Vano bicara sangat hati-hati agar Athalia tidak mengamuk. Dia memperhatikan Athalia yang diam memandang gelang itu. “Tapi kata Kakak Sabrina, boleh kok buat aku,” ucap Athalia lalu menyembunyikan gelang itu agar tidak diambil Vano. “Iya, tapi tahu nggak kenapa Kakak Sabrina kasih ke Thalia?” tanya Vano mencoba bicara dengan tenang. Athalia diam mendengar pertanyaan Vano, lalu menjawabnya dengan gelengan kepala. “Tidak,” jawab Athalia. Vano tersenyum lalu mencoba menjelaskan, “Itu karena Kakak Sabrina tidak mau Thalia sedih, makanya diberikan.” “Tapi, Thalia tahu nggak gelang itu sebenarnya punya siapa?” tanya Vano lagi. Athalia menjawab dengan gelengan kepala lagi. “Gelang itu sebenarnya punya mamanya yang sudah meninggal. Makanya Kakak Sabrina tadi agak sedih, tapi lebih sedih lagi kalau lihat Thalia nangis. Karena itu Kakak Sabrina kasihkan gelangnya ke Thalia. Kakak Sabrina kasihan, ya. Mamanya sudah meninggal,” ucap Vano mencoba membuat Athalia merasa simpati. Ath
Sabrina sangat terkejut melihat apa yang diberikan Vano, hingga memandang gelang itu lalu ke Vano secara bergantian.“Kenapa ada di Anda?” tanya Sabrina keheranan.“Thalia sudah mendapat gelang lain, jadi dia bilang suruh mengembalikan gelang itu kepadamu,” jawab Vano tak jujur kalau dirinya yang meminta gelang itu dari Athalia.Sabrina langsung tersenyum senang, lantas mengambil gelang itu dari meja.“Terima kasih,” ucap Sabrina sambil memakai gelang itu lagi. Dia terus tersenyum karena sangat senang.Vano memperhatikan Sabrina, dia merasa pernah melihat di mana senyum itu tapi tak bisa mengingat dengan pasti.“Boleh aku tanya sesuatu?” tanya Vano.“Ya, tanya saja,” jawab Sabrina tanpa menatap ke arah Vano.Vano agak ragu, tapi penasaran.“Apa kita pernah bertemu sebelumnya, mungkin di luar perusahaan sebelum kamu kerja di sini?” tanya Vano karena gagal mengingat di mana pernah melihat Sabrina menggerai rambut dan juga tersenyum seperti itu.Sabrina terkejut mendengar pertanyaan Vano
Sabrina baru saja selesai membereskan meja sebelum pulang. Dia merapikan dan memastikan barang penting tidak ada yang tertinggal di meja. “Ayo, Sab!” ajak Mala menunggu Sabrina selesai mengunci laci. Sabrina menoleh lalu menganggukkan kepala mendengar ajakan Mala. Mereka berjalan bersama, hingga saat baru saja akan keluar dari ruang divisi, ternyata Vano memanggil. “Tunggu, Sab!” panggil Vano. Sabrina dan Mala berhenti, lalu menoleh ke Vano yang sekarang berjalan menghampiri mereka. “Ada apa?” tanya Sabrina. Vano memandang ke Mala, lalu menatap Sabrina. “Ada yang perlu aku bahas denganmu,” jawab Vano. Sabrina agak terkejut karena berpikir jika Vano ingin membahas pekerjaan padahal sudah jam pulang, tapi demi menjadi pekerja yang profesional, dia menganggukkan kepala. “Kamu pulanglah dulu,” kata Sabrina ke Mala. Mala mengangguk lalu pamit ke Sabrina dan Vano. Kini tinggal Sabrina dan Vano di sana, karena yang lain sudah bubar sejak tadi. “Anda mau membahas apa?” tanya Sabri
“Biar aku antar pulang,” ucap Vano saat mereka keluar dari kafe.Sabrina terkejut dan gelagapan mendengar pertanyaan Vano, lalu mencoba menolak.“Sebenarnya aku tinggal di dekat sini, jadi tidak usah diantar,” balas Sabrina. Dia tak ingin Vano tahu kalau dirinya tinggal di apartemen mewah.Vano menaikkan sudut alis mendengar penolakan Sabrina.“Aku kos di dekat perusahaan agar mudah pulang dan pergi, jadi jalan saja juga sampai,” ucap Sabrina menjelaskan lagi agar Vano tak tersinggung atau berpikiran macam-macam karena dirinya menolak.“Baiklah kalau begitu, sampai jumpa besok,” ucap Vano lalu masuk mobil.Sabrina mengangguk mendengar ucapan Vano. Saat pria itu sudah masuk mobil, Sabrina mengetuk kaca pintu mobil hingga Vano menurunkan kaca pintu.“Ada apa?” tanya Vano.“Ingat janjiku, aku akan melakukan apa pun untuk membalas budi, jadi jika kamu membutuhkan bantuanku, bilang saja.” Sabrina bicara lalu melebarkan senyum.Vano tidak menyangka Sabrina ingin membalas budi meski dirinya
Saat makan malam. Vano makan sambil sesekali tersenyum, hal itu membuat Oma Aruna sampai keheranan karena Vano bersikap tak seperti biasanya.“Apa ada sesuatu yang menggembirakan hari ini?” tanya Oma Aruna sambil memperhatikan Vano.Opa Ansel sampai menoleh ke Vano karena pertanyaan Oma Aruna.Vano memandang ke Oma Aruna yang baru saja bertanya. Dia menggelengkan kepala karena mulutnya masih penuh makanan.“Tidak ada,” jawab Vano, “kenapa Mami tanya seperti itu?” tanya Vano balik.Oma Aruna melirik suaminya yang terlihat penasaran sama dengannya, hingga dia kembali bertanya dengan nada ledekan.“Benar tidak ada kabar baik? Mami lihat kamu sejak tadi senyum-senyum sendiri, bahkan saat pulang tadi juga kamu terlihat sangat senang,” ujar Oma Aruna karena melihat Vano terlihat sangat bahagia sejak pulang tadi.Vano mengunyah makanan saat mendengar ucapan Oma Aruna, tapi tetap mengelak dan tak mengakui ucapan sang mami.“Itu hanya pandangan Mami saja. Aku seperti biasa, memangnya aku suruh
“Kakak Sabrina!”Sabrina dan staff lain terkejut mendengar suara Athalia, apalagi gadis kecil itu tiba-tiba muncul berlari ke arah Sabrina.“Tangkap aku!” teriak Athalia siap melompat ke pangkuan Sabrina.Sabrina terkejut karena Athalia datang secara mendadak. Dia melihat Athalia yang siap melompat, hingga membuat Sabrina langsung menangkap meski agak terdorong hingga membuat kursi yang didudukinya sampai bergerak mundur.Athalia malah tertawa senang karena Sabrina berhasil menangkap tubuhnya.Semua staff terlihat sangat terkejut dan keheranan karena melihat Athalia yang sangat senang sampai melompat seperti itu ke Sabrina.“Kakak Sabrina, lihat gelangku baguskan?” tanya Athalia sambil memperlihatkan gelang di tangannya.Sabrina memperhatikan gelang itu. Hampir mirip dengan miliknya.“Iya, ini bagus sekali,” puji Sabrina agar Athalia senang.“Ini yang kasih Om Vano, lho. Karena kata Om Vano, gelangnya Kakak Sabrina harus dikembaliin,” celoteh Athalia.Sabrina terkejut mendengar ucapan
“Iya, dia bersamaku. Dia tadi tantrum di divisiku, sekarang kami di kantin.”Vano bicara di telepon saat Emily menghubunginya karena bertanya soal Athalia.“Syukurlah, aku baru saja selesai mengurus berkas. Aku akan ke sana menyusul kalian.”Vano mengangguk setelah mendengar ucapan Emily. Dia lantas mengakhiri panggilan dan memandang ke Athalia yang sedang makan.Vano menghela napas, bisa-bisanya Athalia tantrum hanya agar Sabrina mau menemani makan. Dia memperhatikan Athalia makan dan dibantu Sabrina yang menyuapi.“Thalia, besok lagi tidak boleh begitu. Kalau Kakak Sabrina sedang kerja, jangan diganggu,” kata Vano mencoba menasihati.“Aku lapar, Om. Kalau ngajak Kakak Sabrina nggak boleh?” tanya Athalia sambil memandang ke Vano.“Boleh, tapi nunggu Kakak Sabrina selesai kerja dan jangan nangis seperti tadi,” jawab Sabrina ikut bicara.Athalia langsung menoleh saat me
Sabrina masih mencoba mencari file miliknya, tapi hasilnya nihil hingga membuatnya ingin sekali menangis.Vano melihat Sabrina masih berusaha mencari, hingga dia menyadari kalau bola mata Sabrina sudah berkaca-kaca.“Jika memang hilang, ya sudah tidak usah dicari karena percuma,” ucap Vano.Sabrina berhenti menggeser kusor, hingga terlihat lemas dan siap menitikkan air mata karena kerja kerasnya menyusun file itu kini hilang entah ke mana.“Susun lagi file baru,” ucap Vano lagi.Sabrina menoleh ke Vano, lalu membalas, “Itu akan memakan waktu lama, bahkan meski aku lembur semalaman pun tidak yakin selesai atau tidak.”“Daripada kamu mencari? Kalau sudah terhapus, mau kamu cari sampai sehari semalam juga tidak akan ketemu. Jadi, daripada waktumu habis mencari file yang tidak ada, lebih baik kamu susun ulang,” ujar Vano agar Sabrina tidak putus asa.Sabrina terlihat lesu, bahkan sampai meng
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil