Universitas Academy Of Music
"Hai, Zenia."Gadis berhoodie ungu itu berbalik. "Hai!"
"Kau baru ke kampus lagi setelah satu Minggu, Zenia," ucap satu di antara 3 gadis berpakaian minim.
Zenia tersenyum. "Ya ... aku cukup lelah, jadi aku memutuskan untuk istirahat sejenak," ujarnya.
"Kegiatan apa yang kau isi selama istirahat?" tanya Cherly, si gadis dengan lipstik merah merona.
"Membaca beberapa buku di perpustakaan rumahku," kata Zenia.
"Itu saja?" Dylan menyinis, si gadis paling cantik di antara Cherly dan Vina. Itu menurut Zenia.
"Juga beberapa novel ... memangnya kenapa?"
"Wah ... kau sempurna, tapi seleramu sangat jelek," desis Vina, si gadis dengan belahan dada yang terbuka
"Haha ... yah, itu memang jelek, seperti wajah kalian," ketus Zenia. Tidak peduli bagaimana raut kesal ketiga gadis itu, dia berlalu begitu saja. Terkadang, orang-orang seperti mereka harus dibalas. Zenia tidak menyukai mereka, dan dia secara terang-terangan menunjukkan itu.
Kelas dengan 200 kursi dalam satu ruangan menjadi hening ketika Zenia tiba. Semua mata tertuju kepada bintang muda itu. Bukan karena takut, hanya saja mereka selalu terpesona dengan kecantikan Zenia yang seperti dewi.
Zenia tersenyum ketika mendapati lambaian Melisa.
"Kau mengurangi waktu istirahatmu," Melisa mengambil pulpennya yang terjatuh di bawah meja.
Zenia mengangguk samar. "Aku tidak ingin berlama-lama mengambil cuti konser. Satu minggu sudah sangat cukup bagiku."
"Eh, apa kau tahu?"
"Tidak--- aakh!"
Melisa yang kesal mencubit paha kiri Zenia yang terlapis levis putih.
"Tidak," Melisa mengulangi ucapan Zenia dengan mencibir. Dia kembali mencubit paha kiri Zenia sehingga menghasilkan teriakan kecil.
"Tunggu sebentar." Melisa mengambil ponselnya dari dalam tas, lalu menunjukkan gambar seorang pria di unggahan I*******m.
'PANGERAN DONGENG YANG NYATA'
"Foto ini diambil saat konsermu berlangsung. Unggahan ini sedang viral dan langsung mendapat satu juta like dalam satu jam. Tidak heran, karena pria ini seperti pangeran di negeri dongeng. Penggemar priamu tampan-tampan, ya, aku jadi ingin menikahinya."
Alis Zenia mengerut. Dia lalu merebut ponsel merek Apple milik Melisa untuk melihat kembali wajah pria tampan itu. Di dalam foto tersebut, nampak seorang pria muda yang memakai jaket levis biru dengan topi Beanie.
Alis Zenia semakin mengerut. Rasanya dia pernah melihat perawakan seperti itu sebelumnya, tapi di mana? Entahlah, lupakan saja.
"Bagaiamana? Dia tampan, kan?" Melisa mengambil kembali ponselnya.
Zenia tak menjawab. Sebenarnya, Zenia adalah tipe orang yang senang berfikir, apalagi jika ada sesuatu yang terlupa, gadis ini akan berusaha mengingatnya kembali.
Pintu ruangan terbuka. Muncullah seorang pria tua dengan dua buah buku serta satu spidol di tangannya.
"Buka materi terakhir."
.
..Kelas berakhir pada pukul 14:54 siang. Melisa mengajak Zenia ke mall untuk membeli sebuah kado. Pada awalnya Melisa membatalkan ajakan itu, tapi Zenia sudah terlanjur bersemangat. Melisa tidak mau mengambil resiko, mengingat temannya itu merupakan seorang publik figur, bagaimana jika pengunjung mall mengenali Zenia, aksi kejar-kejaran pasti terjadi.
"Kau akan menjadi buronan dadakan jika penggemar sampai mengenalimu," ucap Melisa.
Zenia tidak peduli dengan kata-kata gadis bermata sipit itu. Dia tetap bersikeras untuk ikut, bahkan dia sudah menyiapkan masker, topi, dan juga kacamata. Kalau sudah begini, Melisa bisa apa?
•••
Kerjaan Axton, 1350.
Prang!
Emilia memecahkan gelas sebagai bentuk kemarahannya terhadap adiknya, Zein. Dua tahun lamanya ia menunggu seorang keturunan yang akan menjadi awal dari kekekalan seluruh penduduk Axton. Dia begitu kesal ketika mengetahui bahwa Zein sudah menemukan seorang wadah, tapi belum juga menuntaskan tugasnya.
"Lakukanlah segera, Zein," geram Emilia, putri Raja Theodor yang anggun.
"Jangan memerintahku!"
Emilia menatap jengah adik yang sejujurnya tak ia sayangi. Keras kepala Zein merupakan salah satu alasan dalamnya kebencian itu.
"Itu milikku, jadi semua terserah padaku."
Emilia semakin dibalut emosi. Dia kehabisan kata menghadapai Zein yang semakin terlihat menyebalkan. Urusan berdebat, Zein ahlinya.
"Leviathan semakin dekat dengan lingkaran batu. Itu tidak akan lama sampai kerajaan ini menjadi hancur."
Zein menatap lantai keramik berwarna coklat tua di bawah kakinya. Leviathan, ya. Iblis tukang iri yang selalu menjadi masalah kerajaan-kerajaan besar, termasuk Axton. Iblis dengan rupa dewa mempunyai rasa iri hati yang kuat. Apa yang kau punya sedangkan dia tidak, siap-siap saja akan diambilnya. Itulah si iblis Leviathan.
"Tidak akan kubiarkan itu terjadi. Aku akan membunuh Leviathan tepat setelah lingkaran batu mengembalikan kekuatanku." Zein melangkah mendekati jendela. Berdiri di samping kiri Emilia dan memandang langit malam yang bisu.
"Leviathan adalah seorang iblis, Zein. Iblis tidak bisa kau musnahkan, kecuali disegel," jelas Emilia. Dia memiliki pengalaman tersendiri bersama seorang iblis. Dahulu, ia hampir mati kehabisan tenaga ketika bertarung dengan iblis. Seratus kali dia membunuh makhluk terkutuk itu, tapi sebanyak itu juga mereka bangkit kembali.
"Itu sama saja membunuhnya ..." Zein menjeda sebentar kalimatnya. Segelas anggur tampak nikmat di atas meja sana. "Ahh ...." Keras dan pahit, tapi nikmat secara bersamaan. Zein menurunkan gelas yang sudah tidak berisi ke atas meja.
"Aku menaruh dua puluh penjaga di dalam dan luar kamar ayah. Jangan harap kau bisa menemuinya saat aku pergi," tegas Zein sebelum meninggalkan Emilia sendiri di aula kaca kerajaan.
Emilia membuang nafasnya kasar, kesal.
"Aku bukan musuhnya!"
Washington, 2021.Melisa dibalut rasa was-was semenjak menginjakkan kaki di mall yang ramai bersama Zenia. Jantungnya berdegup kencang ketika orang-orang mulai menatap mereka, terutama Zenia. Ah! Dia kesal berada dalam situasi tertekan seperti ini. Dan makin kesal lagi ketika hanya dia yang merasa seperti itu. Meskipun seluruh wajah Zenia hampir tertutup, tetap saja aura gadis itu seakan menarik semua orang untuk mendekat."Tolong siapkan kakimu."
Kening gadis berhoodie ungu itu mengerut. Dia menghentikan langkahnya. "Maksudmu?" Zenia tidak mengerti.
Melisa dengan kejengahannya memperhatikan setiap orang yang lalu lalang melewati mereka. Tidak sedikit yang berbisik-bisik ketika melihat mereka. Ada juga seorang pria muda yang sempat berhenti untuk memotret mereka. Hei, apa maksudnya itu?
"Kau akan di kejar ribuan penggemarmu di mall ini jika kau tidak memakai kacamata bulatmu itu, Zenia!" Melisa dengan kekesalannya.
Zenia mengangguk dengan mulut sedikit terbuka. Dia memasang kembali kacamata yang sebelumnya ia gantung di leher hoodienya. Menyengir sebelum berkata, "Ayo beli hadiah untuk adikmu," ajak Zenia antusias.
Melisa membiarkan tubuhnya ditarik dan dibawa ke salah satu toko mainan oleh Zenia.
Zenia kebingungan ketika ditanyai mengenai mainan yang biasa disukai anak perempuan, karena jujur saja ia tidak tahu. Boneka, alat masak mainan, rumah-rumahan, platisin, dan masih banyak lagi. Benda-benda itu tidak pernah dimiliki apalagi dia mainkan. Pplpalu apa saja yang menemani masa kecil Zenia? Nada-nada rumit. Tentu saja.
"Anak perempuan biasanya menyukai warna merah muda, jadi pilih saja sesuatu yang berwarna itu," usul Zenia akhirnya.
Melisa mengangguk. Benar, kebanyakan anak perempuan memang menyukai warna merah muda, tapi tidak semua. "Tunggu sebentar, aku mau ke toilet." Zenia mengangguk, membiarkan Melisa pergi, sementara dirinya duduk di salah satu kursi yang sudah disiapkan oleh pemilik toko.Buliran air mengucur ke lantai. Zenia melihat tangannya yang sudah basah karena minuman dinginnya yang sudah mencair. Dia mengibaskan tangannya pelan lalu meminta selembar tisu kepada salah satu karyawan. Setelah mendapat tisu, dia mengeringkan telapak dan sela-sela jarinya. Zenia memutuskan untuk menghabiskan minuman yang tidak cukup setengah gelas lagi, walaupun sudah tidak sedingin tadi.
"Eh!" Memundurkan sedikit kepalanya ketika sedotan biru itu justru mengenai maskernya. Zenia menurunkan kain hitam itu hingga ke dagu dan menyedot semua coklat dingin hingga tandas. Meremuk sebelum membuang gelas bekas itu ke tempat sampah.
"Permisi ...."
Seorang karyawan wanita menghamprinya dengan sebuah kotak biru. Entah ada apa di dalamnya.
Zenia buru-buru mengangkat kembali maskernya. Karyawan itu mungkin sudah melihat separuh wajahnya. Apa dia mengenalinya?
"Terima kasih sudah mengunjungi toko kami." Karyawan itu tersenyum lalu membuka kotak berisi kue kering dengan toping coklat di atasnya. "Ini untuk anda semua. Apa anda menyukainya? Kalau tidak, saya akan mengambilkan rasa dan bentuk yang lebih menarik. Kami masih punya banyak. Ini adalah hadiah untuk pelanggan baru."
Zenia tersenyum di balik maskernya. Dia berterima kasih sebelum menerima sekotak kue lezat itu.
Zenia mendelik heran. Karyawan itu masih berdiri di hadapannya seperti patung. Zenia melambaikan tangan kanannya di depan wajah wanita berseragam biru yang terus saja menatapnya tanpa berkedip.
"Apakah anda ... Zenia Mecca?"
Kegugupan menyergap Zenia sesaat, tapi dia kembali santai. Tidak ada celah lagi untuk berbohong.
"Apakah anda benar-benar Zenia Mecca?" Astaga! Karyawan ini bertanya tapi seperti meneriaki maling. Wajahnya berbinar seakan baru saja memenangkan lotre miliaran dollar.
Zenia memundurkan langkahnya ketika para pengunjung mal mendekatinya. Zenia semakin gugup. "Bu-bukan," Zenia mengelak. Sialnya, bukan percaya, para pengunjung mal yang mengerumuninya justru berteriak heboh. Kenapa mereka seperti itu?
"Setiap hari aku mendengarkan lagu-lagu Zenia. Suaranya sudah seperti alaram hidupku. Sekarang, aku bisa mendengarnya langsung!"
"Apa maksudmu?"
"Mengertilah maksudku. Dia adalah Zenia Mecca. Penyanyi dengan suara emas itu!"
Orang-orang mulai mengerumuni Zenia, mereka menginginkan sebuah torehan tinta dari idola mereka itu. Sebenarnya, Zenia senang bertemu dengan penggemarnya, tapi bukan dengan cara seperti ini. Tidak ada manager dan juga beberapa pengawal untuk keamanannya. Orang-orang semakin banyak berdatangan hingga membuat tubuhnya seakan tenggelam. Tangannya mulai ditarik sana-sini. Oh, astaga, ini sudah gawat. Zenia seperti sebuah daging segar yang menjadi perebutan para serigala.
"Astaga, Zenia!" Melisa berlari menembus kerumunan, walaupun sedikit sulit, tapi ia memaksakan langkahnya.
Tidak ada. Zenia tidak ada dalam kerumunan itu. Entahlah, Melisa harus merasa lega atau panik.
Orang-orang yang menyadari hilangnya Zenia pun pergi satu persatu.
"Di mana dia?" Melisa meninggalkan toko mainan dan pergi mencari keberadaan Zenia. Dia berharap temannya itu baik-baik saja.
•••"Halo?"
"Ha-halo?"
"Ini aku."
"Katakan namamu."
"Aku ingin menceritakan masalahku. Apa kau ingat aku sekarang?"
Zenia sedikit mengangguk. Ya, dia ingat siapa penelfon ini, tapi tidak dengan namanya. "Baiklah, tapi bisakah kau-" Zenia membungkam. Menengok sedikit dari balik pintu kamar mandi mall. Dia berdecak kesal melihat beberapa fans yang mengejarnya sedari tadi.
Zenia berbisik, "Maaf, bisakah kau mejemputku." Sedikit tidak enak hati.
"Tunggu aku." Panggilan dimatikan.
Zenia sedikit lega. Sekarang, ia hanya bisa terdiam di kamar mandi sambil menunggu pria itu datang.
Entah dengan cara apa pria itu menemui Zenia. Baru semenit yang lalu Zenia memberi tahu lokasinya, dan sekarang pria itu sudah ada di hadapannya. Membuat Zenia terkejut setengah mati ketika mendapati sepasang sepatu coklat berada di di balik pintu toilet."Kau ... yang tadi menghubungiku?"
"Aku Zein."
Zenia membalas jabatan Zein sopan dengan sedikit senyuman.
Bungkam. Paras menawan Zein seperti menghipnotis Zenia. Gadis itu belum melepaskan tangan Zein, bahkan mengedip saja tidak. Zenia tidak menyangka kalau orang ini benar-benar seperti pangeran dari sebuah kerajaan. Pasalnya, di malam pertama kali bertemu Zein, Zenia sama sekali tidak dapat melihat wajah cerah itu karena terhalang masker dan kacamata.
•••
Gerbang terbuka. Zein memasuki halaman rumah Zenia dan memarkirkan mobil sport kuningnya di sana.
Empat pelayan wanita berjejer di depan pintu menyambut mereka. Zenia tersenyum ramah, sedangkan Zein masih tetap dengan wajah dinginnya.
"Masuklah. Aku akan buatkan minuman untukmu."
"Terima kasih," kata Zein.
Zein mendudukkan dirinya di sofa putih. Hampir tak ada warna apapun selain putih di rumah Zenia. Tidak ada foto keluarga atau apapun yang tertempel di dinding yang juga bercat putih. Dinding rumah ini begitu polos.
Zenia tiba di ruang tamu bersama secangkir teh di tangannya. Ia mengerut heran ketika tak dijumpainya sosok Zein. Dia meletakkan gelas teh tersebut di atas meja kaca. Bertanya mengenai keberadaan Zein kepada salah satu pelayan. Ada sedikit emosi di dalam hatinya saat tahu bahwa pria yang baru saja di temuinya itu telah berani memasuki kamarnya. Sungguh lancang.
"Kita tidak seakrab itu sehingga kau bebas memasuki ruangan privasiku, Tuan," ketus Zenia. Dia menghampiri Zein yang tengah duduk di atas tempat tidurnya.
"Keluar. Minumanmu ada di ruang tamu."
Zein menatap lekat gadis di depannya. "Aku ingin kau tahu masalahku."
"Aku akan mendengar masalahmu. Bukan di sini, tapi di ruang tamu."
"Ini privasi, jadi harus di tempat privasi juga."
Zenia tetap pada kata-katanya. Dia pikir siapa dirinya sehingga bisa masuk seenaknya. Selain kedua orang tuanya, Zenia tak mengizinkan siapapun masuk ke dalam kamarnya, termasuk pelayan.
"Keluar." Zenia menahan emosinya.
"Baiklah. Kau duluan."
"Oke." Dengan kesal Zenia menyeret kakinya dari sana. Dia meraih kenop pintu yang dingin, menekan lalu memutarnya perlahan sehingga pintu terbuka.
Brak!
Tak!Mata Zenia membulat. Tangan kurusnya sudah berada di atas kepalanya. Terasa perih karena cengkaraman Zein yang menyudutkannya di pintu yang sudah tertutup kembali. Beberapa senti lagi tubuh manusia berbeda kelamin itu menempel.
"Kau-- lepaskan aku!"
"Tidak akan." Zein dengan seringainya.
"Aaaagh!" Zenia berteriak tanda kalau ini adalah puncak kemarahannya. "Lepaskan aku! Kubilang lepaskan---"
Zenia melipat kedua bibirnya, matanya melotot. Tak percaya pada apa yang baru saja terjadi. Pria kurang ajar itu mengecup bibirnya dengan lembut. Malu, kesal, dan entah apa saja yang Zenia rasakan saat ini. Pelan-pelan ia membuka matanya.
"Mau tahu masalah yang bersarang dalam hidupku?" Zein dengan seringainya.
Oh, tidak. Tatapan Zein seakan menghipnotis Zenia.
"Apa?" kata Zenia pelan. Tatapan tajam serta suara tinggi sudah tak ia tunjukkan. Hanya kelembutan dan ketidakberdayaan saat ini.
"Kau, Zenia. Kau adalah masalahku."
Setelah mengatakan itu, Zein mengangkat tubuh lemah Zenia ke atas tempat tidur. Gadis yang masih memakai hoodie tebal itu sudah tak sadarkan diri. Entah sejak kapan.
"Maafkan aku, tapi ini memang takdirmu," kata Zein. Pria itu mengangkat tangannya ke udara. Tak lama setelah itu, seluruh pelayan dan pengawal ambruk tak sadarkan diri di atas lantai keramik yang dingin. Lampu di seluruh rumah mati. Hanya bulan yang menjadi lentera.
Zein menatap tubuh molek Zenia. Dia seperti anjing liar yang mendapatkan daging segar malam ini, dan dia siap menyantapnya.
"Zenia Mecca!""Zenia Mecca!""Zenia! Kami mencintaimu!"Sorak-sorakan para Zeirs, sebutan untuk penggemar Zenia, memenuhi seluruh studio ketika pembawa acara mengungumkan jika gadis cantik itu mendapat penghargaan Billboard Chart.Malam ini adalah momen membanggakan yang tidak akan pernah hengkang dari ingatannya. Begitu banyak kesulitan dilewati gadis berusia 18 tahun itu. Wajah cantik bak dewi merupakan salah satu alasan dirinya banyak mendapat kebencian. Mereka berpendapat kalau Zenia hanya mengandalkan parasnya, perihal bakat, dia tidak punya sama sekali.'Paras Menutupi Segalanya'Itulah judul artikel mengenai Zenia ketika awal-awal debut. Stress? Sudah pasti, tapi dia berhasil bertahan dan terus berjalan."Selamat, ya. Aku juga adalah penggemarmu," kata salah satu pembawa acara.Zenia tersenyum. Dia kembali mengenang masa-masa sulitnya. Jika sekarang penggemarnya hampir ada diseluruh dunia, maka dulu berbeda. Dahulu, pen
3 bulan kemudian."Zenia, masuklah. Kenapa kau di luar? Dokter sudah menunggu."Zenia menepis kasar tangan Yoshi. "Tidak! Aku berubah pikiran. Aku mau pergi!""Ini akan membuat hidupmu kembali normal. Kau relakan itu demi karirmu. Semua akan baik-baik saja, Zenia.""Kau salah. Setelah menggugurkan anak ini aku akan lebih menderita. Aku akan hidup sebagai pembunuh nyawa yang tidak berdosa!"Zenia meninggalkan Yoshi yang tampak syok. Dia tidak peduli dengan karirnya. Dalam hati Zenia mengutuk dirinya karena sebelumnya mau saja dibawa Yoshi ke rumah sakit untuk menggugurkan janinnya.Tiga bulan lalu adalah awal dari kehancuran hidupnya. Entah bagaimana dan siapa yang memberitahu media tentang kehamilannya. Semuanya menjadi berantakan saat itu.Perut Zenia kian membesar. Usia kehamilannya sudah memasuki tujuh bulan. Seiring dengan itu namanya semakin hangat diperbincangkan di berbagai stasiun televisi maupun medi
"Perayaan esok sore?" tanya Zenia. Dia dan nenek Shim berjalan menuju apartemen. Mereka baru saja berkeliling pantai."Bergabunglah bersama kami besok. Aku hampir tidak pernah melihat seorang pun datang mengunjungimu. Jadi aku berfikir kau mungkin kesepian."Zenia miris. Memang benar bahwa dia tidak pernah kedatangan seseorang. Orang tua maupun teman-temanya tidak pernah sekalipun menanyakan kabarnya. Itu membuat hatinya sakit, tapi juga bersyukur."Kehamilanmu sudah memasuki sembilan bulan, bukan?"Zeni mengangguk."Datanglah besok dan bergabunglah bersama kami para lansia. Aku jamin kau akan banyak tertawa." Nenek Shim tertawa kecil."Tertawa bisa membuat perasaanmu bagus dan itu sangat baik untuk anakmu." kata nenek Shim lagi.Zenia menyutujui ajakan nenek Shim. Dia mengelus perutnya yang tertutupi jaket tebal berbulu. Udara sore ini sangat dingin.•••Matahari mulai terbenam dan bulan dengan pelan menu
Seorang wanita berdress hijau ambruk di atas lantai keramik. Dia tidak lagi memiliki tenaga untuk menopang tubuh lemasnya. Berita putri tunggalnya yang mengalami kecelakaan membuatnya terkejut hingga tak bisa berkata apa-apa, selain mengeluarkan buliran bening."Frank!" teriaknya memanggil suaminya yang berada di dapur."Kenapa kau berteriak-teriak di malam hari, huh?" Frank yang dari dapur dengan membawa dua gelas kopi."Anakku ... anak kita ...." Wanita yang hampir berumur 50 tahun itu tak dapat lagi melanjutkan perkataannya. Dia menangis sesenggukan hingga membuat suaminya kebingungan."Bicaralah yang jelas, Maudi, aku tidak bisa mengerti jika kau terus menangis." Frank mendekati Maudi dan mengelus punggungnya."Aku baru saja menonton sebuah berita yang memberitakan kalau Zenia mengalami kecelakaan tadi siang." Maudi kembali menangis, tapi masih berusaha melanjutkan kalimatnya, "Zenia juga menghilang bersama ambulans yang seh
Pria tua yang merupakan seorang dokter baru saja keluar dari ruangan Zenia setelah mengatakan kalau kondisi Zenia sudah sepenuhnya pulih dan sudah dibolehkan pulang.Zenia meletakkan pakaian rumah sakitnya di atas kasur putih yang empuk. Dia akhirnya akan meninggalkan ruangan berbau obat itu setelah empat hari menjalani perawatan."Ayo, sayang." Maudi merangkul pundak Zenia."Di mana ayah?""Dia ada di kantor. Rapat mendadak membuatnya tidak bisa menjemputmu.""Benarkah?"Zenia tidak yakin apakah ayahnya benar-benar sibuk dengan rapat atau sibuk dengan selingkuhannya. Zenia menggenggam tangan ibunya lembut, menyandarkan kepalanya di pundak rapuh itu.Zenia dan Maudi memasuki sebuah mobil hitam yang sudah menunggu mereka sejak tadi bersama seorang supir. Mereka berdua duduk berdampingan di kursi belakang.Diperjalanan, Zenia tidak sengaja melihat dirinya di papan reklame gedung besar.
Sebuah langkah memasuki gedung Universitas yang terkenal di Amerika, Universitas Of Music namanya.Hoodie panjang selutut berwarna kuning, ditambah dengan sepatu kets bernilai ribuan dollar sangat pas di tubuh wanita cantik itu.Decakan-decakan kagum dari para mahasiswa mahasiswi membanjiri suasana pagi itu seakan telah melupakan skandal heboh Zenia beberapa bulan ini."Dia selalu bisa membuatku tidak bisa berkata apa-apa saat melihat wajahnya.""Cantik seperti dewi."Yah, itulah dua kekaguman di antara banyak pujian yang didengar Zenia.Awalnya perjalanan Zenia menuju ruang kelasnya baik-baik saja dengan pujian-pujian itu, tapi semuanya mulai memburuk ketika sebuah celaan terdengar, padahal tinggal beberapa langkah lagi di akan memasuki kelasnya.Dylan, Cherly, dan Vina menghampiri Zenia dengan tatapan jijik.&nb
Gesekan pedang yang saling beradu dari kakak beradik itu menerima banyak desiran kagum dari para prajurit dan beberapa pelayan yang kebetulan lewat.Teriknya matahari tak melunturkan tekad mereka yang berapi-api. Emilia, si putri mahkota yang arogan dengan lihainya mengayunkan pedang ke arah leher Zein hingga empunya sendiri tak dapat melakukan perlawanan lagi.Zein mengangkat kedua tangan polosnya ke udara, tanda menyerah."Kau selalu kalah olehku yang hanya seorang wanita? Memalukan sekali." Emilia berdecih lalu menurunkan kembali pedangnya."Aku harus kalah, bukan? Aku harus memberimu kekahalanku agar kau tidak malu di depan orang-orang kita." Zein mengambil pedangnya yang sebelumnya terjatuh di atas lapangan berpasir itu."Pembohong! Akui saja kekalahanmu. Sedari dulu kau memang selalu kalah olehku. Kau hanya bisa mengeluarkan kekuatan dari kedua tanganmu, t
Washington, pukul 23:06.Jalan raya malam itu perlahan mulai sepi. Hanya ada 8-10 kendaraan yang masih berlalu lalang, termasuk Zenia.Setelah meninggalkan rumah Melisa, Zenia yang sudah bertekad memecahkan misteri menyedihkan yang di alaminya harus berjalan pada tengah malam untuk menemui nenek Shim.Ada banyak pertanyaan di benaknya. Siapa sebenarnya pria yang bernama Zein ini? Ke mana hilangnya anaknya? Apa alasan nenek Shim membocorkan kehamilannya kepada seluruh media?Apartemen lama Zenia yang terletak di kota kecil Seattle harus menempuh jarak 89 km, dan lama perjalanan sekitar 1 jam lebih menggunakan mobil.Di perjalanan, Zenia sempat mengisi bahan bakar dan membeli beberapa cemilan sebelum kembali memulai perjalanannya.Jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi ketika Zenia telah sampai di depan gedung bernuansa cokelat muda itu. Dia terlebih dahulu memakirkan mobilnya di garasi apartemen sebelum menaiki lift untuk sampai lan
"Zenia!" "ZENIA!" "BANGUN!" Taurus mengguncang keras tubuh Zenia yang terkapar di lanta dingin. Namun, apa yang dia lakukan bahkan sama sekali tidak membuat mata wanita di depannya terbuka. Kemudian, Taurus mencari-cari sesuatu, melihat sekeliling penjara yang sempit. Ada air atau tidak. Byur! Taurus membuang gelas kayu yang sudah kosong ke arah penjaga yang tidak sadarkan diri. Kemudian, memanggil-manggil Zenia yang akhirnya telah sadarkan diri. Zenia melap air di wajah dan lehernya sebelum berdiri di balik sel menghampiri Taurus. Raut wajahnya terkejut, tapi juga senang ketika melihat Taurus. Dia melihat harapan untuk keluar. "Keluarkan aku dari sini," kata Zenia. Taurus segera meraba kantung bajunya, mengambil kunci yang sudah ia rebut susah paya dari penjaga. "Terima kasih!" Walau tubuh yang masih sedikit linglung, Zenia tetap berlari menuju kamar di mana bayi-bayinya di
Ribuan mata melotot tak percaya sekaligus kagum ketika dengan beraninya singa berbentuk aneh itu menembus dinding neraka hingga membakar tubuhnya sampai hangus. Sesaat mereka cukup bersimpati, tapi ketika melihat dinding neraka itu sudah lenyap, mereka langsung bergegas memasuki hutan tanpa memperdulikan tubuh si singa yang kesakitan.Tinggallah Hunak sendiri bersama singa itu. Nenek tua bungkuk itu menghampiri tubuh sekarat itu secara perlahan dan tertatih."Aku tidak tahu mahkluk apa kau sebenarnya ... dan aku tidak tahu bagaimana caramu menghilangkan dinding itu. Namun, yang jelas, kau adalah pahlawan yang akan selamanya kami ingat," ucap Hunak. Selanjutnya, ia berjalan kembali ke istana meninggalkan singa bertubuh elang yang tengah mengeluarkan sisa-sisa nafasnya. Hewan itu juga mengalami kejang-kejang berulang.Baru juga beberapa langkah, Hunak membalikkan tubuh bungkuknya. Ia menatap singa hangus yang sudah tak bernyawa di atas tanah. Perlaha
Sudah sebulan semenjak kejadian di sungai itu terjadi. Malam itu, Felicia dengan rasa sakit di hatinya memutuskan untuk langsung kembali ke kerajaannya. Namun, Zein malah menghentikannya dan meminta maaf. Cinta mengalahkan segalanya. Hati Felicia yang mudah luluh pada akhirnya kembali menerima Zein, tapi Felicia ingin tetap kembali. Untuk saat itu, dia tidak ingin bertemu kakaknya.Untuk Naomi, gadis itu tetap di Axton. Dia tak juga kembali walau ayah dan ibunya meminta dia pulang ke Maxton."Kenapa anak perempuan jalan di tengah malam, huh?" Seorang lelaki dengan kurang ajarnya mendekati lalu mengelus pipi Felicia.Plak!Felicia yang risih tentu saja menampar lelaki tersebut.Berani sekali. Dia 'tak tahu siapa sebenarnya gadis yang diganggunya."Enyah kau," desis Felicia.Namun, rupanya satu tamparan tak cukup membuatnya jera. Pria itu malah mendekati Felicia lagi."Kau siapa mati?"Nyali pria itu menciut ketika Felicia
Malam hari tiba.Felicia bersama keempat temannya pergi berburu untuk makan malam. Gadis itu tidak ingin ke istana walau Taurus terus memaksanya. Begitulah, Felicia masih sakit hati kepada Naomi, terutama Zein."Wah ... kemampuanmu berburu sudah lebih hebat dari kami. Tanganmu lihai sekali memainkan pedang," kata Nancy kagum.Malam ini, dua ekor rusa sudah ada di tangan mereka. Semua itu adalah hasil tangkapan dari Felicia."Terima kasih.""Aku akan ke sebelah sana," kata Felicia lagi.Felicia pun berjalan ke arah barat dengan obor dan pedang panjang di tangannya. Gadis itu juga sudah mengganti bajunya dengan baju hitam panjangnya yang lain.Felicia terus berjalan, memperhatikan setiap kawasan hutan yang dilewatinya, sampai-sampai dia tidak menyadari kalau kini dia sudah sampai di tempat dia bertemu dengan singa tadi siang.Felicia berhenti sejenak untuk membersihkan sisa darah dari pedangnya di sungai yang tampak tenang.
“Aku Putri Felicia. Biarkan aku masuk.”Kedua prajurit penjaga gerbang itu lalu membuka gerbang besar istana yang terbuat dari besi. Mereka menunduk sebagai tanda hormat ketika Felicia melewati mereka.Pagi-pagi sekali Felicia meninggalkan rumah pohon serta keempat temannya yang masih terlelap. Kemarin malam mereka benar-benar menghabiskan waktu bersama untuk berkeliling dan membeli banyak makanan di pasar malam, walaupun ia juga sedikit kesal karena dia tidak sempat bertemu dengan Zein.“Zein!”Baru saja memasuki istana, Felicia sudah mendapati Zein yang sedang berbincang bersama ... Naomi kakaknya. Felicia merasa seperti ‘kenapa aku harus bertemu Naomi sekarang?’“Hai! Kenapa kau baru tiba? Sejak malam kemarin aku menunggumu.”Felicia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Karena tidak enak, ia tidak berani menatap mata Zein dan malah menatap sepatu kulitnya yang lusuh. “Itu ...
“Felicia?” “Ibu, aku ingin ke istana Axton bersama kakak Naomi, tapi dia tidak mau membawaku. Aku ingin bertemu Zein.” Wanita bermata sipit dan bergaun putih itu mengelus lembut surai hitam anak keduanya. “Tidak apa-apa. Jangan khawatir. Kau bisa pergi tanpa Naomi. Para prajurit ada untuk membawamu ke sana, bukan?” Seketika senyum lebar yang manis itu terbit. Memperlihatkan gigi seputih susu yang rapi. “Sebenarnya ibu ... aku bisa pergi sendiri tanpa kawalan prajurit istana. Aku sering melakukan itu diam-diam, sebab aku tidak pernah diperbolehkan Naomi untuk bertemu Zein, jadi aku melakukan perjalanan diam-diam. Aku harap ibu tidak marah sampai menghukumku.” Terdengar tawa lembut dari mulut wanita itu. Walaupun hampir memasuki kepala lima, Ratu Nalinks masih terlihat seperti kakak kedua anak gadisnya. “Tidak apa-apa, sayang. Santai saja, asal tidak terluka. Tapi, kenapa kakakmu selalu melarangmu pergi ke istana Axton? Apa karena empat
Gelap.Ketika membuka mata bulatnya, Zenia hanya melihat kegelapan. Tidak ada cahaya sama sekali, udara di ruangan itu juga panas.“Halo? Ada seseorang di sini?” Zenia memaksakan kakinya yang terasa sakit untuk berdiri, lalu berjalan pelan mencari pintu keluar.Setelah menaiki tangga yang cukup panjang, barulah ia menemukan cahaya. Zenia menengok ke belakang, ternyata tadi dia berada di ruangan bawa tanah, pantas saja gelap dan pengap.“Ramalan itu ternyata benar.” Seorang wanita bergaun merah datang dan mendorong tubuh Zenia hingga tersungkur.Zenia meringis, rasa sakit di sekujur tubuhnya kian menambah karena ulah wanita yang tidak dia ketahui siapa.“Siapa kau?” Kekesalan Zenia begitu terasa.“Ratu Emilia.”Dengan susah payah Zenia berdiri. “Di mana anakku?” geramnya.“Anakmu?” Emilia menghampiri Zenia. Mencengkam dagu gadis lemah itu dengan kuat.
Tubuh Zenia menegang. Nafasnya memburu. Keringat pun mulai membasahi telapak tangannya. Perlahan dia berbalik, tapi seseorang yang berdiri di depannya itu membuatnya dapat bernapas lega."Ayo, kita harus cepat. Pangeran Taurus ada di sekitar sini. Dia mungkin mulai menyadari siapa dirimu." Taurus mengambil tangan Zenia lalu menariknya keluar dari ruangan yang berisi alat-alat perang.Setelah berjalan dalam kewaspadaan, Zenia dan Taurus pun sampai di depan pintu sebuah kamar. Dalam satu hembusan nafas, Zenia dengan gemetar membuka pintu tersebut. Hal pertama yang dilihatnya adalah tiga pengasuh wanita yang tergeletak di lantai. Dia dan Taurus berjalan masuk lebih dalam lagi."Zenia?"Zenia menoleh ke sudut ruangan. Di sana berdiri Nancy bersama Moana, serta ... seorang bayi laki-laki. Zenia segera menghampiri mereka."Bayiku?" tanya Zenia tak percaya. Air mata gadis itu sudah mengalir membasahi kedua pipinya.Nancy dan Moana
"Aku akan masuk setelah kau berada di dalam istana. Beri aku sebuah kode perintah saat kau selesai menari. Mengerti?"Zenia mengangguk pelan. "Kodeku adalah 'Z'," kata Zenia.Taurus mengangguk, lalu berlari menuju belakang istana.Zenia menatap bangunan besar istana di depannya. Dia merasa sedikit gugup."Jumlah kita sudah lengkap, ayo kita masuk!"Suara Ibu Moana membuat kegugupan Zenia semakin besar, begitu juga dengan tekadnya. Apa pun bahaya yang nanti menimpanya di dalam sana, Zenia percaya itu tidak akan cukup membuatnya terbunuh, karena dia adalah seorang ibu.Suasana yang awalnya riuh mendadak hening ketika Zenia dan sembilan penari lainnya memasuki aula pesta."Hei, kenapa kalian menutup separuh wajah kalian dengan kain hitam?" Seorang pangeran yang entah dari kerajaan mana bersuara. Tampaknya dia sedang kesal karena tak bisa menikmati wajah cantik para penari seutuhnya.Ibu Moana yang merup