Mikael memandangi ibunya di depan meja kantornya sekarang, ia mengerjap bingung dengan wajah antusias mamanya yang tidak berhenti membicarakan 'momongan' dari satu jam yang lalu.
"Laki-laki dan perempuan ya, El-ku sayang. Mama mohon!"
Mikael menelan ludah, bagaimana harus menjelaskan situasinya tanpa bertindak gegabah pada dua orang wanita yang sangat dicintainya, Vony dan Dini-mamanya.
"Udahlah, Ma ... El baru aja menikah tiga hari yang lalu. El sama Vony juga sudah sepakat untuk menunda momongan. El minta tolong jangan dibahas dulu, apalagi di depan Livony."
Dini menggelengkan kepala sambil menggoyangkan jari telunjuknya tanda tidak setuju. "Mana bisa?!" El hanya bisa memijat dahinya kebingungan, "Mama justru ingin anak kembar dari kalian."
"Astaga, Mama! Kita sama-sama gak punya garis keturunan kembar, ma! Apalagi ini?" bantah Mikael semakin pusing dibuatnya.
"Pokoknya mama mau— ehh menantu kesayangan mama!"
Mikael menoleh ke arah pintu dan membelalakkan matanya ke arah Livony yang masuk tanpa mengetuk pintu saat mamanya tidak melihat kearahnya dan mengisyaratkan 'jangan masuk dulu' dengan tangannya yang bergestur memotong lehernya sambil bergeleng. Mikael tahu betul mamanya pasti akan 'menagih' langsung jika Vony muncul saat ini juga. Dan sayangnya itulah yang terjadi.
"Eh ... ada tante!" sapa Livony gugup, ia melihat ke arah Mikael panik terlebih karena Mikael yang menampilkan senyum mencurigakan dan terpaksa kepadanya.
"Hush! Mama! Panggil tante mama dong, Vony!" sela Dini dengan senyum sumringahnya, ia lalu mengisyaratkan Vony untuk duduk di sebelahnya dengan tangannya.
Vony berjalan gugup ke arah mertuanya itu dengan senyum 'mengancam' yang ia lontarkan pada Mikael karena tidak memberinya aba-aba pada situasi 'aneh' ini. Mikael yang panik dan tampak frustasi berbanding terbalik dengan mamanya yang penuh kebahagiaan. Atau raut-raut mencurigakan bagi Livony, lebih tepatnya. Tersadar akan gestur Mikael yang melarangnya masuk tadi dan berhasil membaca situasi genting ini, Vony lalu berusaha menyelamatkan diri.
"Anu, tante, maaf! Dompet Vony ketinggalan, sebentar ya tante."
Entah mengapa Dini merangkul Livony yang berusaha bangkit dari duduknya satu detik yang lalu seolah membaca gerak-gerik menyelamatkan diri Livony, "Eh, tunggu dulu dong ... sudah dibilang panggil mama Dini!" Wanita paruh baya itu menepuk pundak Livony penuh gurau, "Sini dulu sayang, mama kan baru pertama kali bertemu Vony. Kita ngobrol dulu bertiga ayok! Mama tuh dari dulu ingin sekali anak perempuan asal kamu tahu, eh? Kesampaian juga sekarang mama senang sekali!"
"Ma!" sela Mikael sebelum mamanya melangkah lebih jauh kedalam pembicaraan yang akan membuatnya terbunuh oleh Livony malam ini jika dilanjutkan begitu saja, "El baru inget!"
Dini menoleh dengan tatapan penuh tanya kearah anak tunggalnya itu, "Apa sih, El! Ganggu mama sama anak cewek mama aja kamu ini!"
"Nggak, sebentar!" Mikael lau menoleh ke arah Vony dan mengedipkan sebelah matanya isyarat untuk mengikuti sandiwara yang akan ia lontarkan.
"Sayang ... kamu udah ditunggu home spa sama salon yang udah aku undang di apart!"
“Eh, gabisa gitu dong, El!"
"Sebentar mamaku sayang, El belum selesai ...." El tersenyum berusaha menyembunyikan raut frustasinya, "Kamu harus tampil lebih cantik dan fresh malam ini pokoknya, ya! Kita dinner sama mama malam ini."
Dini menepukkan tangannya senang, "Ohh, jadi kamu sudah mau mempertemukan kita berdua!" Ia lalu tersenyum dan mengambil ponsel berlogo apel keluaran terbaru berwarna gold miliknya, "Sebentar ya, Vony sayang!" Ia lalu menekan tombol dan berbicara.
"Halo, Jeng Dista! Sekarang free ya?" Vony menahan tawa melihat keantusiasan mama mertuanya yang turut serta memesan salon kecantikan untuk 'dinner' yang entah sejak kapan Mikael sediakan nanti malam, terdengar suara di seberang ponsel Dini mengatakan bahwa Jeng Dista sedang luang saat ini.
"Ya udah pokoknya saya mau keriting rambut, spa, nail art, sama make-up untuk nanti malam. Saya kesana sekarang ya, Jeng! Makasih lho!"
'Tut'
"Yaudah, Vony, El! Mama harus ketemu Jeng Dista, kabari mama 'jam-jok'nya ya!"
Dan ... begitu saja urusan pagi mereka kelar karena Dini sudah bangkit dan terburu-buru keluar ruangan secepat kilat. El tersenyum menahan tawa sambil menggeleng-geleng melihat kelakuan mamanya. 'Salon' dan 'Dinner' merupakan salah satu kesatuan yang paling mamanya junjung tinggi sebagai sumber kebahagiaan. Terlebih Dinner dengan menantu yang sudah ia idam-idamkan sejak lama? Tentu tidak perlu diragukan lagi akan se-'heboh' dan meriah apa penampilan dan pembawaannya nanti malam.
Mikael tertawa geli mengingat masa lalunya beberapa waktu lalu sebelum menikah dimana rumor bahwa ia adalah seorang penyuka sesama jenis beredar di kantornya sendiri, apalagi jika bukan karena ia yang selalu sendiri di usianya yang cukup matang bahkan sudah lebih dari stabil dalam hal apapun terutama finansial? Tapi yasudahlah, semua sudah berlalu, batinnya. "Heh! Senyam-senyum sendiri. Kemasukan kamu, El?" celetuk Vony. El bergidik ngeri saat melihat tatapan Vony yang seakan ingin membunuhnya, "Kenapa tatapan kamu? Naksir?" "Naksir bayangannya." "Ah mengaku saja lah!" "Ssttt! Aku jadi lupa mau ngomong apa." Livony mengetuk-ngetukkan jari pada dagunya, "Ah, iya!" Ia lalu mengerutkan kedua alisnya dan memelototi Mikael lalu memukul-mukul bahunya dari seberang meja, "Gila kamu ya! Kenapa ga bilang ada tante Dini! Udah mati kutu aku gara-gara kamu padahal niatku cuma kesini karena asistenmu suruh aku interview formalitas atau apalah itu untuk jadi scriptwriter!" Mikael sumringah,
Livony Zea, seorang penulis dengan kepribadian yang garang, 25 tahun, memandang hidup dengan prinsip yang unik dan kuat. Satu hal yang membuatnya memilih untuk menemukan kebahagiaan dalam rencananya yang unik yaitu menua bersama sepuluh kucing dan dua anak hasil adopsi tanpa menikah, semua itu karena ia membenci pria. Menurutnya semua lelaki sama saja, brengsek. Hingga suatu hari, Livony melangkah menuju pusat adopsi hewan dan bertemu seorang CEO muda, dan agak gila. Keduanya tertarik pada seekor kucing yang sama. Himalaya putih dengan mata biru."Saya sudah mengincar kucing seperti ini dari lama untuk diadopsi. Apa urusannya dengan Anda? Silahkan pilih kucing lainnya di sini.""Saya juga tertarik padanya. Kucing ini memiliki daya tarik luar biasa dan saya akan memberikannya untuk keponakan saya sebagai hadiah ulang tahun. Silahkan ikhlaskan kucing ini karena saya akan bayar mahal, saat ini juga."Pertentangan pun dimulai, dengan kucing menjadi simbol persaingan antara dua kepribadia
Vony tidak bisa lagi menahan air matanya, ia tidak menyangka statusnya akan berubah dalam sekejap mata dengan cara kotor seperti ini. Pun ia tahu kehidupannya akan sangat terbantu oleh imbalan yang diberikan, ia tidak bisa menyembunyikan kegelisahan hati terkecilnya. Kenangan masa kecilnya kembali menyeruak ke permukaan. Tangannya yang bergetar dan berubah sedingin es tidak berhenti memainkan cincin hitam di tangan kirinya untuk mengalihkan kegugupan yang menyeruak dalam raganya.Entah sudah beberapa kali ia mendongakkan kepala agar air matanya tidak tumpah, napasnya yang terengah-engah dan sedikit tertahan menyita perhatian Mikael. Ia jelas bisa membaca dan memahami reaksi Vony, "Ketakutan terbesarmu masih sama kaya dulu, Von," ucapnya dalam hati. Mikael lalu menarik telapak tangan 'mempelai' wanitanya itu dan menggenggam lembut tangan Vony dibalik meja Akad. Tatapannya terus menjurus ke depan dimana sang penghulu merapikan posisinya mempersiapkan diri.Vony tersentak pelan saat tan
Mentari pagi menyinari ruangan kamar Vony dan Mikael, Vony mengerjapkan matanya silau saat Mikael menatapnya dengan senyum yang ... melegakan, tidak asing, dan anehnya menghanyutkan baginya itu. Mikael yang baru saja membuka tirai yang menampilkan view padatnya jalanan dan matahari terbit itu menyapa Vony yang sekarang terduduk sambil mengucap kedua matanya dan menguap itu.Rambutnya yang berantakan, muka naturalnya tanpa make-up tebal namun elegan yang biasa ia kenakan, semua itu memukau Mikael dengan sempurna.‘Cantik,’ batin Mikael, ‘Lucu dan menggemaskan, masih sama seperti dulu.’"Apa liat-liat, El?" Ketus Vony dengan suara paraunya, "Kenapa senyum-senyum gitu? Cantik ya? Tau."Mikael tertawa renyah dan memutar bola matanya pura-pura jengah. Vony dan sarkas penuh percaya dirinya. Sebuah dua kesatuan yang sangat ia rindukan."Waktunya sarapan, istriku.""Najis.""Mending kamu segera mengganti pakaian dan turun bersamaku," perintah Mikael, matahari yang menyinari wajah serta bibir
Mikael tertawa geli mengingat masa lalunya beberapa waktu lalu sebelum menikah dimana rumor bahwa ia adalah seorang penyuka sesama jenis beredar di kantornya sendiri, apalagi jika bukan karena ia yang selalu sendiri di usianya yang cukup matang bahkan sudah lebih dari stabil dalam hal apapun terutama finansial? Tapi yasudahlah, semua sudah berlalu, batinnya. "Heh! Senyam-senyum sendiri. Kemasukan kamu, El?" celetuk Vony. El bergidik ngeri saat melihat tatapan Vony yang seakan ingin membunuhnya, "Kenapa tatapan kamu? Naksir?" "Naksir bayangannya." "Ah mengaku saja lah!" "Ssttt! Aku jadi lupa mau ngomong apa." Livony mengetuk-ngetukkan jari pada dagunya, "Ah, iya!" Ia lalu mengerutkan kedua alisnya dan memelototi Mikael lalu memukul-mukul bahunya dari seberang meja, "Gila kamu ya! Kenapa ga bilang ada tante Dini! Udah mati kutu aku gara-gara kamu padahal niatku cuma kesini karena asistenmu suruh aku interview formalitas atau apalah itu untuk jadi scriptwriter!" Mikael sumringah,
Mikael memandangi ibunya di depan meja kantornya sekarang, ia mengerjap bingung dengan wajah antusias mamanya yang tidak berhenti membicarakan 'momongan' dari satu jam yang lalu. "Laki-laki dan perempuan ya, El-ku sayang. Mama mohon!"Mikael menelan ludah, bagaimana harus menjelaskan situasinya tanpa bertindak gegabah pada dua orang wanita yang sangat dicintainya, Vony dan Dini-mamanya."Udahlah, Ma ... El baru aja menikah tiga hari yang lalu. El sama Vony juga sudah sepakat untuk menunda momongan. El minta tolong jangan dibahas dulu, apalagi di depan Livony."Dini menggelengkan kepala sambil menggoyangkan jari telunjuknya tanda tidak setuju. "Mana bisa?!" El hanya bisa memijat dahinya kebingungan, "Mama justru ingin anak kembar dari kalian.""Astaga, Mama! Kita sama-sama gak punya garis keturunan kembar, ma! Apalagi ini?" bantah Mikael semakin pusing dibuatnya."Pokoknya mama mau— ehh menantu kesayangan mama!"Mikael menoleh ke arah pintu dan membelalakkan matanya ke arah Livony yan
Mentari pagi menyinari ruangan kamar Vony dan Mikael, Vony mengerjapkan matanya silau saat Mikael menatapnya dengan senyum yang ... melegakan, tidak asing, dan anehnya menghanyutkan baginya itu. Mikael yang baru saja membuka tirai yang menampilkan view padatnya jalanan dan matahari terbit itu menyapa Vony yang sekarang terduduk sambil mengucap kedua matanya dan menguap itu.Rambutnya yang berantakan, muka naturalnya tanpa make-up tebal namun elegan yang biasa ia kenakan, semua itu memukau Mikael dengan sempurna.‘Cantik,’ batin Mikael, ‘Lucu dan menggemaskan, masih sama seperti dulu.’"Apa liat-liat, El?" Ketus Vony dengan suara paraunya, "Kenapa senyum-senyum gitu? Cantik ya? Tau."Mikael tertawa renyah dan memutar bola matanya pura-pura jengah. Vony dan sarkas penuh percaya dirinya. Sebuah dua kesatuan yang sangat ia rindukan."Waktunya sarapan, istriku.""Najis.""Mending kamu segera mengganti pakaian dan turun bersamaku," perintah Mikael, matahari yang menyinari wajah serta bibir
Vony tidak bisa lagi menahan air matanya, ia tidak menyangka statusnya akan berubah dalam sekejap mata dengan cara kotor seperti ini. Pun ia tahu kehidupannya akan sangat terbantu oleh imbalan yang diberikan, ia tidak bisa menyembunyikan kegelisahan hati terkecilnya. Kenangan masa kecilnya kembali menyeruak ke permukaan. Tangannya yang bergetar dan berubah sedingin es tidak berhenti memainkan cincin hitam di tangan kirinya untuk mengalihkan kegugupan yang menyeruak dalam raganya.Entah sudah beberapa kali ia mendongakkan kepala agar air matanya tidak tumpah, napasnya yang terengah-engah dan sedikit tertahan menyita perhatian Mikael. Ia jelas bisa membaca dan memahami reaksi Vony, "Ketakutan terbesarmu masih sama kaya dulu, Von," ucapnya dalam hati. Mikael lalu menarik telapak tangan 'mempelai' wanitanya itu dan menggenggam lembut tangan Vony dibalik meja Akad. Tatapannya terus menjurus ke depan dimana sang penghulu merapikan posisinya mempersiapkan diri.Vony tersentak pelan saat tan
Livony Zea, seorang penulis dengan kepribadian yang garang, 25 tahun, memandang hidup dengan prinsip yang unik dan kuat. Satu hal yang membuatnya memilih untuk menemukan kebahagiaan dalam rencananya yang unik yaitu menua bersama sepuluh kucing dan dua anak hasil adopsi tanpa menikah, semua itu karena ia membenci pria. Menurutnya semua lelaki sama saja, brengsek. Hingga suatu hari, Livony melangkah menuju pusat adopsi hewan dan bertemu seorang CEO muda, dan agak gila. Keduanya tertarik pada seekor kucing yang sama. Himalaya putih dengan mata biru."Saya sudah mengincar kucing seperti ini dari lama untuk diadopsi. Apa urusannya dengan Anda? Silahkan pilih kucing lainnya di sini.""Saya juga tertarik padanya. Kucing ini memiliki daya tarik luar biasa dan saya akan memberikannya untuk keponakan saya sebagai hadiah ulang tahun. Silahkan ikhlaskan kucing ini karena saya akan bayar mahal, saat ini juga."Pertentangan pun dimulai, dengan kucing menjadi simbol persaingan antara dua kepribadia