“Kamu?” Ninda menatapku tak percaya. Kedua bola mata bagus itu membola.Cantik, perempuan ini terlihat makin cantik saja. Penampilannya bak wanita sosialita. Tak kalah dengan para istri konglomerat. Busana mewah, perhiasan mahal, parfum berkelas dan cara bicara yang arogant. Dia istriku, dulu. Sekarang sudah tak ada rasa. Yang ada hanya sakit hati yang masih meradang di dalam dada. Bukan karena masih cinta, tetapi karena pengkhianatannya membuatku terjerat di dalam penjara dan tercampak pada kehidupan yang begini sakitnya.“Abang udah keluar dari penjara?” tanyanya sambil menepis-nepis ujung gaun mewahnya bekas kutabrak tadi. Sepertinya dia begitu jijik karena sempat bersentuhan dengan pakaianku yang lusuh, kumal, dan kwalitas rendah.“Selamat ya! Em, anak Abang apa kabar? Eh, tapi ngapain Abang di sini? Ini sekolah mahal, lho. Sekolah untuk anak-anak orang terkaya dan terpandang di kota ini. Khusus untuk anak-anak kelas atas. Gak mungkin, kan, abang menyekolahkan anak abang di sini
****Aku terpana, begini wujud perempuan bersuara lembut itu rupanya. Cantik, anggun, tenang, dan begitu mempesona. Kukira selama ini, Ninda adalah perempuan paling cantik. Ternyata, Ninda justru tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan wanita ini. Dan aku telah membuatnya tersinggung.“Saya minta maaf, saya tidak tau kalau itu pemberian dari Bu Guru. Saya pikir dari orang asing. Sekali lagi, maaf!” ucapku penuh penyesalan.“Baik, Pak. Tolong simpan nomor saya, ya. Kalau ada apa-apa dengan Bima, Bapak telpon saja saya! Kalau begitu, saya duluan, ya! Bima, jangan lupa pe-er nya, ya, Sayang! Sampai jumpa besok, daaah!”Wanita itu membelai kepala Bima sekali lagi, lalu berjalan ke sebuah mobil yang terparikir tak jauh dari situ. *Pagi ini Bima bangun dengan penuh semangat. Sepertinya dia sangat menyukai sekolah barunya. Atau Bu Guru barunya, entahlah. Tak ada rasa minder terbaca di wajahnya. Aku masih meringkuk di bilik kardus yang sudah dibuatkan oleh ayah Asri untuk kamar kami
****“Jadi, Abang mau pulangin sertifikat itu?” tanya Asri menyerahkan semangkuk bubur nasi kepadaku.“Iya,” sahutku langsung menyendokkan makanan berair itu ke mulutku. Tak ada rasa, hanya segenggam beras dimasak dengan air yang banyak lalu dibubuhi sedikit garam. Lumayan, bisa untuk mengganjal perut hingga siang.“Ini bekal makan siang kamu, Bima.” Asri sudah mengisi sebuah wadah bertutup yang terbuat dari bahan plastik.“Bik, ada wadah lain, enggak?” Bima melirikku seperti menahan rasa takut. Itu karena aku melarangnya untuk protes apapun yang diberikan Asri padanya.“Kenapa dengan wadah itu?” Benar saja, plototan mataku langsung terarah padanya.“Eeem, enggak apa-apa, Pa.” Bima langsung menunduk. Sedikitpun aku tak menyangka kalau perkara wadah itu akan menjadi penyebab masalah besar di sekolahnya kemudian.*“Rajin belajar! Patuh kepada Ibu Guru!” titahku, kuusap kepala Bima sekali lagi sebelum dia masuk ke sekolahnya. “Siap, Pa!” ucapnya meletakkan tangan di pelipis, lal
****“Sudah, Pak. Bahkan saya dan semua orang di rumah ikut mencarinya. Tapi, kami tidak menemukannya, Pak.” Salah satu pria yang mengiring di belakangnya menjawab. Mereka mungkin anak buahnya.“Hancur kita kalau benar dokumen itu hilang. Itu satu-satunya bukti kepemilikan perusahaan. Para pemegang saham akan ragu untuk berinvestasi, bahkan dana yang sudah mereka setor akan mereka tarik kembali, jika aku tak bisa menunjukkan sertifikat asli itu! Aku yakin aku sudah membawanya, aku menaruhnya di dalam tas kerja, lalu kusimpan di lemari cabinet di ruanganku. Tak mungkin aku khilaf!” Pria itu terlihat sangat tegang dan gelisah.Tak ada sahutan. Mereka berhenti di depan sebuah mobil yang terlihat paling mewah. Sebuah Alphard berwarna hitam. Salah seorang langsung mengambil posisi di belakang stir, dan seorang lagi membuka pintu mobil buat pria berjas itu.“Ke mana, Pak?” Yang di belakang stir bertanya.“Menemui Dokter Frans. Aku harus diberi suntikan. Kepalaku rasanya mau pecah! Dadak
****Emosiku mengacaukan akal sehatku. Aku akan meremas mulut perempuan sial itu. Namun, langkahku terhenti demi melihat seorang ibu guru yang langsung bertindak melindungi Bima. Wanita cantik bersahaja, Bu Guru Asya.“Cukup, Bu! Ibu menyakiti dia!” katanya memeluk Bima seraya melepas tangan Ninda dari telinga anakku. Bu Guru Asya mengusap usap kepala Bima dengan penuh kasih sayang. “Eee … eeh! Kamu! Kamu dipecat! Berani kamu melawan saya, ya! Kamu adalah guru pertama yang akan dipecat! Sebentar, aku akan telpon suamiku agar dia lapor sama atasannya, pemilik sekolah ini! Awas kau! Detik ini juga kau akan kehilangan pekerjaanmu!” ancam Ninda seraya mengeluarkan ponsel dari tasnya.“Tolong tenang, dulu, Bu Ninda! Jangan emosi. Kita bicarakan ini baik-baik! Orang tua anak ini juga sudah dalam perjalanan ke sini! Tolong Ibu bersabar, ya! Toh, Steven sudah kita tangani. Darahnya hanya sedikit, kok. Dia baik-baik saja.” Seorang guru laki-laki berusaha menenangkan Ninda.“Bapak juga kep
*** “Pak Dirut? Bapak ke sini? Pasti Bapak ke sini karena sudah mendengar berita kelalaian para guru dan kepala sekolah ini, kan, Pak?” Ninda menghampiri Pak Alatas. “Saya ke sini karena pria ini, Bu Ninda. Saya punya urusan dengannya yang belum selesai,” jawab Pria berdasi itu menoleh ke arahku. Jantungku berdegup tak karuan. Kini aku tahu, ternyata sekolah elit ini milik Pak Alatas. Matilah aku. Pria ini sepertinya akan memaki dan menuduhku mencuri dokumen itu di sini. Di hadapan Ninda. Ya, Tuhan … jangan sampai itu terjadi. Aku akan sangat malu, harga diriku akan hancur lebur. “Oh, iya, Pak Dir. Gelandangan ini telah melakukan kesalahan besar. Dia mengajari anaknya bertindak kriminal di sekolah ini. Anaknya itu sudah menganiaya anak saya. Dia membuat hidung dan bibir anak saya berdarah, Pak,” adu Ninda menunjuk aku dan Bima. Aku terperangah. Terbuat dari apa hati perempuan ini? Bagaimana bisa dia tak luluh, padahal sudah tahu kalau Bima adalah anak kandungnya. “Sebetulnya
**** “Hem,” sahut Reno mengalihkan tatapan dari wajah Bima ke wajahku. Tatapan kamu bertemu. “Kamu? Bukannya kamu Bara? Hey, Sayang! Ini mantan suami kamu, kan? Bukannya dia di dalam penjara?” cecarnya. Kedua matanya membulat sempurna. Semua yang ada di ruangan itu ikut terkejut. Bu Asya menatapku tak percaya. “Iya, Mas! Dia udah mendekam di penjara selama ini. Tapi di enggak kapok juga. Kita beri pelajaran aja lagi. Kirim lagi aja dia ke penjara, sekalian sak anaknya itu, Mas! Stev akan terancam kalau mereka masih berkeliaran. Sepertinya dia dendam sama aku, Mas! Belum move on, jadi anak kita dia jadikan sasaran.” tutur Ninda malah semakin memantapkan hasutan. “Kalian semua lalai menjaga anakku! Dan gelandangan ini! Mantan narapidana ini! Kenapa kalian bisa menerima anaknya untuk bersekolah di sini, hah? Kalian semua akan aku pecat!” Reno mengancam. Suaranya terdengar kencang dan mengelegar. “Gak bisa, Mas. Pak Alatas tadi udah ke sini. Dia malah mengangkat Bang Bara menjadi
**** “Karena pilihan saya adalah kamu! Semoga saya tidak salah pilih.” “Pi – pilihan untuk apa?” “Tak perlu kamu tahu itu! Yang jelas, aku mau kau dampingi aku, pelajari cara memimpin perusahaan ini!” “A-apa?” “Kamu masih muda? Meskipun kamu duda, tak masalah bagiku. Maaf, sejujurnya, anak buahku sudah menyelidiki siapa kau sebenarnya. Aku memerintahkan orangku untuk mencari tahu siapa kau sebenarnya. Dalam tempo setengah jam aku dapat semua info itu hingga yang sekecil-kecilnya. Dan, jujur, kau memenuhi standart yang aku inginkan. Tolong jangan tolak permintaanku!” “Sa-saya belum paham!” “Ya, tak perlu kau paham smeuanya sekarang!” “Oh.” “Kamu pulang, istirahatlah! Besok pagi, jam setengah delapan kita bertemu di sini!” “Ta-tapi?” “Pekerjaanku masih sangat banyak! Kita bertemu besok!” Aku tercekat. Kalimat terakhir sang Dirut adalah perintah agar aku segera keluar. ** “Abang, ada perempuan di luar nyarii Abang! Bangun!” Aku tersentak. Asri masuk ke dalam bilik kar
*****[Kenapa belum datang, Pak Bara? Cepat, saya butuh Bapak sekarang?]Pesan dan Mbak Viona masuk lagi. Ini tak bisa dibiarkan. Kuscroll daftar nomor di kontakku. Kutekan nomor Bang Karmin.“Hallo, Pak Bara, selamat malam! Ada apa malam-malam begini nelpon saya? Ada masalah kah?” Terdengar nada panik dari suaranya. Bang Karmin langsung mengangkat telponku.“Abang segera datang, cepat! Mbak Viona sedang kumat! Jangan pakai lama! Sepuluh menit, lekas!” perintahku.“Viona kumat? Astaga! Bukankah penyakitnya sudah lama sekali tidak kumat? Gimana kumatnya, Pak? Apakah dia menjerit-jerit, pingsan, atau gimana?”“Tak bisa kujelaskan, pokoknya Abang cepat datang kalau tak mau kehilangan dia, cepat!”“Ok, baik! Sepuluh menit aku sudah sampai di situ!”“Hem. Tapi Abang jangan bilang kalau aku yang nelpon Abang! Mbak Viona katanya tak mau diganggu oleh siapapun. Dari tadi dia teriak-teriak enggak jelas. Dia mengunci diri di dalam kamar. Kami takut dia kenapa napa di dalam kamarnya. Sepert
****[Kutunggu di kamarku malam ini, atau videonya kukirim ke nomor Kak Asya!]Kubaca sekali lagi pesan yang dikirim Mbak Viona lewat aplikasi WA. Perempuan ini benar-benar sudah tidak waras. Dia berusaha agar akupun bertindak tidak waras seperti dia. Tidak, Viona! Kau tak bisa mengancam aku!“Bima, udah makannya? Kalau udah, yuk, belajar sebentar, lalu bobok!” kataku tak menghiraukan pesan perempuan itu.“Udah, Pa! Eeem, Bima mau belajar sama Mama, ya? Bobok juga sama Mama,” ujarnya memohon. Sontak aku dan Asya saling tatap.“Enggak bisa, dong! Bima, kan udah disediakan kamar sendiri!” Mbak Viona yang langsung menjawab. “Mama Asya sama Papa, masih pengantin baru, mereka enggak boleh diganggu. Bima boboknya sendiri aja, ya!” imbuhnya lagi. Bima terdiam dengan wajah murung. Sepertinya dia kecewa dengan jawaban Mbak Viona.“Enggak apa-apa, kok, Bima bobok bareng Mama aja! Yuk, sekarang ita belajar dulu!” kata Asya membuat Bimaku langsung semringah. “Hore … terima kasih, Ma! Bima
*****“Hallo … halllo Mbak Viona … Hallo …!” Tak sadar aku berteriak di ponselku.Perempuan sakit itu sudah memutusnya. Rasanya tak percaya dengan apa yang aku dengar. Bagaiamna bisa aku tidur dengan Viona tadi pagi. Astaga! Ini kiamat! Bagaimana ini? Bagaimana kalau sampai Asya tahu hal ini. Gawat gawat! Kok bisa sih, aku meniduri perempuan itu?Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin itu terjadi. Sama sekali aku tak pernah tertarik pada gadis itu selama ini. Dekat saja dengannya aku ogah. Apalagi kalau sampai menidurinya. Dia pasti ngarang! Perempuan itu sakit jiwa. Apapun bisa saja dia bilang, padahal hanya khayalan gilanya.Kebingunganku belum lagi hilang ketika sebuah notif pesan masuk terdengar di gawaiku. Cepat-cepat kuusap layar. Sebuah kiriman video. Dari perempuan sinting itu lagi. Tak selera aku melihat video kirimannya. Tetapi sontak aku tersadar, bukankah barusan dia bilang akan mengirim ke nomorku video rekaman kami tadi pagi? Astaga! Kalau videonya ada, berarti kej
*****“Aawww … sakit ….” Sontak kuhentikan gerakanku. Jerit kecil yang terdengar dari bibir Asya adalah keanehan paling parah yang kuarasakan. Benar, sejak awal aku merasakan ada yang berbeda dengan yang kami alkukan tadi malam.Tadi malam, semua berjalan lancar. Kami menyatu dengan begitu gampang. Tapi pagi ini, kurasakan milik Asya sangat berubah. Begitu sulit untuk kemasuki, terasa begitu sempit dan puncaknya adalah jerit kesakitannya barusan.Apa sebenarnya ini? Aku kebingungan.“Sudah, lanjutkan!” bisiknya setelah beberapa detik kami berdiam diri. Kulihat dia menggigit bibir bawahnya. Kusaksikan tangannya mencengkram akin seprei tempat tidur ini. Ini bukan sandiwara, Asyaku sepertinya benar benar kesakitan.Kenapa sakitnya sekarang? Bukankah harusnya tadi malam?“Sayang … sakit banget, ya?” tanyaku kebingungan.“Enggak, kok. Aku bisa nahan. Abang teruskan saja!” jawabnya pelan.“Tapi, kamu ….” sergahku masih belum paham.“Aku enggak apa-apa. Menurut beberapa referensi yang k
POV Bara****“Bang … Abang ….”Samar kudengar suara merdu itu memanggil namaku. Kurasakan belaian halus di lenganku. Entah aku masih berada di alam mimpi, atau alam nyata. Yang kurasakan adalah lega dan bahagia yang membuncah di dalam dada.“Bangun, dong! Udah siang banget! Sekarang udah hampir jam sepuluh, loh! Masa kita bobok gak bangun-bangun, sih?” Suara merdu itu kudengar mulai mengoceh. Kupaksa memori otakku untuk bekerja maksimal. Kucoba mengumpulkan nyawa yang belum kembali sepenuhnya. Siluet siluet kejadian kemarin melintas seketika. Saat aku mengucapkan kalimat sakral, lalu disambut dengan teriakan ‘SAH’ dari para hadirin. Menyalam para tamu undangan, lalu tadi malam ….“Sya …?” sontak kubuka kedua netra lebar-lebar. Sekarng aku sudah ingat semuanya, aku sudah menikah kemarin, aku sudah sah menjadi seorang suami lagi. Asya, gadis yang begitu kudamba telah sah menjadi milikku. Dan tadi malam ….Kami sudah melewati malam pertama yang begitu melenakan.“Iya, Abang? Kok,
****“Jangan takut, Pak Bara …,” bisikku pelan. Kurasakan hentakan nafasnya semakin tak normal. Kadang memburu kadang lemas seolah tak berdaya. Kuintenskan sentuhan jemariku di titik kelemahannya. Wajahnya kian memarah, mata sayunya mulai terpejam. Dia mulai terhanyut, dan hilang dalam gelisah yang kian menyiksa.Pak Baraku mulai dicekik hasrat, aku tau pasti bagaimana sistem kerja pil yang telah dia teguk melalui kopi susu hangat itu. Saat ini, yang dibutuhkan olehnya hanyalah pelampiasan. Sama seperti yang dialami oleh Bang Karmin dulu, saat pertama kali aku harus memaksanya melakukan itu. Jika aku tidak nekat menjeratnya dengan pil itu, tentu hingga detik ini dia tak akan pernah menyentuhku.Dan kali ini adalah giliran Pak Baraku. Pria tampan super dingin yang selalu menolakku. Pria miskin tapi begitu sombong, yang tega menyakiti hatiku lalu menikahi kakakku! Tapi, maaf, pak Bara. Aku Viona, aku tak akan pernah mau kalah. Aku punya seribu cara untuk menaklukkanmu!“Sya … As
****“Mbak Viona?” Pak Bara tergagap, dia kucek berulang-ulang kedua netranya. Terlihat jelas kalau dia masih dilanda kantuk yang teramat berat. Astaga, pria ini tetap saja terlihat sangat tampan meski dia baru bangun tidur. Bahkan kelopak matanya belum terbuka sempurna. Dia tampak masih begitu lesu karena nyawanya belum berkumpul sepenuhnya. Tetapi pesonanya …. Aaaahk, Pak Bara … kau membuatku semakin mabuk kepayang saja.“Mbak Vi!” panggilnya lagi menyebut namaku.“I-iya, saya, Pak.” Tersadar aku dari lamunanku. Namun hanya sesaat. Selanjutnya aku sudah bisa menguasai diri kembali. Akting hebatku akan segera kumulai lagi.“Baru bangun, nih, ceritanya? Tadi malam pasti melelahkan sekali, ya, sampai sampai gak bisa bangun padahal udah lewat subuh,” godaku membuat pria itu salah tingkah.“Ti-tidak juga. Ini, udah pagi, ya? Mbak Vi, ngapain ke sini?” tanyanya keheranan.“Ssst! Jangan berisik, nanti Kak Asya terbangun, kasihan dia, sepertinya capek banget ngikutin resepsi semalam, di
*****“Selamat menikmati malam pertamanya, ya! Semoga suka kamarnya!” ucapku menyalam dan memeluk Kak Asya. Aku yang memilih hotel ini untuk tempat ijab kabul dan resepsi pernikahan istimewanya. Aku juga yang memilihkan kamar ini untuk tempat mereka melewati malam pertama. Usai resepsi, mereka akan melangsungkan bulan madu. Kupersiapkan semaksimal mungkin. Termasuk rencana cantik di balik semuanya.Kulihat kedua matanya berkaca-kaca. Bibirnya mengucapkan kalimat terima kasih yang tiada terkira. Kakakku yang sangat baik. Kakakku yang selalu beruntung dalam hidupnya. Tidak tahukah kau aku sangat iri padamu?“Terima kasih, Vi! Kamu baik banget. Kakak janji, nanti, kalau kamu nikah, kakak akan melakukan hal yang sama buat kamu! Cepat nyusul, ya!” Dia mengucap doa.Doamu akan segera terkabul, Kak Asya. Kau lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya. Obat penenang yang kau suruh aku konsumsi setiap hari itu memang sangat berguna. Obat itu mampu menenangkan emosiku. Aku tak lagi meledak
****“Sya …!” panggilku dengan suara serak. Aku berusaha menghalau rasa kantuk ini. Kepala ini rasanya berat sekali. Kedua kelopak mata seolah direkatkan dengan lem. Ini aneh sekali. Baru saja kami baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba diserang kantuk berat? “Sayang?” gumamku lagi membelai pipi wanita yang tadi pagi sudah sah sebagai istriku itu. Aku sudah berhak menyentuhnya, harusnya. Mestinya malam ini kami bisa melewati malam ini dengan penuh cinta. Tetapi, tak bisa. Kami tergelatak diserang rasa kantuk yang luar biasa.“Sya ….” gumamku lirih. Tak ada sahutan. Asya seperti sudah benar-benar tertidur. Suara dengkurnya bahkan sudah terdengar halus. Kupikir itu karena kami begitu kelelahan menjani resepsi pernikahan seharian tadi.“Sayang? Kita bobok dulu, nih, ceritanya?” tanyaku melepas pelan gelas dari tangannya. Kuletakkan di atas nakas dengan cara memanjangkan jangkauan tanganku. Hampir saja gelas itu terlepas, karena tenagaku juga benar-benar sudah lenyap. Aku juga sudah diland