidak punya banyak waktu mengobrol saat istirahat, karena terlambat ke kantin gara-gara pak Deni telat masuk kelas.Kami berdua duduk bersaman di lapangan hijau sekolah. Sebelum pulang ke rumah, aku, Ani, Ima, Tri dan Riski duduk-duduk di sini dulu menikmati teriknya matahari siang.Saat mereka pergi sejenak untuk membeli jajanan, aku dan Riski memulai pembicaraan empat mata. Kuceritakan pula apa yang Indra katakan waktu itu. Riski pun hanya bisa menyayangkan sikap temannya tersebut."Aku tuh sempat kesal banget gara-gara itu, padahal sebelumnya kan aku udah mulai biasa aja temenan sama dia," ujarku masih melanjutkan curhatan."Dia bukan sepenuhnya laki-laki baik, itu yang aku tahu sih. Jujur ya, Na. Indra itu, dia cukup berbahaya
Begitu masuk ke kelas, Indra langsung menyambangiku. Dia tiba-tiba menghalangi Ani dan duduk di tempat Ani. Ini tidak mengherankan lagi, dia sudah jadi terbiasa duduk di tempat Ani. Bahkan Ani kadang harus mengusirnya dulu hanya untuk duduk di bangkunya sendiri. Ini tidak terlalu aneh, karena secara alami kami memang sudah jadi cukup akrab, mungkin itu sebabnya dia bertingkah sok kenal dan sok dekat padaku dan Ani. Mumpung ada Indra, aku jadi teringat kata-kata Yani dua hari lalu. Jika Indra itu tahu informasi tentang Riski, hanya saja aku memang tidak ingin ada urusan dengan anak aneh itu, makanya tidak pernah bertanya apapun. "Belum ada kabar dari Riski ya?" tanya Indra tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku. "Hah?" Aku tersadar dari pikiran tentang Riski. "Belum!" jawabku kemudian. "Syukurlah!" Ucapan itu terdengar aneh, ada rasa satire di dalamnya.
Aku mengulurkan tangan, tanpa sepatah kata pun. Seolah mengerti, Indra menurut dan memberikan benda yang kuminta. Ia meletakkannya di meja, tepat di hadapanku."Maaf!" katanya tampak kikuk."Kamu ngapain?" Aku tak sanggup mengomelinya."Itu, anu--""Minggir!" ucapku mengusirnya dari daerah pribadi ini.Hah, orang ini benar-benar semakin aneh. Saat aku berbaik hati mau bicara dengannya, dia sudah berani duduk di bangkuku, seolah aku adalah bagian dari geng-nya. Dia mungkin saja sedang mencoba menginvasi daerah kekuasaan Yani, atau mencoba membujukku untuk bergabung bersama Yani.Aku mengambil ponsel yang diletakkan olehnya di atas meja, layarnya masih disetel pada lagu-lagu MP3 koleksi. Aku melirik kesal kepadanya dan dia masih tampak menunduk.Apa-apaan dia? Beraninya buka-buka tas dan menyentuh barang-barangku! Batinku mengomel.“Nana?” panggilnya. Lalu, memin
Hari ini ada pelajaran bahasa Inggris, salah satu pelajaran kesukaanku. Ini bisa jadi kesempatanku untuk memperlihatkan kecakapan dan kemampuanku dalam fast reading di depan kelas, ya di depan semua orang yang mungkin saja selama ini menganggap aku remeh. Begitu pelajaran dimulai, beberapa teman sekelasku hanya saling menertawakan kemampuan bahasa mereka satu sama lain. Tapi, begitu dua orang itu muncul, guru bahasa Inggris sangat memuji Icha si Ketua Kelas dan Indra si Murid yang sok jaim dalam materi yang coba diujikannya. Tibalah waktuku, guru tahu jika selama satu semester kemarin aku termasuk murid yang aktif dalam pelajarannya hingga dia seolah menantangku. Seorang anak pendiam atau lebih tepatnya pemalu, untuk melakukan fast reading di depan kelas. Takut, tentu saja! Ini pertama kalinya aku berpartisipasi melawan ketua kelas dan teman segengnya. Namun, ini lah yang aku tunggu, menguji tata bahasa dan kecepat
Setelah seminggu ujian berakhir, aku semakin dekat dengan para sahabat yang baik hati ini, terutama Riski. Ya, walau terkadang mereka akan bersikap menyebalkan, terlebih si Nirmala pecinta dinding, yang suka mendadak tuli kalau dimintai tolong ke kantin. Tapi, aku secara perlahan memang jadi semakin dekat dengan Riski. Mungkin karena dia adalah anak yang seru untuk diajak ngobrol dan kami berdua punya selera humor yang mirip satu sama lain.Aku dan Riski lebih banyak menghabiskan waktu berdua, entah untuk menyelesaikan soal matematika bekas ujian, maupun Riski yang sering menemaniku menggambar. Aku suka membuat sketsa kasar di belakang buku pelajaran. Selain, pemandangan depan pintu kelas. Riski bersedia menjadi objek sketsaku, walau sebenarnya gambarku menjadikan Riski semakin jelek.Dia juga menjadi lebih rajin ketika kumintai tolong untuk membelikan makanan atau minuman di kantin. Mungkin itu yang jadi sebab, Nirmala sudah tidak mau membe
Entah kenapa aku malah tiba-tiba tersenyum senang karena melihat dua orang ini sedang diliputi rasa penuh kekesalan. Aku merasa keduanya memang sangat baik dan bisa bersikap seperti ini hanya karena aku. Aku sangat tersanjung. Aku pun mengalihkan pandangan dari Ani dan Riskin, menatap ke arah kerumunan sana, Icha tampak senang mendapatkan sambutan hangat itu. Aku tanpa sadar tersenyum dan saat aku menoleh ke arah teman-temanku ini, langsung saja membuat Ani juga Riski menatap sinis kepadaku. "Kenapa sih? Nggak usah dipikirin deh, itu 'kan cuma puisi," ucapku berpura-pura dingin. "Tapi, itu puisi kamu? Kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan," ucap Riski meninggalkan kami berdua di depan pintu kelas. Idih, ngapain nangis? Aku bisa bikin yang lebih baik dari puisi itu nanti. "Bisa-bisanya yang ngomong kayak gitu!" timpal Ani emosi. Eh, aku sala
Ani tiba-tiba menarik tanganku, dan mengajak untuk kembali ke kelas. Aku turut saja dan mengikuti langkah kecil Ani.Begitu sampai di dalam kelas, Ani menatapku serius. Aku mendadak bingung, anak ini kenapa?"Puisinya bagus ya ...," ucap Ani tersenyum. Sepertinya Ani sedang mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba hening atas diamku. Aku pun hanya mengangguk sekenanya saja. "Na? Nana!" lanjutnya dengan suara lebih keras."Hmm?" Aku terpaksa menatap wajah Ani."Kamu kenapa? Kok kayak syok gitu? Ada masalah? Apa kamu--""Aku? Aku apa? Aku nggak apa-apa kok!" Aku benar-benar salah tingkah dan mencoba menghindari kontak mata dengan Ani."Ya udah sih kalau nggak apa-apa kalau nggak mau cerita, aku sih nggak masalah. Beneran! Tapi, aku ini masih teman kamu loh." Ucapan Ani terdengar menjurus. Apa dia sudah tahu soal tulisan di mading?"Ani, anu ... itu," kataku mendadak gagap."Hmm," ujar Ani mendekatkan
Aku yang sedari tadi berjalan di belakang pak guru hanya terdiam tanpa kata. Aku mengikutinya berjalan menuju ke kelas sebelah tempat dia mengajar hari ini. Pak guru berhenti di depan kelas dan akhirnya bicara juga. Jantung yang sudah berdegup kencang tanpa alasan ini membuatku berkeringat dingin.Tapi, apa salahku? Aku tidak punya salah apapun. Kenapa aku harus bertingkah seperti ini? Tolong, biasa aja, Na.Syukurlah, bukan apa-apa. Rupanya Pak guru hanya ingin memberitahukan, soal aku yang tetap akan diberikan jadwal piket kebersihan meskipun sering sakit. Karena khawatir jika tak diberi jadwal piket, bisa menimbulkan rasa cemburu dari iswa yang lainnya. Pak guru sengaja memintaku untuk bicara berjauhan dari kelas, karena tidak ingin ada murid di kelasku yang mendengar pembicaraan kami. Ya, memang pembicaraan ini terdengar dan terkesan bahwa aku sengaja diatur agar bisa mengikuti aktivitas di sekolah ini.Sebelumnya, aku memang tida
Pelajaran kami selesai, istirahat pun tiba.Saat sedang asik bermain game di benda ajaib yang disebut ponsel itu, aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja datang dan langsung meletakkan benda besar yang disebut tas itu di mejaku. Tanpa peringatan, tanpa aba-aba dan tanpa sapaan."Titip ya!" ujarnya terburu-buru."Indra! Tasnya jangan ditaruh di situ dong! Iih!" tegurku sembari buru-buru menekan tombol pause dan menatapnya kesal."Apa? Kamu tadi panggil saya ya? Panggil saya apa?" kagetnya berbalik. Tiba-tiba menatapku dengan tatapan matanya yang serius. Membuatku jadi keheranan, kenapa dia ini? "Nana, kamu tadi panggil saya kan?" Dia kembali berucap."Ya, iya. Kamu lah, siapa lagi? Memangnya ada orang lain yang lagi berdiri di depan meja aku, 'kan cuma ada kamu, aneh banget iiih," jawabku panjang lebar."Ooh, jadi kamu memang panggil saya ya? Pangg