Lagi-lagi aku jatuh sakit, sudah dua hari ini aku melewatkan banyak tugas dan ada banyak pelajaran yang menumpuk, serta harus dikejar.
Akhir-akhir ini badanku memang terasa tidak enak lagi dan sedikit demam. Aku hanya bisa menghabiskan waktu belajar dan mengulangi materi yang kuterima selama hampir satu bulan. Sambil sesekali menonton Drama Korea dan Anime Jepang kesukaanku.
***
Setelah dua hari izin sakit, surat sakit pun akan jatuh tempo dan lagi-lagi dengan sedikit memaksa, besoknya aku memutuskan akan pergi ke sekolah dengan kondisi yang belum terlalu stabil.
Entah kenapa sakitku harus sering datang tiba-tiba? Padahal di hari-hari sebelumnya, tak ada masalah apa pun yang bisa mengancam pertahanan tubuhku. Mungkinkah tubuhku kaget dengan berbagai tugas yang kuterima?
Mungkin saja aku terlalu terkejut sebelumnya, terkejut dengan keanehan orang-orang di sekolah, serta terkejut akan hal ini dan itu. Atau memang penyakit ini sudah mulai susah diajak berkompromi.
Malam ini, bintang tampak malu. Tiba-tiba, aku merasa kosong, seolah langit yang kehilangan pernak-perniknya dan aku mulai merindukan teman di sekolah. Kututup buku yang kupinjam dari tetangga sebelah. Yuli, gadis ramah yang berkawan baik denganku meskipun kami berbeda sekolah.
***
Keesokan paginya, di sekolah.
Jam istirahat pun telah berhasil mengkudeta dan menghentikan pelajaran Sosiologi oleh ibu Rina, si mungil yang katanya sedang hobi nonton drama Korea. Dia masih muda, mungkin seusia Ibu Lisa, mereka bahkan terkadang tampak seperti kakak-beradik.
Ibu Rina terkenal sedikit lebih berisik dari Ibu Lisa, mungkin karena bassic-nya yang juga dikenal sebagai motivator untuk anak-anak sekolahan penghuni kelas Ujian Nasional.
Hari ini, giliran Ani dan Nirmala yang akan pergi ke kantin, tanpa Ima yang sedang kurang sehat sama sepertiku. Ah, kami berdua memang sering sakit-sakitan, tapi aku tidak separah Ima. Maksudku, saat Ima sakit bahkan walau beristirahat sekali pun, tak akan membuat kondisinya membaik.
Oh ya, Nirmala itu teman baruku, kami menjadi akrab karena dia berteman dengan Ima. Dia duduk di tempat paling belakang. Dia menyebut dirinya sebagai Pecinta Dinding.
Selama ini aku punya kebiasaan menitip makanan atau minuman, kebiasaanku ini hanya berlaku kepada teman-teman dekat yang mau tamasya ke kantin saja. Beruntung, Ani dan Nirmala menjadi kandidat pertama kurir nitipku di sekolah ini.
Nah, hari ini aku menitip untuk dibelikan gorengan dan minuman dingin. Namun, karena kawan-kawan sudah tahu keadaanku yang sering sakit akhir-akhir ini, mereka berdua pun akhirnya menolak membelikan minuman dingin untukku. Padahal hari sangat panas, aku pun hanya akan dibelikan air mineral biasa.
Aku yakin Tri dan Sisi yang sudah membeberkan hal tentang sakitku kepada teman-teman ini. Kedua orang beda watak itu, benar-benar membuatku hanya bisa geleng-geleng setiap bertemu. Keduanya tahu kalau aku memiliki tubuh yang lemah, Sisi lebih sedikit tahu beberapa hal yang tak diketahui Tri, karena dia mengenalku sejak SD.
Lagipula, dengan tegas Nirmala pasti akan berkata, "Hanya akan membelikanku air mineral saja. Biar sehat." Nirmala memang terlalu menyukai kesehatan, seharusnya saat kuliah nanti dia bisa ambil jurusan perawat.
***
Aku memilih menunggu di kelas, tepat berdiri di depan jendela, tempat biasanya menunggu teman-teman kalau mereka datang dari kantin membawakan pesanan kami. Hanya bisa menatap lapangan hijau dan dipenuhi anak kelas sebelah yang tengah bermain, maupun sekadar duduk-duduk di pinggir lapangan.
Ingin rasanya berlarian di padang rumput, merasakan gelinya si hijau menggelitik kaki, menikmati segarnya aroma alam yang mampu membuat siapa pun ingin lekas berbaring di sana. Ah, bukan aroma alam, di sini banyak tahi sapi.
Aku merasakan sentuhan di kedua bahu, dan ternyata itu Ani yang kembali karena meninggalkan dompetnya di kelas.
"Mana?" tagihku tak sabaran. Padahal Ani belum ada lima menit meninggalkan kelas.
"Cuma mau ambil dompet, sabar ya, Bu!" ucapnya tertawa dan mengelus kepala Ima yang sedang menunduk di meja, lalu lekas berlalu.
Aku pun ikut tertawa gembira dan lekas membalikkan badan kurus ini membelakangi meja. Mengembalikan pandangan pada bola putih yang tengah bergulir kesana-kemari.
“Nanti minta Ani yang nyatet bukumu ya Ima, biar—”
Happ! Gelap!
Aku terkesiap. Tak lama berselang aku tidak bisa melihat apa-apa, seseorang menutup mata dengan kedua tangannya. Ya, seseorang! Pada saat bersamaan terdengar suara teriakan teman-teman yang lain.
Suasana mendadak seperti p***r. Riuh. Ajaibnya, pendengaranku menjadi lebih tajam saat mata ini terpejam. Mencoba tenang, batin dan pikiran pun ikut menerka siapa itu?
"Ani?" panggilku mencoba menggenggam tangan itu. Menafsirkan sambil mendengar suara embusan napas di atas kepalaku.
Tapi, apa ini? Kenapa tangannya besar dan bertulang? Apa Ani memang punya tangan yang bertulang? Tapi seingatku, tidak.
Aku melepaskan benda asing itu dari mata dan sedikit merapihkan kerudung instan. Namun, dengan gerakan yang lembut tangan itu pindah ke bahu. Anehnya aku masih yakin bahwa itu adalah salah satu dari teman-teman.
"Nirmala?" ucapku menerka dan berbalik ke arah kiri dengan genitnya, seketika pula aku tersandar ke jendela. "Astaga!" seruku kaget saat melihat siapa yang tengah berdiri di hadapan.
“Hai!” ucapnya tersenyum.
Laki-laki itu, anak yang duduk bersama pada hari pertama kedatanganku dan laki laki itu pula orang yang kepergok tengah berduaan di balik jaket. Apa yang dia lakukan? Apa yang dia inginkan? Apa yang?
Oh tidak, dia menyentuhku! Barusan dia melakukan kontak fisik padaku. Bagaimana ini? Hatiku mengeluh.
"Lagi apa?" tanya laki-laki itu mendekatkan wajah putihnya, dengan tangan yang masih memegang pundakku.
"Minggir!" dorongku, menyentuh dadanya.
"Eh, tunggu dulu!" ucapnya cekatan memegang tangan kecil ini.
Oh, tanganku …. Refleks, aku membanting tangan kerasnya itu dan melirik sejenak ke arah teman se-gengnya. Mereka asyik tertawa disertai siulan-siulan kecil, semakin membuat kuali besar di kepalaku terasa penuh dengan uap kekesalan yang semakin menjadi-jadi.
"Maaf," ucapnya tiba-tiba tersenyum dan melangkah mundur, melepaskan genggaman tangannya. Ya, dia seharusnya memang minta maaf.
"Ssa-sa-saya mau duduk!" ucapku menunduk melangkah ke kanan, tak mau melihat orang yang sudah serampangan berani menyentuh itu. Kulihat Ima terbangun dari posisinya, menatap sama bingungnya.
Bagaimana bisa dia mengganggu orang yang baru sembuh dari sakit ini? Pasti dia tidak waras.
"Boleh bicara nggak?" tanya laki-laki itu menghalangi jalan. Aku menggeleng cepat tanpa menatapnya. Melihat ke arah Ima yang kembali menundukkan kepala. “Sebentar aja," lanjutnya.
"Soal, soal yang waktu itu. Hhm, anggap aja saya nggak lihat! Saya nggak bakal bilang siapa-siapa kok! Tenang aja. Iya," jawabku sok tahu, atau lebih tepatnya salah tingkah.
"Bukan itu kok!" lanjutnya tersenyum. Senyum apa itu?
"Hhh? Lalu? Tt-terus?" Aku menatapnya yang kembali melangkah ke depan dan berdiri beberapa senti di hadapanku.
Tampak pakaiannya tak rapi, ada ujung kemeja putih yang mengintip di balik ikat pinggangnya. Bahkan ada warna kuning aneh, yang keluar mengintip dari sela kancing atas kemejanya.
***
Bersambung
Setelah menyentuhku, orang itu kini sedang berdiri tepat di sisi meja, dia menghalangiku untuk duduk. Aku menatapnya kesal, cemberut tak jelas dengan sikapnya barusan. Aku melangkah, tapi masih dicegat olehnya."Kita belum kenalan secara resmi ‘kan?" ucapnya malu-malu. Apa ini? Apa yang coba dia lakukan?"Hah? Oh iya, saya tahu kamu kok! Riski sudah jelaskan semua tentang kamu!" ungkapku tiba-tiba percaya diri, dengan nada sedikit kesal."Riski?" tanyanya bersandar ke meja. “Dia bilang apa aja ke kamu? Bukan yang aneh-aneh kan?” lanjutnya menatapku lekat."Iya, soal ini dan itu …,” jawabku bergerak ke sisi kanan hendak menjauhinya.“Mau ke mana sih?” tanyanya langsung saja memegang tanganku. Aku bisa merasakan tangannya yang hangat, atau tanganku yang sudah membeku.Deg.Rasanya aneh saat dia men
Saat bertemu dengan Sisi sahabat lamaku, aku pun curhat tentang berbagai hal yang kutemui di sekolah ini termasuk masalah Yani. Semua kuceritakan kepada Sisi, tanpa merahasiakan apapun darinya."Terus kenapa tidak mau? Kalau gini pasti udah jadi asistennya sekretaris kelas, bukan sekadar teman yang siap disindir melulu tiap hari," tanya Sisi menanggapi curhatanku."Malas ah ... asisten? Tak mau lah diriku! Hehehe. Kalau kumpul-kumpul seperti itu yang ada bukannya belajar, Sisi … malah bercanda, gosip atau pacaran. Mending nggak usah lah!" jelasku."Iya sih, betul juga!""Oh ya, kamu belum beritahu apa-apa ke teman sekelasku ‘kan?" Aku tiba-tiba mengingat sesuatu."Tentang itu? Tenang aja, hanya teman-teman kita yang tahu. Kepala sekolah juga sudah minta teman-teman kelas sebelas untuk pura-pura tahu siapa itu Nana Rahayu. Kan ada si Pak Bos juga tuh!" bisiknya.
Pelajaran kami selesai, istirahat pun tiba.Saat sedang asik bermain game di benda ajaib yang disebut ponsel itu, aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja datang dan langsung meletakkan benda besar yang disebut tas itu di mejaku. Tanpa peringatan, tanpa aba-aba dan tanpa sapaan."Titip ya!" ujarnya terburu-buru."Indra! Tasnya jangan ditaruh di situ dong! Iih!" tegurku sembari buru-buru menekan tombol pause dan menatapnya kesal."Apa? Kamu tadi panggil saya ya? Panggil saya apa?" kagetnya berbalik. Tiba-tiba menatapku dengan tatapan matanya yang serius. Membuatku jadi keheranan, kenapa dia ini? "Nana, kamu tadi panggil saya kan?" Dia kembali berucap."Ya, iya. Kamu lah, siapa lagi? Memangnya ada orang lain yang lagi berdiri di depan meja aku, 'kan cuma ada kamu, aneh banget iiih," jawabku panjang lebar."Ooh, jadi kamu memang panggil saya ya? Pangg
Aku yang sedari tadi berjalan di belakang pak guru hanya terdiam tanpa kata. Aku mengikutinya berjalan menuju ke kelas sebelah tempat dia mengajar hari ini. Pak guru berhenti di depan kelas dan akhirnya bicara juga. Jantung yang sudah berdegup kencang tanpa alasan ini membuatku berkeringat dingin.Tapi, apa salahku? Aku tidak punya salah apapun. Kenapa aku harus bertingkah seperti ini? Tolong, biasa aja, Na.Syukurlah, bukan apa-apa. Rupanya Pak guru hanya ingin memberitahukan, soal aku yang tetap akan diberikan jadwal piket kebersihan meskipun sering sakit. Karena khawatir jika tak diberi jadwal piket, bisa menimbulkan rasa cemburu dari iswa yang lainnya. Pak guru sengaja memintaku untuk bicara berjauhan dari kelas, karena tidak ingin ada murid di kelasku yang mendengar pembicaraan kami. Ya, memang pembicaraan ini terdengar dan terkesan bahwa aku sengaja diatur agar bisa mengikuti aktivitas di sekolah ini.Sebelumnya, aku memang tida
Ani tiba-tiba menarik tanganku, dan mengajak untuk kembali ke kelas. Aku turut saja dan mengikuti langkah kecil Ani.Begitu sampai di dalam kelas, Ani menatapku serius. Aku mendadak bingung, anak ini kenapa?"Puisinya bagus ya ...," ucap Ani tersenyum. Sepertinya Ani sedang mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba hening atas diamku. Aku pun hanya mengangguk sekenanya saja. "Na? Nana!" lanjutnya dengan suara lebih keras."Hmm?" Aku terpaksa menatap wajah Ani."Kamu kenapa? Kok kayak syok gitu? Ada masalah? Apa kamu--""Aku? Aku apa? Aku nggak apa-apa kok!" Aku benar-benar salah tingkah dan mencoba menghindari kontak mata dengan Ani."Ya udah sih kalau nggak apa-apa kalau nggak mau cerita, aku sih nggak masalah. Beneran! Tapi, aku ini masih teman kamu loh." Ucapan Ani terdengar menjurus. Apa dia sudah tahu soal tulisan di mading?"Ani, anu ... itu," kataku mendadak gagap."Hmm," ujar Ani mendekatkan
Entah kenapa aku malah tiba-tiba tersenyum senang karena melihat dua orang ini sedang diliputi rasa penuh kekesalan. Aku merasa keduanya memang sangat baik dan bisa bersikap seperti ini hanya karena aku. Aku sangat tersanjung. Aku pun mengalihkan pandangan dari Ani dan Riskin, menatap ke arah kerumunan sana, Icha tampak senang mendapatkan sambutan hangat itu. Aku tanpa sadar tersenyum dan saat aku menoleh ke arah teman-temanku ini, langsung saja membuat Ani juga Riski menatap sinis kepadaku. "Kenapa sih? Nggak usah dipikirin deh, itu 'kan cuma puisi," ucapku berpura-pura dingin. "Tapi, itu puisi kamu? Kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan," ucap Riski meninggalkan kami berdua di depan pintu kelas. Idih, ngapain nangis? Aku bisa bikin yang lebih baik dari puisi itu nanti. "Bisa-bisanya yang ngomong kayak gitu!" timpal Ani emosi. Eh, aku sala
Setelah seminggu ujian berakhir, aku semakin dekat dengan para sahabat yang baik hati ini, terutama Riski. Ya, walau terkadang mereka akan bersikap menyebalkan, terlebih si Nirmala pecinta dinding, yang suka mendadak tuli kalau dimintai tolong ke kantin. Tapi, aku secara perlahan memang jadi semakin dekat dengan Riski. Mungkin karena dia adalah anak yang seru untuk diajak ngobrol dan kami berdua punya selera humor yang mirip satu sama lain.Aku dan Riski lebih banyak menghabiskan waktu berdua, entah untuk menyelesaikan soal matematika bekas ujian, maupun Riski yang sering menemaniku menggambar. Aku suka membuat sketsa kasar di belakang buku pelajaran. Selain, pemandangan depan pintu kelas. Riski bersedia menjadi objek sketsaku, walau sebenarnya gambarku menjadikan Riski semakin jelek.Dia juga menjadi lebih rajin ketika kumintai tolong untuk membelikan makanan atau minuman di kantin. Mungkin itu yang jadi sebab, Nirmala sudah tidak mau membe
Hari ini ada pelajaran bahasa Inggris, salah satu pelajaran kesukaanku. Ini bisa jadi kesempatanku untuk memperlihatkan kecakapan dan kemampuanku dalam fast reading di depan kelas, ya di depan semua orang yang mungkin saja selama ini menganggap aku remeh. Begitu pelajaran dimulai, beberapa teman sekelasku hanya saling menertawakan kemampuan bahasa mereka satu sama lain. Tapi, begitu dua orang itu muncul, guru bahasa Inggris sangat memuji Icha si Ketua Kelas dan Indra si Murid yang sok jaim dalam materi yang coba diujikannya. Tibalah waktuku, guru tahu jika selama satu semester kemarin aku termasuk murid yang aktif dalam pelajarannya hingga dia seolah menantangku. Seorang anak pendiam atau lebih tepatnya pemalu, untuk melakukan fast reading di depan kelas. Takut, tentu saja! Ini pertama kalinya aku berpartisipasi melawan ketua kelas dan teman segengnya. Namun, ini lah yang aku tunggu, menguji tata bahasa dan kecepat
Saat jam istirahat, aku sempat makan di kantin bersama Riski dan kawan-kawan lainnya. Kami pun janjian untuk mengobrol sebentar saat pulang sekolah nanti.Kami tidak punya banyak waktu mengobrol saat istirahat, karena terlambat ke kantin gara-gara pak Deni telat masuk kelas.Kami berdua duduk bersaman di lapangan hijau sekolah. Sebelum pulang ke rumah, aku, Ani, Ima, Tri dan Riski duduk-duduk di sini dulu menikmati teriknya matahari siang.Saat mereka pergi sejenak untuk membeli jajanan, aku dan Riski memulai pembicaraan empat mata. Kuceritakan pula apa yang Indra katakan waktu itu. Riski pun hanya bisa menyayangkan sikap temannya tersebut."Aku tuh sempat kesal banget gara-gara itu, padahal sebelumnya kan aku udah mulai biasa aja temenan sama dia," ujarku masih melanjutkan curhatan."Dia bukan sepenuhnya laki-laki baik, itu yang aku tahu sih. Jujur ya, Na. Indra itu, dia cukup berbahaya
Begitu masuk ke kelas, Indra langsung menyambangiku. Dia tiba-tiba menghalangi Ani dan duduk di tempat Ani. Ini tidak mengherankan lagi, dia sudah jadi terbiasa duduk di tempat Ani. Bahkan Ani kadang harus mengusirnya dulu hanya untuk duduk di bangkunya sendiri. Ini tidak terlalu aneh, karena secara alami kami memang sudah jadi cukup akrab, mungkin itu sebabnya dia bertingkah sok kenal dan sok dekat padaku dan Ani. Mumpung ada Indra, aku jadi teringat kata-kata Yani dua hari lalu. Jika Indra itu tahu informasi tentang Riski, hanya saja aku memang tidak ingin ada urusan dengan anak aneh itu, makanya tidak pernah bertanya apapun. "Belum ada kabar dari Riski ya?" tanya Indra tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku. "Hah?" Aku tersadar dari pikiran tentang Riski. "Belum!" jawabku kemudian. "Syukurlah!" Ucapan itu terdengar aneh, ada rasa satire di dalamnya.
Aku mengulurkan tangan, tanpa sepatah kata pun. Seolah mengerti, Indra menurut dan memberikan benda yang kuminta. Ia meletakkannya di meja, tepat di hadapanku."Maaf!" katanya tampak kikuk."Kamu ngapain?" Aku tak sanggup mengomelinya."Itu, anu--""Minggir!" ucapku mengusirnya dari daerah pribadi ini.Hah, orang ini benar-benar semakin aneh. Saat aku berbaik hati mau bicara dengannya, dia sudah berani duduk di bangkuku, seolah aku adalah bagian dari geng-nya. Dia mungkin saja sedang mencoba menginvasi daerah kekuasaan Yani, atau mencoba membujukku untuk bergabung bersama Yani.Aku mengambil ponsel yang diletakkan olehnya di atas meja, layarnya masih disetel pada lagu-lagu MP3 koleksi. Aku melirik kesal kepadanya dan dia masih tampak menunduk.Apa-apaan dia? Beraninya buka-buka tas dan menyentuh barang-barangku! Batinku mengomel.“Nana?” panggilnya. Lalu, memin
Hari ini ada pelajaran bahasa Inggris, salah satu pelajaran kesukaanku. Ini bisa jadi kesempatanku untuk memperlihatkan kecakapan dan kemampuanku dalam fast reading di depan kelas, ya di depan semua orang yang mungkin saja selama ini menganggap aku remeh. Begitu pelajaran dimulai, beberapa teman sekelasku hanya saling menertawakan kemampuan bahasa mereka satu sama lain. Tapi, begitu dua orang itu muncul, guru bahasa Inggris sangat memuji Icha si Ketua Kelas dan Indra si Murid yang sok jaim dalam materi yang coba diujikannya. Tibalah waktuku, guru tahu jika selama satu semester kemarin aku termasuk murid yang aktif dalam pelajarannya hingga dia seolah menantangku. Seorang anak pendiam atau lebih tepatnya pemalu, untuk melakukan fast reading di depan kelas. Takut, tentu saja! Ini pertama kalinya aku berpartisipasi melawan ketua kelas dan teman segengnya. Namun, ini lah yang aku tunggu, menguji tata bahasa dan kecepat
Setelah seminggu ujian berakhir, aku semakin dekat dengan para sahabat yang baik hati ini, terutama Riski. Ya, walau terkadang mereka akan bersikap menyebalkan, terlebih si Nirmala pecinta dinding, yang suka mendadak tuli kalau dimintai tolong ke kantin. Tapi, aku secara perlahan memang jadi semakin dekat dengan Riski. Mungkin karena dia adalah anak yang seru untuk diajak ngobrol dan kami berdua punya selera humor yang mirip satu sama lain.Aku dan Riski lebih banyak menghabiskan waktu berdua, entah untuk menyelesaikan soal matematika bekas ujian, maupun Riski yang sering menemaniku menggambar. Aku suka membuat sketsa kasar di belakang buku pelajaran. Selain, pemandangan depan pintu kelas. Riski bersedia menjadi objek sketsaku, walau sebenarnya gambarku menjadikan Riski semakin jelek.Dia juga menjadi lebih rajin ketika kumintai tolong untuk membelikan makanan atau minuman di kantin. Mungkin itu yang jadi sebab, Nirmala sudah tidak mau membe
Entah kenapa aku malah tiba-tiba tersenyum senang karena melihat dua orang ini sedang diliputi rasa penuh kekesalan. Aku merasa keduanya memang sangat baik dan bisa bersikap seperti ini hanya karena aku. Aku sangat tersanjung. Aku pun mengalihkan pandangan dari Ani dan Riskin, menatap ke arah kerumunan sana, Icha tampak senang mendapatkan sambutan hangat itu. Aku tanpa sadar tersenyum dan saat aku menoleh ke arah teman-temanku ini, langsung saja membuat Ani juga Riski menatap sinis kepadaku. "Kenapa sih? Nggak usah dipikirin deh, itu 'kan cuma puisi," ucapku berpura-pura dingin. "Tapi, itu puisi kamu? Kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan," ucap Riski meninggalkan kami berdua di depan pintu kelas. Idih, ngapain nangis? Aku bisa bikin yang lebih baik dari puisi itu nanti. "Bisa-bisanya yang ngomong kayak gitu!" timpal Ani emosi. Eh, aku sala
Ani tiba-tiba menarik tanganku, dan mengajak untuk kembali ke kelas. Aku turut saja dan mengikuti langkah kecil Ani.Begitu sampai di dalam kelas, Ani menatapku serius. Aku mendadak bingung, anak ini kenapa?"Puisinya bagus ya ...," ucap Ani tersenyum. Sepertinya Ani sedang mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba hening atas diamku. Aku pun hanya mengangguk sekenanya saja. "Na? Nana!" lanjutnya dengan suara lebih keras."Hmm?" Aku terpaksa menatap wajah Ani."Kamu kenapa? Kok kayak syok gitu? Ada masalah? Apa kamu--""Aku? Aku apa? Aku nggak apa-apa kok!" Aku benar-benar salah tingkah dan mencoba menghindari kontak mata dengan Ani."Ya udah sih kalau nggak apa-apa kalau nggak mau cerita, aku sih nggak masalah. Beneran! Tapi, aku ini masih teman kamu loh." Ucapan Ani terdengar menjurus. Apa dia sudah tahu soal tulisan di mading?"Ani, anu ... itu," kataku mendadak gagap."Hmm," ujar Ani mendekatkan
Aku yang sedari tadi berjalan di belakang pak guru hanya terdiam tanpa kata. Aku mengikutinya berjalan menuju ke kelas sebelah tempat dia mengajar hari ini. Pak guru berhenti di depan kelas dan akhirnya bicara juga. Jantung yang sudah berdegup kencang tanpa alasan ini membuatku berkeringat dingin.Tapi, apa salahku? Aku tidak punya salah apapun. Kenapa aku harus bertingkah seperti ini? Tolong, biasa aja, Na.Syukurlah, bukan apa-apa. Rupanya Pak guru hanya ingin memberitahukan, soal aku yang tetap akan diberikan jadwal piket kebersihan meskipun sering sakit. Karena khawatir jika tak diberi jadwal piket, bisa menimbulkan rasa cemburu dari iswa yang lainnya. Pak guru sengaja memintaku untuk bicara berjauhan dari kelas, karena tidak ingin ada murid di kelasku yang mendengar pembicaraan kami. Ya, memang pembicaraan ini terdengar dan terkesan bahwa aku sengaja diatur agar bisa mengikuti aktivitas di sekolah ini.Sebelumnya, aku memang tida
Pelajaran kami selesai, istirahat pun tiba.Saat sedang asik bermain game di benda ajaib yang disebut ponsel itu, aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja datang dan langsung meletakkan benda besar yang disebut tas itu di mejaku. Tanpa peringatan, tanpa aba-aba dan tanpa sapaan."Titip ya!" ujarnya terburu-buru."Indra! Tasnya jangan ditaruh di situ dong! Iih!" tegurku sembari buru-buru menekan tombol pause dan menatapnya kesal."Apa? Kamu tadi panggil saya ya? Panggil saya apa?" kagetnya berbalik. Tiba-tiba menatapku dengan tatapan matanya yang serius. Membuatku jadi keheranan, kenapa dia ini? "Nana, kamu tadi panggil saya kan?" Dia kembali berucap."Ya, iya. Kamu lah, siapa lagi? Memangnya ada orang lain yang lagi berdiri di depan meja aku, 'kan cuma ada kamu, aneh banget iiih," jawabku panjang lebar."Ooh, jadi kamu memang panggil saya ya? Pangg