Vony tidak bisa lagi menahan air matanya, ia tidak menyangka statusnya akan berubah dalam sekejap mata dengan cara kotor seperti ini. Pun ia tahu kehidupannya akan sangat terbantu oleh imbalan yang diberikan, ia tidak bisa menyembunyikan kegelisahan hati terkecilnya. Kenangan masa kecilnya kembali menyeruak ke permukaan. Tangannya yang bergetar dan berubah sedingin es tidak berhenti memainkan cincin hitam di tangan kirinya untuk mengalihkan kegugupan yang menyeruak dalam raganya.
Entah sudah beberapa kali ia mendongakkan kepala agar air matanya tidak tumpah, napasnya yang terengah-engah dan sedikit tertahan menyita perhatian Mikael. Ia jelas bisa membaca dan memahami reaksi Vony, "Ketakutan terbesarmu masih sama kaya dulu, Von," ucapnya dalam hati.
Mikael lalu menarik telapak tangan 'mempelai' wanitanya itu dan menggenggam lembut tangan Vony dibalik meja Akad. Tatapannya terus menjurus ke depan dimana sang penghulu merapikan posisinya mempersiapkan diri.
Vony tersentak pelan saat tangannya digenggam lembut oleh Mikael. Ia sedikit menoleh ke arah 'calon' suaminya itu dengan tatapan heran sekaligus lega. ‘Mengapa pria ini seolah sudah mengetahui banyak hal tentang dirinya?’ batin Vony.
"Baik, apakah acaranya sudah bisa kita mulai?"
Vony dan Mikael berpandangan sejenak sebelum akhirnya mengangguk bersamaan.
*****
"Nanti aku mau menikah sama kamu aja, Vony," ucap seorang anak laki-laki yang mengayunkan kakinya agar ayunan yang dinaikinya terayun maju dan mundur.
Senyuman di wajah Livony pun pudar, mendadak raut wajahnya berubah menjadi sendu, ayunan yang ia mainkan terayun semakin pelan dan berangsur berhenti. Bocah kecil itu menggeleng pelan, lalu menangis.
Dahi anak lelaki itu berkerut, sembari menyuratkan ekspresi kepanikan, ia bangkit dari ayunannya dan berlutut di depan gadis kecil kesayangannya itu sembari memegangi lututnya, "Kamu ... sedih?" Tidak ada sepatah kalimat pun keluar dari mulut Vony kecil, "Kamu marah ya? Kamu kenapa, Vony?"
Gadis kecil itu berusaha menenangkan dirinya, menyembunyikan sisa tangisnya yang membuatnya semakin sesenggukkan. Ia mengangkat bahunya memberi isyarat bahwa ia pun tidak tahu mengapa ia menangis.
"Aku gak mau menikah, El. Aku gak mau nangis setiap malam kaya mamah."
Suasana pun menjadi hening, belum sempat Mikael membalas perkataannya Livony pun menambahkan, "Ely baik, Ely nemenin aku terus, aku mau sama Ely selamanya. Tapi aku gak mau menikah, aku gak mau kita jadi kaya orang tua kita." Setetes air mata mengalir di pipi Vony yang kemudian disusul dengan senyuman penuh kasih sayang pada wajah Mikael.
Mikael mengacungkan jari kelingkingnya dan mengarahkannya ke arah Vony. "Ely janji bakal temenin Vony! Kita temenan sampai tua, ya?"
Vony mengusap air mata di pipinya, semburat merah bahagia tergambar manis di kedua pipinya. Bibir ranum gadis kecil itu terangkat membentuk sebuah senyuman yang sangat indah di mata Mikael kecil, dalam hati ia berjanji akan menjaga Vony sampai kapanpun itu.
Vony pun menyatukan jari kelingkingnya membentuk sebuah janji kelingking yang melingkari kelingking Mikael, "Selamanya?" tanya Vony.
Mikael mengangguk, "Selamanya, seterusnya. Sampai besok, besoknya lagi, besoknya lagi, gak akan berhenti!"
***
Suara langkah Mikael menggema di koridor-koridor gedung pencakar langit yang dipenuhi cahaya gemerlap. Ponselnya berdering, menyela kesendirian malamnya. Selepas akad dan resepsi private dilangsungkan ia langsung menempati apartemen baru yang akan menjadi tempat tinggal sementaranya bersama Vony.
Sembari melihat sekitar mencari sosok istrinya yang menghilang begitu saja setelah acara resepsi kecil-kecilan di mansion orang tuanya.
Kepala Mikael dipenuhi oleh berbagai pikiran dan renungan. Apakah pilihannya tepat? Apakah rencananya ini terlalu keji dan licik? Apakah Vony dapat bahagia selama masih bersamanya atau justru menderita?
Apakah ia dapat menepati janjinya dengan baik?
Terputar sekelibat memori ketika seorang gadis cilik menarik tangannya dan membawanya pergi menjauh dari rumah saat ia menangisi orang tuanya yang saling membentak dan memaki satu sama lain tanpa henti.
Vony lah gadis kecil itu, gadis yang selama ini ia amati dan lindungi dari jauh. Kematian kedua orang tua Vony menyebar ke seluruh warga tak terkecuali keluarga Abraham, Mikael kecil berusaha mencarinya ke seluruh kompleks namun nihil, gadis penyelamatnya sudah tak terlihat barang sedetikpun.
Hingga takdir mempertemukan mereka, dalam perasaan Mikael yang masih sama, dan ingatan serta realita Vony yang tentu sudah jauh berbeda.
Ia menghela napas panjang mengusir gusar pikirannya sejenak sebelum menekan tombol angkat yang tertera pada layar ponselnya,
"Ya, apa?" angkat Mikael.
"Tuan Mikael, ada satu pertemuan mendesak besok pagi. Ini tentang proyek ekspansi baru,” ujar sang asisten di seberang sambungan telepon.
"Pastikan semua detail sudah tersedia sebelum pertemuan. Saya tidak mau ada kejutan atau sedikitpun kelalaian saat rapat nanti sekalipun semuanya belum terencana dengan baik,” jawab Mikael.
"Baik, Tuan. Ada satu lagi yang perlu saya sampaikan, kita membutuhkan seorang scriptwriter untuk memperkuat daya tarik penjualan kita dalam ramah sosial media. Scriptwriter terakhir pun mulai kewalahan menghadapi seluruh pekerjaan sehingga kinerjanya melemah, konten yang ia buat pun mulai berkurang kualitasnya."
Mikael teringat bahwa Vony merupakan seorang penulis dan bertekat menjadikan istri barunya salah satu kandidat di perusahaannya, "Biar saya urus."
Ponsel ditutup, Mikael melanjutkan langkahnya, namun pandangannya tercuri oleh sosok yang tampak terasing di balkon. Livony Zea, dengan senyuman cerdiknya, menyapanya.
"Hai! Orang asing," sapa Vony dengan suara paraunya yang berusaha ia sembunyikan.
"Kenapa di balkon sendirian? Ingat, selama pernikahan kita belum usai kamu sudah otomatis jadi tanggung jawab saya, Vony."
"I'm fine, Mikael. Cuma butuh udara segar, saya hanya perlu waktu untuk mencerna semua kegilaan ini." Vony menghela napas panjang sebelum melanjutkan,
"Dengar, saya turut bersuka cita atas dipulangkannya orangtuamu dari rumah sakit ... tapi ini jauh melenceng dari rencana dan perjanjian kita.""I know, Von. Saya minta maaf, saya akan mengatasi semua kerumitan ini. Kamu hanya berusaha membantu, saya tidak akan membawamu pada masalah yang lebih rumit ke depannya."
"How, El? Orang tuamu punya penyakit jantung dan bahkan baru pulih dari masa kritisnya? Ini sungguh membuat kepala saya terasa mau meledak tapi saya masih punya hati untuk tidak tiba-tiba membongkar semua kebohongan ini begitu saja." Vony mengusap wajahnya gusar. Ia merasa sangat frustasi pada ranjau kesepakatan yang telah mereka bangun.
"Saya tidak bilang kita akan membongkar semuanya secepat mungkin, Vony. Dalam kesepakatan kita pun jelas terucap kalau semua ini akan berlangsung hingga suasana kembali stabil dan normal. Tolong, bertahan sebentar lagi, saya janji akan mengurus semuanya."
"Seperti seharusnya, El. Saya bahkan tidak mengenalmu sama sekali, apalagi dekat. Sandiwara menyiksa ini akan terasa seperti ribuan tahun bagi saya kalau tidak kamu selesaikan secepat mungkin."
Mikael terdiam, "Tidak akan seburuk itu, Vony. Setidaknya saya bukan lelaki kurang ajar dan berbahaya. Saya berani bersumpah saya tidak memiliki niatan buruk atau apapun itu."
Vony menggeleng dan terdiam untuk beberapa saat, "Tidak sesepele itu, El! Saya bahkan sangat membenci pernikahan itu sendiri sekalipun itu bukanlah sandiwara dan nyata. Lalu sekarang lihat yang sedang saya alami? berdebat dengan 'suami pura-pura' yang sangatlah asing bagi saya."
Dinginnya angin malam mulai menusuk raga Mikael, ia sudah tidak sanggup lagi menutupi semuanya. Namun ia harus bersabar, Vony sedang tidak stabil secara mental saat ini. Pengakuannya hanya akan memperkeruh suasana hati bahkan keseluruhan mentalnya.
"Vony ... tolong dengarkan permintaan saya, kita masuk dan istirahat. Sebagai permintaan maaf, besok akan saya kabulkan apapun keinginanmu selain membatalkan kesepakatan ini. Saya akan tidur di sofa agar kamu bisa istirahat dengan nyaman di atas kasur, okay?"
Tutur kata lembut yang terucap sempat membuat Vony melonggarkan pertahanan dirinya, namun tidak bisa. Biar bagaimanapun Mikael hanyalah laki-laki asing yang bisa mencelakainya kapan saja.
"No need, malam ini aku lebih baik pulang ke rumah. Kamu bisa istirahat di kamarmu sendiri. Saya tidak berminat berada di ranjang yang sama dengan anda. Bisa bisa esok hari seluruh pakaian saya sudah berada di lantai!"
Mikael menggeleng sembari tertawa pelan, "Tempat ini akan menjadi tempat tinggal sementara, lagipula orangtuaku mengirim orang kepercayaan mereka untuk berjaga di bawah. Kamu, bahkan saya masih harus bersikap seperti pasangan suami-istri pada umumnya di luar kamar atau semuanya akan sia-sia." Mikael menjeda, "Lagipula, saya tetap bisa menidurimu meski dengan pakaian yang utuh."
"Mikael ... apa kamu mau mencoba kepalan tangan saya?"
Mikael tertawa renyah melihat raut wajah Vony yang bergidik ngeri, "Bercanda, Vony. Kalau hal itu memang terjadi kamu boleh menjadikan saya samsak kepalan tanganmu itu."
"Oh Tuhan ...." Vony menghela napas panjang sebelum memutuskan, "Fine, kita masuk kamar, tapi kita tidak akan tidur di ranjang yang sama."
Mikael terdiam untuk beberapa saat, ia merasa iba pada Vony. Meskipun tidak ada motif buruk yang ia selipkan dalam pernikahan ini, ia tetap khawatir akan bagaimana jadinya jika situasi ini tercipta dengan seorang lelaki bejat yang akan merusak hidupnya? Ia sangat miris melihat semua perubahan pada hidup Vony hingga berada di titik sekarang ini.
"It's okay, kita lakukan sandiwara ini tanpa membuatmu tertekan lebih jauh, Vony. Itu janji saya."
Percakapan singkat itu meletakkan dasar pertemuan tak terduga mereka, membawa Mikael ke dalam seluk beluk Livony lebih mendalam.
Mereka pun masuk ke dalam kamar dan beristirahat setelah penatnya pernikahan sandiwara yang sedang mereka jalani. Tanpa salah satu diantara mereka tau, hari esok akan menjadi jauh lebih rumit, berbahaya, lebih tepatnya.
Mentari pagi menyinari ruangan kamar Vony dan Mikael, Vony mengerjapkan matanya silau saat Mikael menatapnya dengan senyum yang ... melegakan, tidak asing, dan anehnya menghanyutkan baginya itu. Mikael yang baru saja membuka tirai yang menampilkan view padatnya jalanan dan matahari terbit itu menyapa Vony yang sekarang terduduk sambil mengucap kedua matanya dan menguap itu.Rambutnya yang berantakan, muka naturalnya tanpa make-up tebal namun elegan yang biasa ia kenakan, semua itu memukau Mikael dengan sempurna.‘Cantik,’ batin Mikael, ‘Lucu dan menggemaskan, masih sama seperti dulu.’"Apa liat-liat, El?" Ketus Vony dengan suara paraunya, "Kenapa senyum-senyum gitu? Cantik ya? Tau."Mikael tertawa renyah dan memutar bola matanya pura-pura jengah. Vony dan sarkas penuh percaya dirinya. Sebuah dua kesatuan yang sangat ia rindukan."Waktunya sarapan, istriku.""Najis.""Mending kamu segera mengganti pakaian dan turun bersamaku," perintah Mikael, matahari yang menyinari wajah serta bibir
Mikael memandangi ibunya di depan meja kantornya sekarang, ia mengerjap bingung dengan wajah antusias mamanya yang tidak berhenti membicarakan 'momongan' dari satu jam yang lalu. "Laki-laki dan perempuan ya, El-ku sayang. Mama mohon!"Mikael menelan ludah, bagaimana harus menjelaskan situasinya tanpa bertindak gegabah pada dua orang wanita yang sangat dicintainya, Vony dan Dini-mamanya."Udahlah, Ma ... El baru aja menikah tiga hari yang lalu. El sama Vony juga sudah sepakat untuk menunda momongan. El minta tolong jangan dibahas dulu, apalagi di depan Livony."Dini menggelengkan kepala sambil menggoyangkan jari telunjuknya tanda tidak setuju. "Mana bisa?!" El hanya bisa memijat dahinya kebingungan, "Mama justru ingin anak kembar dari kalian.""Astaga, Mama! Kita sama-sama gak punya garis keturunan kembar, ma! Apalagi ini?" bantah Mikael semakin pusing dibuatnya."Pokoknya mama mau— ehh menantu kesayangan mama!"Mikael menoleh ke arah pintu dan membelalakkan matanya ke arah Livony yan
Mikael tertawa geli mengingat masa lalunya beberapa waktu lalu sebelum menikah dimana rumor bahwa ia adalah seorang penyuka sesama jenis beredar di kantornya sendiri, apalagi jika bukan karena ia yang selalu sendiri di usianya yang cukup matang bahkan sudah lebih dari stabil dalam hal apapun terutama finansial? Tapi yasudahlah, semua sudah berlalu, batinnya. "Heh! Senyam-senyum sendiri. Kemasukan kamu, El?" celetuk Vony. El bergidik ngeri saat melihat tatapan Vony yang seakan ingin membunuhnya, "Kenapa tatapan kamu? Naksir?" "Naksir bayangannya." "Ah mengaku saja lah!" "Ssttt! Aku jadi lupa mau ngomong apa." Livony mengetuk-ngetukkan jari pada dagunya, "Ah, iya!" Ia lalu mengerutkan kedua alisnya dan memelototi Mikael lalu memukul-mukul bahunya dari seberang meja, "Gila kamu ya! Kenapa ga bilang ada tante Dini! Udah mati kutu aku gara-gara kamu padahal niatku cuma kesini karena asistenmu suruh aku interview formalitas atau apalah itu untuk jadi scriptwriter!" Mikael sumringah,
Livony Zea, seorang penulis dengan kepribadian yang garang, 25 tahun, memandang hidup dengan prinsip yang unik dan kuat. Satu hal yang membuatnya memilih untuk menemukan kebahagiaan dalam rencananya yang unik yaitu menua bersama sepuluh kucing dan dua anak hasil adopsi tanpa menikah, semua itu karena ia membenci pria. Menurutnya semua lelaki sama saja, brengsek. Hingga suatu hari, Livony melangkah menuju pusat adopsi hewan dan bertemu seorang CEO muda, dan agak gila. Keduanya tertarik pada seekor kucing yang sama. Himalaya putih dengan mata biru."Saya sudah mengincar kucing seperti ini dari lama untuk diadopsi. Apa urusannya dengan Anda? Silahkan pilih kucing lainnya di sini.""Saya juga tertarik padanya. Kucing ini memiliki daya tarik luar biasa dan saya akan memberikannya untuk keponakan saya sebagai hadiah ulang tahun. Silahkan ikhlaskan kucing ini karena saya akan bayar mahal, saat ini juga."Pertentangan pun dimulai, dengan kucing menjadi simbol persaingan antara dua kepribadia
Mikael tertawa geli mengingat masa lalunya beberapa waktu lalu sebelum menikah dimana rumor bahwa ia adalah seorang penyuka sesama jenis beredar di kantornya sendiri, apalagi jika bukan karena ia yang selalu sendiri di usianya yang cukup matang bahkan sudah lebih dari stabil dalam hal apapun terutama finansial? Tapi yasudahlah, semua sudah berlalu, batinnya. "Heh! Senyam-senyum sendiri. Kemasukan kamu, El?" celetuk Vony. El bergidik ngeri saat melihat tatapan Vony yang seakan ingin membunuhnya, "Kenapa tatapan kamu? Naksir?" "Naksir bayangannya." "Ah mengaku saja lah!" "Ssttt! Aku jadi lupa mau ngomong apa." Livony mengetuk-ngetukkan jari pada dagunya, "Ah, iya!" Ia lalu mengerutkan kedua alisnya dan memelototi Mikael lalu memukul-mukul bahunya dari seberang meja, "Gila kamu ya! Kenapa ga bilang ada tante Dini! Udah mati kutu aku gara-gara kamu padahal niatku cuma kesini karena asistenmu suruh aku interview formalitas atau apalah itu untuk jadi scriptwriter!" Mikael sumringah,
Mikael memandangi ibunya di depan meja kantornya sekarang, ia mengerjap bingung dengan wajah antusias mamanya yang tidak berhenti membicarakan 'momongan' dari satu jam yang lalu. "Laki-laki dan perempuan ya, El-ku sayang. Mama mohon!"Mikael menelan ludah, bagaimana harus menjelaskan situasinya tanpa bertindak gegabah pada dua orang wanita yang sangat dicintainya, Vony dan Dini-mamanya."Udahlah, Ma ... El baru aja menikah tiga hari yang lalu. El sama Vony juga sudah sepakat untuk menunda momongan. El minta tolong jangan dibahas dulu, apalagi di depan Livony."Dini menggelengkan kepala sambil menggoyangkan jari telunjuknya tanda tidak setuju. "Mana bisa?!" El hanya bisa memijat dahinya kebingungan, "Mama justru ingin anak kembar dari kalian.""Astaga, Mama! Kita sama-sama gak punya garis keturunan kembar, ma! Apalagi ini?" bantah Mikael semakin pusing dibuatnya."Pokoknya mama mau— ehh menantu kesayangan mama!"Mikael menoleh ke arah pintu dan membelalakkan matanya ke arah Livony yan
Mentari pagi menyinari ruangan kamar Vony dan Mikael, Vony mengerjapkan matanya silau saat Mikael menatapnya dengan senyum yang ... melegakan, tidak asing, dan anehnya menghanyutkan baginya itu. Mikael yang baru saja membuka tirai yang menampilkan view padatnya jalanan dan matahari terbit itu menyapa Vony yang sekarang terduduk sambil mengucap kedua matanya dan menguap itu.Rambutnya yang berantakan, muka naturalnya tanpa make-up tebal namun elegan yang biasa ia kenakan, semua itu memukau Mikael dengan sempurna.‘Cantik,’ batin Mikael, ‘Lucu dan menggemaskan, masih sama seperti dulu.’"Apa liat-liat, El?" Ketus Vony dengan suara paraunya, "Kenapa senyum-senyum gitu? Cantik ya? Tau."Mikael tertawa renyah dan memutar bola matanya pura-pura jengah. Vony dan sarkas penuh percaya dirinya. Sebuah dua kesatuan yang sangat ia rindukan."Waktunya sarapan, istriku.""Najis.""Mending kamu segera mengganti pakaian dan turun bersamaku," perintah Mikael, matahari yang menyinari wajah serta bibir
Vony tidak bisa lagi menahan air matanya, ia tidak menyangka statusnya akan berubah dalam sekejap mata dengan cara kotor seperti ini. Pun ia tahu kehidupannya akan sangat terbantu oleh imbalan yang diberikan, ia tidak bisa menyembunyikan kegelisahan hati terkecilnya. Kenangan masa kecilnya kembali menyeruak ke permukaan. Tangannya yang bergetar dan berubah sedingin es tidak berhenti memainkan cincin hitam di tangan kirinya untuk mengalihkan kegugupan yang menyeruak dalam raganya.Entah sudah beberapa kali ia mendongakkan kepala agar air matanya tidak tumpah, napasnya yang terengah-engah dan sedikit tertahan menyita perhatian Mikael. Ia jelas bisa membaca dan memahami reaksi Vony, "Ketakutan terbesarmu masih sama kaya dulu, Von," ucapnya dalam hati. Mikael lalu menarik telapak tangan 'mempelai' wanitanya itu dan menggenggam lembut tangan Vony dibalik meja Akad. Tatapannya terus menjurus ke depan dimana sang penghulu merapikan posisinya mempersiapkan diri.Vony tersentak pelan saat tan
Livony Zea, seorang penulis dengan kepribadian yang garang, 25 tahun, memandang hidup dengan prinsip yang unik dan kuat. Satu hal yang membuatnya memilih untuk menemukan kebahagiaan dalam rencananya yang unik yaitu menua bersama sepuluh kucing dan dua anak hasil adopsi tanpa menikah, semua itu karena ia membenci pria. Menurutnya semua lelaki sama saja, brengsek. Hingga suatu hari, Livony melangkah menuju pusat adopsi hewan dan bertemu seorang CEO muda, dan agak gila. Keduanya tertarik pada seekor kucing yang sama. Himalaya putih dengan mata biru."Saya sudah mengincar kucing seperti ini dari lama untuk diadopsi. Apa urusannya dengan Anda? Silahkan pilih kucing lainnya di sini.""Saya juga tertarik padanya. Kucing ini memiliki daya tarik luar biasa dan saya akan memberikannya untuk keponakan saya sebagai hadiah ulang tahun. Silahkan ikhlaskan kucing ini karena saya akan bayar mahal, saat ini juga."Pertentangan pun dimulai, dengan kucing menjadi simbol persaingan antara dua kepribadia