Home / Young Adult / Days to Remember / Bab 8 - Kamu Tahu Namaku?

Share

Bab 8 - Kamu Tahu Namaku?

Author: Nurwahidah Bi
last update Last Updated: 2021-05-22 21:26:00

Pelajaran kami selesai, istirahat pun tiba.

Saat sedang asik bermain game di benda ajaib yang disebut ponsel itu, aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja datang dan langsung meletakkan benda besar yang disebut tas itu di mejaku. Tanpa peringatan, tanpa aba-aba dan tanpa sapaan.

"Titip ya!" ujarnya terburu-buru.

"Indra! Tasnya jangan ditaruh di situ dong! Iih!" tegurku sembari buru-buru menekan tombol pause dan menatapnya kesal.

"Apa? Kamu tadi panggil saya ya? Panggil saya apa?" kagetnya berbalik. Tiba-tiba menatapku dengan tatapan matanya yang serius. Membuatku jadi keheranan, kenapa dia ini? "Nana, kamu tadi panggil saya kan?" Dia kembali berucap.

"Ya, iya. Kamu lah, siapa lagi? Memangnya ada orang lain yang lagi berdiri di depan meja aku, 'kan cuma ada kamu, aneh banget iiih," jawabku panjang lebar.

"Ooh, jadi kamu memang panggil saya ya? Panggil aku nih?" Dia menundukkan badan dan menopangkan dagu di atas meja, membuat kepala kami simetris. “Yakin itu aku? Nggak salah orang ‘kan? Bukan orang lain 'kan?”

"Iya! Apa-apaan sih!" Aku mendorong kursi dengan kaki sampai menyentuh meja belakang.

"Oh ya? Soalnya ‘kan, biasanya kamu tuh selalu cuma manggil aku, hey kamu! Udah gitu aja, biasanya juga ngomongnya formal banget, saya-kamu-saya," jawabnya tertawa.

"Tahu ah ... pindahin tasnya!" seruku.

"Ini titip di sini sebentar aja ya, cantik, aku lagi buru-buru nih! Daaah! Aku pasti balik kok, jangan ditungguin ya," ucapnya berlari keluar kelas, mendadak bicara informal.

"Hey! Indra! Woy," panggilku berteriak, menatap penuh kebingungan ke arah tas anak laki-laki yang menggangguku tempo hari itu. "Apaan sih tuh anak! Cantik? Apaan!" omelku sendiri.

"Tas siapa nih kak?" tanya Tri yang tiba-tiba nongol.

"Astaga!" Aku terkejut dengan kedatangan Tri.

Jika manusia hidup memerlukan udara, maka berbeda dengan Tri. Sepertinya dia memang diciptakan dari udara dan sebangsanya, karena Tri bisa datang dan pergi kapan saja sesuka hatinya.

"Tas siapa sih kak?" paksanya, mengganggu ketenanganku.

"Geng Yani!" jawabku memperhatikan Tri yang menarik kursi dan mencoba duduk di sebelahku. Aku mengembalikan pandangan ke game yang ter-pause sedari tadi.

"Iya, maksud aku tasnya ini ya, punya siapa sih, Kak? Kok nggak asing ya?" Tri terdengar bukan sedang dipenuhi rasa penasaran, tapi seolah sedang curiga atas sesuatu.

Kalau udah tahu kenapa tanya lagi? Batinku mengomel.

"Indra,” jawabku sekenanya, sembari melawan fighter musuh di medan tempur.

"Ya Allah, Indra? Aduh Kak, hati-hati jangan dekat-dekat sama dia, nanti bisa jadi korban juga!" cerocosnya heboh sendiri.

Aku langsung mengerti tujuan dari perkataannya itu. Akhir-akhir ini, memang beberapa anak laki-laki kelas 10, ikutan tantangan kelas 12 untuk cari pacar sebelum naik kelas. Sebuah permainan bodoh yang selalu membuatku tertawa setiap mendengarnya.

“Iya, iya,” ucapku sembari memberi semangat pada fighter game.

“Percaya sama aku deh, Kak …,” lanjutnya usai berucap beberapa kalimat yang tak begitu kuperhatikan.

"Astaga! Jangan lebay deh, Tri! Lagian 'kan, dia udah punya pacar, mesra lagi. Coba aja tanya Riski!" jawabku cuek sambil main game di ponsel.

"Mereka 'kan kemarin udah putus?"

"Apa? Putus?” Aku kembali menekan pause dan mengalihkan pandangan kepada Tri. Tiba-tiba perbincangan ini terasa menyenangkan. “Kok bisa sih? Pacaran sampai segitunya, kok masih bisa putus ya? Aneh," tanyaku kaget melihat Tri yang bicara serius.

"Pacaran ama siapa? Memangnya kak Nana tahu? Kak Nana ‘kan bukan tukang gosip," sela Tri.

"Sama, anak kelas sebelah ‘kan? Kelas B?" terkaku.

"Iih ... itu sih yang lain lagi, Kak!" jawabnya pindah di dekatku, ah jadi dia tukang gosip juga.

"Hah? Maksud kamu yang dia putusin kemarin tuh, cewek yang lain lagi? Gitu? Beda orang?" tanyaku, Tri pun mengangguk penuh semangat 45. "Pacarnya ada berapa banyak sih?" lanjutku penasaran.

"Iya. Jadi, begini. Yang kemarin diputusin sama Indra itu, kata teman-temannya sih baru semingguan gitu jadiannya,” ceritanya kembali dengan semangat kemerdekaan. Membuatku merasa rancu. "Malah yang kemarin diputusin itu adalah kakak kelas kita loh!" lanjutnya.

"Kakak kelas?" Aku sedikit bergidik. Tri mengangkat pundak ringannya, seolah tak tahu.

"Aku ke tempat dudukku dulu, ya, Kak. Hati-hati looh ...," pamitnya begitu saja dengan nada seram, meninggalkanku yang terdiam menatap tas punggung berwarna hitam-abu.

Kakak kelas? Sepertinya sekolah ini mulai menggila, bukan hanya para lelaki yang ikutan tantangan cari pacar sebelum lulus atau naik kelas, tapi perempuan juga. Semoga Bu Lisa nggak ikutan.

Lucu, kenapa aku jadi mikirin dia sih?

Sebelum istirahat pertama berakhir, anak laki-laki itu masih tidak ada, beberapa temannya pun menghilang. Bukan sebuah pemandangan baru sih, hanya saja apa yang dilakukan ketua kelas saat melihat murid sekelas bolos? Kenapa tak ada reaksi? Apa dia sesantai itu? Kenapa dia yang terpilih?

Setidaknya Yani sebagai sekretaris kelas lebih aktif menangani para pasukan pembolos, dibandingkan wakil ketua kelas yang malah menjadi pelaku utama pembolosan. Tunggu dulu? Apa urusanku? Sudahlah!

***

Saat jam pelajaran siang berakhir. Aku pergi ke kantin bersama Ani, sejenak kami menghabiskan waktu saat istirahat  kedua.

Setelah berkeliling kantin, aku kembali ke kelas bersama Ani. Kami berdua bergandengan tangan sambil bercakap kecil. Tadi, setelah Tri pergi, sebenarnya Ani memaksa minta ditemani ke kantin. Sebenarnya aku tidak mau, tapi sesekali jalan ke kantin tidak ada salahnya. Aku pun menyarankan untuk pergi ke kantin saat jam istirahat kedua saja.

Setibanya di kelas, tas di mejaku ternyata sudah menghilang dan telah berada di yang tempat lain. Ya, syukurlah tas itu sudah kembali di meja pemiliknya. Sewaktu pelajaran sejarah tadi, tasnya sangat menganggu karena ada di atas mejaku.

Melihat tasnya yang sudah kembali ke mejanya, setidaknya Indra tahu diri lah. Sejenak terbesit, mungkin dia sudah selesai membolos dan tertangkap sehingga kembali ke kelas. Aku rasa itu karena Yani, tadi dia berkeliling memeriksa sekolah dengan izin wali kelas kami dan dia berhasil membuat para pembolos kembali ke kelas, entah bagaimana caranya? Kegigihan Yani terkadang cukup membantu.

Indra duduk hanya beberapa meter dari sisi kiriku, kami dibatasi oleh dua teman saja. Tak sengaja aku melihat secarik kertas kecil di atas meja, setelah membukanya aku hanya menemukan beberapa digit angka, yang sepertinya adalah nomor telepon.

Selain itu, ada huruf-huruf kecil yang berjejer rapih tepat di bawah tulisan angka. Mengganggu dan coba memikat pandanganku.

"Kamu tahu namaku ya? Terima kasih." Bermaksud membuangnya, aku malah memasukkan kertas ke kantong rok panjang, karena wali kelas sudah datang. Kali ini perhatian kuberikan sepenuhnya untuk Pak guru saja.

"Oh iya! Pak Jaya tidak bisa masuk hari ini. Dia meninggalkan bahan mengajarnya kepada saya, karena saya ada jam di kelas duabelas jadi kalian belajar sendiri aja dan jangan ribut! Dan yang tadi tertangkap bolos, setelah jam pelajaran terakhir langsung temui saya di ruangan. Mengerti?"

"Iya, Pak," jawab kami kompak.

“Horeeee …,” teriak anak-anak laki-laki kegirangan. Dasar! Mereka pasti mau bolos lagi tuh.

"Nana Rahayu?" panggil Pak guru mengejutkanku. Aku menyahut. "Ikut saya dulu ke ruangan sebelah!" lanjutnya berjalan ke luar kelas.

"Kenapa?" tanya Ani kepo.

"Nggak tahu!" jawabku menggeleng mengikuti di belakangnya, kini aku bisa merasakan debaran jantung di dekat leherku.

***

Bersambung

Related chapters

  • Days to Remember   Bab 9 - Tak Sesuai Ekspektasi

    Aku yang sedari tadi berjalan di belakang pak guru hanya terdiam tanpa kata. Aku mengikutinya berjalan menuju ke kelas sebelah tempat dia mengajar hari ini. Pak guru berhenti di depan kelas dan akhirnya bicara juga. Jantung yang sudah berdegup kencang tanpa alasan ini membuatku berkeringat dingin.Tapi, apa salahku? Aku tidak punya salah apapun. Kenapa aku harus bertingkah seperti ini? Tolong, biasa aja, Na.Syukurlah, bukan apa-apa. Rupanya Pak guru hanya ingin memberitahukan, soal aku yang tetap akan diberikan jadwal piket kebersihan meskipun sering sakit. Karena khawatir jika tak diberi jadwal piket, bisa menimbulkan rasa cemburu dari iswa yang lainnya. Pak guru sengaja memintaku untuk bicara berjauhan dari kelas, karena tidak ingin ada murid di kelasku yang mendengar pembicaraan kami. Ya, memang pembicaraan ini terdengar dan terkesan bahwa aku sengaja diatur agar bisa mengikuti aktivitas di sekolah ini.Sebelumnya, aku memang tida

    Last Updated : 2021-05-29
  • Days to Remember   Bab 10 - Gara-gara Puisi

    Ani tiba-tiba menarik tanganku, dan mengajak untuk kembali ke kelas. Aku turut saja dan mengikuti langkah kecil Ani.Begitu sampai di dalam kelas, Ani menatapku serius. Aku mendadak bingung, anak ini kenapa?"Puisinya bagus ya ...," ucap Ani tersenyum. Sepertinya Ani sedang mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba hening atas diamku. Aku pun hanya mengangguk sekenanya saja. "Na? Nana!" lanjutnya dengan suara lebih keras."Hmm?" Aku terpaksa menatap wajah Ani."Kamu kenapa? Kok kayak syok gitu? Ada masalah? Apa kamu--""Aku? Aku apa? Aku nggak apa-apa kok!" Aku benar-benar salah tingkah dan mencoba menghindari kontak mata dengan Ani."Ya udah sih kalau nggak apa-apa kalau nggak mau cerita, aku sih nggak masalah. Beneran! Tapi, aku ini masih teman kamu loh." Ucapan Ani terdengar menjurus. Apa dia sudah tahu soal tulisan di mading?"Ani, anu ... itu," kataku mendadak gagap."Hmm," ujar Ani mendekatkan

    Last Updated : 2021-06-05
  • Days to Remember   Bab 11 - Asal Dia Tahu

    Entah kenapa aku malah tiba-tiba tersenyum senang karena melihat dua orang ini sedang diliputi rasa penuh kekesalan. Aku merasa keduanya memang sangat baik dan bisa bersikap seperti ini hanya karena aku. Aku sangat tersanjung. Aku pun mengalihkan pandangan dari Ani dan Riskin, menatap ke arah kerumunan sana, Icha tampak senang mendapatkan sambutan hangat itu. Aku tanpa sadar tersenyum dan saat aku menoleh ke arah teman-temanku ini, langsung saja membuat Ani juga Riski menatap sinis kepadaku. "Kenapa sih? Nggak usah dipikirin deh, itu 'kan cuma puisi," ucapku berpura-pura dingin. "Tapi, itu puisi kamu? Kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan," ucap Riski meninggalkan kami berdua di depan pintu kelas. Idih, ngapain nangis? Aku bisa bikin yang lebih baik dari puisi itu nanti. "Bisa-bisanya yang ngomong kayak gitu!" timpal Ani emosi. Eh, aku sala

    Last Updated : 2021-06-11
  • Days to Remember   Bab 12 - Menjadi Lebih Dekat

    Setelah seminggu ujian berakhir, aku semakin dekat dengan para sahabat yang baik hati ini, terutama Riski. Ya, walau terkadang mereka akan bersikap menyebalkan, terlebih si Nirmala pecinta dinding, yang suka mendadak tuli kalau dimintai tolong ke kantin. Tapi, aku secara perlahan memang jadi semakin dekat dengan Riski. Mungkin karena dia adalah anak yang seru untuk diajak ngobrol dan kami berdua punya selera humor yang mirip satu sama lain.Aku dan Riski lebih banyak menghabiskan waktu berdua, entah untuk menyelesaikan soal matematika bekas ujian, maupun Riski yang sering menemaniku menggambar. Aku suka membuat sketsa kasar di belakang buku pelajaran. Selain, pemandangan depan pintu kelas. Riski bersedia menjadi objek sketsaku, walau sebenarnya gambarku menjadikan Riski semakin jelek.Dia juga menjadi lebih rajin ketika kumintai tolong untuk membelikan makanan atau minuman di kantin. Mungkin itu yang jadi sebab, Nirmala sudah tidak mau membe

    Last Updated : 2021-06-29
  • Days to Remember   Bab 13 - Menarik Perhatian

    Hari ini ada pelajaran bahasa Inggris, salah satu pelajaran kesukaanku. Ini bisa jadi kesempatanku untuk memperlihatkan kecakapan dan kemampuanku dalam fast reading di depan kelas, ya di depan semua orang yang mungkin saja selama ini menganggap aku remeh. Begitu pelajaran dimulai, beberapa teman sekelasku hanya saling menertawakan kemampuan bahasa mereka satu sama lain. Tapi, begitu dua orang itu muncul, guru bahasa Inggris sangat memuji Icha si Ketua Kelas dan Indra si Murid yang sok jaim dalam materi yang coba diujikannya. Tibalah waktuku, guru tahu jika selama satu semester kemarin aku termasuk murid yang aktif dalam pelajarannya hingga dia seolah menantangku. Seorang anak pendiam atau lebih tepatnya pemalu, untuk melakukan fast reading di depan kelas. Takut, tentu saja! Ini pertama kalinya aku berpartisipasi melawan ketua kelas dan teman segengnya. Namun, ini lah yang aku tunggu, menguji tata bahasa dan kecepat

    Last Updated : 2021-07-01
  • Days to Remember   Bab 14 - Obrolan Aneh

    Aku mengulurkan tangan, tanpa sepatah kata pun. Seolah mengerti, Indra menurut dan memberikan benda yang kuminta. Ia meletakkannya di meja, tepat di hadapanku."Maaf!" katanya tampak kikuk."Kamu ngapain?" Aku tak sanggup mengomelinya."Itu, anu--""Minggir!" ucapku mengusirnya dari daerah pribadi ini.Hah, orang ini benar-benar semakin aneh. Saat aku berbaik hati mau bicara dengannya, dia sudah berani duduk di bangkuku, seolah aku adalah bagian dari geng-nya. Dia mungkin saja sedang mencoba menginvasi daerah kekuasaan Yani, atau mencoba membujukku untuk bergabung bersama Yani.Aku mengambil ponsel yang diletakkan olehnya di atas meja, layarnya masih disetel pada lagu-lagu MP3 koleksi. Aku melirik kesal kepadanya dan dia masih tampak menunduk.Apa-apaan dia? Beraninya buka-buka tas dan menyentuh barang-barangku! Batinku mengomel.“Nana?” panggilnya. Lalu, memin

    Last Updated : 2021-11-01
  • Days to Remember   Bab 15 - Indra Cemburu

    Begitu masuk ke kelas, Indra langsung menyambangiku. Dia tiba-tiba menghalangi Ani dan duduk di tempat Ani. Ini tidak mengherankan lagi, dia sudah jadi terbiasa duduk di tempat Ani. Bahkan Ani kadang harus mengusirnya dulu hanya untuk duduk di bangkunya sendiri. Ini tidak terlalu aneh, karena secara alami kami memang sudah jadi cukup akrab, mungkin itu sebabnya dia bertingkah sok kenal dan sok dekat padaku dan Ani. Mumpung ada Indra, aku jadi teringat kata-kata Yani dua hari lalu. Jika Indra itu tahu informasi tentang Riski, hanya saja aku memang tidak ingin ada urusan dengan anak aneh itu, makanya tidak pernah bertanya apapun. "Belum ada kabar dari Riski ya?" tanya Indra tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku. "Hah?" Aku tersadar dari pikiran tentang Riski. "Belum!" jawabku kemudian. "Syukurlah!" Ucapan itu terdengar aneh, ada rasa satire di dalamnya.

    Last Updated : 2021-11-02
  • Days to Remember   Bab 16 - Jangan Sakit, Ya!

    Saat jam istirahat, aku sempat makan di kantin bersama Riski dan kawan-kawan lainnya. Kami pun janjian untuk mengobrol sebentar saat pulang sekolah nanti.Kami tidak punya banyak waktu mengobrol saat istirahat, karena terlambat ke kantin gara-gara pak Deni telat masuk kelas.Kami berdua duduk bersaman di lapangan hijau sekolah. Sebelum pulang ke rumah, aku, Ani, Ima, Tri dan Riski duduk-duduk di sini dulu menikmati teriknya matahari siang.Saat mereka pergi sejenak untuk membeli jajanan, aku dan Riski memulai pembicaraan empat mata. Kuceritakan pula apa yang Indra katakan waktu itu. Riski pun hanya bisa menyayangkan sikap temannya tersebut."Aku tuh sempat kesal banget gara-gara itu, padahal sebelumnya kan aku udah mulai biasa aja temenan sama dia," ujarku masih melanjutkan curhatan."Dia bukan sepenuhnya laki-laki baik, itu yang aku tahu sih. Jujur ya, Na. Indra itu, dia cukup berbahaya

    Last Updated : 2021-11-03

Latest chapter

  • Days to Remember   Bab 16 - Jangan Sakit, Ya!

    Saat jam istirahat, aku sempat makan di kantin bersama Riski dan kawan-kawan lainnya. Kami pun janjian untuk mengobrol sebentar saat pulang sekolah nanti.Kami tidak punya banyak waktu mengobrol saat istirahat, karena terlambat ke kantin gara-gara pak Deni telat masuk kelas.Kami berdua duduk bersaman di lapangan hijau sekolah. Sebelum pulang ke rumah, aku, Ani, Ima, Tri dan Riski duduk-duduk di sini dulu menikmati teriknya matahari siang.Saat mereka pergi sejenak untuk membeli jajanan, aku dan Riski memulai pembicaraan empat mata. Kuceritakan pula apa yang Indra katakan waktu itu. Riski pun hanya bisa menyayangkan sikap temannya tersebut."Aku tuh sempat kesal banget gara-gara itu, padahal sebelumnya kan aku udah mulai biasa aja temenan sama dia," ujarku masih melanjutkan curhatan."Dia bukan sepenuhnya laki-laki baik, itu yang aku tahu sih. Jujur ya, Na. Indra itu, dia cukup berbahaya

  • Days to Remember   Bab 15 - Indra Cemburu

    Begitu masuk ke kelas, Indra langsung menyambangiku. Dia tiba-tiba menghalangi Ani dan duduk di tempat Ani. Ini tidak mengherankan lagi, dia sudah jadi terbiasa duduk di tempat Ani. Bahkan Ani kadang harus mengusirnya dulu hanya untuk duduk di bangkunya sendiri. Ini tidak terlalu aneh, karena secara alami kami memang sudah jadi cukup akrab, mungkin itu sebabnya dia bertingkah sok kenal dan sok dekat padaku dan Ani. Mumpung ada Indra, aku jadi teringat kata-kata Yani dua hari lalu. Jika Indra itu tahu informasi tentang Riski, hanya saja aku memang tidak ingin ada urusan dengan anak aneh itu, makanya tidak pernah bertanya apapun. "Belum ada kabar dari Riski ya?" tanya Indra tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku. "Hah?" Aku tersadar dari pikiran tentang Riski. "Belum!" jawabku kemudian. "Syukurlah!" Ucapan itu terdengar aneh, ada rasa satire di dalamnya.

  • Days to Remember   Bab 14 - Obrolan Aneh

    Aku mengulurkan tangan, tanpa sepatah kata pun. Seolah mengerti, Indra menurut dan memberikan benda yang kuminta. Ia meletakkannya di meja, tepat di hadapanku."Maaf!" katanya tampak kikuk."Kamu ngapain?" Aku tak sanggup mengomelinya."Itu, anu--""Minggir!" ucapku mengusirnya dari daerah pribadi ini.Hah, orang ini benar-benar semakin aneh. Saat aku berbaik hati mau bicara dengannya, dia sudah berani duduk di bangkuku, seolah aku adalah bagian dari geng-nya. Dia mungkin saja sedang mencoba menginvasi daerah kekuasaan Yani, atau mencoba membujukku untuk bergabung bersama Yani.Aku mengambil ponsel yang diletakkan olehnya di atas meja, layarnya masih disetel pada lagu-lagu MP3 koleksi. Aku melirik kesal kepadanya dan dia masih tampak menunduk.Apa-apaan dia? Beraninya buka-buka tas dan menyentuh barang-barangku! Batinku mengomel.“Nana?” panggilnya. Lalu, memin

  • Days to Remember   Bab 13 - Menarik Perhatian

    Hari ini ada pelajaran bahasa Inggris, salah satu pelajaran kesukaanku. Ini bisa jadi kesempatanku untuk memperlihatkan kecakapan dan kemampuanku dalam fast reading di depan kelas, ya di depan semua orang yang mungkin saja selama ini menganggap aku remeh. Begitu pelajaran dimulai, beberapa teman sekelasku hanya saling menertawakan kemampuan bahasa mereka satu sama lain. Tapi, begitu dua orang itu muncul, guru bahasa Inggris sangat memuji Icha si Ketua Kelas dan Indra si Murid yang sok jaim dalam materi yang coba diujikannya. Tibalah waktuku, guru tahu jika selama satu semester kemarin aku termasuk murid yang aktif dalam pelajarannya hingga dia seolah menantangku. Seorang anak pendiam atau lebih tepatnya pemalu, untuk melakukan fast reading di depan kelas. Takut, tentu saja! Ini pertama kalinya aku berpartisipasi melawan ketua kelas dan teman segengnya. Namun, ini lah yang aku tunggu, menguji tata bahasa dan kecepat

  • Days to Remember   Bab 12 - Menjadi Lebih Dekat

    Setelah seminggu ujian berakhir, aku semakin dekat dengan para sahabat yang baik hati ini, terutama Riski. Ya, walau terkadang mereka akan bersikap menyebalkan, terlebih si Nirmala pecinta dinding, yang suka mendadak tuli kalau dimintai tolong ke kantin. Tapi, aku secara perlahan memang jadi semakin dekat dengan Riski. Mungkin karena dia adalah anak yang seru untuk diajak ngobrol dan kami berdua punya selera humor yang mirip satu sama lain.Aku dan Riski lebih banyak menghabiskan waktu berdua, entah untuk menyelesaikan soal matematika bekas ujian, maupun Riski yang sering menemaniku menggambar. Aku suka membuat sketsa kasar di belakang buku pelajaran. Selain, pemandangan depan pintu kelas. Riski bersedia menjadi objek sketsaku, walau sebenarnya gambarku menjadikan Riski semakin jelek.Dia juga menjadi lebih rajin ketika kumintai tolong untuk membelikan makanan atau minuman di kantin. Mungkin itu yang jadi sebab, Nirmala sudah tidak mau membe

  • Days to Remember   Bab 11 - Asal Dia Tahu

    Entah kenapa aku malah tiba-tiba tersenyum senang karena melihat dua orang ini sedang diliputi rasa penuh kekesalan. Aku merasa keduanya memang sangat baik dan bisa bersikap seperti ini hanya karena aku. Aku sangat tersanjung. Aku pun mengalihkan pandangan dari Ani dan Riskin, menatap ke arah kerumunan sana, Icha tampak senang mendapatkan sambutan hangat itu. Aku tanpa sadar tersenyum dan saat aku menoleh ke arah teman-temanku ini, langsung saja membuat Ani juga Riski menatap sinis kepadaku. "Kenapa sih? Nggak usah dipikirin deh, itu 'kan cuma puisi," ucapku berpura-pura dingin. "Tapi, itu puisi kamu? Kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan," ucap Riski meninggalkan kami berdua di depan pintu kelas. Idih, ngapain nangis? Aku bisa bikin yang lebih baik dari puisi itu nanti. "Bisa-bisanya yang ngomong kayak gitu!" timpal Ani emosi. Eh, aku sala

  • Days to Remember   Bab 10 - Gara-gara Puisi

    Ani tiba-tiba menarik tanganku, dan mengajak untuk kembali ke kelas. Aku turut saja dan mengikuti langkah kecil Ani.Begitu sampai di dalam kelas, Ani menatapku serius. Aku mendadak bingung, anak ini kenapa?"Puisinya bagus ya ...," ucap Ani tersenyum. Sepertinya Ani sedang mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba hening atas diamku. Aku pun hanya mengangguk sekenanya saja. "Na? Nana!" lanjutnya dengan suara lebih keras."Hmm?" Aku terpaksa menatap wajah Ani."Kamu kenapa? Kok kayak syok gitu? Ada masalah? Apa kamu--""Aku? Aku apa? Aku nggak apa-apa kok!" Aku benar-benar salah tingkah dan mencoba menghindari kontak mata dengan Ani."Ya udah sih kalau nggak apa-apa kalau nggak mau cerita, aku sih nggak masalah. Beneran! Tapi, aku ini masih teman kamu loh." Ucapan Ani terdengar menjurus. Apa dia sudah tahu soal tulisan di mading?"Ani, anu ... itu," kataku mendadak gagap."Hmm," ujar Ani mendekatkan

  • Days to Remember   Bab 9 - Tak Sesuai Ekspektasi

    Aku yang sedari tadi berjalan di belakang pak guru hanya terdiam tanpa kata. Aku mengikutinya berjalan menuju ke kelas sebelah tempat dia mengajar hari ini. Pak guru berhenti di depan kelas dan akhirnya bicara juga. Jantung yang sudah berdegup kencang tanpa alasan ini membuatku berkeringat dingin.Tapi, apa salahku? Aku tidak punya salah apapun. Kenapa aku harus bertingkah seperti ini? Tolong, biasa aja, Na.Syukurlah, bukan apa-apa. Rupanya Pak guru hanya ingin memberitahukan, soal aku yang tetap akan diberikan jadwal piket kebersihan meskipun sering sakit. Karena khawatir jika tak diberi jadwal piket, bisa menimbulkan rasa cemburu dari iswa yang lainnya. Pak guru sengaja memintaku untuk bicara berjauhan dari kelas, karena tidak ingin ada murid di kelasku yang mendengar pembicaraan kami. Ya, memang pembicaraan ini terdengar dan terkesan bahwa aku sengaja diatur agar bisa mengikuti aktivitas di sekolah ini.Sebelumnya, aku memang tida

  • Days to Remember   Bab 8 - Kamu Tahu Namaku?

    Pelajaran kami selesai, istirahat pun tiba.Saat sedang asik bermain game di benda ajaib yang disebut ponsel itu, aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja datang dan langsung meletakkan benda besar yang disebut tas itu di mejaku. Tanpa peringatan, tanpa aba-aba dan tanpa sapaan."Titip ya!" ujarnya terburu-buru."Indra! Tasnya jangan ditaruh di situ dong! Iih!" tegurku sembari buru-buru menekan tombol pause dan menatapnya kesal."Apa? Kamu tadi panggil saya ya? Panggil saya apa?" kagetnya berbalik. Tiba-tiba menatapku dengan tatapan matanya yang serius. Membuatku jadi keheranan, kenapa dia ini? "Nana, kamu tadi panggil saya kan?" Dia kembali berucap."Ya, iya. Kamu lah, siapa lagi? Memangnya ada orang lain yang lagi berdiri di depan meja aku, 'kan cuma ada kamu, aneh banget iiih," jawabku panjang lebar."Ooh, jadi kamu memang panggil saya ya? Pangg

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status