Saat makan malam. Vano makan sambil sesekali tersenyum, hal itu membuat Oma Aruna sampai keheranan karena Vano bersikap tak seperti biasanya.“Apa ada sesuatu yang menggembirakan hari ini?” tanya Oma Aruna sambil memperhatikan Vano.Opa Ansel sampai menoleh ke Vano karena pertanyaan Oma Aruna.Vano memandang ke Oma Aruna yang baru saja bertanya. Dia menggelengkan kepala karena mulutnya masih penuh makanan.“Tidak ada,” jawab Vano, “kenapa Mami tanya seperti itu?” tanya Vano balik.Oma Aruna melirik suaminya yang terlihat penasaran sama dengannya, hingga dia kembali bertanya dengan nada ledekan.“Benar tidak ada kabar baik? Mami lihat kamu sejak tadi senyum-senyum sendiri, bahkan saat pulang tadi juga kamu terlihat sangat senang,” ujar Oma Aruna karena melihat Vano terlihat sangat bahagia sejak pulang tadi.Vano mengunyah makanan saat mendengar ucapan Oma Aruna, tapi tetap mengelak dan tak mengakui ucapan sang mami.“Itu hanya pandangan Mami saja. Aku seperti biasa, memangnya aku suruh
“Kakak Sabrina!”Sabrina dan staff lain terkejut mendengar suara Athalia, apalagi gadis kecil itu tiba-tiba muncul berlari ke arah Sabrina.“Tangkap aku!” teriak Athalia siap melompat ke pangkuan Sabrina.Sabrina terkejut karena Athalia datang secara mendadak. Dia melihat Athalia yang siap melompat, hingga membuat Sabrina langsung menangkap meski agak terdorong hingga membuat kursi yang didudukinya sampai bergerak mundur.Athalia malah tertawa senang karena Sabrina berhasil menangkap tubuhnya.Semua staff terlihat sangat terkejut dan keheranan karena melihat Athalia yang sangat senang sampai melompat seperti itu ke Sabrina.“Kakak Sabrina, lihat gelangku baguskan?” tanya Athalia sambil memperlihatkan gelang di tangannya.Sabrina memperhatikan gelang itu. Hampir mirip dengan miliknya.“Iya, ini bagus sekali,” puji Sabrina agar Athalia senang.“Ini yang kasih Om Vano, lho. Karena kata Om Vano, gelangnya Kakak Sabrina harus dikembaliin,” celoteh Athalia.Sabrina terkejut mendengar ucapan
“Iya, dia bersamaku. Dia tadi tantrum di divisiku, sekarang kami di kantin.”Vano bicara di telepon saat Emily menghubunginya karena bertanya soal Athalia.“Syukurlah, aku baru saja selesai mengurus berkas. Aku akan ke sana menyusul kalian.”Vano mengangguk setelah mendengar ucapan Emily. Dia lantas mengakhiri panggilan dan memandang ke Athalia yang sedang makan.Vano menghela napas, bisa-bisanya Athalia tantrum hanya agar Sabrina mau menemani makan. Dia memperhatikan Athalia makan dan dibantu Sabrina yang menyuapi.“Thalia, besok lagi tidak boleh begitu. Kalau Kakak Sabrina sedang kerja, jangan diganggu,” kata Vano mencoba menasihati.“Aku lapar, Om. Kalau ngajak Kakak Sabrina nggak boleh?” tanya Athalia sambil memandang ke Vano.“Boleh, tapi nunggu Kakak Sabrina selesai kerja dan jangan nangis seperti tadi,” jawab Sabrina ikut bicara.Athalia langsung menoleh saat me
Sabrina masih mencoba mencari file miliknya, tapi hasilnya nihil hingga membuatnya ingin sekali menangis.Vano melihat Sabrina masih berusaha mencari, hingga dia menyadari kalau bola mata Sabrina sudah berkaca-kaca.“Jika memang hilang, ya sudah tidak usah dicari karena percuma,” ucap Vano.Sabrina berhenti menggeser kusor, hingga terlihat lemas dan siap menitikkan air mata karena kerja kerasnya menyusun file itu kini hilang entah ke mana.“Susun lagi file baru,” ucap Vano lagi.Sabrina menoleh ke Vano, lalu membalas, “Itu akan memakan waktu lama, bahkan meski aku lembur semalaman pun tidak yakin selesai atau tidak.”“Daripada kamu mencari? Kalau sudah terhapus, mau kamu cari sampai sehari semalam juga tidak akan ketemu. Jadi, daripada waktumu habis mencari file yang tidak ada, lebih baik kamu susun ulang,” ujar Vano agar Sabrina tidak putus asa.Sabrina terlihat lesu, bahkan sampai meng
Sabrina tidur dengan sangat pulas. Bahkan dia tak sadar jika pagi sudah menyapa, hingga matahari terlihat menyilaukan matanya.Sabrina mengerutkan alis karena terkena sinar matahari yang menembus dinding kaca. Dia melihat jika hari sudah pagi, sampai membuat Sabrina begitu terkejut.“Ya Tuhan, kenapa aku ketiduran sampai pagi?”Sabrina langsung bangun karena ingat datanya belum selesai padahal jam sembilan nanti harus dipresentasikan. Dia melihat Vano yang tidur di singel sofa dengan posisi duduk, Sabrina merasa kasihan dan merasa bersalah karena Vano ikut tidur tak nyaman karena menemaninya.Sabrina mengambil melihat jas yang digunakan Vano untuk selimut kaki jatuh di lantai. Dia mengambilnya lalu menggunakannya untuk menyelimuti kaki Vano lagi.Sejenak Sabrina memandang wajah Vano, dia tersenyum kecil tapi kemudian buru-buru menuju mejanya untuk mengerjakan datanya lagi.Sabrina menyalakan komputernya yang ternyata mati. Dia me
“Mandilah dulu, kamar mandinya di ....” Belum juga Sabrina selesai bicara, Vano sudah berjalan menuju kamar mandi yang dimaksud. Sabrina mengerutkan alis, kenapa Vano sudah tahu tempat kamar mandinya di mana, tapi dia memilih mengabaikan lalu pergi ke dapur untuk membuat kopi dan sarapan seadanya. Vano masuk kamar mandi, lantas menghubungi pembantu rumah. “Nyonya panik di rumah, Tuan. Anda di mana?” tanya pembantu yang menjawab panggilan Vano. “Ada di apartemen lama. Nanti biar aku yang menghubungi Mami, sekarang minta tolong kirim setelan jas lalu kirim ke apartemen, nanti kukirim alamatnya, segera ya. Tapi jangan sampai Mami tahu.” Vano menghubungi untuk meminta dikirim baju ke apartemen itu. Setelah pembantunya mengiakan, akhirnya Vano mengakhiri panggilan lalu membersikan diri. Sabrina masih sibuk di dapur. Dia membuat kopi, lalu membuat roti panggang dengan telur mata sapi, dia memasak alakadarnya dengan bahan yang tersedia di dapur asal perut mereka terisi. Lalu Sabrina men
Vano dan Sabrina baru saja selesai mengikuti rapat. Mereka sama-sama lega karena semua berjalan lancar, laporan yang dibuat Sabrina juga tidak sia-sia.“Kalau kamu tidak membantuku, aku pasti akan terkena masalah pagi ini,” ucap Sabrina saat mereka sudah berada di lift menuju divisi mereka.“Ini juga tanggung jawabku karena kamu bekerja di bawah naunganku,” balas Vano.Sabrina mengangguk-angguk mendengar balasan Vano.Vano lega urusan data selesai, tapi sekarang dia cemas dengan urusan sang mami. Dia cemas dan takut kalau Oma Aruna marah lagi, apalagi tadi dia langsung mengakhiri panggilan karena panik. Bodohnya dia, itu pasti akan membuat sang mami semakin curiga dan berpikiran aneh-aneh.“Aku mau ke pantry, apa kamu mau aku buatkan kopi?” tanya Sabrina saat keduanya sudah keluar dari lift.“Boleh,” balas Vano sambil mengangguk.Sabrina berbelok ke pantry, sedangkan Vano berjalan menuju ruang kerjanya.Vano masuk ruangan dengan wajah lelah. Hingga saat baru saja masuk, dia terkejut m
“Alasan saja, mami tetap nggak percaya!”Oma Aruna kekeh tak percaya dengan segala alasan dan penjelasan Vano. Dia tetap menganggap Vano sedang menutupi kalau memang semalam tidur bersama waniat.Vano memegangi keningnya yang sangat pusing. Dia lalu menghubungi ruang keamanan agar mengirimkan salinan rekaman Cctv di divisi dari sore sampai pagi tadi.Oma Aruna masih menunggu, hingga Vano memperlihatkan rekaman Cctv di divisi semalam agar Oma Aruna percaya.“Lihat, aku nggak bohong, Mi. Pagi tadi aku baru pergi dari sini, lalu satu jam kemudian balik lagi setelah berganti pakaian.” Vano menjelaskan sambil memperlihatkan rekaman di ruang divisi.Oma Aruna memperhatikan rekaman itu, hingga dahinya berkerut halus saat melihat apa yang dilakukan Vano. Tak hanya menemani seorang gadis, ternyata Vano juga memastikan gadis itu tidur dengan nyenyak, membetulkan bantal di kepala, sampai menyelimutkan blazer ke tubuh gadis itu.Sepertinya sekarang yang jadi masalah bukan kenapa Vano tidak pulang
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil