*****[Kenapa belum datang, Pak Bara? Cepat, saya butuh Bapak sekarang?]Pesan dan Mbak Viona masuk lagi. Ini tak bisa dibiarkan. Kuscroll daftar nomor di kontakku. Kutekan nomor Bang Karmin.“Hallo, Pak Bara, selamat malam! Ada apa malam-malam begini nelpon saya? Ada masalah kah?” Terdengar nada panik dari suaranya. Bang Karmin langsung mengangkat telponku.“Abang segera datang, cepat! Mbak Viona sedang kumat! Jangan pakai lama! Sepuluh menit, lekas!” perintahku.“Viona kumat? Astaga! Bukankah penyakitnya sudah lama sekali tidak kumat? Gimana kumatnya, Pak? Apakah dia menjerit-jerit, pingsan, atau gimana?”“Tak bisa kujelaskan, pokoknya Abang cepat datang kalau tak mau kehilangan dia, cepat!”“Ok, baik! Sepuluh menit aku sudah sampai di situ!”“Hem. Tapi Abang jangan bilang kalau aku yang nelpon Abang! Mbak Viona katanya tak mau diganggu oleh siapapun. Dari tadi dia teriak-teriak enggak jelas. Dia mengunci diri di dalam kamar. Kami takut dia kenapa napa di dalam kamarnya. Sepert
*****“Hallo!” sapaku begitu panggilan telepon tersambung.“Bentar, ih, suamiku nelpon, nih!”Deg!Ninda bicara dengan siapa? Kenapa nadanya seperti menahan geli seperti itu. Siapa yang ada di rumah sekarang. Bukankah dia cuma berdua bayi kami? Masa dia berbicara seperti itu kepada anak umur empat bulan.“Halo, Bang! Ada apa?”Suara lembut dan manjanya berubah ketus. Hatiku tidak sakit mendengarnya. Sudah biasa. Dia tak pernah lembut kalau berbicara padaku. Aku sangat maklum, sadar kalau aku bukan suami yang bisa membuat dia bahagia. Itu sebab aku ingin melakukan sesuatu hari ini. Semoga dia suka.“Sayang, ukuran baju kamu apa, L, M, XL, atau dabel L?” tanyaku tetap lembut, seperti biasa.“Ha, buat apa? Mau beliin aku baju? Mau nge-prank? Enggak lucu! Aku tahu, Abang enggak akan sanggup beliin aku baju! Udah, ah, ganggu aja, aku sibuk, nih! Anakmu rewel, udah, ya!”Telpon langsung ditutup. Wajar, Ninda pasti tak percaya aku menanyakan ukuran bajunya. Dia pasti merasa terganggu karen
***** “Ebbba ba ba babaaa …. Eeeebababa ba ba ba ….” Samar kudengar suara celoteh bayi di antara tawa cekikikan manja istriku. Hatiku yang sempat panas, berangsur dingin. Lega luar biasa. Pikiran buruk dan curiga yang tadi melintas segera sirna. Bayangan Ninda tengah bergelut dengan pria lain, lenyap bagai disapu angin. Hati sejuk seketika. Ternyata istriku tengah bercanda dengan bayi kami. Eh, tapi tunggu! Motor di teras itu, punya siapa? Apakah punya tetangga? Tak mungkin tetangga menaruh motornya di teras rumahku. Lalu, siapa? “Udah, dong, ih, bayiku ngeliatin, tuh, malu, tau?” Deg! Darahku kembali berdesir. Suara manja disertai cekikian Ninda kembali terdengar. “Sekali lagi, Sayang. Mumpung suami kamu masih kerja! Boleh, ya! Masih kangen, nih!” Suara seorang pria menyahutinya. Kurasakan bumi kupijak seolah ambruk, langit-langit rumah jatuh menghantam tubuhku. Aku lemas kehilangan tenaga, tungkai kaki tak mampu menahan bobot tubuh. Pandanganku berkunang-kunang, lalu
*****“Enyah dari hadapanku! Sebelum aku khilap! Pergi kau!” lirihku pelan, hampir tak terdengar. Kubuang pandangan agar tak bersetatap dengan perempuan jal*ng itu.“Kau pikir aku suka menunjukkan wajahku padamu? Kau pikir aku sudi melihat wajah sangar, hitm, dekilmu itu! Jujur, aku sudah sangat muak! Kau telah menipuku selama ini! Aku ke sini hanya untuk mendapat talakmu! Aku ingin cepat melepas statusku sebagai istrimu!” Ninda mencercaku.“Menipumu? Menipu apa maksudmu?” Suaraku meninggi, tatapanku nyalang menatapnya.“Ya, kau menipuku! Kau bilang dulu akan membahagiakan aku setelah kita menikah. Kau bilang aku tak akan pernah tak tersenyum. Tapi apa buktinya? Kau malah menyeretku ke dalam penderitaan. Kau menyematkan status baru padaku, orang misk*n! Kau tempatkan aku di rumah kontrakan kumuh itu! Kau tak pernah memberiku uang lebih untuk kugunakan membeli keperluanku. Kau … kau … penipu!”“Sejak awal kau tahu kalau aku ini hanya seorang kuli bangunan. Kau juga tahu berapa gaji
*****“Stop, di sini, Bang!” ucapku menghentikan abang ojek yang kutumpangi di depan sebuah rumah. Rumah Bang Galih, abang sulungku. Terpaksa rumah itu yang kutuju setelah bebas dari penjara, bukan rumah ibu. Ibu sudah meningggal lima tahun yang lalu, dua tahun setelah aku menjalani hukuman di dalam penjara.Sejak kematian Ibu, Bima terpaksa ikut dengan Bang Galih. Itu sebab aku datang ke sini. Anakku adalah tujuan utamaku. Entah bagaimana rupa dan perwakannya sekarang. Dulu, Ibu sering membawanya saat menjengukku di dalam penjara. Namun, sejak ibu tiada aku tak pernah dijenguk oleh siapapun lagi. Bang Galih mungkin sangat sibuk. Sedang kedua kakak perempuanku, sepertinya malu punya adik seorang narapidan*. Suami mereka yang melarang. Begitu yang pernah kudengar. Tak apa, aku tidak sakit hati. Mereka harus lebih mengutamakan keutuhan rumah tangganya daripada memikirkan aku, adik bungsu yang tak berguna.“Yang bersih ngepelnya! Liat, nih! Lantainya masih kotor! Pakai matamu! Punya m
*****“Apa, kamu ke sini cuma untuk menjemput Bima?” Bang Galih dan istrinya serempak berseru.Aku mengangguk. “Terima kasih sudah merawat Bima selama ini. Aku tak akan melupakan budi dan jasa kalian,” ucapku menatap Bima. Bocah tujuh tahun itu tetap menunduk.“Kau mau tinggal di mana? Kau mau memberi makan apa? Sudahlah! Tinggal di sini saja dulu!” Bang Galih meragukan keputusanku.“Biar sajalah, Bang! Bara itu laki-laki. Masih muda lagi. Dia pasti bisa cari kerja.” Kak Rosa menyela.“Iya, tapi dia baru saja bebas. Biarlah tinggal di sini dulu beberapa hari sampai dia kembali bisa beradaptasi dengan masyarakat. Menenangkan pikiran dulu, kalau sudah ada kerjaan yang tetap, baru cari kontrakan.” Bang Galih berkeras.Kulihat wajah Kak Rosa berubah masam. Bibir tipisnya bergerak-gerak, mungkin ingin membantah ucapan suaminya tapi takut terjadi perdebatan. Jelas sekali, dia tak senang bila aku tinggal menumpang di sini.“Jangan kuatir, Bang. Kebetulan aku sudah punya kerjaan, kok. Ada
***** “Rosa, tutup mulutmu!” Bang Galih spontan mencengkram dan menghentak lengan istrinya. “Kenapa, Bang! Bara harus tahu hal yang sebenarnya! Jangan nanti dia pikir masih ada bagiannya!” Kak Rosa berkeras. “Tapi bukan sekarang saat yang tepat untuk memberitahu dia! Dia baru saja keluar dari penjara! Kau memang perempuan bermulut le –“ “Sudah, Bang! Cukup!” sergahku menghentikan pertengkaran mereka. “Bara, tolong jangan salah paham! Bisa abang jelaskan, jadi begini ….” “Tak ada yang perlu dijelaskan. Aku sudah sangat paham. Di saat aku terpuruk, kalian malah mengambil kesempatan. Tapi, sudahlah. Aku ihklas kalian menjual tanah warisan itu meski tanpa sepengetahuanku! Aku juga ihklas Abang mengambil bagianku. Setidaknya aku tak merasa berhutang budi lagi pada kalian karena telah merawat anakku selama lima tahun ini. Terima kasih, permisi!” Kuayunkan kaki dengan langkah panjang. Bima sudah menunggu di teras. “Bara … Bara, tunggu! Abang akan mengantar kalian pakai mobil Abang
**** “Bima, kau bisa bicara?” sergahku dengan suara bergetar. Dia menyipitkan kelopak mata, bingung dengan pertanyaanku. “Maaf, kau diam saja sejak bertemu papa, papa kira kau b*su, Nak,” lanjutku mengusap kepalanya. “Aku benci sama Papa. Kenapa lama sekali datangnya? Lukaku udah kering. Papa enggak enggak datang datang juga, kan?” cecarnya langsung menepis tanganku. “Luka?” tanyaku dengan dahi mengernyit. “Hem. Aku mau ngadu sama Papa. Waktu itu perutku berdarah. Kulitnya terkelupas. Sampai lukanya kering, Papa gak pulang-pulang!” “Perut kamu luka karena apa?” Bima terdiam, hanya pandangannya yang menerawang. “Boleh papa lihat, Sayang?” tanyaku mencoba meraih tubuh kurusnya tepat di bagian perut. “Jangan! Udah sembuh!” Lagi-lagi dengan gerkan cepat Bima menepis tanganku. “Aku benci sama Papa! Papa gak ada saat aku butuh Papa. Tapi, aku harus ikut Papa sekarang. Mak Tua bilang, jika Papa pulang, aku tak boleh lagi membuat dia susah. Aku harus pergi bersama Papa. Seben
*****[Kenapa belum datang, Pak Bara? Cepat, saya butuh Bapak sekarang?]Pesan dan Mbak Viona masuk lagi. Ini tak bisa dibiarkan. Kuscroll daftar nomor di kontakku. Kutekan nomor Bang Karmin.“Hallo, Pak Bara, selamat malam! Ada apa malam-malam begini nelpon saya? Ada masalah kah?” Terdengar nada panik dari suaranya. Bang Karmin langsung mengangkat telponku.“Abang segera datang, cepat! Mbak Viona sedang kumat! Jangan pakai lama! Sepuluh menit, lekas!” perintahku.“Viona kumat? Astaga! Bukankah penyakitnya sudah lama sekali tidak kumat? Gimana kumatnya, Pak? Apakah dia menjerit-jerit, pingsan, atau gimana?”“Tak bisa kujelaskan, pokoknya Abang cepat datang kalau tak mau kehilangan dia, cepat!”“Ok, baik! Sepuluh menit aku sudah sampai di situ!”“Hem. Tapi Abang jangan bilang kalau aku yang nelpon Abang! Mbak Viona katanya tak mau diganggu oleh siapapun. Dari tadi dia teriak-teriak enggak jelas. Dia mengunci diri di dalam kamar. Kami takut dia kenapa napa di dalam kamarnya. Sepert
****[Kutunggu di kamarku malam ini, atau videonya kukirim ke nomor Kak Asya!]Kubaca sekali lagi pesan yang dikirim Mbak Viona lewat aplikasi WA. Perempuan ini benar-benar sudah tidak waras. Dia berusaha agar akupun bertindak tidak waras seperti dia. Tidak, Viona! Kau tak bisa mengancam aku!“Bima, udah makannya? Kalau udah, yuk, belajar sebentar, lalu bobok!” kataku tak menghiraukan pesan perempuan itu.“Udah, Pa! Eeem, Bima mau belajar sama Mama, ya? Bobok juga sama Mama,” ujarnya memohon. Sontak aku dan Asya saling tatap.“Enggak bisa, dong! Bima, kan udah disediakan kamar sendiri!” Mbak Viona yang langsung menjawab. “Mama Asya sama Papa, masih pengantin baru, mereka enggak boleh diganggu. Bima boboknya sendiri aja, ya!” imbuhnya lagi. Bima terdiam dengan wajah murung. Sepertinya dia kecewa dengan jawaban Mbak Viona.“Enggak apa-apa, kok, Bima bobok bareng Mama aja! Yuk, sekarang ita belajar dulu!” kata Asya membuat Bimaku langsung semringah. “Hore … terima kasih, Ma! Bima
*****“Hallo … halllo Mbak Viona … Hallo …!” Tak sadar aku berteriak di ponselku.Perempuan sakit itu sudah memutusnya. Rasanya tak percaya dengan apa yang aku dengar. Bagaiamna bisa aku tidur dengan Viona tadi pagi. Astaga! Ini kiamat! Bagaimana ini? Bagaimana kalau sampai Asya tahu hal ini. Gawat gawat! Kok bisa sih, aku meniduri perempuan itu?Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin itu terjadi. Sama sekali aku tak pernah tertarik pada gadis itu selama ini. Dekat saja dengannya aku ogah. Apalagi kalau sampai menidurinya. Dia pasti ngarang! Perempuan itu sakit jiwa. Apapun bisa saja dia bilang, padahal hanya khayalan gilanya.Kebingunganku belum lagi hilang ketika sebuah notif pesan masuk terdengar di gawaiku. Cepat-cepat kuusap layar. Sebuah kiriman video. Dari perempuan sinting itu lagi. Tak selera aku melihat video kirimannya. Tetapi sontak aku tersadar, bukankah barusan dia bilang akan mengirim ke nomorku video rekaman kami tadi pagi? Astaga! Kalau videonya ada, berarti kej
*****“Aawww … sakit ….” Sontak kuhentikan gerakanku. Jerit kecil yang terdengar dari bibir Asya adalah keanehan paling parah yang kuarasakan. Benar, sejak awal aku merasakan ada yang berbeda dengan yang kami alkukan tadi malam.Tadi malam, semua berjalan lancar. Kami menyatu dengan begitu gampang. Tapi pagi ini, kurasakan milik Asya sangat berubah. Begitu sulit untuk kemasuki, terasa begitu sempit dan puncaknya adalah jerit kesakitannya barusan.Apa sebenarnya ini? Aku kebingungan.“Sudah, lanjutkan!” bisiknya setelah beberapa detik kami berdiam diri. Kulihat dia menggigit bibir bawahnya. Kusaksikan tangannya mencengkram akin seprei tempat tidur ini. Ini bukan sandiwara, Asyaku sepertinya benar benar kesakitan.Kenapa sakitnya sekarang? Bukankah harusnya tadi malam?“Sayang … sakit banget, ya?” tanyaku kebingungan.“Enggak, kok. Aku bisa nahan. Abang teruskan saja!” jawabnya pelan.“Tapi, kamu ….” sergahku masih belum paham.“Aku enggak apa-apa. Menurut beberapa referensi yang k
POV Bara****“Bang … Abang ….”Samar kudengar suara merdu itu memanggil namaku. Kurasakan belaian halus di lenganku. Entah aku masih berada di alam mimpi, atau alam nyata. Yang kurasakan adalah lega dan bahagia yang membuncah di dalam dada.“Bangun, dong! Udah siang banget! Sekarang udah hampir jam sepuluh, loh! Masa kita bobok gak bangun-bangun, sih?” Suara merdu itu kudengar mulai mengoceh. Kupaksa memori otakku untuk bekerja maksimal. Kucoba mengumpulkan nyawa yang belum kembali sepenuhnya. Siluet siluet kejadian kemarin melintas seketika. Saat aku mengucapkan kalimat sakral, lalu disambut dengan teriakan ‘SAH’ dari para hadirin. Menyalam para tamu undangan, lalu tadi malam ….“Sya …?” sontak kubuka kedua netra lebar-lebar. Sekarng aku sudah ingat semuanya, aku sudah menikah kemarin, aku sudah sah menjadi seorang suami lagi. Asya, gadis yang begitu kudamba telah sah menjadi milikku. Dan tadi malam ….Kami sudah melewati malam pertama yang begitu melenakan.“Iya, Abang? Kok,
****“Jangan takut, Pak Bara …,” bisikku pelan. Kurasakan hentakan nafasnya semakin tak normal. Kadang memburu kadang lemas seolah tak berdaya. Kuintenskan sentuhan jemariku di titik kelemahannya. Wajahnya kian memarah, mata sayunya mulai terpejam. Dia mulai terhanyut, dan hilang dalam gelisah yang kian menyiksa.Pak Baraku mulai dicekik hasrat, aku tau pasti bagaimana sistem kerja pil yang telah dia teguk melalui kopi susu hangat itu. Saat ini, yang dibutuhkan olehnya hanyalah pelampiasan. Sama seperti yang dialami oleh Bang Karmin dulu, saat pertama kali aku harus memaksanya melakukan itu. Jika aku tidak nekat menjeratnya dengan pil itu, tentu hingga detik ini dia tak akan pernah menyentuhku.Dan kali ini adalah giliran Pak Baraku. Pria tampan super dingin yang selalu menolakku. Pria miskin tapi begitu sombong, yang tega menyakiti hatiku lalu menikahi kakakku! Tapi, maaf, pak Bara. Aku Viona, aku tak akan pernah mau kalah. Aku punya seribu cara untuk menaklukkanmu!“Sya … As
****“Mbak Viona?” Pak Bara tergagap, dia kucek berulang-ulang kedua netranya. Terlihat jelas kalau dia masih dilanda kantuk yang teramat berat. Astaga, pria ini tetap saja terlihat sangat tampan meski dia baru bangun tidur. Bahkan kelopak matanya belum terbuka sempurna. Dia tampak masih begitu lesu karena nyawanya belum berkumpul sepenuhnya. Tetapi pesonanya …. Aaaahk, Pak Bara … kau membuatku semakin mabuk kepayang saja.“Mbak Vi!” panggilnya lagi menyebut namaku.“I-iya, saya, Pak.” Tersadar aku dari lamunanku. Namun hanya sesaat. Selanjutnya aku sudah bisa menguasai diri kembali. Akting hebatku akan segera kumulai lagi.“Baru bangun, nih, ceritanya? Tadi malam pasti melelahkan sekali, ya, sampai sampai gak bisa bangun padahal udah lewat subuh,” godaku membuat pria itu salah tingkah.“Ti-tidak juga. Ini, udah pagi, ya? Mbak Vi, ngapain ke sini?” tanyanya keheranan.“Ssst! Jangan berisik, nanti Kak Asya terbangun, kasihan dia, sepertinya capek banget ngikutin resepsi semalam, di
*****“Selamat menikmati malam pertamanya, ya! Semoga suka kamarnya!” ucapku menyalam dan memeluk Kak Asya. Aku yang memilih hotel ini untuk tempat ijab kabul dan resepsi pernikahan istimewanya. Aku juga yang memilihkan kamar ini untuk tempat mereka melewati malam pertama. Usai resepsi, mereka akan melangsungkan bulan madu. Kupersiapkan semaksimal mungkin. Termasuk rencana cantik di balik semuanya.Kulihat kedua matanya berkaca-kaca. Bibirnya mengucapkan kalimat terima kasih yang tiada terkira. Kakakku yang sangat baik. Kakakku yang selalu beruntung dalam hidupnya. Tidak tahukah kau aku sangat iri padamu?“Terima kasih, Vi! Kamu baik banget. Kakak janji, nanti, kalau kamu nikah, kakak akan melakukan hal yang sama buat kamu! Cepat nyusul, ya!” Dia mengucap doa.Doamu akan segera terkabul, Kak Asya. Kau lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya. Obat penenang yang kau suruh aku konsumsi setiap hari itu memang sangat berguna. Obat itu mampu menenangkan emosiku. Aku tak lagi meledak
****“Sya …!” panggilku dengan suara serak. Aku berusaha menghalau rasa kantuk ini. Kepala ini rasanya berat sekali. Kedua kelopak mata seolah direkatkan dengan lem. Ini aneh sekali. Baru saja kami baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba diserang kantuk berat? “Sayang?” gumamku lagi membelai pipi wanita yang tadi pagi sudah sah sebagai istriku itu. Aku sudah berhak menyentuhnya, harusnya. Mestinya malam ini kami bisa melewati malam ini dengan penuh cinta. Tetapi, tak bisa. Kami tergelatak diserang rasa kantuk yang luar biasa.“Sya ….” gumamku lirih. Tak ada sahutan. Asya seperti sudah benar-benar tertidur. Suara dengkurnya bahkan sudah terdengar halus. Kupikir itu karena kami begitu kelelahan menjani resepsi pernikahan seharian tadi.“Sayang? Kita bobok dulu, nih, ceritanya?” tanyaku melepas pelan gelas dari tangannya. Kuletakkan di atas nakas dengan cara memanjangkan jangkauan tanganku. Hampir saja gelas itu terlepas, karena tenagaku juga benar-benar sudah lenyap. Aku juga sudah diland