Home / Romansa / Daster Buat Istriku / Bab 2. Istriku Minta Talak Saat ku Mendekam Di Penjara

Share

Bab 2. Istriku Minta Talak Saat ku Mendekam Di Penjara

Author: Helminawati Pandia
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

*****

“Ebbba ba ba babaaa  …. Eeeebababa  ba ba ba ….” 

Samar kudengar suara celoteh bayi di antara tawa cekikikan manja istriku. Hatiku yang sempat panas, berangsur dingin. Lega luar biasa. Pikiran buruk dan curiga yang  tadi melintas segera sirna. Bayangan Ninda tengah bergelut dengan pria lain, lenyap bagai disapu angin.  Hati sejuk seketika. Ternyata istriku tengah bercanda dengan bayi kami.

Eh, tapi tunggu! Motor di teras itu, punya siapa? Apakah punya tetangga? Tak mungkin tetangga menaruh motornya di teras rumahku. Lalu, siapa?

“Udah, dong, ih, bayiku ngeliatin, tuh, malu, tau?”

Deg!

Darahku kembali berdesir. Suara manja disertai cekikian Ninda kembali terdengar. 

“Sekali lagi, Sayang. Mumpung suami kamu masih kerja! Boleh, ya! Masih kangen, nih!” Suara seorang pria menyahutinya.

Kurasakan bumi kupijak seolah ambruk, langit-langit rumah  jatuh menghantam tubuhku.  Aku lemas kehilangan tenaga, tungkai kaki tak mampu menahan bobot tubuh. Pandanganku berkunang-kunang, lalu gelap. Daster dalam kresek terjatuh dari tangan tanpa kusadar.

“Ya, udah, tapi agak cepat temponya, biar cepat tuntas. Bayiku mau nen*n itu!” Suara perempuan mur*han itu kembali terdengar. Mengiris habis  serpihan hatiku.

“Iya, aku juga masih haus, Sayang! Janji, deh, enggak akan aku hisap habis! Aku sisain kok, buat bayi kamu. Enggak apa-apa berbagi sama bayi kamu, aku ihklas. Tapi kalau berbagi dengan suami kamu, kok, aku enggak ihklas, ya, hehehe ….” 

Kedua tanganku mengepal.  Kuedarkan pandangan ke sekitar. Tak ada benda apapun yang bisa kujadikan senjat* sekarang. Kurogoh  bilik tas kerja usangku. Sebuah benda dingin bergagang tergenggam kini di tanganku. 

“Sayang …, cepat, lebih cepat! Iya, begitu!” Suara menjijikkan Ninda terdengar seperti sengatan listrik ribuan volt di gendang telinga.

Baik,  sekarang saatnya. Tak ada lagi yang perlu kutunggu. Tak ada apapun yang perlu kupikirkan. Darahku sudah menggelegak, serasa naik hingga  ke ubun-ubun.

Aku merasa seperti ditelanjangi, lalu dicelupkan ke dalam kubangan lumpur panas. Gelegak panas itu melahap habis tubuhku. Sakit … sakit hatiku saat mendengar desah nikmat istriku. Perempuan yang telah kuhalalkan tiga tahun lalu. Mend*s*h sebegitu li*rnya di kamarku. Bersama seorang pria yang telah menginjak-injak harga diriku.

Gemetar aku berusaha bangkit, lalu dengan masih sempoyongan aku berjalan perlahan menuju kamar. Kamar yang telah disulap istriku menjadi peraduan maksiat.

Kukumpulkan segenap kekuatan.  Agar tak pingsan saat menyaksikan tubuh perempuan jal*ng itu sedang dinikmati oleh pasangan durjan*nya. Aku kuat, aku kuat, sekali lagi aku menghipnotis diriku, aku kuat.

Dengan langkah tegap, kini aku telah berdiri di depan pintu kamar. Pintu yng terbuat dari triplek sederhana itu kutatap dengan kalap.  Hitungan detik, daun pintu kuterjang dengan sekuat tenaga.

Nanar tatapan kuedarkan. Pemandangan di dalam sana teramat menjijikkan. Ranjang suci kami telah berubah menjadi kubangan dosa  maksiat. Ini terlalu menyakitkan. Gelap, tiba-tiba pandanganku gelap. Dan semua terjadi di luar kendaliku.

*

“Ambulan! cepat telepon ambulan!”

“Kelamaan! Larikan saja dengan motor, cepat!”

“Mobil! Larikan dengan mobil siapa pun, boleh, cepat!”

“Iya, dar*hnya terlalu banyak keluar! Jangan sampai  nyawa mereka tak terselamatkan.”

“Amankan si Bara! Apapun yang terjadi kita harus membela dia! Dia hanya mempertahankan harga dirinya!”

“Iya, kita semua sebagai saksi, kalau Bara tak bersalah!”

Semua teriakan-teriakan itu terdengar samar di telingaku. Entah di mana aku ini, apa yang terjadi, kenapa ribut sekali? Ada apa ini?

“Oooowa … ooowaaaaa … oooowaaaaa …!”

Tangis bayi itu sontak mengembalikan kesadaranku.

“Bima!” panggilku spontan sambil membuka kedua mata. 

“Dia baik-baik saja! Kamu jangan khawatir!” Seorang wanita menggedong anakku. Istri Pak RT. Sebuah dot berisi susu formula dia berikan ke mulut Bima. Bayi malang itu menghentikan tangisnya.

“Kau baik-baik saja?” Seorang pria yang selalu peduli sudah berjongok di sebelahku. Bang Ramli, mandor di tempat kerjaku.  Keenam teman-teman sesama kuli bangunan pun sudah menglilingiku. Tatapan iba mereka kutangkap dengan jelas.

“Kau nekat, kenapa kau puk*li kepala mereka dengan martil itu?”   Bang Ramli berbisik di dekat telingaku.

Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba terdengar suara sirene. Semua warga saling bertatapan.

“Siapa yang lapor polisi?” teriak Bang Ramli emosi. Suara kasak kusuk ramai terdengar.

Enam anggota berseragam masuk. Memintaku berdiri dan mengikuti mereka masuk ke dalam mobil jemputan.  Seketika terdengar suara riuh warga. Mereka menolak polisi membawaku. Berbagai pembelaan mereka lontarkan.  Namun, usaha mereka sia-sia. Aku tetap dibawa.

“Titip anakku, sampai keluargaku  datang,”  pintaku kepada Bu RT.

“Jangan khawatir, kami akan menjaga dan merawatnya.” Bu RT meyakinkanku.

“Pastikan yang mengambilnya nanti adalah keluargaku, bukan keluarga istri terkut*k itu!” imbuhku. Hatiku sedikit lega.  Semoga Bima baik-baik saja. “Anakku, papa pergi dulu,” bisikku seraya mengecup keningnya.

**

“Laki-laki yang kau aniya itu masih sekarat. Tapi jangan khawatir, istrimu sudah selamat! Luka memar di kepalanya tidak terlalu parah. Kabarnya dia sudah boleh meninggalkan rumah sakit tadi pagi. ” Bang Ramli datang menjengukku  siang ini.

Aku tersenyum dingin.

“Harusnya aku menggunakan senj*t* taj*m! Sayang sekali aku tak menemukannya saat kejadian itu. Terlalu lama kurakasan untuk mencari benda itu di dapur. Sekarang, perempuan sund*l itu malah makin senang hidupnya. Dia pasti merasa begitu puas melihatku di penjara,” ucapku menahan geram dan kecewa.

“Tentu saja!”  Seseorang menyahut dari arah kanan.

Sontak  aku dan Bang Ramli menoleh ke sana. “Ninda?” gumam kami hampir bersamaan.

Perempuan itu melenggang, berjalan kian dekat ke arah kami. Seorang pria berpakaian rapi mengiring di belakangnya.

“Halo, Bang Bara! Kamu sehat? Bagaimana rasanya tidur di lantai hanya beralaskan selembar tikar tipis, ha? Dingin?” Ninda mengejekku. Tak hanya bibirnya, bahkan matanya, hidungnya, dagunya, semuanya  ikut menertawakanku.

“Puih!” semburan ludahku tepat mengani wajahnya.

Perempuan itu tersenyum sinis.  Meraih tisyu dari dalam tas sandangnya, lalu menyeka kering semburan ludahku di wajahnya.  Perempuan yang dulu  sangat cantik itu, kini tampak seperti penampakan nenek sihir di mataku. 

“Ini pengacaraku, sekaligus pengacara Mas Reno.” Bibir perempuan itu menyebut nama kekasihnya. Kini aku tahu, nama laki-laki itu adalah Reno. Seorang pria asing yang belum kutahu asal usulnya. Bagaimana bisa tiba-tiba dia ada di hati istriku? Kenapa aku kecolongan?

“Maaf, Bang! Sejujurnya aku kasihan padamu! Gak tega ngeliat kau mendekam di penjara seperti ini. Tapi, gimana, kau telah mencoba meleny*pkan nyawaku, bukan? Juga nyawa Mas Reno. Jadi, rasa ibaku menguap! Kami akan menuntutmu dengan hukuman semaksimal mungkin! Tapi sebelum itu, aku ke sini untuk meminta talak darimu! Tolong talak aku sekarang!”

Ninda berucap dengan begitu tenangnya.

Tuhan, kenapa perempuan ini tidak mat* saja?

*****

Bersambung

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Kecek Kito
manttttttttttttttttttttttttttttttaaappp
goodnovel comment avatar
Agus Irawan
hai kak Mampir juga ke Novelku. judul" Kembang Desa Sang Miliarder" pena" Agus Irawan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Daster Buat Istriku   Bab 3. Kutukar Talak Dengan Anakku

    *****“Enyah dari hadapanku! Sebelum aku khilap! Pergi kau!” lirihku pelan, hampir tak terdengar. Kubuang pandangan agar tak bersetatap dengan perempuan jal*ng itu.“Kau pikir aku suka menunjukkan wajahku padamu? Kau pikir aku sudi melihat wajah sangar, hitm, dekilmu itu! Jujur, aku sudah sangat muak! Kau telah menipuku selama ini! Aku ke sini hanya untuk mendapat talakmu! Aku ingin cepat melepas statusku sebagai istrimu!” Ninda mencercaku.“Menipumu? Menipu apa maksudmu?” Suaraku meninggi, tatapanku nyalang menatapnya.“Ya, kau menipuku! Kau bilang dulu akan membahagiakan aku setelah kita menikah. Kau bilang aku tak akan pernah tak tersenyum. Tapi apa buktinya? Kau malah menyeretku ke dalam penderitaan. Kau menyematkan status baru padaku, orang misk*n! Kau tempatkan aku di rumah kontrakan kumuh itu! Kau tak pernah memberiku uang lebih untuk kugunakan membeli keperluanku. Kau … kau … penipu!”“Sejak awal kau tahu kalau aku ini hanya seorang kuli bangunan. Kau juga tahu berapa gaji

  • Daster Buat Istriku   Bab 4. Saat Aku di Penjara Anakku Jadi Babu

    *****“Stop, di sini, Bang!” ucapku menghentikan abang ojek yang kutumpangi di depan sebuah rumah. Rumah Bang Galih, abang sulungku. Terpaksa rumah itu yang kutuju setelah bebas dari penjara, bukan rumah ibu. Ibu sudah meningggal lima tahun yang lalu, dua tahun setelah aku menjalani hukuman di dalam penjara.Sejak kematian Ibu, Bima terpaksa ikut dengan Bang Galih. Itu sebab aku datang ke sini. Anakku adalah tujuan utamaku. Entah bagaimana rupa dan perwakannya sekarang. Dulu, Ibu sering membawanya saat menjengukku di dalam penjara. Namun, sejak ibu tiada aku tak pernah dijenguk oleh siapapun lagi. Bang Galih mungkin sangat sibuk. Sedang kedua kakak perempuanku, sepertinya malu punya adik seorang narapidan*. Suami mereka yang melarang. Begitu yang pernah kudengar. Tak apa, aku tidak sakit hati. Mereka harus lebih mengutamakan keutuhan rumah tangganya daripada memikirkan aku, adik bungsu yang tak berguna.“Yang bersih ngepelnya! Liat, nih! Lantainya masih kotor! Pakai matamu! Punya m

  • Daster Buat Istriku   Bab 5. Keluarga Juga Menghancurkanku

    *****“Apa, kamu ke sini cuma untuk menjemput Bima?” Bang Galih dan istrinya serempak berseru.Aku mengangguk. “Terima kasih sudah merawat Bima selama ini. Aku tak akan melupakan budi dan jasa kalian,” ucapku menatap Bima. Bocah tujuh tahun itu tetap menunduk.“Kau mau tinggal di mana? Kau mau memberi makan apa? Sudahlah! Tinggal di sini saja dulu!” Bang Galih meragukan keputusanku.“Biar sajalah, Bang! Bara itu laki-laki. Masih muda lagi. Dia pasti bisa cari kerja.” Kak Rosa menyela.“Iya, tapi dia baru saja bebas. Biarlah tinggal di sini dulu beberapa hari sampai dia kembali bisa beradaptasi dengan masyarakat. Menenangkan pikiran dulu, kalau sudah ada kerjaan yang tetap, baru cari kontrakan.” Bang Galih berkeras.Kulihat wajah Kak Rosa berubah masam. Bibir tipisnya bergerak-gerak, mungkin ingin membantah ucapan suaminya tapi takut terjadi perdebatan. Jelas sekali, dia tak senang bila aku tinggal menumpang di sini.“Jangan kuatir, Bang. Kebetulan aku sudah punya kerjaan, kok. Ada

  • Daster Buat Istriku   Bab 6. Terlunta-lunta di Jalanan

    ***** “Rosa, tutup mulutmu!” Bang Galih spontan mencengkram dan menghentak lengan istrinya. “Kenapa, Bang! Bara harus tahu hal yang sebenarnya! Jangan nanti dia pikir masih ada bagiannya!” Kak Rosa berkeras. “Tapi bukan sekarang saat yang tepat untuk memberitahu dia! Dia baru saja keluar dari penjara! Kau memang perempuan bermulut le –“ “Sudah, Bang! Cukup!” sergahku menghentikan pertengkaran mereka. “Bara, tolong jangan salah paham! Bisa abang jelaskan, jadi begini ….” “Tak ada yang perlu dijelaskan. Aku sudah sangat paham. Di saat aku terpuruk, kalian malah mengambil kesempatan. Tapi, sudahlah. Aku ihklas kalian menjual tanah warisan itu meski tanpa sepengetahuanku! Aku juga ihklas Abang mengambil bagianku. Setidaknya aku tak merasa berhutang budi lagi pada kalian karena telah merawat anakku selama lima tahun ini. Terima kasih, permisi!” Kuayunkan kaki dengan langkah panjang. Bima sudah menunggu di teras. “Bara … Bara, tunggu! Abang akan mengantar kalian pakai mobil Abang

  • Daster Buat Istriku   Bab 7. WTS Penolong

    **** “Bima, kau bisa bicara?” sergahku dengan suara bergetar. Dia menyipitkan kelopak mata, bingung dengan pertanyaanku. “Maaf, kau diam saja sejak bertemu papa, papa kira kau b*su, Nak,” lanjutku mengusap kepalanya. “Aku benci sama Papa. Kenapa lama sekali datangnya? Lukaku udah kering. Papa enggak enggak datang datang juga, kan?” cecarnya langsung menepis tanganku. “Luka?” tanyaku dengan dahi mengernyit. “Hem. Aku mau ngadu sama Papa. Waktu itu perutku berdarah. Kulitnya terkelupas. Sampai lukanya kering, Papa gak pulang-pulang!” “Perut kamu luka karena apa?” Bima terdiam, hanya pandangannya yang menerawang. “Boleh papa lihat, Sayang?” tanyaku mencoba meraih tubuh kurusnya tepat di bagian perut. “Jangan! Udah sembuh!” Lagi-lagi dengan gerkan cepat Bima menepis tanganku. “Aku benci sama Papa! Papa gak ada saat aku butuh Papa. Tapi, aku harus ikut Papa sekarang. Mak Tua bilang, jika Papa pulang, aku tak boleh lagi membuat dia susah. Aku harus pergi bersama Papa. Seben

  • Daster Buat Istriku   Bab 8. Tawaran  Menjadi Pemulung

    “Masuk!” perempuan berbaju seronok itu melebarkan pintu. Tanpa menunggu kami masuk dia langsung menuju salah satu bilik. Sebuah ruangan yang sengaja disekat dengan karton bekas kardus.Kuedarkan pandangan ke dalam rumah. Rumah? Apakah pantas ini disebut rumah? Gubuk, itu lebih tepatnya. Bangunan berukuran kira-kira lima kali sepuluh meter itu berdinding papan yang sudah keropos, berlantai tanah, dan beratap seng yang sudah lapuk. Bahkan bias cahaya bintang mampu menerobos ke dalam rumah, pertanda atap itu sudah bocor di mana mana.Di dalam sana ada tiga bilik yang semuanya hanya berdinding karton bekas kardus. Tak tega rasanya menempatkan Bima tinggal di tempat sekumuh ini. Tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Daripada terlunta-lunta di jalanan, berlindung di gubuk ini masih jauh lebih baik.Begini rasanya menjadi orang yang terbuang. Seperti gelandangan yang tak punya sanak keluarga. Percuma punya sanak saudara. Mereka mlu punya saudara seperti aku yang mantan narapidana. Arrrrgh

  • Daster Buat Istriku   Bab 9. Bertemu Mantan Istri Durjana

    Tidak, aku harus mencari pekerjaan lain yang lebih terhormat. Aku memutuskan.“Ikut enggak? Kami mau berangkat ini. Kalau ikut, ayo! Kamu boleh pinjam pakaian saya. Kata Asri baju-baju kalian dicuri orang, ya?” Pria yang bernama Harjo menawarkan jasa.“Tidak dulu, Bang. Aku akan coba cari kerjaan lain dulu,” jawabku tetap sopan.“Baiklah. Semoga dapat, ya! Kami berangkat duluan.”Aku mengangguk. Segera aku bangkit menuju kamar mandi. Aku harus membersihkan diri dan terlihat rapi untuk mencari pekerjaan nanti.“Pa, Bima mau sekolah hari ini. Udah seminggu enggak diijinin sekolah oleh Mak Tua. Katanya karena Bima sakit, padahal enggak,” tutur Bima menyusulku ke kamar mandi.“Iya, nanti Papa antar ke sekolah kamu, ayo sekalian mandi!”Buru-buru kami menyiapkan diri. Beruntung tas sekolah Bima tidak ikut dilarikan pencuri tadi malam. Seragam sekolah dan buku Bima ada di dalam. Setelah pamit kepada Bu Hindun, kami langsung pergi. Asri sepertinya juga sudaah pergi, entah ke mana. Mungkin

  • Daster Buat Istriku   Bab 10.  Hinaan Mantan Istri Durjana

    “Kamu?” Ninda menatapku tak percaya. Kedua bola mata bagus itu membola.Cantik, perempuan ini terlihat makin cantik saja. Penampilannya bak wanita sosialita. Tak kalah dengan para istri konglomerat. Busana mewah, perhiasan mahal, parfum berkelas dan cara bicara yang arogant. Dia istriku, dulu. Sekarang sudah tak ada rasa. Yang ada hanya sakit hati yang masih meradang di dalam dada. Bukan karena masih cinta, tetapi karena pengkhianatannya membuatku terjerat di dalam penjara dan tercampak pada kehidupan yang begini sakitnya.“Abang udah keluar dari penjara?” tanyanya sambil menepis-nepis ujung gaun mewahnya bekas kutabrak tadi. Sepertinya dia begitu jijik karena sempat bersentuhan dengan pakaianku yang lusuh, kumal, dan kwalitas rendah.“Selamat ya! Em, anak Abang apa kabar? Eh, tapi ngapain Abang di sini? Ini sekolah mahal, lho. Sekolah untuk anak-anak orang terkaya dan terpandang di kota ini. Khusus untuk anak-anak kelas atas. Gak mungkin, kan, abang menyekolahkan anak abang di sini

Latest chapter

  • Daster Buat Istriku   Bab 95. Kukirim Video Mesum Itu ke nomor Kekasih Viona

    *****[Kenapa belum datang, Pak Bara? Cepat, saya butuh Bapak sekarang?]Pesan dan Mbak Viona masuk lagi. Ini tak bisa dibiarkan. Kuscroll daftar nomor di kontakku. Kutekan nomor Bang Karmin.“Hallo, Pak Bara, selamat malam! Ada apa malam-malam begini nelpon saya? Ada masalah kah?” Terdengar nada panik dari suaranya. Bang Karmin langsung mengangkat telponku.“Abang segera datang, cepat! Mbak Viona sedang kumat! Jangan pakai lama! Sepuluh menit, lekas!” perintahku.“Viona kumat? Astaga! Bukankah penyakitnya sudah lama sekali tidak kumat? Gimana kumatnya, Pak? Apakah dia menjerit-jerit, pingsan, atau gimana?”“Tak bisa kujelaskan, pokoknya Abang cepat datang kalau tak mau kehilangan dia, cepat!”“Ok, baik! Sepuluh menit aku sudah sampai di situ!”“Hem. Tapi Abang jangan bilang kalau aku yang nelpon Abang! Mbak Viona katanya tak mau diganggu oleh siapapun. Dari tadi dia teriak-teriak enggak jelas. Dia mengunci diri di dalam kamar. Kami takut dia kenapa napa di dalam kamarnya. Sepert

  • Daster Buat Istriku   Bab 94.  Adik Iparku Gilai Suami Orang

    ****[Kutunggu di kamarku malam ini, atau videonya kukirim ke nomor Kak Asya!]Kubaca sekali lagi pesan yang dikirim Mbak Viona lewat aplikasi WA. Perempuan ini benar-benar sudah tidak waras. Dia berusaha agar akupun bertindak tidak waras seperti dia. Tidak, Viona! Kau tak bisa mengancam aku!“Bima, udah makannya? Kalau udah, yuk, belajar sebentar, lalu bobok!” kataku tak menghiraukan pesan perempuan itu.“Udah, Pa! Eeem, Bima mau belajar sama Mama, ya? Bobok juga sama Mama,” ujarnya memohon. Sontak aku dan Asya saling tatap.“Enggak bisa, dong! Bima, kan udah disediakan kamar sendiri!” Mbak Viona yang langsung menjawab. “Mama Asya sama Papa, masih pengantin baru, mereka enggak boleh diganggu. Bima boboknya sendiri aja, ya!” imbuhnya lagi. Bima terdiam dengan wajah murung. Sepertinya dia kecewa dengan jawaban Mbak Viona.“Enggak apa-apa, kok, Bima bobok bareng Mama aja! Yuk, sekarang ita belajar dulu!” kata Asya membuat Bimaku langsung semringah. “Hore … terima kasih, Ma! Bima

  • Daster Buat Istriku   Bab 93. Rencanaku Melawan Viona

    *****“Hallo … halllo Mbak Viona … Hallo …!” Tak sadar aku berteriak di ponselku.Perempuan sakit itu sudah memutusnya. Rasanya tak percaya dengan apa yang aku dengar. Bagaiamna bisa aku tidur dengan Viona tadi pagi. Astaga! Ini kiamat! Bagaimana ini? Bagaimana kalau sampai Asya tahu hal ini. Gawat gawat! Kok bisa sih, aku meniduri perempuan itu?Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin itu terjadi. Sama sekali aku tak pernah tertarik pada gadis itu selama ini. Dekat saja dengannya aku ogah. Apalagi kalau sampai menidurinya. Dia pasti ngarang! Perempuan itu sakit jiwa. Apapun bisa saja dia bilang, padahal hanya khayalan gilanya.Kebingunganku belum lagi hilang ketika sebuah notif pesan masuk terdengar di gawaiku. Cepat-cepat kuusap layar. Sebuah kiriman video. Dari perempuan sinting itu lagi. Tak selera aku melihat video kirimannya. Tetapi sontak aku tersadar, bukankah barusan dia bilang akan mengirim ke nomorku video rekaman kami tadi pagi? Astaga! Kalau videonya ada, berarti kej

  • Daster Buat Istriku   Bab 92. Kejutan Maksiat Viona

    *****“Aawww … sakit ….” Sontak kuhentikan gerakanku. Jerit kecil yang terdengar dari bibir Asya adalah keanehan paling parah yang kuarasakan. Benar, sejak awal aku merasakan ada yang berbeda dengan yang kami alkukan tadi malam.Tadi malam, semua berjalan lancar. Kami menyatu dengan begitu gampang. Tapi pagi ini, kurasakan milik Asya sangat berubah. Begitu sulit untuk kemasuki, terasa begitu sempit dan puncaknya adalah jerit kesakitannya barusan.Apa sebenarnya ini? Aku kebingungan.“Sudah, lanjutkan!” bisiknya setelah beberapa detik kami berdiam diri. Kulihat dia menggigit bibir bawahnya. Kusaksikan tangannya mencengkram akin seprei tempat tidur ini. Ini bukan sandiwara, Asyaku sepertinya benar benar kesakitan.Kenapa sakitnya sekarang? Bukankah harusnya tadi malam?“Sayang … sakit banget, ya?” tanyaku kebingungan.“Enggak, kok. Aku bisa nahan. Abang teruskan saja!” jawabnya pelan.“Tapi, kamu ….” sergahku masih belum paham.“Aku enggak apa-apa. Menurut beberapa referensi yang k

  • Daster Buat Istriku   Bab 91. Asya Meminta Duluan

    POV Bara****“Bang … Abang ….”Samar kudengar suara merdu itu memanggil namaku. Kurasakan belaian halus di lenganku. Entah aku masih berada di alam mimpi, atau alam nyata. Yang kurasakan adalah lega dan bahagia yang membuncah di dalam dada.“Bangun, dong! Udah siang banget! Sekarang udah hampir jam sepuluh, loh! Masa kita bobok gak bangun-bangun, sih?” Suara merdu itu kudengar mulai mengoceh. Kupaksa memori otakku untuk bekerja maksimal. Kucoba mengumpulkan nyawa yang belum kembali sepenuhnya. Siluet siluet kejadian kemarin melintas seketika. Saat aku mengucapkan kalimat sakral, lalu disambut dengan teriakan ‘SAH’ dari para hadirin. Menyalam para tamu undangan, lalu tadi malam ….“Sya …?” sontak kubuka kedua netra lebar-lebar. Sekarng aku sudah ingat semuanya, aku sudah menikah kemarin, aku sudah sah menjadi seorang suami lagi. Asya, gadis yang begitu kudamba telah sah menjadi milikku. Dan tadi malam ….Kami sudah melewati malam pertama yang begitu melenakan.“Iya, Abang? Kok,

  • Daster Buat Istriku   Bab 90. Kupinjam Suamimu, Kak Asya

    ****“Jangan takut, Pak Bara …,” bisikku pelan. Kurasakan hentakan nafasnya semakin tak normal. Kadang memburu kadang lemas seolah tak berdaya. Kuintenskan sentuhan jemariku di titik kelemahannya. Wajahnya kian memarah, mata sayunya mulai terpejam. Dia mulai terhanyut, dan hilang dalam gelisah yang kian menyiksa.Pak Baraku mulai dicekik hasrat, aku tau pasti bagaimana sistem kerja pil yang telah dia teguk melalui kopi susu hangat itu. Saat ini, yang dibutuhkan olehnya hanyalah pelampiasan. Sama seperti yang dialami oleh Bang Karmin dulu, saat pertama kali aku harus memaksanya melakukan itu. Jika aku tidak nekat menjeratnya dengan pil itu, tentu hingga detik ini dia tak akan pernah menyentuhku.Dan kali ini adalah giliran Pak Baraku. Pria tampan super dingin yang selalu menolakku. Pria miskin tapi begitu sombong, yang tega menyakiti hatiku lalu menikahi kakakku! Tapi, maaf, pak Bara. Aku Viona, aku tak akan pernah mau kalah. Aku punya seribu cara untuk menaklukkanmu!“Sya … As

  • Daster Buat Istriku   Bab 89. Tolong Keluar, Mbak Vi!

    ****“Mbak Viona?” Pak Bara tergagap, dia kucek berulang-ulang kedua netranya. Terlihat jelas kalau dia masih dilanda kantuk yang teramat berat. Astaga, pria ini tetap saja terlihat sangat tampan meski dia baru bangun tidur. Bahkan kelopak matanya belum terbuka sempurna. Dia tampak masih begitu lesu karena nyawanya belum berkumpul sepenuhnya. Tetapi pesonanya …. Aaaahk, Pak Bara … kau membuatku semakin mabuk kepayang saja.“Mbak Vi!” panggilnya lagi menyebut namaku.“I-iya, saya, Pak.” Tersadar aku dari lamunanku. Namun hanya sesaat. Selanjutnya aku sudah bisa menguasai diri kembali. Akting hebatku akan segera kumulai lagi.“Baru bangun, nih, ceritanya? Tadi malam pasti melelahkan sekali, ya, sampai sampai gak bisa bangun padahal udah lewat subuh,” godaku membuat pria itu salah tingkah.“Ti-tidak juga. Ini, udah pagi, ya? Mbak Vi, ngapain ke sini?” tanyanya keheranan.“Ssst! Jangan berisik, nanti Kak Asya terbangun, kasihan dia, sepertinya capek banget ngikutin resepsi semalam, di

  • Daster Buat Istriku   Bab 88. Kujerat Sang  Pengantin Pria

    *****“Selamat menikmati malam pertamanya, ya! Semoga suka kamarnya!” ucapku menyalam dan memeluk Kak Asya. Aku yang memilih hotel ini untuk tempat ijab kabul dan resepsi pernikahan istimewanya. Aku juga yang memilihkan kamar ini untuk tempat mereka melewati malam pertama. Usai resepsi, mereka akan melangsungkan bulan madu. Kupersiapkan semaksimal mungkin. Termasuk rencana cantik di balik semuanya.Kulihat kedua matanya berkaca-kaca. Bibirnya mengucapkan kalimat terima kasih yang tiada terkira. Kakakku yang sangat baik. Kakakku yang selalu beruntung dalam hidupnya. Tidak tahukah kau aku sangat iri padamu?“Terima kasih, Vi! Kamu baik banget. Kakak janji, nanti, kalau kamu nikah, kakak akan melakukan hal yang sama buat kamu! Cepat nyusul, ya!” Dia mengucap doa.Doamu akan segera terkabul, Kak Asya. Kau lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya. Obat penenang yang kau suruh aku konsumsi setiap hari itu memang sangat berguna. Obat itu mampu menenangkan emosiku. Aku tak lagi meledak

  • Daster Buat Istriku   Bab 87. Malam Pertama Gagal Total

    ****“Sya …!” panggilku dengan suara serak. Aku berusaha menghalau rasa kantuk ini. Kepala ini rasanya berat sekali. Kedua kelopak mata seolah direkatkan dengan lem. Ini aneh sekali. Baru saja kami baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba diserang kantuk berat? “Sayang?” gumamku lagi membelai pipi wanita yang tadi pagi sudah sah sebagai istriku itu. Aku sudah berhak menyentuhnya, harusnya. Mestinya malam ini kami bisa melewati malam ini dengan penuh cinta. Tetapi, tak bisa. Kami tergelatak diserang rasa kantuk yang luar biasa.“Sya ….” gumamku lirih. Tak ada sahutan. Asya seperti sudah benar-benar tertidur. Suara dengkurnya bahkan sudah terdengar halus. Kupikir itu karena kami begitu kelelahan menjani resepsi pernikahan seharian tadi.“Sayang? Kita bobok dulu, nih, ceritanya?” tanyaku melepas pelan gelas dari tangannya. Kuletakkan di atas nakas dengan cara memanjangkan jangkauan tanganku. Hampir saja gelas itu terlepas, karena tenagaku juga benar-benar sudah lenyap. Aku juga sudah diland

DMCA.com Protection Status