Di sekolah baru ini, semua siswinya berhijab. Peraturan sekolahnya memang begini, meskipun bukan sekolah agama, peraturannya adalah mengenakan hijab untuk yang muslim dan seragam sopan untuk non muslim.
Tentu saja, hal ini membuat gadis sederhana sepertiku cukup nyaman berada di tempat ini. Aku akan lanjutkan tentang hal menarik yang terjadi di Minggu pertama saat aku masuk sekolah.
***
Pada pagi yang terik, aku sudah bersiap dan menunggu bibi untuk mengantar ke sekolah. Kebetulan, dia akan berangkat ke kantor dan arah kantornya selalu searah dengan sekolahku. Kami selalu berangkat bersama sejak aku masih duduk di bangku SMP dulu.
Kali ini tak boleh terlambat! Batinku memberi semangat pada diri sendiri.
Syukurlah, pagi ini rasa sakit tak menimpa dan membuatku aman-aman saja untuk datang ke sekolah; sekolah baru yang kuharap jauh lebih baik dari sekolah sebelumnya. Karena biasanya, aku sering sakit-sakitan. Makanya aku agak khawatir kalau-kalau sakit bisa mengganggu petualangan di sekolah baru pada minggu pertama ini.
***
Setibanya di sekolah, aku malah diundang ke ruangan guru dulu. Awalnya aku takut, tap yah, aku dipanggil ke ruang guru hanya karena perihal siswi manis ini yang tak sempat ikut ospek siswa baru.
Setelah berjanji akan ikut tahun depan bersama siswa baru, maka akhirnya aku pun dibebaskan dari pertanyaan-pertanyaan dan dipersilakan kembali ke kelas, walau dengan badan yang mulai terasa agak sedikit lemah.
Padahal aku sama sekali tak berniat untuk ikut ospek lagi tahun depan. Tapi, mau bagaimana lagi?
"Kak Nana?" panggil adik kelas masa SMP dulu, yang kini jadi teman sekelasku. Gadis mungil, yang ingin selalu kau acak kepalanya jika bertemu secara tidak sengaja. Si imut; Tri.
"Ya ...." Aku memandangnya ramah, baru saja sampai ke dalam kelas tapi dia sudah mengikutiku seperti anak ayam yang mengekor pada induknya.
"Kak, hari ini kita ada pemilihan ketua kelas loh ...," katanya menyentuh pundakku.
"Iya, makasih ya Tri atas infonya," ujarku duduk di bangku depan tempat pertama kali aku duduk kemarin. Usai mendapat sambutan yang tidak terlalu hangat dariku, Tri langsung kembali ke bangkunya.
Satu per satu murid-murid pun mulai memenuhi kelas. Beberapa murid masuk bersama Ibu guru berbaju pink, mereka mengikut di belakangnya, sembari membawa gulungan besar berwarna putih.
Aku menengok jadwal yang diberikan Pak guru tadi saat aku ke ruang guru. Ah, ini waktunya pelajaran Kimia. Pelajaran yang paling kusukai, aku bahkan masih hapal beberapa unsur dan senyawa kimia bekas pelajaran tahun lalu.
Pelajaran ini sudah dimulai, aku hanya duduk sendirian di sini memperhatikan Bu guru.
Gulungan kertas yang dibawa beberapa orang itu rupanya sebuah tabel besar materi Sistem Periodik Unsur yang dipakai Ibu Kimia untuk membuat kami fokus. Tapi, aku sama sekali tidak fokus, karena terganggu dengan benda itu. Benda yang sudah dipampang di sebelah papan tulis dan terus-terusan menggangguku dengan kilau warna-warninya.
Sesaat, aku akhirnya menyadari sesuatu. Teman sebangku itu rupanya sudah menghilang, lebih tepatnya pindah ke tempat duduk yang lain, pantas saja aku sekarang duduk sendirian. Ternyata anak lelaki itu sudah pindah.
Karena anak lelaki itu pindah, aku sempat berpikir negatif, bisa saja dia jijik duduk dengan orang sepertiku.
Tapi, setelah menguping dari omongan teman-teman sebelah. Aku akhirnya mengetahui alasan sehingga anak laki-laki itu memilih pindah tempat duduk?
Itu karena dia dipinta oleh teman satu geng-nya untuk duduk bersama di bangku belakang dan aku tidak tahu alasan pastinya apa. Toh, aku juga tidak mau tahu atau pun terlibat dengan pertanyaan yang tidak penting.
Sebelum pelajaran selesai, wali kelas kami, yang bahkan aku tidak begitu mengingat namanya, datang dengan kekuasaan penuh. Ibu guru berbaju pink hanya bisa pasrah, saat wali kelas datang untuk mengatur dan mengubah posisi tempat duduk kami. Syukurlah, sekarang aku tidak duduk sendirian lagi, ada sosok Ani dan Ima di sekitarku.
Perkenalan kami sangat biasa saja, Ani adalah anak yang sangat ceria. Dia datang lebih dulu dan berbagi kisah lucunya denganku. Sepertinya dia sudah mendengar tentang perjalanan hidupku dari Tri. Sedangkan, Ima ... dia duduk di sebelah Ani, aku bicara padanya untuk meminjam pensil dan kekocakan kami dimulai saat Ima salah memberiku penghapus pensil ketika meminta tipe-x.
***
Jam istirahat menghampiri. Bel nyaring di sudut kelas kami berbunyi rajin. Seseorang pun datang menyambangiku, dia anak perempuan yang tampak terlihat lebih dewasa dari kami sekelas. Dia bertutur dengan penuh keramah-tamahan.
Baik banget, pikirku sesaat.
Wajahnya? Yah, tidak seburuk itu.
Bujuk rayunya pun tampak segar dan menarik, mungkin akan sangat memikat bagi anak remaja yang gila kekuasaan dan ketenaran. Aku hanya iya-iya saja pada kata-kata pengantarnya.
"Oh ya, materi yang tadi itu, ada yang terlewat loh! Kita sudah pelajari sejak hari pertama masuk, kamu nggak punya jadwal 'kan?" ungkapnya terlihat manis. Mengingatkanku yang tidak masuk pada hari pertama sekolah.
"Ya?" tanyaku masih bingung.
"Oh iya, nama saya Yami, boleh kenalan nggak! Dari tadi udah ngomong panjang lebar tapi kita belum kenalan nih," ralatnya tersenyum.
"Oh ... siapa?" ucapku tampak bodoh, sedikit tak mendengar kata-kata yang dia ucapkan karena kelas sangat berisik.
"Yami, nama saya Ya-bi! Kalau mau pinjam sesuatu ke saya saja ya ...," jawabnya ramah meninggalkanku kembali ke mejanya.
Hanya senyuman terbaikku yang bisa mengantarkan dia pergi ke tempat duduknya. Dia duduk di tengah, sebuah tempat yang benar-benar ada di tengah kelas. Dia terlihat seperti center dan visual dari idol group Korea.
Namanya siapa? Aku mencoba mengingat apa yang tadi kudengar.
"Ngapain kak Yani datang ke sini?" Tri tiba-tiba muncul. Ah, makhluk yang satu ini, sepertinya jelmaan manusia bayangan.
"Yani? Nama yang tadi siapa?" tanyaku pada Tri soal nama perempuan yang menyapaku tadi, hanya sekadar memastikan jika yang aku dengar betul.
"Y.A.N.I! Yaniii ...," jawabnya mengeja nama, lalu duduk di sampingku.
"Oh! Yani? Hehehe, kukira Yabi." Ternyata memang salah dengar, aku cengengesan.
"Hmm ... pasti dia mau kampanye biar terpilih jadi ketua kelas tuh!" imbuhnya melirikku.
"Ssstt. Jangan suudzon, Tri! Nggak boleh gitu iih," tegurku, menahan diri.
Tri menatapku, seolah mencoba meyakinkan agar jangan terpengaruh oleh Yani. Aku tidak tahu kenapa dia ber-suudzon pada Yani. Ah, aku tidak mau ikut campur masalah kedua orang itu.
***
Ya, benar saja. Pemilihan ketua kelas akhirnya digelar siang itu juga, ini bukan pemilihan besar-besaran ala Pemilu Daerah. Jangan harap akan ada kampanye besar, apalagi sampai bagi-bagi duit. Ini adalah salah satu keramaian acak, yang kurasakan pada minggu pertama di tempat ini.
Ini hanya sebuah acara pemungutan suara sederhana, dengan tiga peserta yang menjadi kandidat utama. Pemungutan suaranya pun sempat ricuh karena perbedaan pendapat yang membuatku lelah, karena harus melihat tingkah absurd mereka.
Kandidat pertama merupakan gadis yang tampak cantik dengan jam berwarna hijau lumut di tangan kirinya. Dia sepertinya seorang attention seeker, sama seperti Yani. Sepertinya, dia punya bibir yang siap mengomeli teman sekelas saat menang nanti.
Kandidat kedua ada si Yani, sosok yang menurutku selalu tersenyum palsu kepada semua orang. Dia terasa sangat berambisi untuk menjadi ketua kelas. Kulit cokelatnya terlalu eksotis, mungkin itu yang membuatnya agak congkak, seolah dirinya adalah idaman para bule.
Kandidat terakhir, ada anak laki-laki yang tak terlalu kuperhatikan. Dia adalah anak laki-laki di sebelahku, yang bahkan namanya pun aku tak mau tahu.
Sayangnya, karena yang kukenal hanya Yani, maka, kujatuhkan saja pilihan kepadanya. Sebelum pulang sekolah, kami pun membulatkan suara demi sebuah kata demokrasi.
***
Setelah pemilihan ketua kelas berakhir, terpilihlah sang gadis yang katanya paling popular dari kelas kami. Dia menjadi ketua kelas, gadis berhijab manis berbadan agak sedikit tebal. Dia menang dengan hasil voting 12 suara dari 25 siswa, aku sebut saja namanya Icha.
***
Bersambung
Setelah pemilihan ketua kelas berakhir, terpilihlah sang gadis yang katanya paling popular dari kelas kami. Dia menjadi ketua kelas, gadis berhijab manis berbadan agak sedikit tebal. Dia menang dengan hasil voting 12 suara dari 25 siswa, aku sebut saja namanya Icha.Nah, jika ada ketua kelas, tentu ada wakilnya bukan? Bagaimana dengan wakil ketua kelas? Siapa yang terpilih? Tentu saja, anak laki-laki yang duduk di sebelahku pada waktu hari pertama lah yang menjadi wakil ketua kelas.Entah orang seperti apa yang sudah memilih orang dengan penampilan seperti dia? Dengan baju kemeja putih yang rapih, tapi bagian dalamnya berwarna merah yang menerawang jelas. Dia mendapatkan voting sebanyak 8 suara, cukup banyak untuk menjadikannya wakil ketua kelas.Lalu, Yani? Jangan tanya bagaimana reaksinya! Dia cemberut tidak keruan, karena suara yang didapatkannya sangat sedikit. Bibirnya yang dikulum, membuat teman sekelas tampak tidak nyaman. Ada
Aku masih tidak menyangka atas apa yang dilihat tadi."Ii-iitu, itu lagi ngapain? Kalian berdua jagain orang pacaran ya? Dosa tahu! Istighfar!" kataku pada si rambut mangkok masih ngos-ngosan bercampur gagap; hah kenapa begini?"Heee! Siapa juga yang jagain orang pacaran? Saya itu cuma jagain pintu dari orang-orang polos seperti kamu! Orang-orang imut yang takut dosa," jawabnya tersenyum, memperlihatkan gigi putihnya. Sambil menepuk pundak rekan sejawat, si dahi lebar yang lagi menunduk menahan tawanya. Lalu keduanya pun sekali lagi tertawa bersama-sama.Enak banget ya, ketawain aku?Ngeeekk ....Suara kursi yang didorong menghentikan tawa si rambut mangkok. Tiba-tiba, saja anak perempuan yang tadi kulihat berlari ke luar kelas, melewati kami bertiga yang terdiam di depan kelas. Malu, aku yakin itu juga sedang menyerangnya.Tapi, mengingat kelakuannya barusan. Aku malah berpikiran, sudah lari ke mana ras
Lagi-lagi aku jatuh sakit, sudah dua hari ini aku melewatkan banyak tugas dan ada banyak pelajaran yang menumpuk, serta harus dikejar.Akhir-akhir ini badanku memang terasa tidak enak lagi dan sedikit demam. Aku hanya bisa menghabiskan waktu belajar dan mengulangi materi yang kuterima selama hampir satu bulan. Sambil sesekali menonton Drama Korea dan Anime Jepang kesukaanku.***Setelah dua hari izin sakit, surat sakit pun akan jatuh tempo dan lagi-lagi dengan sedikit memaksa, besoknya aku memutuskan akan pergi ke sekolah dengan kondisi yang belum terlalu stabil.Entah kenapa sakitku harus sering datang tiba-tiba? Padahal di hari-hari sebelumnya, tak ada masalah apa pun yang bisa mengancam pertahanan tubuhku. Mungkinkah tubuhku kaget dengan berbagai tugas yang kuterima?Mungkin saja aku terlalu terkejut sebelumnya, terkejut dengan keanehan orang-orang di sekolah, serta terkejut akan hal ini dan itu. Atau memang penyakit ini sudah m
Setelah menyentuhku, orang itu kini sedang berdiri tepat di sisi meja, dia menghalangiku untuk duduk. Aku menatapnya kesal, cemberut tak jelas dengan sikapnya barusan. Aku melangkah, tapi masih dicegat olehnya."Kita belum kenalan secara resmi ‘kan?" ucapnya malu-malu. Apa ini? Apa yang coba dia lakukan?"Hah? Oh iya, saya tahu kamu kok! Riski sudah jelaskan semua tentang kamu!" ungkapku tiba-tiba percaya diri, dengan nada sedikit kesal."Riski?" tanyanya bersandar ke meja. “Dia bilang apa aja ke kamu? Bukan yang aneh-aneh kan?” lanjutnya menatapku lekat."Iya, soal ini dan itu …,” jawabku bergerak ke sisi kanan hendak menjauhinya.“Mau ke mana sih?” tanyanya langsung saja memegang tanganku. Aku bisa merasakan tangannya yang hangat, atau tanganku yang sudah membeku.Deg.Rasanya aneh saat dia men
Saat bertemu dengan Sisi sahabat lamaku, aku pun curhat tentang berbagai hal yang kutemui di sekolah ini termasuk masalah Yani. Semua kuceritakan kepada Sisi, tanpa merahasiakan apapun darinya."Terus kenapa tidak mau? Kalau gini pasti udah jadi asistennya sekretaris kelas, bukan sekadar teman yang siap disindir melulu tiap hari," tanya Sisi menanggapi curhatanku."Malas ah ... asisten? Tak mau lah diriku! Hehehe. Kalau kumpul-kumpul seperti itu yang ada bukannya belajar, Sisi … malah bercanda, gosip atau pacaran. Mending nggak usah lah!" jelasku."Iya sih, betul juga!""Oh ya, kamu belum beritahu apa-apa ke teman sekelasku ‘kan?" Aku tiba-tiba mengingat sesuatu."Tentang itu? Tenang aja, hanya teman-teman kita yang tahu. Kepala sekolah juga sudah minta teman-teman kelas sebelas untuk pura-pura tahu siapa itu Nana Rahayu. Kan ada si Pak Bos juga tuh!" bisiknya.
Pelajaran kami selesai, istirahat pun tiba.Saat sedang asik bermain game di benda ajaib yang disebut ponsel itu, aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja datang dan langsung meletakkan benda besar yang disebut tas itu di mejaku. Tanpa peringatan, tanpa aba-aba dan tanpa sapaan."Titip ya!" ujarnya terburu-buru."Indra! Tasnya jangan ditaruh di situ dong! Iih!" tegurku sembari buru-buru menekan tombol pause dan menatapnya kesal."Apa? Kamu tadi panggil saya ya? Panggil saya apa?" kagetnya berbalik. Tiba-tiba menatapku dengan tatapan matanya yang serius. Membuatku jadi keheranan, kenapa dia ini? "Nana, kamu tadi panggil saya kan?" Dia kembali berucap."Ya, iya. Kamu lah, siapa lagi? Memangnya ada orang lain yang lagi berdiri di depan meja aku, 'kan cuma ada kamu, aneh banget iiih," jawabku panjang lebar."Ooh, jadi kamu memang panggil saya ya? Pangg
Aku yang sedari tadi berjalan di belakang pak guru hanya terdiam tanpa kata. Aku mengikutinya berjalan menuju ke kelas sebelah tempat dia mengajar hari ini. Pak guru berhenti di depan kelas dan akhirnya bicara juga. Jantung yang sudah berdegup kencang tanpa alasan ini membuatku berkeringat dingin.Tapi, apa salahku? Aku tidak punya salah apapun. Kenapa aku harus bertingkah seperti ini? Tolong, biasa aja, Na.Syukurlah, bukan apa-apa. Rupanya Pak guru hanya ingin memberitahukan, soal aku yang tetap akan diberikan jadwal piket kebersihan meskipun sering sakit. Karena khawatir jika tak diberi jadwal piket, bisa menimbulkan rasa cemburu dari iswa yang lainnya. Pak guru sengaja memintaku untuk bicara berjauhan dari kelas, karena tidak ingin ada murid di kelasku yang mendengar pembicaraan kami. Ya, memang pembicaraan ini terdengar dan terkesan bahwa aku sengaja diatur agar bisa mengikuti aktivitas di sekolah ini.Sebelumnya, aku memang tida
Ani tiba-tiba menarik tanganku, dan mengajak untuk kembali ke kelas. Aku turut saja dan mengikuti langkah kecil Ani.Begitu sampai di dalam kelas, Ani menatapku serius. Aku mendadak bingung, anak ini kenapa?"Puisinya bagus ya ...," ucap Ani tersenyum. Sepertinya Ani sedang mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba hening atas diamku. Aku pun hanya mengangguk sekenanya saja. "Na? Nana!" lanjutnya dengan suara lebih keras."Hmm?" Aku terpaksa menatap wajah Ani."Kamu kenapa? Kok kayak syok gitu? Ada masalah? Apa kamu--""Aku? Aku apa? Aku nggak apa-apa kok!" Aku benar-benar salah tingkah dan mencoba menghindari kontak mata dengan Ani."Ya udah sih kalau nggak apa-apa kalau nggak mau cerita, aku sih nggak masalah. Beneran! Tapi, aku ini masih teman kamu loh." Ucapan Ani terdengar menjurus. Apa dia sudah tahu soal tulisan di mading?"Ani, anu ... itu," kataku mendadak gagap."Hmm," ujar Ani mendekatkan
Saat jam istirahat, aku sempat makan di kantin bersama Riski dan kawan-kawan lainnya. Kami pun janjian untuk mengobrol sebentar saat pulang sekolah nanti.Kami tidak punya banyak waktu mengobrol saat istirahat, karena terlambat ke kantin gara-gara pak Deni telat masuk kelas.Kami berdua duduk bersaman di lapangan hijau sekolah. Sebelum pulang ke rumah, aku, Ani, Ima, Tri dan Riski duduk-duduk di sini dulu menikmati teriknya matahari siang.Saat mereka pergi sejenak untuk membeli jajanan, aku dan Riski memulai pembicaraan empat mata. Kuceritakan pula apa yang Indra katakan waktu itu. Riski pun hanya bisa menyayangkan sikap temannya tersebut."Aku tuh sempat kesal banget gara-gara itu, padahal sebelumnya kan aku udah mulai biasa aja temenan sama dia," ujarku masih melanjutkan curhatan."Dia bukan sepenuhnya laki-laki baik, itu yang aku tahu sih. Jujur ya, Na. Indra itu, dia cukup berbahaya
Begitu masuk ke kelas, Indra langsung menyambangiku. Dia tiba-tiba menghalangi Ani dan duduk di tempat Ani. Ini tidak mengherankan lagi, dia sudah jadi terbiasa duduk di tempat Ani. Bahkan Ani kadang harus mengusirnya dulu hanya untuk duduk di bangkunya sendiri. Ini tidak terlalu aneh, karena secara alami kami memang sudah jadi cukup akrab, mungkin itu sebabnya dia bertingkah sok kenal dan sok dekat padaku dan Ani. Mumpung ada Indra, aku jadi teringat kata-kata Yani dua hari lalu. Jika Indra itu tahu informasi tentang Riski, hanya saja aku memang tidak ingin ada urusan dengan anak aneh itu, makanya tidak pernah bertanya apapun. "Belum ada kabar dari Riski ya?" tanya Indra tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku. "Hah?" Aku tersadar dari pikiran tentang Riski. "Belum!" jawabku kemudian. "Syukurlah!" Ucapan itu terdengar aneh, ada rasa satire di dalamnya.
Aku mengulurkan tangan, tanpa sepatah kata pun. Seolah mengerti, Indra menurut dan memberikan benda yang kuminta. Ia meletakkannya di meja, tepat di hadapanku."Maaf!" katanya tampak kikuk."Kamu ngapain?" Aku tak sanggup mengomelinya."Itu, anu--""Minggir!" ucapku mengusirnya dari daerah pribadi ini.Hah, orang ini benar-benar semakin aneh. Saat aku berbaik hati mau bicara dengannya, dia sudah berani duduk di bangkuku, seolah aku adalah bagian dari geng-nya. Dia mungkin saja sedang mencoba menginvasi daerah kekuasaan Yani, atau mencoba membujukku untuk bergabung bersama Yani.Aku mengambil ponsel yang diletakkan olehnya di atas meja, layarnya masih disetel pada lagu-lagu MP3 koleksi. Aku melirik kesal kepadanya dan dia masih tampak menunduk.Apa-apaan dia? Beraninya buka-buka tas dan menyentuh barang-barangku! Batinku mengomel.“Nana?” panggilnya. Lalu, memin
Hari ini ada pelajaran bahasa Inggris, salah satu pelajaran kesukaanku. Ini bisa jadi kesempatanku untuk memperlihatkan kecakapan dan kemampuanku dalam fast reading di depan kelas, ya di depan semua orang yang mungkin saja selama ini menganggap aku remeh. Begitu pelajaran dimulai, beberapa teman sekelasku hanya saling menertawakan kemampuan bahasa mereka satu sama lain. Tapi, begitu dua orang itu muncul, guru bahasa Inggris sangat memuji Icha si Ketua Kelas dan Indra si Murid yang sok jaim dalam materi yang coba diujikannya. Tibalah waktuku, guru tahu jika selama satu semester kemarin aku termasuk murid yang aktif dalam pelajarannya hingga dia seolah menantangku. Seorang anak pendiam atau lebih tepatnya pemalu, untuk melakukan fast reading di depan kelas. Takut, tentu saja! Ini pertama kalinya aku berpartisipasi melawan ketua kelas dan teman segengnya. Namun, ini lah yang aku tunggu, menguji tata bahasa dan kecepat
Setelah seminggu ujian berakhir, aku semakin dekat dengan para sahabat yang baik hati ini, terutama Riski. Ya, walau terkadang mereka akan bersikap menyebalkan, terlebih si Nirmala pecinta dinding, yang suka mendadak tuli kalau dimintai tolong ke kantin. Tapi, aku secara perlahan memang jadi semakin dekat dengan Riski. Mungkin karena dia adalah anak yang seru untuk diajak ngobrol dan kami berdua punya selera humor yang mirip satu sama lain.Aku dan Riski lebih banyak menghabiskan waktu berdua, entah untuk menyelesaikan soal matematika bekas ujian, maupun Riski yang sering menemaniku menggambar. Aku suka membuat sketsa kasar di belakang buku pelajaran. Selain, pemandangan depan pintu kelas. Riski bersedia menjadi objek sketsaku, walau sebenarnya gambarku menjadikan Riski semakin jelek.Dia juga menjadi lebih rajin ketika kumintai tolong untuk membelikan makanan atau minuman di kantin. Mungkin itu yang jadi sebab, Nirmala sudah tidak mau membe
Entah kenapa aku malah tiba-tiba tersenyum senang karena melihat dua orang ini sedang diliputi rasa penuh kekesalan. Aku merasa keduanya memang sangat baik dan bisa bersikap seperti ini hanya karena aku. Aku sangat tersanjung. Aku pun mengalihkan pandangan dari Ani dan Riskin, menatap ke arah kerumunan sana, Icha tampak senang mendapatkan sambutan hangat itu. Aku tanpa sadar tersenyum dan saat aku menoleh ke arah teman-temanku ini, langsung saja membuat Ani juga Riski menatap sinis kepadaku. "Kenapa sih? Nggak usah dipikirin deh, itu 'kan cuma puisi," ucapku berpura-pura dingin. "Tapi, itu puisi kamu? Kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan," ucap Riski meninggalkan kami berdua di depan pintu kelas. Idih, ngapain nangis? Aku bisa bikin yang lebih baik dari puisi itu nanti. "Bisa-bisanya yang ngomong kayak gitu!" timpal Ani emosi. Eh, aku sala
Ani tiba-tiba menarik tanganku, dan mengajak untuk kembali ke kelas. Aku turut saja dan mengikuti langkah kecil Ani.Begitu sampai di dalam kelas, Ani menatapku serius. Aku mendadak bingung, anak ini kenapa?"Puisinya bagus ya ...," ucap Ani tersenyum. Sepertinya Ani sedang mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba hening atas diamku. Aku pun hanya mengangguk sekenanya saja. "Na? Nana!" lanjutnya dengan suara lebih keras."Hmm?" Aku terpaksa menatap wajah Ani."Kamu kenapa? Kok kayak syok gitu? Ada masalah? Apa kamu--""Aku? Aku apa? Aku nggak apa-apa kok!" Aku benar-benar salah tingkah dan mencoba menghindari kontak mata dengan Ani."Ya udah sih kalau nggak apa-apa kalau nggak mau cerita, aku sih nggak masalah. Beneran! Tapi, aku ini masih teman kamu loh." Ucapan Ani terdengar menjurus. Apa dia sudah tahu soal tulisan di mading?"Ani, anu ... itu," kataku mendadak gagap."Hmm," ujar Ani mendekatkan
Aku yang sedari tadi berjalan di belakang pak guru hanya terdiam tanpa kata. Aku mengikutinya berjalan menuju ke kelas sebelah tempat dia mengajar hari ini. Pak guru berhenti di depan kelas dan akhirnya bicara juga. Jantung yang sudah berdegup kencang tanpa alasan ini membuatku berkeringat dingin.Tapi, apa salahku? Aku tidak punya salah apapun. Kenapa aku harus bertingkah seperti ini? Tolong, biasa aja, Na.Syukurlah, bukan apa-apa. Rupanya Pak guru hanya ingin memberitahukan, soal aku yang tetap akan diberikan jadwal piket kebersihan meskipun sering sakit. Karena khawatir jika tak diberi jadwal piket, bisa menimbulkan rasa cemburu dari iswa yang lainnya. Pak guru sengaja memintaku untuk bicara berjauhan dari kelas, karena tidak ingin ada murid di kelasku yang mendengar pembicaraan kami. Ya, memang pembicaraan ini terdengar dan terkesan bahwa aku sengaja diatur agar bisa mengikuti aktivitas di sekolah ini.Sebelumnya, aku memang tida
Pelajaran kami selesai, istirahat pun tiba.Saat sedang asik bermain game di benda ajaib yang disebut ponsel itu, aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja datang dan langsung meletakkan benda besar yang disebut tas itu di mejaku. Tanpa peringatan, tanpa aba-aba dan tanpa sapaan."Titip ya!" ujarnya terburu-buru."Indra! Tasnya jangan ditaruh di situ dong! Iih!" tegurku sembari buru-buru menekan tombol pause dan menatapnya kesal."Apa? Kamu tadi panggil saya ya? Panggil saya apa?" kagetnya berbalik. Tiba-tiba menatapku dengan tatapan matanya yang serius. Membuatku jadi keheranan, kenapa dia ini? "Nana, kamu tadi panggil saya kan?" Dia kembali berucap."Ya, iya. Kamu lah, siapa lagi? Memangnya ada orang lain yang lagi berdiri di depan meja aku, 'kan cuma ada kamu, aneh banget iiih," jawabku panjang lebar."Ooh, jadi kamu memang panggil saya ya? Pangg