Home / Young Adult / Days to Remember / Bab 6 - Ajakan yang Aneh

Share

Bab 6 - Ajakan yang Aneh

Author: Nurwahidah Bi
last update Last Updated: 2021-05-05 21:20:04

Setelah menyentuhku, orang itu kini sedang berdiri tepat di sisi meja, dia menghalangiku untuk duduk. Aku menatapnya kesal, cemberut tak jelas dengan sikapnya barusan. Aku melangkah, tapi masih dicegat olehnya.

"Kita belum kenalan secara resmi ‘kan?" ucapnya malu-malu. Apa ini? Apa yang coba dia lakukan?

"Hah? Oh iya, saya tahu kamu kok! Riski sudah jelaskan semua tentang kamu!" ungkapku tiba-tiba percaya diri, dengan nada sedikit kesal.

"Riski?" tanyanya bersandar ke meja. “Dia bilang apa aja ke kamu? Bukan yang aneh-aneh kan?” lanjutnya menatapku lekat.

"Iya, soal ini dan itu …,” jawabku bergerak ke sisi kanan hendak menjauhinya.

“Mau ke mana sih?” tanyanya langsung saja memegang tanganku. Aku bisa merasakan tangannya yang hangat, atau tanganku yang sudah membeku.

Deg.

Rasanya aneh saat dia menyentuh tanganku. Ada emosi yang melonjak dalam diriku saat diperlakukan secara tidak sopan. Tapi, aku tidak bisa marah lagi.

“Tolong, saya mau duduk ya?" tanyaku meminta, menepis lengannya perlahan. Karena meminta dengan amarah diabaikan begitu saja olehnya, jadi kucoba bicara baik-baik dan tentu saja itu berhasil.

"Iya, Nana, silakan!" jawabnya terdengar canggung.

"Oh ya, lain kali jangan seperti itu ya, bukan muhrim! Kamu kan pasti tahu itu," ujarku asal-asalan, sambil melewatinya.

"Oh itu ... iya, maaf ya ...," katanya tampak menyesal.

"Iya!" jawabku pura-pura jutek.

Anak laki-laki itu pun perlahan pergi meninggalkanku, dia berjalan mundur sembari tersenyum. Aku merasa geli dengan wajah anehnya.

Ketika terasa semakin jauh beberapa meter, dia masih terus menatapku, dan entah kenapa aku juga harus terus melihat ke arahnya? Bahkan saat sudah sampai di tempat duduk geng-nya, dia terasa masih saja terus melirik ke arahku.

“Gila,” gumamku mengalihkan pandangan dan menatap Ima yang terdiam.

Aku yakin Ima menyaksikan kejadian barusan, bahkan anak itu tadi menyenggol-nyenggol meja tempat Ima meletakkan kepala berharganya.

Apa ini yang namanya kegeeran? Tapi, aku bisa merasakannya, karena siulan-siulan itu belum berhenti. Entah kenapa, akhirnya aku menoleh ke belakang dan ya ... yang terlihat dia memang sedang menatap dengan senyuman khasnya. Membuat jantung ini, rasanya aneh.

***

Setelah kejadian itu aku menjadi sedikit tidak nyaman bila berada di dalam kelas sendirian, entah tanpa Ani, Ima atau siapa pun. Malu karena dilihatin orang sekelas, marah karena ada laki-laki yang berani pegang-pegang dan kesal karena nggak bisa marah ke dia di depan teman-temannya.

Hah, inilah awal ketidaksukaanku pada kelas ini. Tapi, siapa yang tahu, ini juga menjadi gerbang pembully-an yang 'mereka' lakukan.

***

Akhir bulan kedua, di sekolah baru.

Hari berganti hari, minggu pun tenggelam dalam bulan yang menyapa. Tidak terasa, aku sudah berhasil melewati dua bulan sekolah di tempat ini tanpa ada hal yang menarik lagi. Hanya belajar dan belajar yang bisa kulakukan. Sedikit istirahat agar sakitku tidak kambuh.

Akan tetapi, sebenarnya ada sesuatu yang mengganjal. Selama berhari-hari, dimulai sejak hari itu. Ya, hari saat Indra si anak lelaki yang menyentuhku saat utu. Aku merasa seperti tahanan yang terus-menerus diawasi oleh Yani. Yani adalah teman se-geng anak laki-laki itu. Iya, dia adalah teman dari Indra, Yani semakin semakin hari semakin sering mendekatiku.

Awalnya aku sempat enggan, karena melihat sifatnya yang agak sombong pada Ani dan Ima. Tapi, pada akhirnya kami menjadi akrab secara natural.

Saat mulai akrab dengannya, Yani memberikan saran agar aku mau bergabung dengan geng-nya. Tapi, aku tidak begitu saja menerimanya. Kenapa harus main geng-geng atau tim-tim seperti itu?

Karena jawabanku yang kurang tegas, membuat Yani hampir setiap hari selalu saja begitu, dia terus merayu dan membujuk serta memintaku untuk bergabung dengannya.

Hah! Di zaman yang sudah canggih seperti sekarang dan tempat ini juga sudah termasuk lingkungan perkotaan. Kenapa masih ada yang main geng-geng-an atau kelompok begini! Kan kita bukan lagi anak kecil, kita adalah remaja yang sedang menata masa depan. Tidak perlu lah mengkotak-kotakkan manusia. Semua sama saja di mata Allah.

Karena Yani, aku pun merasa seolah jadi artis dadakan. Hingga pada akhirnya, aku pun mulai bosan dengan ajakan-ajakan yang selalu ditolak baik-baik itu. Jika diibaratkan tong penampungan air, aku ini sudah penuh diisi dengan sejuta ungkapan mutiaranya, yang sama sekali tak menarik bagiku.

"Gimana kamu mau nggak? Mau ya …," ucap Yani memaksa disela-sela percakapan kami. Hah, orang ini teguh sekali!

"Bagaimana ya ... Yan?" Aku ragu, harus memarahinya atau tetap berpura-pura baik.

"Padahal kalau ada kamu di geng kita, pasti jauh lebih seru belajarnya loh, kamu kan pintar. Sudah tiga bulan lebih di sini, setiap dibacakan hasil tes atau ulangan, kamu selalu tuntas dengan nilai yang memuaskan!" ungkapnya mulai memuji habis-habisan.

"Maaf ya, Yani, bukannya aku nggak mau loh. Tapi, aku itu nggak suka kumpul-kumpul seperti itu. Nggak nyaman!" tolakku halus, meskipun sebenarnya aku mulai kesal.

"Tapi 'kan, kita kumpulnya belajar kok! Bukan berbuat yang aneh, daripada kamu kumpul-kumpul sama anak-anak itu," katanya melirik Ani dan Ima yang sedang menuju ke arah kami.

"Aku tahu! Tapi, maaf, maaf banget ... aku rasa teman sekelas ya teman satu kelas, semua yang di sini sama, kita belajar sama-sama. Nggak boleh membanding-bandingkan!" ujarku bersikukuh dengan pendapat sendiri.

"Iih, kamu kok sombong banget sih! Aneh ya, kamu itu. Ditawarin tempat yang bagus, malah sok. Dasar aneh!" serunya marah dan meninggalkanku.

Aku pun hanya bisa terkikik takjub mendengar umpatannya. Setidaknya, mungkin akhirnya dia akan menyerah padaku. Tapi, sombong? Nggak kebalik tuh?

***

Semenjak penolakan itu Yani tidak sering mengajakku main lagi secara terang-terangan. Dia juga sudah berhenti meminjamkan buku padaku. Setidaknya di depan teman-temanku dia tidak berlagak bak orang penting. Tapi, di belakang mereka, Yani masih terus saja membujukku, seperti sales yang sedang mengobral barangnya.

Aku harus benar-benar cukup kuat dan konsisten untuk memutuskan hanya berteman dengan Yani tanpa embel-embel geng atau kelompok. Walau akhirnya, Yani marah. 

Dasar manusia aneh!

***

Bulan ke empat di sekolah baru.

Pagi ini, setiba di sekolah, aku memutuskan untuk pergi menemui teman semasa SMP-ku dulu. Ituloh, Sisi namanya, orangnya lucu, jago menghayal dan polos banget. Kami pernah sekelas waktu SD, tapi, tidak dekat.

Sisi ini merupakan teman yang sangat baik, juga dia cukup profesional untuk menjadi informan terbesar Tri dalam mengobati rasa penasarannya tentang setiap gerak-gerikku. Karena setiap ditanya tentang darimana saja informasi yang didapatkan tentangku, Tri pasti akan menyebut nama Sisi. Duo kepo dan ember bocor terbaik, kolaborasi yang sangat epik.

Aku dan Sisi sering bertemu hanya saat-saat pertama kali aku masuk ke sekolah ini. Hari ini, kami janjian untuk ngobrol berdua saat jam istirahat dan akan bertemu di depan kelasnya saja.

Hah, sudah empat bulan yang lalu ternyata aku masuk di sekolah ini. Tidak terasa sudah lebih dari seminggu Yani tidak menggangguku, karena aku setuju  untuk berteman dengannya. Meskipun, status kami berteman, tapi dia malah mulai berani menyindirku tidak jelas.

***

Bersambung

Related chapters

  • Days to Remember   Bab 7 - Ciye tak Lagi Terngiang

    Saat bertemu dengan Sisi sahabat lamaku, aku pun curhat tentang berbagai hal yang kutemui di sekolah ini termasuk masalah Yani. Semua kuceritakan kepada Sisi, tanpa merahasiakan apapun darinya."Terus kenapa tidak mau? Kalau gini pasti udah jadi asistennya sekretaris kelas, bukan sekadar teman yang siap disindir melulu tiap hari," tanya Sisi menanggapi curhatanku."Malas ah ... asisten? Tak mau lah diriku! Hehehe. Kalau kumpul-kumpul seperti itu yang ada bukannya belajar, Sisi … malah bercanda, gosip atau pacaran. Mending nggak usah lah!" jelasku."Iya sih, betul juga!""Oh ya, kamu belum beritahu apa-apa ke teman sekelasku ‘kan?" Aku tiba-tiba mengingat sesuatu."Tentang itu? Tenang aja, hanya teman-teman kita yang tahu. Kepala sekolah juga sudah minta teman-teman kelas sebelas untuk pura-pura tahu siapa itu Nana Rahayu. Kan ada si Pak Bos juga tuh!" bisiknya.

    Last Updated : 2021-05-08
  • Days to Remember   Bab 8 - Kamu Tahu Namaku?

    Pelajaran kami selesai, istirahat pun tiba.Saat sedang asik bermain game di benda ajaib yang disebut ponsel itu, aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja datang dan langsung meletakkan benda besar yang disebut tas itu di mejaku. Tanpa peringatan, tanpa aba-aba dan tanpa sapaan."Titip ya!" ujarnya terburu-buru."Indra! Tasnya jangan ditaruh di situ dong! Iih!" tegurku sembari buru-buru menekan tombol pause dan menatapnya kesal."Apa? Kamu tadi panggil saya ya? Panggil saya apa?" kagetnya berbalik. Tiba-tiba menatapku dengan tatapan matanya yang serius. Membuatku jadi keheranan, kenapa dia ini? "Nana, kamu tadi panggil saya kan?" Dia kembali berucap."Ya, iya. Kamu lah, siapa lagi? Memangnya ada orang lain yang lagi berdiri di depan meja aku, 'kan cuma ada kamu, aneh banget iiih," jawabku panjang lebar."Ooh, jadi kamu memang panggil saya ya? Pangg

    Last Updated : 2021-05-22
  • Days to Remember   Bab 9 - Tak Sesuai Ekspektasi

    Aku yang sedari tadi berjalan di belakang pak guru hanya terdiam tanpa kata. Aku mengikutinya berjalan menuju ke kelas sebelah tempat dia mengajar hari ini. Pak guru berhenti di depan kelas dan akhirnya bicara juga. Jantung yang sudah berdegup kencang tanpa alasan ini membuatku berkeringat dingin.Tapi, apa salahku? Aku tidak punya salah apapun. Kenapa aku harus bertingkah seperti ini? Tolong, biasa aja, Na.Syukurlah, bukan apa-apa. Rupanya Pak guru hanya ingin memberitahukan, soal aku yang tetap akan diberikan jadwal piket kebersihan meskipun sering sakit. Karena khawatir jika tak diberi jadwal piket, bisa menimbulkan rasa cemburu dari iswa yang lainnya. Pak guru sengaja memintaku untuk bicara berjauhan dari kelas, karena tidak ingin ada murid di kelasku yang mendengar pembicaraan kami. Ya, memang pembicaraan ini terdengar dan terkesan bahwa aku sengaja diatur agar bisa mengikuti aktivitas di sekolah ini.Sebelumnya, aku memang tida

    Last Updated : 2021-05-29
  • Days to Remember   Bab 10 - Gara-gara Puisi

    Ani tiba-tiba menarik tanganku, dan mengajak untuk kembali ke kelas. Aku turut saja dan mengikuti langkah kecil Ani.Begitu sampai di dalam kelas, Ani menatapku serius. Aku mendadak bingung, anak ini kenapa?"Puisinya bagus ya ...," ucap Ani tersenyum. Sepertinya Ani sedang mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba hening atas diamku. Aku pun hanya mengangguk sekenanya saja. "Na? Nana!" lanjutnya dengan suara lebih keras."Hmm?" Aku terpaksa menatap wajah Ani."Kamu kenapa? Kok kayak syok gitu? Ada masalah? Apa kamu--""Aku? Aku apa? Aku nggak apa-apa kok!" Aku benar-benar salah tingkah dan mencoba menghindari kontak mata dengan Ani."Ya udah sih kalau nggak apa-apa kalau nggak mau cerita, aku sih nggak masalah. Beneran! Tapi, aku ini masih teman kamu loh." Ucapan Ani terdengar menjurus. Apa dia sudah tahu soal tulisan di mading?"Ani, anu ... itu," kataku mendadak gagap."Hmm," ujar Ani mendekatkan

    Last Updated : 2021-06-05
  • Days to Remember   Bab 11 - Asal Dia Tahu

    Entah kenapa aku malah tiba-tiba tersenyum senang karena melihat dua orang ini sedang diliputi rasa penuh kekesalan. Aku merasa keduanya memang sangat baik dan bisa bersikap seperti ini hanya karena aku. Aku sangat tersanjung. Aku pun mengalihkan pandangan dari Ani dan Riskin, menatap ke arah kerumunan sana, Icha tampak senang mendapatkan sambutan hangat itu. Aku tanpa sadar tersenyum dan saat aku menoleh ke arah teman-temanku ini, langsung saja membuat Ani juga Riski menatap sinis kepadaku. "Kenapa sih? Nggak usah dipikirin deh, itu 'kan cuma puisi," ucapku berpura-pura dingin. "Tapi, itu puisi kamu? Kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan," ucap Riski meninggalkan kami berdua di depan pintu kelas. Idih, ngapain nangis? Aku bisa bikin yang lebih baik dari puisi itu nanti. "Bisa-bisanya yang ngomong kayak gitu!" timpal Ani emosi. Eh, aku sala

    Last Updated : 2021-06-11
  • Days to Remember   Bab 12 - Menjadi Lebih Dekat

    Setelah seminggu ujian berakhir, aku semakin dekat dengan para sahabat yang baik hati ini, terutama Riski. Ya, walau terkadang mereka akan bersikap menyebalkan, terlebih si Nirmala pecinta dinding, yang suka mendadak tuli kalau dimintai tolong ke kantin. Tapi, aku secara perlahan memang jadi semakin dekat dengan Riski. Mungkin karena dia adalah anak yang seru untuk diajak ngobrol dan kami berdua punya selera humor yang mirip satu sama lain.Aku dan Riski lebih banyak menghabiskan waktu berdua, entah untuk menyelesaikan soal matematika bekas ujian, maupun Riski yang sering menemaniku menggambar. Aku suka membuat sketsa kasar di belakang buku pelajaran. Selain, pemandangan depan pintu kelas. Riski bersedia menjadi objek sketsaku, walau sebenarnya gambarku menjadikan Riski semakin jelek.Dia juga menjadi lebih rajin ketika kumintai tolong untuk membelikan makanan atau minuman di kantin. Mungkin itu yang jadi sebab, Nirmala sudah tidak mau membe

    Last Updated : 2021-06-29
  • Days to Remember   Bab 13 - Menarik Perhatian

    Hari ini ada pelajaran bahasa Inggris, salah satu pelajaran kesukaanku. Ini bisa jadi kesempatanku untuk memperlihatkan kecakapan dan kemampuanku dalam fast reading di depan kelas, ya di depan semua orang yang mungkin saja selama ini menganggap aku remeh. Begitu pelajaran dimulai, beberapa teman sekelasku hanya saling menertawakan kemampuan bahasa mereka satu sama lain. Tapi, begitu dua orang itu muncul, guru bahasa Inggris sangat memuji Icha si Ketua Kelas dan Indra si Murid yang sok jaim dalam materi yang coba diujikannya. Tibalah waktuku, guru tahu jika selama satu semester kemarin aku termasuk murid yang aktif dalam pelajarannya hingga dia seolah menantangku. Seorang anak pendiam atau lebih tepatnya pemalu, untuk melakukan fast reading di depan kelas. Takut, tentu saja! Ini pertama kalinya aku berpartisipasi melawan ketua kelas dan teman segengnya. Namun, ini lah yang aku tunggu, menguji tata bahasa dan kecepat

    Last Updated : 2021-07-01
  • Days to Remember   Bab 14 - Obrolan Aneh

    Aku mengulurkan tangan, tanpa sepatah kata pun. Seolah mengerti, Indra menurut dan memberikan benda yang kuminta. Ia meletakkannya di meja, tepat di hadapanku."Maaf!" katanya tampak kikuk."Kamu ngapain?" Aku tak sanggup mengomelinya."Itu, anu--""Minggir!" ucapku mengusirnya dari daerah pribadi ini.Hah, orang ini benar-benar semakin aneh. Saat aku berbaik hati mau bicara dengannya, dia sudah berani duduk di bangkuku, seolah aku adalah bagian dari geng-nya. Dia mungkin saja sedang mencoba menginvasi daerah kekuasaan Yani, atau mencoba membujukku untuk bergabung bersama Yani.Aku mengambil ponsel yang diletakkan olehnya di atas meja, layarnya masih disetel pada lagu-lagu MP3 koleksi. Aku melirik kesal kepadanya dan dia masih tampak menunduk.Apa-apaan dia? Beraninya buka-buka tas dan menyentuh barang-barangku! Batinku mengomel.“Nana?” panggilnya. Lalu, memin

    Last Updated : 2021-11-01

Latest chapter

  • Days to Remember   Bab 16 - Jangan Sakit, Ya!

    Saat jam istirahat, aku sempat makan di kantin bersama Riski dan kawan-kawan lainnya. Kami pun janjian untuk mengobrol sebentar saat pulang sekolah nanti.Kami tidak punya banyak waktu mengobrol saat istirahat, karena terlambat ke kantin gara-gara pak Deni telat masuk kelas.Kami berdua duduk bersaman di lapangan hijau sekolah. Sebelum pulang ke rumah, aku, Ani, Ima, Tri dan Riski duduk-duduk di sini dulu menikmati teriknya matahari siang.Saat mereka pergi sejenak untuk membeli jajanan, aku dan Riski memulai pembicaraan empat mata. Kuceritakan pula apa yang Indra katakan waktu itu. Riski pun hanya bisa menyayangkan sikap temannya tersebut."Aku tuh sempat kesal banget gara-gara itu, padahal sebelumnya kan aku udah mulai biasa aja temenan sama dia," ujarku masih melanjutkan curhatan."Dia bukan sepenuhnya laki-laki baik, itu yang aku tahu sih. Jujur ya, Na. Indra itu, dia cukup berbahaya

  • Days to Remember   Bab 15 - Indra Cemburu

    Begitu masuk ke kelas, Indra langsung menyambangiku. Dia tiba-tiba menghalangi Ani dan duduk di tempat Ani. Ini tidak mengherankan lagi, dia sudah jadi terbiasa duduk di tempat Ani. Bahkan Ani kadang harus mengusirnya dulu hanya untuk duduk di bangkunya sendiri. Ini tidak terlalu aneh, karena secara alami kami memang sudah jadi cukup akrab, mungkin itu sebabnya dia bertingkah sok kenal dan sok dekat padaku dan Ani. Mumpung ada Indra, aku jadi teringat kata-kata Yani dua hari lalu. Jika Indra itu tahu informasi tentang Riski, hanya saja aku memang tidak ingin ada urusan dengan anak aneh itu, makanya tidak pernah bertanya apapun. "Belum ada kabar dari Riski ya?" tanya Indra tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku. "Hah?" Aku tersadar dari pikiran tentang Riski. "Belum!" jawabku kemudian. "Syukurlah!" Ucapan itu terdengar aneh, ada rasa satire di dalamnya.

  • Days to Remember   Bab 14 - Obrolan Aneh

    Aku mengulurkan tangan, tanpa sepatah kata pun. Seolah mengerti, Indra menurut dan memberikan benda yang kuminta. Ia meletakkannya di meja, tepat di hadapanku."Maaf!" katanya tampak kikuk."Kamu ngapain?" Aku tak sanggup mengomelinya."Itu, anu--""Minggir!" ucapku mengusirnya dari daerah pribadi ini.Hah, orang ini benar-benar semakin aneh. Saat aku berbaik hati mau bicara dengannya, dia sudah berani duduk di bangkuku, seolah aku adalah bagian dari geng-nya. Dia mungkin saja sedang mencoba menginvasi daerah kekuasaan Yani, atau mencoba membujukku untuk bergabung bersama Yani.Aku mengambil ponsel yang diletakkan olehnya di atas meja, layarnya masih disetel pada lagu-lagu MP3 koleksi. Aku melirik kesal kepadanya dan dia masih tampak menunduk.Apa-apaan dia? Beraninya buka-buka tas dan menyentuh barang-barangku! Batinku mengomel.“Nana?” panggilnya. Lalu, memin

  • Days to Remember   Bab 13 - Menarik Perhatian

    Hari ini ada pelajaran bahasa Inggris, salah satu pelajaran kesukaanku. Ini bisa jadi kesempatanku untuk memperlihatkan kecakapan dan kemampuanku dalam fast reading di depan kelas, ya di depan semua orang yang mungkin saja selama ini menganggap aku remeh. Begitu pelajaran dimulai, beberapa teman sekelasku hanya saling menertawakan kemampuan bahasa mereka satu sama lain. Tapi, begitu dua orang itu muncul, guru bahasa Inggris sangat memuji Icha si Ketua Kelas dan Indra si Murid yang sok jaim dalam materi yang coba diujikannya. Tibalah waktuku, guru tahu jika selama satu semester kemarin aku termasuk murid yang aktif dalam pelajarannya hingga dia seolah menantangku. Seorang anak pendiam atau lebih tepatnya pemalu, untuk melakukan fast reading di depan kelas. Takut, tentu saja! Ini pertama kalinya aku berpartisipasi melawan ketua kelas dan teman segengnya. Namun, ini lah yang aku tunggu, menguji tata bahasa dan kecepat

  • Days to Remember   Bab 12 - Menjadi Lebih Dekat

    Setelah seminggu ujian berakhir, aku semakin dekat dengan para sahabat yang baik hati ini, terutama Riski. Ya, walau terkadang mereka akan bersikap menyebalkan, terlebih si Nirmala pecinta dinding, yang suka mendadak tuli kalau dimintai tolong ke kantin. Tapi, aku secara perlahan memang jadi semakin dekat dengan Riski. Mungkin karena dia adalah anak yang seru untuk diajak ngobrol dan kami berdua punya selera humor yang mirip satu sama lain.Aku dan Riski lebih banyak menghabiskan waktu berdua, entah untuk menyelesaikan soal matematika bekas ujian, maupun Riski yang sering menemaniku menggambar. Aku suka membuat sketsa kasar di belakang buku pelajaran. Selain, pemandangan depan pintu kelas. Riski bersedia menjadi objek sketsaku, walau sebenarnya gambarku menjadikan Riski semakin jelek.Dia juga menjadi lebih rajin ketika kumintai tolong untuk membelikan makanan atau minuman di kantin. Mungkin itu yang jadi sebab, Nirmala sudah tidak mau membe

  • Days to Remember   Bab 11 - Asal Dia Tahu

    Entah kenapa aku malah tiba-tiba tersenyum senang karena melihat dua orang ini sedang diliputi rasa penuh kekesalan. Aku merasa keduanya memang sangat baik dan bisa bersikap seperti ini hanya karena aku. Aku sangat tersanjung. Aku pun mengalihkan pandangan dari Ani dan Riskin, menatap ke arah kerumunan sana, Icha tampak senang mendapatkan sambutan hangat itu. Aku tanpa sadar tersenyum dan saat aku menoleh ke arah teman-temanku ini, langsung saja membuat Ani juga Riski menatap sinis kepadaku. "Kenapa sih? Nggak usah dipikirin deh, itu 'kan cuma puisi," ucapku berpura-pura dingin. "Tapi, itu puisi kamu? Kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan," ucap Riski meninggalkan kami berdua di depan pintu kelas. Idih, ngapain nangis? Aku bisa bikin yang lebih baik dari puisi itu nanti. "Bisa-bisanya yang ngomong kayak gitu!" timpal Ani emosi. Eh, aku sala

  • Days to Remember   Bab 10 - Gara-gara Puisi

    Ani tiba-tiba menarik tanganku, dan mengajak untuk kembali ke kelas. Aku turut saja dan mengikuti langkah kecil Ani.Begitu sampai di dalam kelas, Ani menatapku serius. Aku mendadak bingung, anak ini kenapa?"Puisinya bagus ya ...," ucap Ani tersenyum. Sepertinya Ani sedang mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba hening atas diamku. Aku pun hanya mengangguk sekenanya saja. "Na? Nana!" lanjutnya dengan suara lebih keras."Hmm?" Aku terpaksa menatap wajah Ani."Kamu kenapa? Kok kayak syok gitu? Ada masalah? Apa kamu--""Aku? Aku apa? Aku nggak apa-apa kok!" Aku benar-benar salah tingkah dan mencoba menghindari kontak mata dengan Ani."Ya udah sih kalau nggak apa-apa kalau nggak mau cerita, aku sih nggak masalah. Beneran! Tapi, aku ini masih teman kamu loh." Ucapan Ani terdengar menjurus. Apa dia sudah tahu soal tulisan di mading?"Ani, anu ... itu," kataku mendadak gagap."Hmm," ujar Ani mendekatkan

  • Days to Remember   Bab 9 - Tak Sesuai Ekspektasi

    Aku yang sedari tadi berjalan di belakang pak guru hanya terdiam tanpa kata. Aku mengikutinya berjalan menuju ke kelas sebelah tempat dia mengajar hari ini. Pak guru berhenti di depan kelas dan akhirnya bicara juga. Jantung yang sudah berdegup kencang tanpa alasan ini membuatku berkeringat dingin.Tapi, apa salahku? Aku tidak punya salah apapun. Kenapa aku harus bertingkah seperti ini? Tolong, biasa aja, Na.Syukurlah, bukan apa-apa. Rupanya Pak guru hanya ingin memberitahukan, soal aku yang tetap akan diberikan jadwal piket kebersihan meskipun sering sakit. Karena khawatir jika tak diberi jadwal piket, bisa menimbulkan rasa cemburu dari iswa yang lainnya. Pak guru sengaja memintaku untuk bicara berjauhan dari kelas, karena tidak ingin ada murid di kelasku yang mendengar pembicaraan kami. Ya, memang pembicaraan ini terdengar dan terkesan bahwa aku sengaja diatur agar bisa mengikuti aktivitas di sekolah ini.Sebelumnya, aku memang tida

  • Days to Remember   Bab 8 - Kamu Tahu Namaku?

    Pelajaran kami selesai, istirahat pun tiba.Saat sedang asik bermain game di benda ajaib yang disebut ponsel itu, aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja datang dan langsung meletakkan benda besar yang disebut tas itu di mejaku. Tanpa peringatan, tanpa aba-aba dan tanpa sapaan."Titip ya!" ujarnya terburu-buru."Indra! Tasnya jangan ditaruh di situ dong! Iih!" tegurku sembari buru-buru menekan tombol pause dan menatapnya kesal."Apa? Kamu tadi panggil saya ya? Panggil saya apa?" kagetnya berbalik. Tiba-tiba menatapku dengan tatapan matanya yang serius. Membuatku jadi keheranan, kenapa dia ini? "Nana, kamu tadi panggil saya kan?" Dia kembali berucap."Ya, iya. Kamu lah, siapa lagi? Memangnya ada orang lain yang lagi berdiri di depan meja aku, 'kan cuma ada kamu, aneh banget iiih," jawabku panjang lebar."Ooh, jadi kamu memang panggil saya ya? Pangg

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status